Anda di halaman 1dari 2

Analisis kasus

Pada kasus ini, dokter yang berjaga di ruang IGD, telah melakukan prinsip good
clinical practice, karena dokter tersebut sudah melakukan tindakan dengan memeriksa
keadaan pasien, dan pemeriksaan CT scan untuk menegakkan diagnosa pasien. Dokter
tersebut juga telah melakukan pemasangan kateter urin untuk mengatasi perdarahan yang
mungkin terjadi. Setelah pemeriksaan tersebut di lakukanlah penegakkan diagnosa dan juga
pelaksanaan standar medis yang menunjang asas profesionalisme seorang dokter dimana
harus berpegangan kepada standar SOP (standart operating procedure).
Setelah itu, dokter juga telah melakukan prinsip prinsiplisme, dimana dokter sudah
mematuhi 4 kaidah dasar etika yaitu prinsip beneficence (berbuat baik) nonmaleficence (
tidak merugikan) otonomi (menghormati hak-hak pasien) dan justice (prinsip yang
mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap). Kaidah prinsiplisme ini di cerminkan
oleh dokter dengan cara melakukan tindakan menyelamatkan nyawa pasien saat di IGD,
memberi obat-obatan untuk mengatasi keadaan dan di konsulkan ke unit bedah saraf.
tindakan ini merupakan tindakan berbuat baik, tidak merugikan dan juga mementingkan
keadilan. Walaupun tampaknya prinsip otonomi di langgar pada pasien ini, namun
sebenarnya prinsip ini juga telah di tegakkan, karena saat itu pasien dalam keadaan tidak
sadar, dan dokter wajib untuk melakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawanya. Pada
etika yang di terapkan pada prinsip deontologi dan teleologi pun, kedua prinsip ini
menyetujui tindakan dokter yaitu etika berbuat baik dan bertujuan baik.
Setelah di konsulkan kepada dokter bedah saraf, dokter menganjurkan agar pasien di
lakukan operasi craniotomi dengan maksud untuk mengevakuasi perdarahan dan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Dokter kemudian menerangkan tentang indikasi, manfaat, dan
risiko prosedur tindakan ini kepada keluarga pasien karena pasien masih belum sadar.
Kemudian keluarga langsung menyetujui usulan dokter tersebut. Pada saat ini, keluarga
pasien masih berhak untuk menandatangani suat proxy consent, dimana kekusaan consent ini
di berikan kepada keluarga jika pasien tidak memungkinkan untuk dimintai informed consent
nya. Namun yang menjadi masalah adalah pada saat follow up mempersiapkan operasi, dan
beberapa jam kemudian pasien kesadarannya tampak semakin membaik, bahkan cenderung
compos mentis. Pada saat ini, pasien sudah mempunyai kuasa untuk meminta informed
consentnya, karena pada saat ini, pasien telah memenuhi threshold elements dimana pasien
ini sudah sadar penuh dan sudah berkompetensi atas tubuhnya sendiri. Namun, setelah di
berikan informed consent nya, pasien malah menolak untuk di lakukan tindakan kraniotomi,
dan pasien memutuskan untuk menandatangani surat penolakan tindakan. Pasien lalu
menyayangkan sikap dokter yangtelah menjelaskan prosedur dan resiko operasi langsung
kepada pasien. Keluarga lalu meminta dokter agar melakukan tindakan paksa dan meminta
agar pasien di beri obat penenang, lalu di bius dan di lakukan operasi. Surat persetujuan
operasi di tandatangani oleh keluarga, dan surat penolakan tindakan yang di tandatangani
pasien di nyatakan batal.
Sikap kami pada kasus di atas, dimana keluarga meminta tindakan secara paksa, tidak
dapat di benarkan dan di ikuti karena bisa melawan hukum dimana pada pasal 351 KUHP di
sebutkan bahwa melakukan tindakan tanpa persetujuan pasien di masukkan pada pasal
penganiayaan. Namun, pada prinsip etika sendiri tindakan untuk melakukan operasi untuk
menyelamatkan nyawa pasien dapat di benarkan. Prinsip deontologi dan teleologi menyetujui
bahwa pasien harus di selamatkan nyawanya dengan melakukan tindakan operasi.
Prinsiplisme yaitu prinsip beneficence, nonmaleficence pun menyetujui untuk melakukan
tindakan. Namun pada prinsip otonomi, prinsip ini di langgar karena melakukan tindakan
secara paksa tidak menghormati hak-hak pasien.
Maka, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa pada pasien ini harus di tingkatkan
kesadaran bahwa dirinya dalam keadaan yang tidak aman, dengan memberi tahu apa yang
akan terjadi jika tidak di lakukan operasi. Komunikasi di sini amat penting untuk
mempengaruhi keputusan pasien. Sebaiknya saat di berikan informasi dan komunikasi pasien
juga di dampingi oleh keluarganya, agar keluarganya dapat merayu pasien untuk di lakukan
tindakan tersebut. Komunikasi dan informasi disini juga merupakan salah satu komponen dari
informed consent yang sangat kuat pengaruhnya. Namun, jika pasien masih saja tidak ingin
dirinya di operasi, maka sikap kita hanya memberikan obat-obatan konservatif, dan
memfollow up pasien, dengan mempertimbangan bahwa pasien sudah menandatangani surat
penolakan tindakan medis. Surat inilah yang nantinya bisa menjadi bukti di pengadilan jika
terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dari operasi tersebut, misalnya terjadi suatu side effect
dari kraniotomi tersebut.

1. Dapus : Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 1
st
ed.
Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005.

Anda mungkin juga menyukai