Anda di halaman 1dari 51

Wasudewa's Blog

karmany eva dhikaras te ma phalesu kadachana, ma karma phala hetur bhur ma te sango ,stv
akarmani. (Bhagawadgita II.47) Artinya : Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tanpa
mengharapkan hasil, jangan sekali pahala jadi motifmu, jangan pula berdiam diri jadi tujuanmu.
Search..


Beranda
Profil Saya
November
12undefined
Posts by : Admin
TATWA BUSANA ADAT BALI

Makna dan Penggunaan Busana Adat Bali untuk Ke
Pura



Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari
arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana adat Bali. Sejak dahulu hingga
sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam
menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara
yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan
busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat.
Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-
menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa
dalam berbusana adat Bali.

Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara
logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana?
pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu
bagian dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih
memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara
(swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:
1. Dewa Angga : dari leher ke kepala
2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah

Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum dibagi-bagi
menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia sudah berbusana
adat. Sebenarnya tidak ada lontar-lontar yang menunjukkan tentang busana adat Bali. Secara
umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:
1. Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan
(busana adat yang belum lengkap)
2. Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap)
3. Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara aksesoris)

Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.

Busana adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang
dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai
penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat
yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang
lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai
symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk
persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian,
tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka
kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen.
Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar.
Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk.
Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga.
Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol
pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit
agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus
berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa
syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju
sebenarnya tidak ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng
(destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan),
udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng
jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani
atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas
sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua
bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus
mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol
Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas
kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta.
Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala
yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan
kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala
dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

Busana adat ke Pura untuk putri
Gambar Pusung Tagel

Gambar Pusung Gonjer
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti
bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-
kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah
lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk
menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat
menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai
selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat
melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya)
dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra. Kemudian
dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara
umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah
sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer
dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga
sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah
pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung
podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu
cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.

Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari bawah. Kita
rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah tahapan-tahapan kita dalam
menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan hal
itu. Karena jika kita sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan berdosa.
Dan jika anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar. Dengan
memahami busana adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik. Uraian
diatas silahkan ditiru atau tidak karena agama tidak pernah memaksaan umatnya. Sekarang
silahkan turuti kata hati anda. Trima kasih.

*disarikan dari berbagai sumber
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Blog Archive
2012 (4)
o November (3)
TATWA BUSANA ADAT BALI
Kumpulan Satua Bali
Doa Sehari-hari Menurut Hindu
o Oktober (1)
karmany eva dhikaras te ma phalesu kadachana, ma karma phala hetur bhur ma te sango ,stv
akarmani. (Bhagawadgita II.47)
Artinya : Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tanpa mengharapkan hasil, jangan sekali
pahala jadi motifmu, jangan pula berdiam diri jadi tujuanmu.
Mengenai Saya

Wasudewa Bhattacarya
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright (c) 2011 Wasudewa's Blog
Powered by Blogger.
WIDYA WAHANA
Media Pembelajaran
Senin, 27 Februari 2012
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

Dalam kitab suci Hindu sifat-sifat Tuhan dilukiskan sebagai Yang Maha Mengetahui dan Maha
Kuasa. Dia merupakan perwujudan keadilan, kasih sayang dan keindahan. Dalam kenyataannya,
Dia merupakan perwujudan dari segala kwalitas terberkati yang senantiasa dapat dipahami
manusia. Dia senantiasa siap mencurahkan anugerah, kasih dan berkah-Nya pada ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, tujuan utama penciptaan dunia semesta ini adalah untuk mencurahkan berkah-
Nya pada mahluk-mahluk, membimbingnya secara bertahap dari keadaan yang kurang sempurna
menuju keadaan yang lebih sempurna. Dengan mudah Dia disenangkan dengan doa dan
permohonan dari para pemuja-Nya. Namun, tanggapan-Nya pada doa ini dituntun oleh prinsip
yang hendaknya tidak bertentangan dengan hukum kosmis yang berkenaan dengan kesejahteraan
umum dunia dan hukum karma yang berkaitan dengan kesejahteraan pribadi-pribadi khususnya.
Svm Harshnanda dalam bukunya yang berjudul Deva-Devi Hindu menyatakan bahwa
konsep Tuhan Hindu memiliki dua gambaran khas, yaitu tergantung pada kebutuhan dan selera
pemuja-Nya. Dia dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan
menanggapinya melalui wujud tersebut. Dia juga dapat menjelmakan Diri-Nya di antara mahluk
manusia untuk membimbingnya menuju kerajaan Kedewataan-Nya. Dan penjelmaan ini
merupakan suatu proses berlanjut yang mengambil tempat dimanapun dan kapanpun yang
dianggap-Nya perlu.
Kemudian ada aspek Tuhan lainnya sebagai Yang Mutlak, yang biasanya disebut sebagai
Brahman; yang berarti besar tak terbatas. Dia adalah Ketakterbatasan itu sendiri. Namun, Dia
juga bersifat immanent pada segala yang tercipta. Dengan demikian tidak seperti segala yang kita
kenal bahwa Dia menentang segala uraian tentang-Nya. Telah dinyatakan bahwa jalan satu-
satunya untuk dapat menyatakan-Nya adalah dengan cara negative: Bukan ini! Bukan ini!
Jadi untuk sekedar memuasakan pikiran yang terbatas untuk menggambarkan yang tak
terbatas itu, lalu apakah atau siapakah yang dimaksud dengan Tuhan itu? Jawaban atas
pertanyaan ini merupakan dasar dalam pemberian difinisi tentang Tuhan. Walaupun
pendifinisian tentang Tuhan tidak mungkin, namun untuk keperluan praktis dalam pembahasan
ini difinisi Tuhan diperlukan sebagai titik tolak berpikir. Kesulitan dalam memberi difinisi
karena suatu difinisi yang baik harus benar-benar memberi gambaran yang jelas dan lengkap
sedangkan Tuhan mencakup pengertian yang luas dan serba mutlak (Pudja, 1999 :10).
Untuk pertama kali difinisi tentang Tuhan dijumpai dalam kitab Brahma Stra I.1.2
(Pudja, 1999 : 10), lengkapnya berbunyi demikian :
Janmdyasya yatah.2.
Artinya :
(Brahman adalah yang maha tahu dan penyebab yang mahakuasa) dari mana munculnya asal
mula dan lain-lain, (yaitu pemeliharaan dan peleburan) dari (dunia ini).
Kitab Brahma Stra merupakan sistematisasi dari pemikiran kitab-kitab Upanisad.
Dalam Brahma Stra ditemukan nama-nama aliran pemikiran Vednta. Bdaryana, yang
dianggap sebagai penyusun Brahma Stra atau Vednta Stra, bukanlah satu-satunya orang yang
mencoba men-sistematisir gagasan filsafat yang terdapat dalam Upanisad, walaupun mungkin
merupakan karya yang terakhir dan terbaik. Semua sekte di India sekarang ini menganggap karya
beliau sebagai otoritas utama dan setiap sekte baru pastilah mulai dengan memberikan ulasan
baru pada Brahma Stra ini dan rasanya tak akan ada sekte yang dapat didirikan tanpa berbuat
demikian (Virevarnanda, 2002 : 5).
Lima crya besar pemberi komentar terhadap pemikiran Vednta yang disebut oleh
Bdaryana dalam Stra-nya yaitu : akara, perumus advaita atau monisme; Rmnuja dari
kelompok Viistdvaita atau monisme yang memiliki sifat-sifat; Nimbrka yang menelorkan
gagasan mengenai bhedbedhavda atau teori perbedaan dan tiadanya perbedaan; Madhva,
penegak teori dualisme dan Vallabha, eksponen dari uddhdvaitavda, setuju bahwa brahman
adalah penyebab alam semesta ini dan pengetahuan tentang-Nya menuntun pada pembebasan
akhir yang memang merupakan cita-cita yang ingin dicapai; juga dalam keyakinan bahwa
brahman itu hanya dapat diketahui melalui naskah dan bukan melalui pola berpikir.
Stra di atas memberi batasan tentang Brahman : Itu yang menjadi penyebab dunia
adalah Brahman. Ini disebut tatastha laksana, atau yang merupakan karakteristik suatu benda
yang berbeda dengan hakekatnya, namun membantu untuk menjadikannya diketahui.
Kitab suci memberi batasan lain tentang Brahman, yang menggambarkan sifat-Nya yang
sejati : Kebenaran, Pengetahuan, Yang Tak Terbatas adalah Brahman. Hal ini disebut
svarpa laksana, yaitu yang memberi batasan Brahman dalam inti-Nya yang sejati. Kata-kata
ini, walaupun memiliki arti yang berbeda dalam percakapan sehari-hari, namun mengacu pada
Brahman Yang Esa, yang tak terbagi, dan bahkan waktu menggunakan kata-kata bapa, anak,
saudara, suami dan lain-lain, mengacu pada orang yang sama sesuai dengan hubungannya
dengan individu yang berbeda.
Ajaran Ketuhanan (theology) dalam agama Hindu disebut Brahma Widy. Dalam
Brahma Widy dibahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, ciptaanNya, termasuk manusia dan alam
semesta. Sumber ajaran Brahma Widy ini adalah kitab suci Veda. Dari Vedalah semua ajaran
Hindu mengalir. Semua ajaran bernafaskan Veda, walaupun sering dalam penampilannya
berbeda-beda. Semangat Veda meresapi seluruh ajaran Hindu. Ia laksana mata air yang mengalir
terus melalui sungai-sungai yang panjang sepanjang abad, melalui daerah-daerah yang amat
luas. Karena panjangnya masa, luasnya daerah yang dilaluinya, wajahnya dapat berubah namun
intinya selalu sama di mana-mana. Pesan-pesan yang disampaikan adalah kebenaran abadi. Ia
berlaku di manapun dan kapanpun juga (Titib, 1995 : 15).
Veda yang merupakan kitab agama Hindu tertua yang disebut juga Sruti, berisikan
himpunan mantra-mantra (mantra-samhita), yang ditujukan kepada para dewa oleh yang
menyanyikannya.Veda adalah wahyu Tuhan atau Sabda Brahman yang diterima oleh para
maharsi. Untuk memahami ajaran Veda, orang tidak cukup hanya dengan membaca teks dari
kitab tersebut, melainkan harus memahami ajaran Hindu secara utuh. Pemahaman sepotong-
sepotong akan menimbulkan kesesatan dalam memahami ajaran Veda khususnya dan ajaran
agama Hindu umumnya.
Di Dalam Veda, istilah Tuhan Yang maha Esa disebut Deva, disamping itu disebut Tat
(Itu) atau Sat (kebenaran mutlak). Kata Deva mengandung dua pengertian; yaitu Deva sebagai
Tuhan Yang Maha Esa dan deva sebagai mahluk tertinggi ciptaan-Nya (Rgveda X.129.6) dengan
berbagai tingkatannya. Veda mewakili berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan.
Padanya terdapat perwujudan tanda-tanda Polytheisme yang diorganisir, Henotheisme,
Monotheisme dan Monisme (Titib, 1995 : 19).
Rgveda Samhit merupakan dasar kitab suci Hinduisme dan tradisi memberikannya
tempat tertinggi. Kitab suci agung ini penuh dengan puji-pujian umumnya disebut Skta, yang
mencapai ketinggian utama dari keindahan puitis dan ketajaman filosofis, yang sungguh-
sungguh merupakan kombinasi yang jarang diketemukan (Harshnanda, 1999 : 5).
Bagian terbesar dari kitab ini dipersembahkan sebagai doa kepada para dewa seperti
Indra, Agni, Varuna dan yang lain-lainnya. Para dewa Veda ini biasanya dinyatakan berjumlah
tiga puluh tiga yang terdiri dari : delapan Vasu, sebelas Rudra, dua belas Aditya, Indra dan
Prajapati. Para dewa ini ditugaskan pada tiga wilayah dari bumi (prthivi), surga (dyaus) dan
ruang diantaranya (antariksa). Selain dari para dewa ini kita juga menemukan banyak obyek tak
bergerak seperti batu penggilas, sifat sifat seperti kepercayaan, emosi seperti kemarahan, aspek-
aspek alam seperti fajar, yang didewakan dan dilukiskan di dalamnya. Ada juga beberapa devi,
walaupun mereka tidak setenar para dewa (Harshnanda, 1999 :5-6).
Aspek-aspek alam yang agung, yang mulia, yang indah dan bermanfaat
dipersonifikasikan dan didewakan. Semua itu dipandang sebagai supernatural dan roh yang
superhuman yang karib dengan semangat (spirits) manusia. Mereka adalah para dewa yang
menguasai bermacam-macam phenomena alam. Para dewa itu amat kuat, tidak dapat dikalahkan,
arif, penyayang, mahatahu, menyusupi segala, adil, benar dan murah hati. Mereka
menganugerahkan kemakmuran yang bersifat duniawi, kebijaksanaan dan kualitas moral.
Mereka menganugerahkan kejayaan dalam peperangan, kekayaan, umur panak, cucu dan
kebahagiaan. Untuk mengambil hati para dewa, pemujanya mempersembahkan nyanyian-
nyanyian pujaan, doa, sajen-sajen dan korban.
Agni (dewa api), Srya (dewa matahari), Usas ( dewa fajar), Prthivi (dewa bumi), Dyaus
(dewa langit), Mitra ( dewa siang dan langit yang terang benderang), Varuna (dewa langit yang
gelap dan senja) Parjanya (dewa awan dan hujan), Maruts (dewa angin ribut), Vyu (dewa
angina), Savitr (dewa matahari pagi) dan lain-lain adalah dewa-dewa yang disebut dalam Veda.
Kadang-kadang mereka dipuja satu-satu sehingga menunjukkan sifat-sifat politeisme
yang anthropomorphic dan kadang-kadang Dewa Agni disamakan dengan banyak dewa dan
diperlakukan sebagai mengatasi mereka. Paham ketuhanan seperti ini oleh Max Muller disebut
henoteisme yaitu kepercayaan kepada yang Esa dalam Yang banyak. Ajaran henoteisme tersebut
bersifat metafisik. Keesaan Tuhan dinyatakan dengan berbagai cara (Sura, 1993 : 201).
Indaram mitram varunam agnim hur atho divyah sa suparno garutmn, Ekam sad vipr
bahudh vadantyagnim yamam mtarivnam huh (dalam Somvir, 2001 : 4)
Artinya :
Namaku adalah Indra, Mitra, Varuna, Agni, cahaya dan mempunyai sayap yang sangat indah.
Oleh karena itu aku disebut Garutmt. Demikian juga aku disebut sebagai Agni, Yama, dan
Mtarivan. Aku hanya satu akan tetapi para Sarjana menyebutku dengan nama yang berbeda-
beda.

Mantra di atas tersebut terdapat dalam Rgveda yang membicarakan nama-nama para
deva, yang terdapat dalam empat Veda. Supaya seseorang tidak salah paham akan keberadaan
dewa-dewa, maka mantra tersebut menjelaskan bahwa semua nama dari dewa adalah nama
Tuhan yang hakikatnya adalah satu.
Seperti diketahui bahwa Tuhan mempunyai ribuan nama, tetapi bukan berarti Tuhan lebih
dari satu. Kadang-kadang dinyatakan bahwa semua dewa menyatu dalam Indra (Rgveda III. 54.
17) atau dalam Agni (Rgveda II. 1) dan kadang-kadang satu dewa digambarkan sebagai semua
dewa (Vivadeva). Di sini konsep ketuhanan bersifat metafisik, karena Tuhan digambarkan
dalam keadaan netral sebagai Ekam Sat yaitu Yang Esa. Dalam nyanyian tentang penciptaan
dikatakan bahwa : Yang Esa bernafas dengan kekuatan sendiri. (Rgveda X.129.2) yang
menggambarkan Yang Esa sebagai perwujudan netral. Pada nyanyian Yajur Veda (32.8) Tuhan
dinyatakan dalam bentuk netral Tat Sat (Yang Ada Itu) pada baris pertama dan sebagai Tuhan
(Vibhu) dalam wujud jantan pada baris kedua. Inilah ajaran Advaita Veda. Tuhan digambarkan
sebagai perwujudan yang tertinggi dan memenuhi seluruh alam dan seluruh alam menyatu pada
Dia.
Yatra vivam bhavatyekandam (Yajur Veda 32.8)
Padanya seluruh alam semesta menjadi satu rumah (Sura,1993: 202).

Advaita ini mencakup monoteisme dalam arti yang murni dan filosofis. Monoteisme
mengenal satu Tuhan, satu menguasai semua. Akan tetapi di luar itu terdapat konsep Advaita
Veda : Satu dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang satu.
Rgveda : X.90.2 menyebutkan : Purusa evedam sarvam yad Bhtam yacca bhavyam,
Utmrtatvasyeno yad annenti rohati(dalam Somvir, 2001 : 32)
Artinya :
Apapun yang ada di dunia ini, apapun yang telah terjadi dan apapun yang akan terjadi, semua
itu adalah Purusa. Dia adalah rajanya moksa. Dia juga rajanya yang tumbuh dari makanan

Dalam mantra di atas Tuhan disebut Parama Purusa yang mempunyai kepala seribu,
mata seribu dan berkaki seribu. Ia mengisi seluruh alam semesta namun pula mengatasinya. Apa
saja yang sedang terjadi, apa saja yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi adalah Parama
Purusa. Ia adalah Tuhan yang abadi. Ia tidak dipengaruhi oleh karmaphala. Seluruh alam
semesta ini ini adalah seperempat diri-Nya. Sisanya tiga perempat lagi tinggal sebagai kebadian
surgawi. Parama Purusa bersifat transcendental dan immanen (Sura, 1993 : 204). Di sini
terdapat ajaran Ketuhanan yang bersifat panteisme.
Monoteisme mengantarkan menuju monisme. Satu kenyataan dibayangkan adanya yang
manifest dalam berbagai cara. Hanya ada satu kenyataan, orang-orang bijaksana memanggilnya
dengan berbagai nama. Yang Esa (tad ekam) bukanlah pribadi. Ia bukan laki bukan perempuan
begitu juga bukan banci. Ia adalah prinsip impersonal. Tidak ada apa-apa di luar itu.
avasya upanisad memulai mantra pembukaan dengan kata-kata avasyam : avasyam idam
sarwam yat kica jagatyam jagat tena tyaktena bhujitah, ma grdah kasya sviddhanam.
Artinya :
Semua hal dari alam semesta ini, yang sementara, yang dapat lenyap, dilingkupi oleh Tuhan
(a), yang merupakan realitas sebenarnya: oleh karena itu, ia harus dipergunakan dengan
secukupnya dan rasa puas, tanpa rasa loba atau tamak karena kesemuanya itu milik Tuhan dan
bukan milik seseorang.

Maksud sloka di atas yaitu bahwa alam semesta ini merupakan Tuhan yang immanen,
wujud atau badan-Nya. Adalah keliru menganggap bahwa alam semesta dan penguasa-Nya
sebagai berbeda yang hanya merupakan suatu khayalan atau hasil imajinasi manusia. Seperti
bayanganmu pada permukaan air yang tidak berbeda denganmu, demikian pula alam semesta
(yang merupakan gambaran (bayangan)-Nya, hasil dari ketidaktahuanmu) adalah sama dengan
Dia (Tuhan) (Kasturi, 1998 : 11).
Dalam Taitirya Upanisad 3.1, Varuna sang ayah mengajar putranya Bhrgu, pengetahuan
suci. Beliau menjelaskan : Itu sesungguhnya, dari mana mahluk-mahluk ini dilahirkan dan dari
mana sejak lahir mereka hidup, dan memasuki apa ketika mereka pergi. Itulah yang ingin
diketahui. Itulah Brahman.
Batasan dari Brahman sebagai asal, kelanjutan dan peleburan alam datang dari vara
yaitu Tuhan Pencipta, Pemeliharaan, dan Penghancur. Brahman adalah penyebab alam semesta
sebagai substratum (adhisthna), sebagai penyebab material (updan) dari alam, sebagai pula
emas adalah bahan penyebab perhiasan emas, sebagai alat penyebab (nimitta) dari dunia, Madva
(Radhakrishnan, 1992 : 252).
Dalam Chandogya Upanisad III.14.1. dinyatakan Sarwam khalv idam brahma,
Semua yang ada sesungguhnya Brahman. Brahman adalah di luar juga di dalam alam
semesta dan pada semua mahluk. Beliau yang disebut Narayana ada pada yang hidup dan ada
pula pada yang fana.
Di dalam Kena Upanisad dinyatakan bahwa dewa Agni, dan Vayu tidak dapat
beraktivitas tanpa Brahman. Para dewa itu mendapatkan kuasa mereka untuk membakar segala
sesuatu dari Brahman. Dengan demikian Brahman adalah tokoh dewa, sekaligus pula sebagai
dewa yang tertinggi.
Para dewa itu dipandang sebagai penjelmaan dari Brahman. Hal ini terungkap dalam
kitab Taittiriya Upanisad yang menyatakan bahwa dewa Mitra, Varuna, Aryaman, Indra,
Brihaspati, Wisnu, adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya satu dewa, yaitu
Brahman, sedangkan yang lain-lainnya adalah penjelmaan dewa yang satu itu pula.
Dalam kitab Katha Upanisad Brahman bukan dipandang sebagai tokoh dewa, melainkan
sebagai asas pertama, sebagai asal segala sesuatu yang meliputi segalanya.
Sesungguhnya Brahman itu tidak dapat dikatakan bagaimana. Dalam Brhad-aranyaka
Upanisad III.8.8-9, tentang jawaban Yjavalkya atas pertanyaan Grg dinyatakan bahwa :
Yang mengerti Brahman menyebutnya yang Kekal. Dia tidaklah kasar, bukan pula halus, tidak
pendek tidak pula panjang, tidak bersinar merah (seperti api) tidak pula menempel (seperti air).
Dia bukanlah bayangan ataupun kegelapan,bukan pula udara atau angkasa, yanpa ikatan, tanpa
rasa, tanpa bau, tanpa mata , tanpa telinga, tanpa suara, tanpa pikiran, tanpagemerlapan, tanpa
nafas,tanpa mulut, tanpa ukuran, tiada apapun di dalam dan di luar-Nya. Dia tidak memakan
apapun dan tiada apapun bisa memakan-Nya. Sesungguhnya atas perintah yang kekal itu,
matahari dan bulan berada pada kedudukannya masing-masing,.

Maksud uraian di atas tidak lain menyatakan bahwa Brahman bukan substansi dan tidak
memiliki sifat-sifat. Walaupun demikian, secara positif Brahman dapat dinyatakan dengan
ungkapan sat-cit ananda. Kata sat berarti ada atau keberadaan. Jika Brahman disebut sat berarti
bahwa hanya Brahman-lah yang memiliki keberadaan, Ia-lah satu-satunya yang ada, yang harus
dibedakan dengan segala yang lain dari pada-Nya, yang tidak memiliki ada atau keberadaan.
Kata cit berarti kesadaran yang menunjuk kepada sifat Brahman yang rohani. Brahman
yang satu-satunya memiliki ada itu adalah Brahman yang sadar, bukan yang mati, yang bersifat
rohani bukan bendani. Ananda artinya bahagia, yang menunjuk kepada sifat Brahman yang
meliputi segala sesuatu dan mempersatukan segalanya yang hanya terdiri dari kebahagiaan saja.
Ungkapan sat-cit-ananda menunjukkan bahwa Brahmanlah satu-satunya realitas rohani yang
bersifat mutlak, tetapi juga meliputi segala sesuatu yang ada, yang sadar atau yang bersifat
rohani, sehingga segala sesuatu yang memiliki kedua sifat itu harus dialirkan ke luar dari pada-
Nya.
Dalam Taittiriya Upanisad II.1.1. dinyatakan yang muncul pertama dari Brahman
(Atman) adalah angkasa, dari angkasa udara, dari udara api, dari api air, dari air tanah, dari tanah
pohon obat-obatan, dari pohon obat-obatan makanan, dari makanan oknum. Demikianlah segala
sesuatu muncul dari pada Brahman . Oleh karena itu segala sesuatu datang dari Brahman, maka
segala sesuatu pada hakekatnya adalah Brahman.
Sweta Swatara Upanisad mempertegas tentang kedudukan Tuhan sebagai berikut ya eko
jlavn ata anbhih sarvn lokn ata anbhih, ya evaika udbhave ca, ya etad vidur amrts
te bhavanti.
Artinya :
Dia Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi satu-satunya Penguasa Alam
Semesta, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai Alam Semesta dengan
kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan Maya-Nya itu telah mencipta dan
mengatur muncul dan lenyapnya segala sesuatu di Alam Semesta ini. Siapa yang telah dapat
menyadari dan menghayati Kasunyataan ini, Dia menjadi bersifat abadi(Sugiarto, 1982 : 28).

Upanisad menyatakan bahwa Tuhan pada hakekatnya Esa, sumber segala sesuatu yang
ada di Alam Semesta dan menjadi tempat kembalinya segala sesuatu. Beliau Pencipta, Pengatur
sekaligus sebagai Pemralina segala sesuatu yang ada di Alam Semesta ini. Dalam pernyataan
tersebut terdapat konsep Ketuhanan yang bersifat monotheisme transendent dan immanent. Dan
sebuah kalimat dalam Brhadranyaka Upanisad menyatakan : Sarwam Khalvidam Brahman
Segalanya adalah Tuhan Yang maha Esa. Konsep ini mengandung paham Monisme.
Keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan yang merupakan hakekat alam semesta. Esa dalam
segala. Segalanya berada di dalam yang Esa.
Mahnirwna Tantra adalah Tantra Shastra yang merupakan bentuk Shastra Hindu yang
masih kurang dikenal, karena ajaran-ajarannya memang sulit, dan diperlukan tingkat evolusi
berpikir untuk bisa menyerap dan memahaminya. Selain itu juga karena arti terhadap beberapa
istilah serta metode yang dilaksanakan terus dijaga kerahasiannya oleh para penganutnya. Tantra
Shastra dikatakan sebagian ilmu pengetahuan spiritual untuk periode Kaliyuga sekarang
(Avalons, 1997 : v), disebutkan sebagai berikut :
Siwa telah bersabda: untuk menyempurnakan manusia di zaman Kaliyuga, pada ketika
manusia menjadi sangat lemah dan hidupnya hanya tergantung kepada makanan-makanan saja,
maka O Dewi dirumuskanlah ajaran-ajaran daripada kaula (Bab IX, bait 12 Mhn. T.).

Mahnirwna Tantra menguraikan mengenai Siwa dan sakti demikian : Eksistensi
kekal, yang tidak bisa dipecah belah itu, yang kesadaran-Nya melampaui batas triya dan
mengatasi semua keadaan yang lain, itulah absolute yang tak berciri, Brahman yang Agung atau
Parabrahman. Dia terbebas (nishkala) dari pengaruh Prakriti atau terbebas dari ciri-ciri Prakriti
(nirguna), Dia-lah Pribadi di dalam, subjek dari yang mengetahui, karena itu, tidak pernah Dia
itu menjadi objek pengetahuan.Dia itu tanpa nama, maka Brahman itu disebut Tat (Itu), dan
kemudian Tat Sat (Itu Yang Ada). Matahari, bulan, bintang-bintang, dan semua yang kelihatan
itu, apakah semuanya selain sekedar sekilas cahaya yang tertangkap dari Tat itu? Brahman
meliputi keduanya niskala dan sakala (Avalons, 1997 : 3).
Menurut Mahnirwna Tantra, pada mula-mulanya adalah satu yaitu Nishkala Brahman
saja yang ada. Yang satu itu berkehendak, dan menjadi banyak. Aham bahu syam Menjadilah
Aku ini banyak. Dia mewujudkan diri dalam bentuk para dewa dan dewi, dan juga berada di
dalam pemuja sendiri. Perwujudannya itu ialah perwujudan alam semesta raya, termasuk
segalanya yang berada di dalamnya. Di sini Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dengan
perwujudan immanent dan transcendent.
Beberapa mantram dalam Bhagawad Gita (Mantra,1996) menyebutkan bahwa Brahman
(Tuhan) Yang Esa, Melingkupi semua, Meresapi semua dan Tuhan adalah segalanya. Mantram-
mantram tersebut antara lain :
Bhagawad Gita , IV, 24, menyebutkan :
Pelaksanaan korban suci itu adalah Brahman, korban itu sendiri adalah Brahman. Disajikan
oleh Brahman di dalam api dari Brahman. Brahman itu yang akan dicapai bagi ia yang
menyadari bahwa Brahman ada di dalam pekerjaannya.

Bhagawad Gita,VII. 6, menyebutkan :
Ketahuilah bahwa semua mahluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku ini. Aku adalah asal
mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (Pralaya).

Bhagawad Gita, IX, 4-5 menyebutkan :
Aku berada di mana-mana dalam alam semesta ini dengan bentuk-Ku yang tidak berwujud.
Semua mahluk berada di dalam Aku, tetapi Aku tidak menetap di dalam mereka. Pun juga
mahluk tidak berada di dalam Aku (sebenarnya). Inilah rahasia suci-Ku. Aku yang menjadi
sumber dari mahluk, menumpu mereka tetapi tidak menetap di dalamnya.

Bhagawad Gita, X. 8, menyebutkan :
Aku adalah asal dari semua; dari Aku mahluk muncul, mengetahui ini, orang bijaksana
menyembah Aku; dengan penuh rasa penyatuan diri.

Bhagawad Gita, X. 20, menyebutkan :
O, Arjuna (Gudakesa), Aku adalah atma yang menetap dalam hati semua mahluk, Aku adalah
permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk.

Bhagawad Gita, XIII. 13, menyebutkan :
Dengan tangan dan kaki di mana-mana, dengan mata, kepala dan muka tertuju pada semua
arah, dengan telinga pada semua arah. Dia menetap di dunia, menyelubungi semua.

Bhagawad Gita, XV. 14, menyebutkan :
Dengan menjadi api kehidupan dalam badannya semua mahluk dan mempersatukan diri-Ku
dengan naik turunnya nafas, Aku mencernakan keempat makanan.

Bhagawad Gita, XV. 15, menyebutkan :

Dan Aku bersemayam dalam hati semua mahluk; dari Aku timbulnya ingatan dan pengetahuan,
demikian juga halnya ingatan dan pengetahuan itu. Aku adalah Dia, yang seharusnya dikenal
oleh keempat Veda. Akulah yang sebenarnya pengarang Vedanta dan Aku juga yang mengetahui
Veda.

Beberapa kutipan mantram-mantram dari Bhagawad Gita di atas menunjukkan tentang
Kemahakuasaan serta Keagungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan ini jugalah yang
dikemukakan oleh Veda maupun kitab-kitab suci lainnya. Inilah yang semestinya diketahui dan
menjadi tujuan dari semua mahluk yang ada di Alam Semesta ini.
Sifat Tuhan yang dikemukakan dalam mantram-mantram Bhagawad Gita di atas yaitu
Tuhan dalam sifat-Nya yang immanent maupun transcendent. Bhagawad Gita mengandung
konsep Ketuhanan yang monotheisme dan sekaligus juga menganut paham monisme. Tuhan
dalam Bhagawad Gita bersifat Personal dan Impersonal.



Sumber Bacaan :

Diwakar, R.R. 1994. Upanisad Dalam Cerita Dan Dialog. Denpasar : Upada Sastra.
Harshnanda, Swami, 2000. Deva-Devi Hindu. Surabaya : Paramita.
Kasturi, N. 1998. Pesan-Pesan Upanisad. Surabaya : Paramita.
Mantra, Ida Bagus, 1996. Bhagawad Gita. Denpasar : Upada Sastra.
Maswinara, I Wayan, 1996. Konsep Panca Sradha. Surabaya : Paramita.
Pudja, I Gede, 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya : Paramita.
Pudja, I Gede, Sudharta, Tjok, Rai, 1978. Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Weda
Smrti Compendium Hukum Hindu.
Punyatmaja, Oka, Ida Bagus, 1993. Panca Sradha. Denpasar : Upada Sastra.
Radhakrishnan, S., Allen George dan Unwin LTD. 1953. Upanisad Utama I dan II. Jakarta : Yayasan
Dharma Sarathi.
Raghavan, Smt. Kausalya Rani, 1998. Upadesamrta. Paramita : Surabaya.
Sivananda, Sri Swami, 1993. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita.
Sugiarto, R. Brhad Aranyaka Upanisad. Jakarta : Pembinaan Mental TNI Angakatan Laut.
Sugiarto, R. Maitri Upanisad. Jakarta : Mayasari.
Sugiarto, R. dan Pudja, G. 1982. Swetaswatara Upanisad. Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu
Departemen Agama RI.
Sura, I Gede, 1991. Pengantar Veda Dan Upanisad. Denpasar : Percetakan Sari Sri Sedana.
Sura, I Gede dan Musna I Wayan. 1993. Materi Pokok Weda. Jakarta : Direktoral Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha dan Universitas Terbuka.
Titib, I Made, 1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.
Virevarnanda, Swami, 2002. Brahma Sutra. Surabaya : Paramita.
Wiana, I Ketut, 1995. Yadnya Dan Bhakti Dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar : PT Pustaka
Manikgeni.


Diposkan oleh Nyoman Purnami di 18.00
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: ketuhanan dalam hindu, konsep ketuhanan hindu
4 komentar:
1.
tobeenkz8816 Agustus 2013 03.20
Nice info Ibu Nyoman Purnami... Saya sedikit paham akan konsep ketuhan agama hindu.
sudah lama saya ingin sedikit mengetahui atau gambaran tentang konsep ketuhanan
agama hindu itu seperti apa. akhirnya ada sedikit gambaran di otak saya. jujur saya asli
muslim. keinginan saya ingin mengetahui ataupun mempelajari konsep ketuhan dari
bermacam agama, untuk menambah wawasan saya. buat blog ibu Nyoman Purnami ini,
sekali lagi terima kasih banyak buat share infonya. salam sejahtera :)
Balas
Balasan
1.
Nyoman Purnami18 Agustus 2013 17.17
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya....syukurlah kalau sekapur sirih
tulisan saya dapat memberikan sedikit informasi kepada Anda, sekali lagi terima
kasih dan salam sejahtera kembali...semoga berkahNya berlimpah lebih banyak
lagi buat Anda.
Balas
2.
made suwardana20 Oktober 2013 14.33
niki sangat membantu dalam menyelesaikan tugas agama saya.... sukseme
Balas
3.
BIASA WAE6 November 2013 19.36
http://bismillahstudentsdawahcenter.blogspot.com/2012/03/prophet-muhammad-pbuh-in-
hindu.html
http://bismillahstudentsdawahcenter.blogspot.com/2012/03/concept-of-god-in-
hinduism.html
Balas
Muat yang lain...
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya

Nyoman Purnami
Negara, Bali, Indonesia
Lihat profil lengkapku
Laman
Beranda
Pengikut
Arsip Blog
2012 (5)
o Maret (1)
o Februari (4)
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU
PENGELOMPOKAN LONTAR-LONTAR YANG ADA DI BALI
SEKTE WAIS N AWA DI BALI
MASUKNYA PENGARUH HINDU DI BALI
2011 (4)
Template Watermark. Gambar template oleh Jason Morrow. Diberdayakan oleh Blogger.
Katha Upanishad mulai dengan satu kisah. Sekali peristiwa adalah seorang terpelajar bernama
Vajasrabasa yang sedang mengorbankan segala yang dimiliknya, (seekor kerbau tua, pen) dengan
harapan untuk mendapat anugrah suci (surga, pen). Di tengah-tengah upacara korban itu, salah satu
dari putranya, Nachiketa, memohon kepada ayahnya untuk mempersembahkan dirinya kepada Dewa
Kematian, Yama. Akhirnya ayahnya mengorbankan putra yang dicintainya itu kepada Yama. Ketika
anak ini mencapai kediaman Yama, Dewa Kematian itu bingung dengan tindakan Nachiketa dan
memintanya kembali kepada ayahnya. Percakapan teologis yang hidup antara Nachiketa dengan Yama
(dialog manusia dengan kematian, pen) adalah merupakan isi dari Katha Upanishad. Yama menjelaskan
rahasia-rahasia tertinggi dari alam semesta dan hakikat dari Brahman (Tuhan) dalam Upanishad yang
indah ini.
Beberapa Pemahaman Berkaca Rasa
cerita tentang apa2 yang disebut "cermin diri"..hope useful..
Beranda
Penulis
Tarot Reading
Buddhi Dharma.
Kalvatar region..
Antologi Puisi..
RSS
Arsip Tag: pantheisme
..Kafir, Nastika, Carwaka-Hedonism, Atheism, Agnotism-
Kapitalsim,Sosialism,Nusantaraism..
20 Feb

budak budak jaman
Mengenal suatu tinjauan akan makna, pemahaman serta keberadaan dari berbagai kata-kata yang
menuju pada keekslusfian, dan bahkan suatu kebebrokan atas yang bernama mentalitas, prilaku
radikal serta filsafati liar dan hanya memandang kedogmatisan, kegalauan rahysa, kedunguan,
serta keberhalaan dunia. Maka dalam paham itu bisa diambil suatu benang merah tersendiri yang
membuka sedikit suksmaning ati untuk mengubah dan mendekeontruksi atau pula
merekontruksi, baik itu fikir, baik itu laku, baik itu paradigma yang lebih menuju sikap
keuniversalitasan rahasia magis sebuah KEKUATAN AGUNG.
I. KAFIR NASTIKA CARWAKA.
Bahwa dari beberapa kata atau istilah di atas, maka akan terbuka sedikit kesamaan, atau bahkan
meleburkan suatu motivasi spiritual (bukan ambisi) untuk lebih memahami
(prtyaksa,anumana,agama pramana) secara filsafati, secara susila (etika), atau bahkan secara
upacara(ritualisme).
Sebagai bahasan bagaimana sifat kekafiran yang berasal dari filsafat islam, yang sebenarnya
adalah meniadakan atau membungkam mereka-mereka yang memberhalakan Tuhan (Allah),
menyekutukan Allah, membuat Allah sebagai nomor dua. Jika itu dilihat dari Shallow
Thinking (Pemikiran yang dangkal), maka jelas berarti bahwa dewa-dewa, patung, pohon,
inkarnasi, atau dan sebagainya sebagai keberhalaan. Bahkan ada atau terdapat ayat yang
memotong kepala kafir, darah kafir halal, atau kekerasan lainnya. Namun mereka lupa jika
bahwa berkata Al Quran adalah keniscayaan yang abadi, maka jaman akan menuju suatu
perubahan sendiri akan semiotika Ayat2 tersebut. Seperti sbagaimana ditafsirkan oleh Nurcholis
Madjid (mendalamkan hakikat ayat fitna), atau Gusdur yang mengemukakan pandangan
universalitas, serta Gusmus yang mengkritik dengan mehakikatkan universalitas dalam tubuh
islam itu sendiri.
Sebagai contoh jika kepala dipotong akan menggambarkan penghilangan ego, darah kafir halal
artinya kafir itu layak untuk disadarkan (dalam bentuk dirinya sendiri), yang menerbayangkan
kesucian muslim berada pada mereka juga. Lalu apa kafir itu sendiri???bahwa kafir adalah
mencakup semuanya, jika ingin menyemuakan kafir, artinya bahwa diri adalah kafir pula. Bahwa
diri adalah yang tidak atau lupa bahwa mereka masih memberhalakan Allah dalam wilayah
mengagungkan Uang mengagungkan Harta, mengagunggkan kekuasaan, bahkan menindas yang
tidak sejalan dan melupakan hakikat mereka sebagai manusia itu sendiri.
Sama seperti nastika yang tidak atau melihat mereka yang tidak mempercayai sebagai orang
yang MERUGI. Bahwa memang mereka tidak percaya akan weda, namun hanya sebatas itu,
sebatas pada pembicaraan debat, pembicaraaan hakikat, pembicaraan argumentasi
pemahaman,dan menceritakan serta mengsinkretis pemahaman menjadi yang bersolusi. Rugi
dalam artian bahwa mereka telah meninggalkan kebenaran yang bijak. Tapi itu hanya
pengingatan, dan tetap bahwa mereka tergantung diri mereka.
Untuk Carwaka dapat dilihat sebagai suatu filsafat bagi mereka yang menjadi budak2 dari jaman,
dari nafsu, dari ketidak benaran dan memuaskan diri mereka selagi mereka masih hidup dan
meninggalkan filsafati Tuhan itu sendiri.
2.Hedonism-Atheism- Agnotism
Tiga dari suatu istilah di atas, sangat mengarah dan dekat dengan Keagamaan, Religiusitas, dan
bahkan sebuah spiritualitas. Artinya adalah bahwa mereka menjadi seperti itu adalah apakah
karena kehendak jaman, apakah karena kekurang mengertian kritikal mereka, atau pula karena
kebencian mereka terhadap jaman itu sendiri.
Untuk yang memahami hedonism, adalah mereka yang bergerak persis sama sebagai carwaka
yang hanya hidup untuk memuaskan nafsu mereka keinginan mereka akan dunia ini sbagai
produk dari kemajuan jaman. DImanja mereka sampai mereka tidak ingat akan kemanusiaan
mereka, lupa bahwa mereka adalah manusia, mereka ada agen-agen kebenaran, mereka adalah
pejalan yang hampa, serta tunduk pada kedunguan indera mereka. Sehingga pada akhirnya
mereka jatuh ke lobang atheisme. Yaitu tidak percaya akan Tuhan dan kekuatan gaib angkasa
atau bumi. Mereka yang menjadi budak jaman, sebagai budak di neraka, sebagai budak yang
akan nanti mendapatkan penghukuman serta melupakan etika (susila) yang luhur dan jatuh
terjerembab pada lubang kegilaan. Intinya adalah menganggap tuhan telah mati, namun mereka
hanya tertawa tanpa tau maksudnya.
Menuju pemahaman Agnotis dan atheism, adalah haruslah melihat berbagai faktor2 yang
mengenalkan mereka pada filsafati tersebut. Maksdunya adalah apakah kerena dogmatisme yang
hanya mengumpulkan jenasah2 korban peperangan idelatis agamais atau bahkan peperangan
ekonomis yang secara langsung tidak langsung mennyebabkan kesenjangan atau juga kematian
yang tragis bagi mereka yang kurang akan produk primer, makanan (kelaparan),papan
(homeless), serta kegilaan lainnya.
3. Kapitalism (zionism),Sosialism,Nusantaraism.
Kemajuan jaman tidak lepas pula dari paham keberekonomian itu sendiri dalam menuju suatu
kesejahteraan secara kolektif yang dibatasi pemborderan wilayah negara atau NKRI. Maksudnya
adalah karakterisitik, idealistik dari kenusantaraan adalah sangat berbeda dengan dunia itu
sendiri. Nusantara yang plural, universal, serta ramah tamah akan menjadi hal yang akan
hilang lenyap sirna kertaning bumi..lenyap dimakan jaman atau apa pun itu, bahkan
domgmatisme keras kepala dari apa yang dikatakan produk2 lain.
Maksudnya islam nusantara berbeda dengan arab, hindu nusantara berbeda dengan india, kristen
nusantara berbeda dengan eropa, dan sebagainya. Itu lah yang membentuk karakteristik bangsa
dan kekhasan dari setiap suku ras di nusantara ini. Kekuasaan kapitalis adalah bisa, namun pada
akhirnya yang membobrokan alam dan lainnya adalah fakta, seperti lumpur lapindo, atau
pengucapan sumpah penggantungan diri yang jika dibiarkan atau pembiarannya mengakibatkan
amarah serta kemeledakan sabar akan arti revolusianism. Bahwa sukarno pun berkata Revolusi
belum selesai.
Ada yang ingat pancasila???????
Hanya sedikit yang tau bahwa sangat salah memaksakan agama pada butir2 sila pertama, sangat
salah bertindak biadab pada butir2 sila kedua, sangat salah mengagungkan golongan dibanding
negara seperti butir ketiga, atau kedunguan dan kebodohan wakil rakyat yang memperkaya diri
seperit butir ke keempat, dan kesederhanaan serta un materialism sila kelima.
Kelupaan itu mengakibatkan jatuhnya mereka ke lobang yang disebut lobang tidak diterima bumi
tidak dihargai langit (yg dekat dengan kafir), yang tidak mempercayai kebhinekaan tunggal ika
(dkat dngan nastika), yang mengabdi dan membudaki diri pada nafsu dunia (kapitalism)..seperti
carwaka
SAMPAIIII KAPAAAN?????????



Tinggalkan Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 20 Februari 2013 in agama, budaya, filosofi

Kaitkata: agama budi, agama itu bijaksana, agama kematian, agnotisme, atheis, carwaka, etika,
filsafat nusantara, hedonism menurut hindu, hindu kafir, islam, islam kafir, kafir, kafir hindu,
kafir islam, kafir menurut hindu, kafir sebenarnya, kapitalisme hindu, mahrifat, nastika,
nusantara jaya, pancasila, pantheisme
Mahrifat, Wahdatul Wujud, dan Kamoksan
09 Feb

Mendengar istilah Mahrifat, mungkin dikatakan suatu yang asing, namun pada dasarnya
adalah sesuatu yang menarik jika didekatkan pada sebuah agama monotheism (islam) sebagai
pemilik kata tersebut. Sebuah konsep unik pula tentang arti Manunggaling Kawulo Gusti sebagai
sebuah kalimat yang berasal dari istilah kejawen. Sebuah kemanunggalan dengan Gusti.
Tentunya dalam arti unik dan secara privasi dalam hubungannya ke pada Yang Penguasa alam
ini.
Dalam hubungannya dengan suatu tingkatan ilmu pemahaman dan pengabdian kepada Sang Ilah,
sesungguhnya mencapai suatu kata mahrifat dikatakan sebagai suatu ketersulitan tersendiri.
Dalam hal ini Ia setidaknya menapaki pada tingkatan-tingkatannya. Sebelum mencapai suatu
kata Mahrifat, maka paling tidakumat islam harus menjalani syariat, mengenal
tarikat,mendapatkan hakikat, kemudian menuju suatu kemahrifatan. Tingkat syariat adalah pada
suatu laku lahir termasuk pula pada tarikat. Syariat adalah laku dalam ritualnya serta larangan
dan suruhanNya, kemudian tarikat menuju suatu pemahaman tersendiri dan melakukan paham
syariat dalam kehidupan,termasuk juga wirid, zikir, dsb.
Suatu pemahaman yang terkadang kontradiktif jika mempertemukan seorang yang syariat, yang
kemudian bertemu seorang penekun mahrifat. Dan seringnya malah hal itu memberikan sebuah
konflik tersendiri. Seperti pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir yang memberikan
pemahaman tersendiri dimana syariat bertemu Mahrifat. Dan pula bagaimana Syeh jenar dalam
pemahamannya sendiri tidak dipahami oleh awam termasuk pula para wali songo yang notabene
sudah paham sekali tentang ajaran Islam. Tergambar pula bagaimana Al Hallaj menyebutkan
Anna Al-Haqq, yang berarti Akulah Kebenaran yang menuju pada suatu yang tidak diberikan
oleh pemahaman awam. Dalam artian bahwa paham Mahrifat atau yang dekat dengan sufistik
serta yang dikatakan Manunggal menjadi sesuatu yang tidak diberikan secara gamblang kepada
khalayak ramai.
Bagaimana mungkin Allah menjadi diri manusia, bagaimana mungkin Allah mau turun kepada
diri manusia,atau bahkan mampukah kau mencipta seperti layaknya Allah,itu yang mungkin
diberikan sangkaan yang tiada boleh Allah diganggu gugat sedemikian rupa. Islam dalam hal ini
tidak memberikan celah untuk menjadikan Allah sekutuNya kepada siapa pun. Jadi memang
dalam kenyataan, bahwa paham itu dirahasiakan bagi pemiliknya sendiri.Aliran-aliran yang
dekat dengan ini, adalah paham sufisme, yang bahkan beberapa berkata Sufi adalah islam yang
berbaju weda.
Dalam hal ini,Hindu sendiri adalah sebagai agama yang kaya akan pemahaman Hyang Agung.
Dalam sabdanya di Bhagawadgita menyebutkan,jalan manapun yang kau jalani untuk
menyembahKu, maka Aku akan terima. Di hindu tersendiri menetapkan ada empat jalan yang
memiliki konsep tersendiri. Bhakta, Karmin, Jnanin, Raja Marga. Terlepas dari cara-cara itu,
maka disadari atau tidak perjalanan memujaNya sebagai sebuat way of life. Kata-kata Aham
Brahman Asmi, atau Tat twam Asi, adalah kata-kata yang terbiasa di telinga serta di rasa
seorang Hindu. Karena memang dalam prinsip Monisme atau Pantheism bahwa Brahman ada
dimana-mana, serta dimana-mana adalah brahman, menjadi suatu paham yang memberikan rasa
takjub dan termasuk mencintai kehidupan(alam semesta) itu sendiri. Dan tidak ada
ketidakberbolehan untuk mewujudkan Brahman itu sendiri, sebagai manifestasi Sang Acintya.
Dapat dikatakan sebuah kebebasan mewujudkan adalah tanda akan kedekatanNya kepada
pemelukNya itu sendiri. Tidak akan Ia marah atau merasa direndahkan karena mewujudkanNya.
Malah itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri jika bisa mewujudkanNya dan sekaligus
memujaNya.Satu hal yang pasti adalah, tidak ada WujudNya yang tidak dikenal atau bukan
manifestasinya, maksudnya adalah tidak ada dewa kerbau, jika pada perjalanan suatu evolusi
agama tidak ada namanya dewa berwujud kerbau. Shiva atau Ganesha menjadi suatu
manifest/bentukNya yang telah ada di sejarah itu sendiri
Hal ini tergambar pula pada kebijaksanaan pada penyebutanNya, yang tergambar pada Ekam
sat wiprah Bahuda Wadanti.Seorang bijak akan menyebutNya dengan berbagai nama, karena
keluasan dan kemahakuasaanNya itu. Seperti jika diterjemahkan secara fungsi, Dewa Siwa
dikatakan sebagai pelebur, penghukum, atau DewaYama sebagai Yang Maha Adil, atau Wisnu
sebagai pemelihara semesta. Kalau di Islam yang tidak diperkenankan mewujudkanNya,
sebenarnya telah memiliki 99 nama Allah (asma ul Husna) yang terdapat Al-Adl sebagai Allah
yang Maha Adil, Al Muaimin sebagai pemelihara, atau pula Al-Khalik yang merupakan nama
Allah sebagai Pencipta semesta. Memang tidak ada wujud dalam bentuk rupa, namun dalam
simbol-simbol huruf atau lukisan kaligrafi dapat diperlihatkan sebagai bentuk estetika akan
keagungan namaNya.
Dalam wilayah seni,maka seorang sufistik menemukan jalan yang dekat dengan berolah puisi
sebagai tunjuk atas kedekatanNya kepada Ilahiah. Sebagai contoh puisi berikut
Sabda Rasul Allah Nabi kamu
Limaa Allahi sekali waktu
Hamba dan Tuhan menjadi Satu
Inilah arif bernama tahu
Kata Bayazid terlalu ali
Subhani ma azama syani
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan Hayyu al-Baqi
Kata Mansur penghulu Asyiq
Ia itu juga empunya natiq
Kata siapa ia laiq
Mengatakan diri akulah khaliq
Dengarkan olehmu hai orang yang kamil
Jangan menunut ilmu yang batil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana al-Haq Manshur itulah washil
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua alam:
(http://syairsyiar.blogspot.com/2008/05/puisi-puisi-sufi-syeikh-hamzah-al.html)
Dalam hal ini pun dalam islam masih terjadi suatu perdebatan tersendiri akan kesesatan dari jalan
sufism, tassawuf. Namun sebuah puisi dengan keindahan serta estetikanya itu sendiri, memiliki
nilai mistik jika menghayatinya secara mendalam. Mungkin pula dalam way of life-nya bahwa
seorang sufi menunjukkan takjub serta sujudnya kepada kekuatan Agung yang benar adalah
dengan puisi itu sendiri. Agar itu sebagai keindahanNya dapat diterima oleh awam.
Jika dilihat pada Wadahtul wujud, maka mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya
Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian
sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta
beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah
Tuhan dan kita adalah bayangannya. Hal ini dikatakan jugasebagai Wahdatul Syuhud yang
berarti kita dan semua bagian dari dzat Tuhan /Allah. Hal ini sangat riskan jika didekatkan pada
suatu pemahaman awam tentang Tuhan itu sendiri. Pada suatu paham KeHinduan itu bisa
dikatakan sejalan dengan Atma tattwa, bahwa memang dalam setiap mahluk, manusia, bahkan
semesta merupakan Ia semata. Sang Brahman. Dan kita hanyalah dan sebagai percikan dari
Hyang Kuasa itu sendiri. Riskan dalam hal ini, pada manusia yang menganggap awam, hanya
akan menimbulkan suatu emosi dan dikatakan akan merendahkan kekuatan Agung itu sendiri.
Padahal untuk mengenal IA maka diperlukan sedikit ruang yang hanya Ia yang mampu dalam
mengalahkan musuh diri. Musuh dalam diri sendiri yang terlalu berprasangka dan bahkan
memenjarakan IA.
Memang dunia adalah sebuah dunia rwa bhineda, sebuah yin dan yang. Dan bagaimana seorang
bijak dapat memberikan dirinya sendiri suatu kemoksaan sebagai tujuan akhir di dunia atau di
alam nanti, adalah terlepasnya ia dari nafsu, lobha, keserakahan, dan tunduk pada sifatNya yang
sempurna untuk tidak mengidolakan keduniawian yang maya. Sebuah kebahagiaan dan
kesejahteraan batin yang akan muncul dan menjadikan keesokan hari sebuah karma baik untuk
dengan nyaman dijalani sebagai suatu kemenangan akan hidup itu sendiri.



Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
http://syairsyiar.blogspot.com/2008/05/puisi-puisi-sufi-syeikh-hamzah-al.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Sufism

2 Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 9 Februari 2013 in agama, doa, filosofi

Kaitkata: asma ul husna, bhineka tunggal ika, ekam eva adityam brahman, ekam sat wiprah
bahuda wadanti, hindu, islam, mahrifat, manunggaling kawulo gusti, moksa, pantheisme, syeh
siti jenar, transenden, tuhan
Ego manusia yang memberi takdir kepada
manusia lainnya
30 Okt
Apa teriakan bermakna??
Di saat menyata pada emosi
Yang lebih besar dari takdir manusia itu sendiri..
Takdir sebagai mahluk budi dharma ???
-
Apa kau bisa membuat mereka yang telah tiada??
Apa kah akan kau katakan, ..ini air mani , mana telurnya??
Lalu siapa itu yang kau takdirkan, Mati??
Siapa yang menjamin engkau menjadi malaikat maut yang benar??
Lalu apa yakinmu jika itu menjadi pahala burukmu,
kemana kau mendapat tempat mengadu??
Mati itu tiada akan guna sesal.
Kembalkan mati itu saja?? bisa kah??
-
Emosi yang memBABI buta
Dan punggung itu masih ada di dirimu..
Bawa saja beban itu??
Toh kau sudah tahu sudah mendapat tempat di alam sana
abadikah??
-
Ya sudah lah,
terjadi terjadi ya begitulah.
terkadang tersenyum miris, melihat merasa
bahwa kengerian di alamNyaterngiang-ngiang-ngiang-ngiang-ngiang-ngiang


gwar

Tinggalkan Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 30 Oktober 2012 in agama, doa, filosofi

Kaitkata: etika, globalisme dan agama, hindu, imanen, kaliyuga, kerusuhan lampung,
pantheisme, puisi, puisi siva, sarasamuscaya, tri murti, tuhan
Pantheisme dalam Teologi Hindu
26 Jan
1. Latar Belakang
Cara memahami bagaimana Tuhan itu, sangatlah memiliki kesubjektifan tersediri antara
masing-masing penganut suatu agama. Seperti dalam analoginya bagaimana mengenal Tuhan
yang diistilahkan sebagai seekor gajah yang diteliti oleh tiga orang buta. Setiap orang buta
tersebut memeriksa bagian ekor, bagian telinga, serta pula bagian kakinya. Hal tersebut akan
juga menimbulkan pemahaman yang berbeda pada akhirnya bagaimana mendeskripsikan Tuhan
tersebut.
Seperti pula ketiga orang buta tersebut, yang menemukan persepsi Tuhan secara berbeda dengan
hasil yang berbeda pula, maka konsep tentang ketuhanan memiliki beberapa hasil pemahaman
yang berbeda. Di antaranya adalah paham monotheisme, politheisme, pantheisme, atau atheisme.
Paham-paham itu ada yang bertahan atau mengalami perubahan serta mulai berkembang sebagai
studi ilmu pengetahuan dan pemahaman spiritual yang sesuai dengan pemahaman jaman dewasa
ini.
Ketika melihat bahwa perkembangan jaman di masa sekarang, maka telah sampailah manusia
pada suatu masa yang perlu ditelaah lagi bagaimana penerapan konsep ketuhanan dalam agama
masing-masing. Berdasarkan sejarah telah banyak terlihat bagaimana pemahaman yang ada
(monotheisme), memiliki sejarah kelam dalam penerapan serta penyeberannya. Dapat dilihat
bagaimana agama abrahamik (yahudi, islam, Kristen) yang menaruh atau meletakkan Tuhan di
atas alam semesta dan memusatkan diri Tuhan sebagai Pencipta yang tunggal, yang berada di
luar universum. Keterbatasan ini dapat menimbulkan alam menjadi suatu ajang penguasaan dan
kehilangan kesuciannya.
Toynbee mengatakan, pemujaan terhadap Tuhan antropomorfik (monotheisme) menyebabkan
konflik dan perang. Pemujaan terhadap Tuhan monotheistik membuat para pemeluknya masing-
masing bermusuhan karena agama ini adalah ekpresi dari sifat mementingkan diri sendiri; dan
karena ego kolektif lebih berbahaya sebagai objek pemujaan dari pada ego individual.
Pada salah satu sejarah antara peperangan agama abrahamik, disebutkan bahwa kepercayaan
tunggal yang tiada terjamah dan suci di luar alam, yang tidak dapat disanggah kesuciannya dan
keagungannya, mengakibatkan jaman menjadi penuh darah serta ketidakadilan. Dapat dilihat
bagaimana Tuhan langit (sky god) yang sangat pencemburu tidak menginginkan umatnya untuk
bisa menganggap adanya Tuhan lain yang menyamai Tuhannya. Bahkan tanpa mau peduli
menghancurkan berhala-berhala yang dianggap suci dan menyatakan itu sebagai bukan hal yang
saleh dan benar sesuai Tuhan mereka.
Pada dewasa ini, kejadian perang agama telah sampai pada tahap yang mengguncang dunia.
Seperti pula yang terjadi pada peledakan gedung WTC di amerika. Hal tersebut telah menjadi
satu peperangan terhadap apa-apa yang disebut terorisme itu sendiri. Seperti juga yang terjadi di
Indonesia. Terjadi pengeboman malam natal pada tahun 2000 dan juga peristiwa bom Bali yang
membuat pemerintah menyadari bahwa teroris sudah ada di tengah kita.
Jadi apa yang menjadi suatu kekurangan di sana adalah bahwa monotheisme menunjukkan satu
ihwal Tuhan yang tidak bisa digugat atau dijamah kesucian serta apa-apa yang diturunkan oleh
Tuhan tersebut. Memandang hal tersebut maka hendaknya sebagai umat yang bangsa yang
menyondongkan diri atas sifat-sifat toleransi, alangkah baiknya jika paham-paham Ketuhanan
lain bisa disebutkan sebagai suatu pelengkap atas apa yang telah ada. Seperti suatu paham yang
disebut Pantheisme.
Hindu sebagai sebuah agama memiliki suatu pemahaman monotheisme. Hal itu tercantum juga
dalam istilah hindu yang melihat Tuhan sebagai Brahman yang tiada duanya. Istilah seperti
Ekam eva adityam brahman, Ekam sat wiprah bahuda wadanti, serta eko narayano na
dwityo asti kascit, adalah bentuk pemahaman Hindu yang menunjukkan bahwa Tuhan atau
Brahman sebagai bentuk yang satu dan tertinggi. Tetapi tidak tertutup kemungkinan akan bahwa
terdapat pemahaman Hindu tentang konsep keTuhanan dari sudut pandang lainnya. Seperti pula
pemahaman ketuhanan berdasarkan konsep pantheisme.
Keberagaman pemahaman keTuhanan dalam Hindu bukanlah suatu permasalahan. Seperti yang
disebutkan oleh R.C.Zaehner bahwa dalam agama Hindu tidak terdapat suatu pengekangan, dan
oleh karenanya, Hinduisme seperti mengajar kita dalam tradisi tunggalnya, bahwa banyak ragam
mistisisme yang dapat kita kumpulkan dari penampakan-penampakan yang harus
diinterpretasikan melawan teologi dogmatis yang terberi. Pengalaman mistik yang beragam itu
tentunya diinterpretasikan secara beragam, begitu juga tradisi Hindu itu sendiri.
Pantheisme adalah suatu paham yang menyebutkan semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah
semua. Jadi pantheisme menyebutkan bagaimana kita bisa sejajar dan sejalan dengan alam
sekitar serta bagaimana mahluk-mahluk dari ciptaanNya. Karena di sana pun ada Tuhan. Di
dalam Hindu hal ini berhubungan dengan filsafat Wyapi Wyapaka, Tat Twam Asi, atau pun
Aham Brahman Asmi.
Pantheisme sebagai istilah sebenarnya diperkenalkan oleh penulis Inggris John Toland pada
tahun 1705. Sedangkan istilah panenteisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1874, yang
berasal dari kata-kata Yunani pan-en-theos, artinya Semua dalam Tuhan. Tuhan masih
dipandang sebagai pencipta yang maha kuasa dan hakim personal, tetapi dia tidak lagi secara
keseluruhan terpisah dari ciptaannya. Bagian dari dirinya mengatasi ruang dan waktu, jadi dia
lebih besar dari Alam Semesta dan mendahuluinya. Tapi pada saat yang sama ia hadir dalam
seluruh semesta, dalam setiap atom dan setiap mahluk hidup. (Putra Ngakan,2008,69)
Dari latar belakang di atas maka dapat disebutkan beberapa rumusan masalah, yaitu. Bagaimana
konsep pemahaman pantheisme dalam hindu, bagaimana implementasi pemahaman pantheisme
tersebut serta bagaimana manfaat dari pemahaman pantheisme tersebut.
2. Keberadaan Pantheisme dalam Teologi Hindu.
Panteisme atau pantheisme (Yunani: ( pan ) = semua dan ( theos ) = Tuhan)
secara harafiah artinya adalah Tuhan adalah Semuanya dan Semua adalah Tuhan. Ini
merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang
mencakup semuanya; atau bahwa Alam Semesta, atau alam, dan Tuhan adalah sama. Definisi
yang lebih mendetail cenderung menekankan gagasan bahwa hukum alam, Keadaan, dan Alam
Semesta (jumlah total dari semuanya adalah dan akan selalu) diwakili atau dipersonifikasikan
dalam prinsip teologis Tuhan atau Dewa yang abstrak.(wikipedia).
Di dalam filsafat Ketuhanan, pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa dapat dijumpai beraneka
ragam, sebagai berikut :
1. Animisme : Keyakinan akan adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula.
2. Dinamisme : Keyakinan tterhadap adanya kekuatan-kekuatan alam
3. Totemisme : Keyakinan akan adanya binatang keramat, yang sangat dihormati.
4. Polytheisme : keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan.
5. Natural Polytheisme : keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai penguasa
berbagai aspek alam.
6. Henotheisme : Keyakinan terhadap adanya dewa tertinggi pada suatu masa akan
digantikan oleh dewa yang lain.
7. Pantheisme : Keyakinan bahwa di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam
digambarkan dikuasai oleh Tuhan.
8. Monotheisme : Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan yang satu).
9. Monisme : Keyakinan terhadap Keesaan Tuhan yang Maha Esa merupakan hakekat alam
semesta.(Titib, 2003, 31).
Jadi dijelaskan di atas bagaimana penjelasan atas paham ketuhanan pantheisme. Menurut Loeis
Leahy, SJ, (Ngakan Putu, 2008, 69) menyebutkan ada lima sumber pantheisme, tetapi dikutip
dua saja karena mewakili yaitu :
1. Tiap keragaman (multiplisitas ) sejatinya nampak sebagai sama sekali tidak dipahami,
oleh karena itu tidak bersifat nyata. Roh mencari kesatuan, dan tidak menemukan
ketenangan sebelum ia berhasil menundukkan keragaman itu ke dalam kesatuan. Bukan
saja filasafat menyatakannya; kegiatan ilmiah pun menyatakannya. Parmenides
berpandapat : Agar dua mahluk (ada) bisa betul-betul secara memadai berbeda, mereka
haruslah berbeda satu sama lain dari pihak adanya sendiri. Tetapi itu mustahil, sebab
ada (being) tidak dapat dibedakan, baik oleh dirinya sendiri, sebab yang sama tidak
dapat membedakan diri dengan hal yang sama. Ada adalah kesatuan hal-hal; maupun
oleh hal lain, sebab di luar ada tidak ada sesuatu pun. Jadi haruslah pada hakekatnya
hanya adayang sama dalam segala hal.
2. Ketidak-terbatasan Tuhan. Bila Tuhan tidak terbatas ia mencakup semuanya di dalam
dirinya, sehingga tidak ada satu aspek pun dan satu modus ada pun yang tidak terdapat
di dalamNya. Bila demikian itulah halnya, bagaimana Ia bisa berbeda dari hal-hal lain
secara radikal? Bila Tuhan adalah Ada yang Menyeluruh, tidak mungkin ada sesuatu di
luar Dia. Bila sesuatu ada sesungguhnya di luar Dia, berarti Dia terbatas karenanya. Maka
haruslah disimpulkan bahwa Tuhan tidak secara nyata dan radikal berbeda dari hal-hal
yang lain.
Pantheisme; berasal dari kata pan yang berarti semuanya dan theo yang berarti Tuhan;
adalah keyakinan agama atau teori filsafat bahwa Tuhan dan alam identik (secara implisit
menolak monotheisme satu Tuhan berpribadi dan menjauhkan diri dari ciptaan); doktrin bahwa
Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan. Atau doktrin bahwa alam semesta
dipandang secara satu keseluruhan adalah Tuhan dan, atau, sebaliknya, bahwa tidak ada Tuhan
kecuali substansi, kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang dikombinasikan yang
dimanifestasikan di dalam semesta yang ada.(Ngakan putu, 2008, 65).
Pengertian ketuhanan dalam hindu adalah bagaimana cara hindu memandang wujud Tuhan itu
sendiri. Maka keberadaan Tuhan atau Brahman dalam agama Hindu adalah yang berwujud dan
yang tidak berwujud. Tuhan dalam agama Hindu terutama di Bali disebutkan sebagai Sang
Hyang Widhi yang berarti Sang Pencipta atau penguasa hukum dan pengendali (Titib, 14, 2003).
Timbul pertanyaan apakah brahma atau siva sama dengan sang hyang widhi? Pertanyaan tersebut
dapat dijawab melalui sloka ini :

Indram mitram varunam agnim ahur
Atho divyah sa suparno garutman
Ekam sadvipra bahudavadhanty
Agnim yamam matarisvanam ahuh (Reg weda I.164.46)
Mereka yang menyebut-Nya dengan Indra, mitra, varuna, dan agni, Ia yang bersayap keemasan
Garuda, Ia adalah Esa, para maharsi (viprah) memberinya banyak nama, mereka menyebut Indra,
Yama, Matarisvan.
Jadi dengan itu bisa dikatakan bahwa Tuhan itu esa dan orang bijak menyebutNya dengan
banyak nama yang indah. Tuhan yang mencipta alam semesta itu tidak berwujud (impersonal
god). Namun pada saat Sang Hyang Widhi menerima persembahan, maka Ia berwujud sebagai
personifikasiNya. Brahma, Wisnu, Siwa sebagai suatu kesatuan Tri Murti yang diwujudkan
dalam alam pikiran.
Dalam agama lainnya ada arah perkembangan antara bahwa proses agama itu adalah dari
politheisme, monotheisme, dan menuju pantheisme. Lalu kembali lagi menjadi politheisme
seperti sejarah-sejarah dari agamab dapat dilihat sebagai berikut:
Tuhan agama Yahudi disebut Yahweh. Pada mulanya Yahweh adalah ajudan dewa perang yang
sangat buas. Yahweh bukanlah dewa asli orang Yahudi. Ia berasal dari suku bangsa Midian dan
oleh Moses dimasukkan dalam jajaran dewa-dewa orang Yahudi. Hampir lima abad lamanya
Yahweh hanya mendapat kedudukan yang tidak penting. Selama lima abad itu Yahweh pernah
digabung atau dikawinkan dengan dewa atau dewi Yahudi yang lain. Setelah bergulat selama
lima ratus tahun, akhirnya Yahweh dapat mengalahkan dewa-dewa lain dan menjadi Dewa
Tertinggi atau Tuhan satu-satunya.
Dari hanya ajudan dewa perang menjadi Tuhan satu-satunya, Yahweh telah melakukan
perjuangan keras. Artinya para pengikut Yahweh telah melakukan pengucilan, pengusiran dan
pembunuhan terhadap pengikut-pengikut dewa-dewa Yahudi lainnya. Dan pembakaran terhadap
kuil-kuil dewa-dewa lainnya. Monotheisme Yahudi memang ditegakkan melalui jalan berdarah.
Sekalipun agama Yahudi telah menetapkan Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan, tapi Torah,
kitab suci mereka masih mempercayai banyak dewa.
Agama Kristen pada mulanya hanyalah satu sekte kecil dari agama Yahudi. Yesus Kristus,
pendiri agama Kristen pada mulanya adalah seorang guru agama yang mengajar secara
berkeliling sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang Yahudi. Karena Yesus banyak
mengeritik praktek-praktek agama Yahudi pada jamannya, maka para pemuka Yahudi
bekerjasama dengan penguasa Romawi yang menjajah negeri Israel, bersekongkol untuk
menghukum mati Yesus dikayu salib. Ajaran-ajaran Yesus dianggap bidaah, atau sesat.
Berkat kegigihan para murid Yesus, sekte kecil yang bergerak secara tersembunyi ini kemudian
berkembang menjasi agama tersendiri, yaitu agama Kristen. Para pemeluk agama baru ini
enggan mengakui Yahweh sebagai Tuhan mereka. Mereka menetapkan konsep ketuhanannya
sendiri, yang disebut Trinitas, yaitu Roh Kudus, Tuhan Bapa dan Tuhan Anak yaitu Yesus.
Penetapan konsep Trinitas ini dilakukan dalam beberapa kali musyawarah antara para pemuka
gereja yang berbeda pendapat. Setelah melalui proses panjang, hampir 450 tahun, konsep
Trinitas ini disepakati
Setelah berabad-abad lamanya orang Yahudi menganut monotheisme (mengakui Yahweh
sebagai satu-satunya Tuhan), dan hampir 200 tahun setelah agama Kristen mantap dengan
konsep Trinitasnya, bangsa Arab masih menyembah banyak dewa. Di antara dewa-dewa Arab itu
yang banyak dipuja adalah Al-Lah, dewa kemakmuran, disebut juga dewa air karena dipercaya
memberi hujan dan air bagi bagi orang-orang Arab. Dewa-dewa Arab yang lain adalah Al-
Rahman (pengasih), Al-Rahim (selamanya pengasih), Al Malik (raja), Dewi-dewi Arab adalah
Anat, Maniat dan Ujja. Mereka bertiga adalah putri Al-Lah. ***)
Pada abad 6 M, Mohammad menurut keyakinan Islam, karena perintah Allah mengajak
orang-orang Arab hanya menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Tapi ajakan ini tidak
diterima oleh mayoritas orang Arab, terutama suku Quraish. Setelah melalui perjuangan keras,
antara lain dengan konflik- konflik bersenjata antara pengikut dan penentang Mohammad,
akhirnya pengikut Mohammad menang. Dan Allah diakui sebagai satu-satunya Tuhan oleh
seluruh bangsa Arab. Demikianlah dari jasirah Arab ini agama Islam berkembang. Dan Islam
menganut monotheisme yang sangat ketat. Tiada Tuhan selain Allah, demikian keyakinan Islam.
Namun Allah memiliki 99 (sembilan puluh sembilan) nama (Asmaul Husna). Nama-nama itu,
disamping Allah antara lain Al-Rahman, Al-Rahim, Al-Malik, yang artinya sama dengan nama
dewa-dewa di atas. Allah juga bernama Al-Haqq (Kebenaran), Al Qahtar (yang mendominasi
dan mematahkan punggung musuh-musuhNya), Al-Muntaqinu (yang memberi siksaan),
Assaburru (yang maha penyabar). Prinsip Ketuhanan dalam agama Islam disebut Tawhid yang
secara harfiah berarti menyatukan atau Mengesakan atau mempersatukan.
Jika memang itu adalah suatu proses, maka dalam peradaban sekarang ini terdapat suatu
pemahaman yang mulai berkembang. Yaitu paham pantheisme dalam beragama. Paham
pantheisme yang terdapat dalam hindu dimana alam(semua) adalah Tuhan atau Tuhan adalah
semua dapat dilihat dari pemahaman filsafat Tat Twam Asi, Wyapi Wyapaka, Aham Bramman
Asmi.
Paham ketuhanan pantheisme dapat dijelaskan atau dilihat pada sloka-sloka berikut:

Bhagawadgita XI.40.
Namah puras tas artha prstha taste
Mamostu te sarvata eva sarva
Ananta vi rya mitavikramastvam
Sarvam samapnosi sarvah.
Artinya : Hormat pada-Mu pada semua sisi, O Tuhan. Engkau adalah semua yang ada, tak
terbatas dalam kekuatan, tak terbatas dalam keperkasaan. Karena itu engkau adalah semua itu.

Svestasvara Upanishad II.17
Yo devognayu yopsu, yo visvam bhuvanama visesa,
Yo asadishu yp vanaspatisu, tasmai devaya namo namah.
Artinya : Sujud pada Tuhan yang berada dalam api, yang ada dalam air yang meresapi seluruh
alam semesta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan yang ada dalam pohon-pohon kayu.

1. 3. Implementasi dan Manfaat Pantheisme dalam kehidupan masyarakat.
Implementasi dalam paham pantheisme sebenarnya adalah menanggulangi berbagai ekslusifitas
agama serta paham yang buta terhadap Tuhan yang satu dan dibela mati-matian. Ini sangat
berpengaruh pada kehidupan dan sosialitas di masyarakat, serta pula bagaimana kehidupan
bernegara dan berbangsa.
Dalam rangka mengeleminasi segala permasalahan yang mengarah kepada disharmonisasi dan
disintegrasi, kiranya diperlukan revitalisasi terhadap tafsir ajaran Agama agar tetap eksis dan
bermakna di tengah tengah kehidupan global dewasa ini, selanjutnya diaktualisasikan dalam
kehidupan nyata sehari hari secara proporsional, paling tidak menyangkut dua hal yaitu :
1. Keimanan kepada yang Absolut dengan segala sifat keabsolutan-Nya ( terkait dengan nilai
nilai spiritual yang harus dan wajib diamalkan ).
2. Pengamalan nilai nilai yang bersifat munden , keduniawian untuk mengatur kehidupan
bersama, menyangkut masalah moral dan etik.
Berkaitan dengan keimanan , Agama Hindu mengajarkan Panca Sraddha ( Puniatmaja : 1971
) yaitu lima dasar keyakinan yang meliputi keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (
Brahman ), keyakinan pada Jiwa Sejati ( Atman ), keyakinan pada hukum karma ( Karmaphala ),
keyakinan pada penjelmaan kembali ( Punarbhava ), dan keyakinan pada pembebasan dari
penjelmaan ( Moksa ).
Konsep Hindu tentang Tuhan, lebih jauh dijelaskan oleh Visvanathan (2000 : 28 ) yang
didasarkan pada Veda adalah bahwa :
1. Semua datang dari Satu Itu yang tidak dapat didefinisikan disebut Brahman yang
kekal abadi ( monisme ).
2. Segala sesuatu datang dari Itu , maka semua eksistensi adalah baik dan suci (
pantheisme ).
3. Hanya ada satu Tuhan, Ekam Sat ( monotheisme ).
4. Semua dari kita adalah Dewa Dewa, Jivi sebagai pancaran sinar suci immanen ( dvaita ).
5. Mencari Tuhan adalah seperti sesendok garam mencari dasar samudera. Pada saat garam itu
menyentuh permukaan samudera maka ia menjadi bagian yang tak terpisahkan ( Visistadvaita ).
Konsep tentang Atman sampai dengan Moksa dapat dijelaskan sebagai berikut :
Atman adalah penyebab segala sesuatu itu hidup. Ia adalah sinar Brahman Yang Esa. Ia berada
didalam setiap makhluk dan juga berada di luar Tat Tvam Asi ( Itu adalah Engkau, Dia
adalah Kamu ). Ketika berada didalam tubuh dia disebut Jivi atau Jiwa. Ketika tubuh ini
ditinggalkan maka tubuh ini mati dan menjadi hancur, namun Atman tetap kekal ( Katha
Upanisad I.2.18 dan II.2.4 ). Sang Jiwa yang terbungkus dalam Roh pergi membawa kesan
karma / perbuatan selama ia berada dalam tubuh yang tidak kekal. Segala bentuk perbuatan atau
karmanya selama menghuni tubuh, akan memperoleh pahala yang setimpal dan sang Jiwa/Roh
yang masih terikat oleh dunia maya akan mencari badan yang baru atau lahir kembali yang
disebut Punarbhava. Tetapi apabila Sang Jiwa selama menghuni badan terbebas dari belenggu
dunia maya, ia melihat semua makhluk ada pada dirinya dan dirinya berada pada semua makhluk
serta tiada lagi rahasia yang tersembunyi ( Isa Upanisad 6 ), maka Sang Jiwa mencapai identitas
Atman yang suci, menemukan kesadaran yang tak terbatas dan menyatu dengan Brahman.
Bagaikan lampu yang memperlihatkan sinar yang dapat pergi jauh diluar batas materialnya dan
memproklamirkan hubungan persaudaraannya dengan matahari. Itulah cita cita akhir dari
kehidupan, mencapai ananda rupam , wujud kebahagiaan kekal, terbebas dari suka duka
yang disebut Moksa.
Demikian ajaran Panca Sraddha merupakan nilai, norma, bahkan sebagai hukum yang absolut
karena berasal dari Brahman Yang Esa dan Abadi.
Untuk menetapi Sraddha tersebut umat Hindu mengamalkannya berdasarkan petunjuk Atharva
Veda XII.1.1 yaitu dengan memantapkan keyakinan pada kebenaran Tuhan ( Satyam ), mentaati
hukum suci-Nya ( Rtam ), melakukan penyucian diri ( Diksa ), pengendalian diri terhadap nafsu
duniawi ( Tapa ), selalu berdoa memohon pencerahan ( Brahma ) dan melakukan korban suci
untuk keselamatan dan kebahagiaan makhluk ( Yajna ). Aktualisasi pengamalannya bersifat
relatif, sesuai desa kala patra ( tempat waktu kondisi ) sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya benturan / disharmoni, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat yang
heterogen ( bhineka ) ini.
Agar pengamalannya tidak menyimpang ( sesat ) dari ajaran Veda maka perlu dipedomani ajaran
Dharma Siddhyartha sebagai mana tercantum di dalam Veda Smrti VII.10 yang memuat lima
aspek yang dijadikan dasar pertimbangan dalam menuangkan konsep ataupun bentuk amalan
yang akan dilakukan, yaitu:
1. Iksa adalah hakikat tujuan dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan.
2. Sakti adalah kesadaran kemampuan fikir dan fisik materiil untuk mendukung suatu kegiatan.
3. Desa adalah tempat kegiatan atau lingkungan kondusif yang dapat memperlancar suatu
kegiatan.
4. Kala adalah waktu atau masa di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
5. Tattva adalah dasar keyakinan atau falsafah yang bersumber dari nilai suci Veda.
Keseluruhan ide pengamalan ajaran Agama Hindu baik absolutisme maupun relativisme, dapat
dirumuskan dalam satu konsep yang disebut Tri Hita Karana , yang mencakup hubungan
manusia dengan Sang Pencipta dalam wujud bhakti yang murni; hubungan manusia dengan
Negara, dengan umat beragama, maupun dengan sesama manusia; hubungan manusia dengan
lingkungan secara harmoni.
1. Hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa Tuhan adalah
kebenaran pengetahuan yang tak terbatas ( Sat Citta Ananda Brahman ) dan Ia adalah dari mana
semua ini berasal ( Janmadhyasya yatah ) , sebagaimana diungkapkan didalam kitab Maha
Nirvana Tantra dan Brahma Sutra I.1.2. Sehubungan dengan itu kitab suci Bhagawad Gita
adhyaya XI sloka 55 dan XVIII.65 menyatakan :
Yang bekerja bagi-Ku, menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi,
berbakti kepada-Ku tanpa kepentingan pribadi,tiada bermusuhan terhadap segala insani,
dialah yang datang kepada-Ku, oh Pandawa
Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku,
bersujud pada-Ku, sembahlah Aku
engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji
setulusnya padamu sebab engkau Ku-kasihi
1. Hubungan manusia / warganegara dengan Negara, dan sesama umat beragama, maupun
dengan sesama manusia hendaknya mengarah pada kerukunan, motivasi juang, persatuan
dan kesatuan, baik dalam cita cita, pikiran maupun sikap, guna menghadapi masalah
bangsa dan negara menuju kebahagiaan serta perdamaian yang kekal.
a. Tentang hubungan warganegara terhadap Negara dijelaskan dalam kitab suci Yajur Veda
IX.22 dan 23, Atharva Veda XII.1.2 serta Veda Smrti VII.13, 14 dan 18 yang terjemahannya
berbunyi sebagai berikut :
Kami menghormati Ibu Pertiwi. ( Yaj.V. IX.22 )
Semoga kami waspada menjaga dan melindungi bangsa dan negara kami. ( Yaj.V. IX.23 )
Semoga kami dapat berkorban untuk kemuliaan bangsa dan negara kami ( Ath.V. XII.1.2 )
Karena itu hendaknya jangan seorangpun melanggar undang undang yang dikeluarkan oleh
pimpinan negara, baik karena menguntungkan seseorang maupun yang merugikan pihak yang
tidak menghendakinya
( V.Smrti. VII.13 )
Demi untuk itu, Tuhan telah menciptakan Dharma, pelindung semua makhluk, penjelmaannya
dalam wujud undang undang merupakan bentuk kejayaan Brahman Yang Esa ( V.Smrti
VII.14 ).
Sangsi hukum itu memerintah semua makhluk, hukum itu yang melindungi mereka, hukum
yang berjaga selagi orang tidur, orang orang bijaksana menyamakannya dengan Dharma (
V.Smrti VII.18 ).
b. Hubungan dengan sesama umat beragama, umat Hindu hendaknya percaya bahwa setiap
agama mengandung nilai suci dan jalan menuju Kebenaran Tuhan ,sebagaimana disuratkan
dalam Kitab suci Pancamo Veda IV.11 dan VII.21, 22 yang terjemahannya berbunyi sebagai
berikut :
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana mana semua
mereka menuju jalan-Ku, oh Parta
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan
kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera
Berpegang teguh pada kepercayaan itu, mereka berbakti pada kepercayaan itu pula dan dari
baktinya itu mereka memperoleh pahala keuntungan yang sebenarnya dikabulkan oleh-Ku
c. Hubungan manusia dengan sesama warga bangsa bahkan seluruh manusia dijelaskan dalam
Kitab suci Rg Veda X.191.2,3 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut :
Wahai manusia, berjalanlah kamu seiring, berbicara bersama dan berfikirlah kearah yang sama,
seperti para Deva dahulu membagi tugas mereka, begitulah mestinya engkau menggunakan
hakmu.
Berkumpullah bersama, berfikir kearah satu tujuan yang sama, seperti yang telah Aku gariskan.
Samakan hatimu dan satukan pikiranmu, agar engkau dapat mencapai tujuan hidup bersama dan
bahagia.
1. Selanjutnya mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungan hidupnya ( alam
semesta ini ) hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa seluruh alam ini berasal dari
Tuhan dan diberi makan oleh Tuhan Yang Maha Sempurna sebagaimana dinyatakan
dalam Atharwa Veda X.8.29 dengan kalimat : Purnat purnam udacati purnanena
vasisyate . Demikianlah manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan suatu
kesatuan dengan alam semesta ini didalam Tuhan. Kitab suci Isa Upanisad sloka 6
menyatakan :
Yas tu sarvani bhutani atmanyevanupa?yati
sarva bhutesu catmanam tato na vijugupsate.
Artinya:
Dia yang melihat semua mahluk pada dirinya (Atman) dan dirinya (Atman) sendiri pada semua
mahluk, Dia tidak lagi melihat adanya sesuatu perbedaaan dengan yang lain.
Kebenaran Tuhan akan dimunculkan kepadanya bila dia mengerti kebenaran pada mahluk lain
sesuai entitasnya, sehingga dengan kesadaran itu dia siap mengorbankan dirinya sendiri melalui
cinta kasih yang tulus. Bila manusia telah diliputi sinar cinta kasih maka aspek negatif dari
keterpisahan dirinya dengan orang ataupun mahluk lain, bukan lagi merupakan persaingan dan
konflik tetapi mengarah kepada simpati dan kerjasama yang harmonis. Simpati dan kerjasama
yang harmonis akan mewujudkan kerukunan sejati dan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah alam semesta yang maha luas ini.

Daftar pustaka
Amstrong, Karen. 1993. History of God. penerbit William Heinemaan, London.
Dana, I Nengah. 2001. Aktualisasi Ajaran Agama. Artikel di http://www.parisada.org/.
Keramas, Dewa Made. 2008. Filsafat Ilmu. Penerbit Paramita Surabaya.
Majid, Nurcholis. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban. Penerbit Paramadina, Jakarta
Mascaro Juan, Swami Harshananda, 2010. Upanisad Himalaya Jiwa. Putu Renny, Sang Ayu.
Penerjemah. Putra, Putu Ngakan. Editor. Penerbit Media Hindu.
Pudja, I Gede, 1999. Isa Upanisad.Cetakan Pertama. Paramita Surabaya.
Putra, Putu Ngakan, 2008. Tuhan Upanisad Menyelamatkan Masa Depan Manusia. Cetakan
Pertama. Penerbit Media Hindu.
Radhakrisnan, S, 1953. The Principal Upanisads. Yayasan Parijata.
Titib, I Made.2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Edisi Pertama. Paramita
Surabaya.
Zaehner, R.C. 1994. Hindu and Muslim Mysticism. Suhadi, Penerjemah. Mustafid, Fuad, editor.
LkiS Yogyakarta




Tinggalkan Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 26 Januari 2012 in agama, filosofi

Kaitkata: filsafat ilum, pantheisme, teologi, teologi hindu, upanishad
PantheismeImanen.coba resapi, benar damai..
27 Feb
Pantheisme dapat dikatakan sebagai suatu pemahaman dimana Tuhan meresapi segala
mahlukhal ini dapat dihubungkan pada sisi bagaimana membahas atman sebagai percikan dari
Tuhan
Yapz atman adalah memang sebagai bagian dari Tuhanjadi ada Tuhan dalam diri setiap
mahluk hidup, yang menghidupi dan menjadikan mahluk hidup itu berhayat..Jika sebenarnya
diresapi, manusia yang menyayangi Tuhannya (beragama) tentu pula menyayangi mahluk hidup
tersebutkarena dalam penalarannya ada percikan Tuhan dalam diri mahluk hidup
itumenyakitinya??berarti menyakiti Tuhan itu sendiri..hmmmm
Imanen dimana Tuhan adalah hadir dalam diri setiap mahluk, tiada jauh kok..dekat
sedekatnyadisamping kiri, disamping kananseseorang anak ayah adalah terhadiri Tuhan
disanatahu yang dilakukan adalah menyayangi dan mencintai itu gampangnya.jika paling
tidak separuh lebih satu dari manusia melakukannyahmmmmdamai bukan suatu impian
pertanyaan yang terbersit.baru saja adalah jadi semua adalah Tuhan dongTuhan ada dimana-
mana mungkin benar, namun apakah kita menerapkan sembah kepada setiap mahluk hidup?jadi
kita menyembah belalang, singa, manusiakembali ke jaman itu yaa
waaah.
di saat semua rasa menjadi suatu ego tanpa cinta
di saat semua rahasia menjadi asa yang tanpa kasih
mungkin di saat itu pensifatan(AUM) hilang menuju
Transendensi.dalam hening..
salam gwar..

Tinggalkan Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 27 Februari 2011 in agama, filosofi

Kaitkata: atman, imanen, pantheisme, transenden
Setiap agama adalah berbedathats it..!!
25 Feb
Apa yang terpikirkan, pada dahulu..mencari suatu persamaan dalam suatu yang sesungguhnya
adalah jalan-jalan tersendiri..
Memang di suatu bahasan-bahasan adalah suatu persamaan yang mungkin memiripkan apa yang
tersirat atau tersurat
Namun apa yang terasakan jika suatu keyakinan yang dalam akan terusik dengan
tersendirinya..tidaklah suatu bijak jika itu sampai menjadi suatu keterjadian
Imanen transendenPantheis monotheis.hhhmmm..kembalikan pada ekam sat wiprah bahuda
wadanti
Brahman, Atman, Kharmapala, Punarbhawa, Moksa..thats it!!!
Dan kembali ke Bhineka Tunggal Ika(Tan Hana DHarma Mangrwa)
Dharma tidak ada yang kedua
BTW apakah PELANGI itu INDAH..Perbedaan itu indah
salam
gwar..

Tinggalkan Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 25 Februari 2011 in agama, filosofi

Kaitkata: agama itu berbeda, bhineka tunggal ika, dharma, pantheisme, Rwa Bhineda, tuhan
Sajak Monotheism dan Pantheism..
11 Jul
marilah katakan Ia adalah satu sahaja
maka marilah katakan Ia milik sesuatu sahaja
dan rebahkan diri pada suatu keseimbangan makna
dan sikap-sikap cinta melebihkanNya
terasa bagai suatu kebanggan akan Ia yang hanya sendiri sahaja
langitanayahandaIa di atas sana
bagai para pemberani yang menghendaki kedaulatan atas Ia
hanyalah satu sahaja di muka dunia
junjung segalaNya pada suatu laksa
hancurkan yang lecehkan sang WIRA CHARIta
penghancuran segala penghancuran
hmmm harumkan (kah)IA
namun sampai kapan pemusnahan bergantung pada suatu pengikut
dan dogma-dogma pembenaran
dan di satu sisi
panthenugraha wacana
hendaki Ia menghilang bagai suatu rahasia menggenap asa
dan suatu waktu pembebasan akan merahga jiwa
bumidogma bumi
di setiap garam2 laut adaNya..
di setiap butir dan bulir air adaNya..
di setiap renyah rampaian pasir adaNya
di setiap lelaku dan kiasan cerita dunia ada Nya
maka siapa di atas sana..??
mengapa kau bela..dan kami berbela sungkawa
aaah..biarkan suatu karma berjalan pada suatu rahga dunia kita.
toh biarkan sahaja
kita ada dunia yang harus diberikan segelas air merahga.
semua punya segala peran-peran tertakdirkan
biarkan-biarkanresapkan
cahaya kesunyatan..kesujatian
semua adalah kenyataan..
salam..
gwar
(upanishad pembebasan)
diambil dari sajak facebook karya penulis

6 Komentar
Posted by linggawardanasahajakers pada 11 Juli 2009 in filosofi

Kaitkata: hindu, monotheisme, pantheisme, upanishad
Search Word

Tulisan Teratas
o Jenis-jenis Pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra (Manu Smreti)
o Ganesha sebagai Manifestasi Tuhan ...
o Kegunaan mantra atau japa dalam bentuk psikologi pemantra..
o Mengendalikan Sad Ripu dengan Sarasamuscaya
o Memaknai Caru..
o Agama Damai di Masa Depan
o Zikir dalam islam adalah suatu jalan yang indah...
o Ahimsa tanpa kekerasan...
o Ngaben Massal dalam Konteks "Ajeg Bali".
o Perwujudan dan Sujud pada Suatu Kekuatan Agung Akhir Jaman "Kalvatar"..
Kategori
Arsip
o Oktober 2013 (3)
o September 2013 (1)
o Juni 2013 (1)
o Mei 2013 (1)
o Februari 2013 (5)
o Desember 2012 (2)
o November 2012 (4)
o Oktober 2012 (6)
o September 2012 (3)
o Agustus 2012 (1)
o Juni 2012 (2)
o Mei 2012 (1)
o April 2012 (1)
o Maret 2012 (1)
o Januari 2012 (3)
o Agustus 2011 (1)
o Juli 2011 (1)
o Juni 2011 (13)
o Mei 2011 (12)
o April 2011 (2)
o Februari 2011 (2)
o September 2010 (1)
o Juni 2010 (1)
o Mei 2010 (1)
o Januari 2010 (1)
o November 2009 (1)
o September 2009 (1)
o Agustus 2009 (2)
o Juli 2009 (12)
o Maret 2009 (1)
o Mei 2008 (4)
o Maret 2008 (11)
o Februari 2008 (2)
tags
agama itu bijaksana agnotisme ajeg bali akhir jaman arca asma ul husna atman bakti
bhagawadgita bhineka tunggal ika brahman butir pancasila cinta dharma ekonomi
etika fundamentalis agama globalisme dan agama hiburan hindu hitam ideologi
pancasila imanen islam japa kali yuga kaliyuga kalki karmaphala kekerasan agama
kiamat 2012 komunis mahrifat Manawa Dharmasastra mantra saraswati
manunggaling kawulo gusti mayavadi modernisme agama moksa negara
pancasila pantheisme pemahaman pancasila pralaya prana puisi puisi doa puisi
kemanusiaan puisi kematian puisi religius putih rajas Rwa Bhineda sad atatayi sad
ripu sang aku sarasamuscaya saraswati sattwam sattwam. rajas. tamas siwa siwa
brahma wisnu sloka korupsi spiritual sufi surga syeh siti jenar tamas teologi transenden tri
guna tri murti tuhan Upacara upanishad
Halaman
o Antologi Puisi..
o Buddhi Dharma.
o Kalvatar region..
o Penulis
o Tarot Reading
Kalender
November 2013
S S R K J S M
Okt
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30
Pemahaman..

MemaknaiNya..
Kehidupan yang berjalan pada titian dunia...
Mencoba siarkan arti-arti yang menelaah sinaran hati...
Menuju suatu pulau yang teryakini...
Menerawang apa sedalamnya rasa...
Pada kiasan-kiasan jiwa...
Memedomkan diri pada suatu hakikatan..
Keilahian melewati keinsanian..
SUatu pertanyaan menyatakan asa...
Sampai nanti suatu saat...
Berdiri tenang menunggu...
tanpa keraguan yang semu...
singkapkan sukma meruwat...
Persatuan...
Acintya...
salam..gwar..
Blogroll
o Blog DOngeng Budaya dari sahabat
o Linggawardanasahajakers!!
o Sajak-sajak terkait dari penulis
o WordPress.com
o WordPress.org

Blog pada WordPress.com. Tema: Choco oleh .css{mayo}.
Entri (RSS) dan Komentar (RSS)
Ikuti
Follow Beberapa Pemahaman Berkaca Rasa......
Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com
ewidya
Sabtu, 07 Januari 2012
kitab upanishad

KITAB UPANISHAD
Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang, upanisad yang tertua diantaranya
Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad, diperkirakan disusun pada abad ke delapan
sebelum masehi. Merujuk pada Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini, jumlah upanisad
yang ada sebanyak 900. Begitu pula Maharsi Patanjali menyatakan jumlah yang sama. Namun
saat ini kebanyakan sudah musnah seiring dengan waktu.
Kitab-kitab Upanisad diperkirakan muncul setelah kitab-kitab Brahmana yaitu sekitar
800 tahun sebelum Masehi. Jumlahnya amat banyak, lebih dari 200 judul, namun Muktika
Upanisad menerangkan jumlahnya 108 buah dan banyak di antaranya berasal dari jaman yang
tidak terlalu tua. Upanisad-Upanisad tua dan penting ialah:
Isa Upanisad
Kena Upanisad
Katha Upanisad
Prasna Upanisad
Mundaka Upanisad
Mandukya Upanisad
Taittiriya Upanisad
Aitareya Upanisad
Chandogya Upanisad
Brhadaranyaka Upanisad
Kausitaki Upanisad
Maitrayaniya Upanisad
SvetasvataraUpanishad


Kata Upanisad artinya duduk di bawah dekat guru. Kata ini erat hubungannya dengan
sakhas yaitu kelompok orang yang mempelajari Veda. Pada sakhas itu duduk beberapa murid
terpilih (dipilih berdasarkan kesetiannya pada guru dan kejujurannya) di bawah mengelilingi
seorang guru. Apa-apa yang diajarkan oleh guru tersebut kemudian dikumpulkan menjadi kitab
Upanisad. Karena sakhas itu banyak maka Upanisad itupun banyakpulajumlahnya.
Dari sakhas yang banyak jumlahnya itu sebagian besar lenyap dalam perjalanan jaman, dan
untuk masing-masing Veda tinggal memiliki beberapa sakhas dan Upanisad yang penting-
penting saja.

SWETA SWATARA UPANISAD
Kitab Swetaswatara adalah merupakan kitab Sruti yang tergolong pada kitab Taittiriya
pada Yajur Weda. Nama Sweswatara tidak jelas tetapi banyak para akhli Indologi berpendapat
bahwa nama ini adalah nama Maharsi yang menghimpun dan menyusunnya Sweta artinya putih
atau bersih atau suci. Aswa adalah indriya atau panca indra.
Melihat isinya dapat disimpulkan bahwa kitab Swetaswatara memusatkan pokok
bahasanya pada ajaran ketuhanan yang berusaha menjelaskan bahwa otensitas ajaran menurut
Weda adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penemuan dan penulisan kitab
Swetaswatara itu dimaksud untuk lebih menjelaskan dan menegaskan bahwa ajaran Weda adalah
bersifat Monothesitis.
Dalam menulis atau menyusun pokok-pokok penjelasan ajaran weda, terutama yang
bersumber dari Yajur Weda itu, Maharsi telah berusaha dengan secara sistim dan metodologinya
untuk memberi kejelasan tentang pengertian Tuhan yang didalam kitab itu lebih umum disebut
dengan gelar Brahman (n). apa yang dibahas meliputi mulai dari pengertian, sifat-sifatnya, cara
mencapai tujuan atau sebagai jalan agar sampai pada pengertian yang benar atau sebagai jalan
menuju Tuhan Yang Maha Esa. Masih banyak lagi yang dapat kita kemukakan yang tentunya
untuk memahami dan mengkajinya perlu membacanya dengan teliti baik terjemahan maupun
teksnya agar supaya dapat mengerti dengan jelas.
Oleh karena dasar bahasa mencakup masalah ajaran Ketuhanan, maka tidak jarang kalau
kitab Swetaswatara sering dijadikan sebagai bahan referensi sumber informasi yang amat penting
dalam mempelajari Theology Hindu Dharma, disamping berbagai kitab lainnya dalam
mempelajari filsafat Hindu. Dari dalam kitab ini pula kita mulai mendapat kejelasan pengertian
tidak saja mengenai arti Tuhan Yang Maha Esa itu saja tetapi juga tentang sifat pengertian
immanen dan transcenden yang pada dasarnya memang sangat sukar untuk dicerna dan
dimengerti oleh orang biasa. Demikian pula mengenai hakekat umum diterapkan oleh agama
Buddha sebagai jalan menuju pada kesempurnaan hidup manusia, baik rokhani maupun jasmani.
Kitab Swetaswatara Upanisad terbagi atas enam bab. Masing-masing bab terbagi atas
beberapa topic atau sub pokok bahasan yang umumnya merupakan syair-syair singkat saja.
Keseluruhan isinya terdiri atas 111 sair atau sloka yang tidak sama pula panjangnya. Adapun
keseluruhan isinya singkatnya adalah sebagai berikut :
Bab I terdiri atas 16 sloka atau sair
Bab II terdiri atas 17sloka atau sair
Bab III terdiri atas 21 sloka atau sair
Bab IV terdiri atas 22 sloka atau sair
Bab V terdiri atas 14 sloka atau sair, dan
Bab VI terdiri atas 23 sloka atau sair.
Dari daftar isi ini tampak bahwa Bab V merupakan bab terpendek, terdiri atas 14 sloka
sedangkan Bab VI merupakan bab terpanjang, terdiri atas 23 sloka. Melihat dari isinya maka
secara singkar garis besar pokok isi kitab Swetaswatara Upanisad ini dapat disimpulkan sebagai
berikut dibawah ini.
Bab I, yaitu yang merupakan bagian pertama dari kitab itu mencoba mengungkapkan
permasalahan pokok yang menjadi topik bahasan yang selalu dibahas dalam pondok-pondok
pasraman antara guru Brahmana yang dianggap akhli dengan para muridnya atau cantriknya
yang telah diinisiasi menjadi brahmacari. Pokok bahasan ini terutama menyangkut pemikiran-
pemikiran tentang pengertian mengenai hakekat Ketuhanan baik sebagai ajaran maupun sebagai
jalan yang didalam Weda pengertiannya belum dapat dipahami dengan jelas dan tegas. Sebagai
bahasan tentang hakekat itu maka para pengkaji memerlukan nama dan karena itu timbullah
pemberian nama mengenai hakekat itu, yaitu dengan nama atau gelar Brahman untuk
menamakan hakekat itu yang sekarang lebih kita kenal dengan nama Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai nama umum. Dengan demikian maka gelar Brahman pun maksudnya adalah sebagai
nama umum atau biasa yang harus dapat diterima atau sedikit-tidaknya bisa diterima secara
rasional. Oleh karena itu dipersoalkan pula apakah itu identik dengan pengertian Tuhan Yang
Maha Esa atau tidak.Ini satu pertanyaan yang dikemukakan dan harus dapat dijelaskan
berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada dalam Weda (mantra) sebagai pembuktian otentik.
Sebagai dasar dikemukakan bahwa hakekat Ketuhanan adalah dasar (sumber utama) atau
penyebab pertama yang adaNya tanpa ada yang mengadakan kecuali diriNya sendiri. Dia ada
melainkan sendiri dan sebagai sebab Ia disebut sebagai pemberi hidup yang menghidupkan
semua ciptaan ini, sebagai pencipta yang mengadakan seluruh alam semesta dengan segala isinya
dan lain-lain sebaginya menurut sifat dan nama sifat atau gelar yang diberikan kepadaNya oleh
manusia menurut bahasa manusia dengan sifat manusia yang menamakanNya.
Masalah kedua yang dipersoalkan adalah sifat hakekat itu sendiri yang bersifat relative
yang membedakanNya dari sifat-sifat keabsolutannya yang hakiki, seperti waktu, tempat dan
unsur elemen yang pada hakekatnya merupakan hakekat sifat phenomena dan impirisis. Oleh
karena masalahnya dianggap sangat sulit untuk dapat dipahami tanpa perenungan yang
mendalam maka sifat pengertian dan hubunan dasar pengertian berbagai phenomena itu tidak
mungkin dapat dipikirkan begitu saja tanpa perenungan yang mendalam dan dalam keheningan
bathin. Dengan diperlukannya perenunganyang mendalam serta keheningan bathin maka
dianggap perlu adanya satu metode pendekatan dalam perenungan itu yang melahirkan
pentingnya arti yoga-samadhi dimana bila yang penerapannya diikuti dengan keyakinan yang
mendalam (bhakti) maka pikiran tidak akan tergoyahkan dalam kontak hubungan kejiwaan itu.
Kontak kejiwaan ini merupakan bentuk Samadhi atau dhyana Samadhi dimana
melalui kekuatan penglihatan bathin akhirnya dapat diketahui berbagai hakekat yang berbeda-
beda dari yang satu dengan yang lain, seperti Dewa Sakti, Purusa, Prakrti (Pradhana), Tri Guna,
Maya sakti, dll. Demikian pula hakekat pengertian Iswara sebagai Atman atau Prakrti yang
diibaratkan sebagai roda (cakra) dalam dunia lami. Penggunanan roda (cakra) sebagai
perumpamaan tidak bertujuan mengidentifikasikan melainkan sekedar membantu orang awam
untuk memahamiNya. Ini berarti dari alam abstrak dibawa kealam nyata, dari alam numenal
kealam phenomenal.
Apa yang dikemukakan lebih jauh dalam Bab I adlaah mengenai tentang pentingnya
mengetahui Brahman karena dengan pengetahuan ini akan membawa pada keselamatan bersama
karena bersama-sama merasa sebagai satu persaudaraan dalam satu ikatan bathin dimana
Brahman sebagai dasarnya. Dari sloka 10 bab I dapat diketahui bahwa nama Brahma tidak
mutlak demikian karena Ia disebut pula dengan nama lain, misalnya, hara, yang artinya yang
dipertuan atau yang dijunjung atau penguasa.
Dengan dasar pengetahuan itu maka timbul satu masalah yang harus dapat dijelaskan,
yaitu, bagaimana menyadari hakekat yang bersifat numenal sebagai satu kebenaran mutlak
karena apa yang ada ini sesungguhnya tidak kekal. Untuk menjelaskan hal ini maka
Swetaswatara memberi keterangan dengan mempergunakan perumpamaan baru, yaitu, ibarat
sang pencari api (Agni), ia harus berusaha mendapatkannya dengan cara menggosok-gosokkan
dua batang kayu sampai keluar api. Hubungan antara dua potong kayu yang sama diibaratkan
sebagai lingga-yoni, yang melahirkan api setelah diusahakan dengan kekuatan atau sakti. Apa
yang dimaksud dengan kekuatan tenaga penggerak dalam hubungan ini adalah aksara OMKARA
yaitu suara AUM yang dikatakan apabila pengucapannya dengan benar dan penuh keyakinan,
tanpa henti-hentinya pada akhirnya akan mencapai titik puncak pada dhyanasamadhi waktu
melakukan yoga dimana akhirnya kekuatan itu mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan
apa yang dicari didalam hati atau pikiran, suatu bentuk tertentu yang merupakan hakekat yang
dicari-cari. Yang tampak kelihatan itulah yang diberi nama dengan nama Iswara atau Dewata
(Ista Dewata) sebagai Godhead. Hakekat itulah yang dicari dan yang tidak diketahui oleh orang
yang awidya, yang tidak berkeyakinan karena tidak yakin akan kebenaran itu sehingga mudah
putus asa dan gagal untuk mendapatkannya.
Adapun bab II, mencoba memberi penjelasan lebih lanjut tentang proses kejadian itu,
satu proses panjang dalam mewujudkan bentuk (rupa) yang tidak mempunyai wujud, proses
perubahan dari alam numenal kealam phenomenal, dari alam Sunya kealam nyata (bhawa). Sloka
1 memulai dengan pujian atau menghubungkan diri kepada yang tak nyata sebagai pemberi
inspirasi atau yang memberi rangsangan pada pikiran dimana sang Perangsang itu disebut
dengan nama Sawitri. Sawitri artinya yang memberi inspirasi dan sebagai alam phenomena
digambarkan sebagai Dewi Fajar disanjung dan dipuji pada setiap subuh. Dengan pengaruh
Sawitri, pengendali sang pikir maka tercapai satu bentuk atau rupa pada pikiran (manah)
sehingga melahirkan bentuk sinar atau cahaya atau yang memancarkan terang. Dari pancaran itu
melahirkan api. (Agni) yang kemudian diturunkan kedua (Prthiwi) yang lebih jauh kalau
dikembalikan kepada perumpamaan itu, api timbul dari gosokkan dua buah kayu kering. Tentang
sifat Sawitri dikemukakan bahwa beliau adalah penguasa alam surga (swarga) dan karena itu
ilmu agama mengajarkan tentang bentuk surga yang digambarkan sebagai tempat yang terang
dan didalam alam surga itu bersemayam semua para Dewa-dewa. Demikian pula makna doa atau
puji-pujian sebagai rangsangan dan merupakan petunjuk jalan yang akan mengantarkan manusia
kealam matahari.
Disamping hal-hal yang telah disebut diatas, bab ini juga menekankan akan pentingnya
memahami pokok-pokok pengertian yoga-semadhi yang kalau dibiasakan akan mempunyai
akibat baik karena bersifat ganda kepada yang mempraktekkannya, yaitu tidak saja membuka
jalan menuju kepada jalan yang benar, jalan yang diridhoi atau disebut sebagai jalan menuju
kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga akan membantu mereka untuk melihat serta
memahami hakekat Yang Maha Esa dengan segala nama sifatnya yang pluralistis dan berbeda
dari manusia biasa.
Bab III pada hakekatnya menjelaskan makna kasunyataan tertinggi. Apakah sebagai
Yang Maha Esa, hakekat yang kekal abadi, hakekat yang maha mengetahui serta menguasai
seluruh ciptaan ini. Ia juga diperkenalkan dengan gelar Rudra, gelar yang paling umum dijumpai
didalam Weda, jauh sebelum gelar Siswa diperkenalkan. Istilah Rudra sebagai gelar inipun
pengertiannya tidak berbeda dari apa yang telah diberikan sebelumnya melainkan karena sifat
kekuasaan yang hendak ditampilkan dilihat dari sifat lainnya Ia juga disebut Wiswa yang berarti
hakekat Yang Maha Asa dan merupakan prabhawa.
Salah satu topik terpenting dalam bab ini adalah hakekat pengertian Bhagawan dengan
mengibaratkannya sebagai diri kosmos dan didalam Rg weda semua dikenal dengan nama Wirat
Purusa atau Maha Purusa. Pengertian inilah yang membawa pada satu pengertian dasar tentang
pengindraan hakekat aspek transenden itu sebagai salah satu bentuk peningkatan pengertian dari
numenal atau phenomenal.
Bab IV intinya mencoba menjelaskan sifat kemajemukan Yang Maha Esa yang
tampaknya dalam dunia empirisis. Dengan demikian Ia adalah Agni, Ia adalah Aditya, Ia adalah
Wayu, Ia adalah Candra, Ia adalah Praja Pati, Ia adalah laki-laki Ia adalah istri atau wanita, dll.
Jadi yang berbeda-beda itu adalah bentuk nama sifat hakekat yang sama itu pula.
Bab V memulai menegaskan pengertian hakekat ke Esaan Tuhan Y.M.E yang diangap
sebagai bentuk immanen dan sebagai penguasa tertinggi. Dalam hal ini konsep Godhead atau
Dewata merupakan bentuk yang paling nyata dari sifat hakekat Tuhan Yang Maha Esa itu.
Bab VI mencoba merangkai hubungan pengertian antara bentuk immanen dengan bentuk
permanen atau transcenden sebagai satu bentuk proses kosmos. Hakekat sifat transcenden itu
digambarkan dengan satu keadaan tanpa cirri yang dapat membeda-bedakan, hakekat tanpa sifat
dan karena itu tiada nama dan tidak ada bnetuk yang dapat digambarkan pada tingkat ini. Bila
sampai pada tingkat pengertian itu maka tidak ada lagi keterikatan dan pada pikiran manusia
tidak ada keterkaitan kecuali kekaryaan yang selaras dengan hukum kasunyataan itu. Tingkat
inilah yang merupakan tingkat pencapaian moksa dan merupakan tujuan hidup teringgi dalam
ajaran Hindu Dharma.
Zaman Upanisad
Kehidupan Agama Hindu pada zaman ini bersumber pada ajaran-ajaran upanisad yang
tergolong sruti yang dijelaskan secara filosofis. Konsepsi panca sradha dijadikan titik tolak
pembahasan oleh para Arif bijaksana dan para Rsi melalui Upanisad, yaitu duduk didekat kaki
guru untuk mendengar wejangan-wejangan suci yang bersifat rahasia, ajaran-ajaran tersebut
diberikan kepada murid-muridnya yang setia dan patuh. Tempat berguru dilaksanakan dengan
sytem pasraman, yaitu terbatas dihutan, ajaran upanisad Rahasiopadesa atau Aranyaka yang
berarti ajaran rahasia yang ditulis dihutan. Mengenai inti pokok dan isi upanisad yang diberikan
adalah pembahasan hakekat panca sradha tattwa.
Jumlah semua kitab upanisad ada 108 dan tiap veda samhita mempunyai upanisad,
antara lain:
Rgveda, mempunyai Aitareya dan kausitaki upanisad.
Samaveda, mempunyai chandogya, kena dan maitreyi upanisad.
Yajurveda, mempunyai taittriya, svetas vatara, ksirika, brhadaranyakadan jabala upanisad.
Atharvaveda, mempunyai prasna, mandukya dan atharvasira upanisad.
Tuntunan-tuntunan keagamaan pada zaman upanisad diarahkan untuk meninggalkan
ikatan keduniawian dan kembali keasal sebagai tujuan akhir mencapai moksa untuk menyatu
dengan Brahman. System hidup kerohanian melalui pasraman-pasraman itu kemudian
menimbulkan munculnya berbagai aliran filsafat keagamaan yang masing-masing menunjukan
cara atau jalan untuk mencapai moksa itu.
a. Kelompok astika yang disebut juga Sad Darsana meliputi :
Nyaya
Vaisiseka
Mimamsa
Samkhya
Yoga
Vedanta
b. Kelompok nastika meliputi :
Budha
Carvaka
Jaina
Diposkan oleh ewidya di 20.21
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)




















Pengikut
Mengenai Saya

ewidya
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
2012 (4)
o Januari (4)
artikel tentang kecerdasan
kitab brahmana
kitab weda
kitab upanishad
Template Watermark. Gambar template oleh sasimoto. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai