Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara umum, manusia dibekali lima alat indera untuk membantu mereka
mengenali lingkungan, mengekspresikan pikiran, serta menjalankan berbagai kegiatan
dalam keseharian. Melalui kelima indera itulah manusia dapat melihat, mendengar,
mengenali bau, berbicara, dan merasa. Lalu, apa yang terjadi jika salah satu atau
beberapa indera tersebut tidak bekerja?
Dari bentuk fisik, penyandang tunarungu bisa jadi tidak jauh berbeda dengan
manusia pada umumnya. Mereka tidak memperlihatkan perbedaan yang kasat mata
seperti penyandang tunadaksa. Perbedaan mereka terletak pada kemampuan
komunikasi yang dipengaruhi kemampuan menangkap suara dan menyuarakan kata.
Sayangnya, perbedaan ini membuat penyandang tunarungu kerap dipandang
sebelah mata. Keterbatasannya dalam berkomunikasi membuat mereka sering
diremehkan dalam lingkungan sosial. Padahal, pada hakekatnya semua manusia
memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengakuan. Begitu pula dengan hak
mengembangkan potensi dan membuktikan diri.
Sebagai komunitas penyandang tunarungu di Yogyakarta, Deaf Art Community
(DAC) menjadi fasilitator bagi para tunarungu dalam mengasah potensi yang dimiliki.
Menjadi kupu-kupu, itulah analogi yang menjadi filosofi DAC saat ini. Berawal dari
ulat bulu yang keberadaannya membuat banyak orang jijik, para anggota DAC
berusaha bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah. Meskipun
prosesnya sangat melelahkan dan membuat sang ulat tersiksa. Dalam praktiknya,
anggota DAC bermetamorfosis menggunakan media seni. Dimana dalam
perjalanannya, anggota komunitas ini telah menghasilkan berbagai karya berupa
pantomim, teater, tari, Hip Hop, juga puisi isyarat. Pun berbagai kerajinan tangan
seperti gantungan kunci, pigura, kaos, serta kotak tabungan.
Dalam berkarya dan menjalani aktivitasnya, komunikasi yang digunakan
anggota DAC adalah bahasa isyarat. Sebuah bahasa yang mengutamakan komunikasi
manual melalui gerak tubuh dan bibir. Tidak seperti cara komunikasi yang lazimnya
menggunakan suara, penyandang tunarungu menangkap makna melalui kombinasi
gerak tangan dan lengan, tubuh, serta ekspresi wajah.
Di Indonesia, sistem bahasa isyarat yang umum digunakan adalah Berkenalan
dengan Sistem Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).
Bisindo merupakan bahasa yang dikembangkan secara mandiri oleh penyandang
tunarungu melalui Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin).
Sedangakan SIBI adalah hasil buatan individu yang normal.
Pemahaman atas bahasa isyarat yang dinilai masih kurang ini menjadi dasar
bagi dibukanya kelas isyarat di DAC. Jika bahasa isyarat sering kali menjadi hambatan
bagi penyandang tunarungu untuk menjadi bagian dari masyarakat, DAC hadir untuk
memberikan pengajaran bagi mereka yang tunarungu maupun tidak. Inilah salah satu
hal yang merarik untuk dikaji dari DAC. Saat penyandang tunarungu atau disabilitas
lain sering menjadi minoritas yang termarginalkan dalam masyarakat, mereka justru
menunjukkan eksistensinya sebagai individu yang mandiri melalui Sekolah Semangat
Tuli (SST). Pada posisi ini, penyandang tunarungu tidak lagi menjadi objek yang harus
menuruti suprastruktur di atasnya. Mereka juga tidak menjadi individu minoritas yang
berkekurangan. Mereka justru menjadi subjek otonom yang memiliki kelebihan dalam
kemampuan bahasa (isyarat) dan menjadi pengajar. Dimana kelas terbuka bagi
siapapun yang tertarik mempelajari bahasa isyarat tanpa harus mengeluarkan biaya.

B. TUJUAN
Untuk mengetahui program SST yang diselenggarakan oleh DAC
Untuk mengetahui target peserta dalam program SST yang diselenggarakan DAC
Untuk mengetahui proses interaksi antara pengajar dan peserta
Untuk mengetahui metode dan proses pembelajaran yang digunakan SST
Untuk memberikan ulasan mengenai SST sebagai praktik pendidikan
kemasyarakatan.

C. MANFAAT
Dapat mengetahui program SST yang diselenggarakan oleh DAC
Dapat mengetahui target peserta dalam program SST yang diselenggarakan DAC
Dapat mengetahui proses interaksi antara pengajar dan peserta
Dapat mengetahui metode dan proses pembelajaran yang digunakan SST
Dapat memberikan ulasan mengenai SST sebagai praktik pendidikan
kemasyarakatan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK
Sejarah dan Latar belakang Berdirinya Deaf Art Community (DAC)
Pada hakikatnya, semua orang memiliki hak untuk saling berinteraksi,
berkomunikasi serta mendapatkan informasi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
beragam cara pun dilakukan oleh manusia. Lazimnya, dalam berkomunikasi ada
dua media yang digunakan, yakni audio (suara) dan visual (gambar). Tapi pada
kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam menangkap kedua
hal tersebut.
Ketidakmampuan menangkap suara seperti apa yang dialami penyandang
tunarungu sering membuat mereka mengalami diskriminasi, baik dalam
pendidikan, pekerjaan, dll. Imbasnya, penyandang tunarungu kehilangan
kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam masyarakat. Kurangnya
akses informasi serta ketiadaan sarana komunikasi universal yang bisa diakses
bersama dan setara oleh teman-teman deaf (tunarungu) dan hearing person
(individu yang bisa mendengar) menjadi alasannya.
Oleh karenanya, Deaf Art Community (DAC) hadir sebagai wadah bagi
para deaf dan hearing untuk berkumpul serta berkomunikasi menggunakan sign
(bahasa isyarat). Harapannya, keduanya mampu bersinergi untuk mencapai sebuah
tujuan yaitu menghilangkan keterbatassan komunikasi. Komunitas yang berdiri
pasa 28 Desember 2004 ini berusaha menjadi tempat bagi deaf dan hearing person
untuk saling belajar, berkreasi, dan berkarya. Dimana komunitas ini muncul atas
prakarsa Komunitas Tunarungu Yogyakarta yang kala itu tergabung dalam
komunitas Matahariku.

Gambaran Lokasi DAC
Tak hanya identik dengan sekolah formal, pendidikan bisa berlangsung di
manapun dan kapanpun dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pendidikan
informal atau nonformal adalah pendidikan mengenai Toeli Sign atau Bahasa
Isyarat. Dilihat dari segi pemberdayaan, pendidikan ini menjadikan penyandang
tungarungu sebagai pengajar baik bagi tunarungu lain atau hearing person.
Pendidikan inilah yang kemudian dikenal sebagai Sekolah Semangat Tuli (SST)
dan menjadi salah satu program yang diusung oleh DAC. Dengan adanya program
ini, DAC dapat dikatakan sebagai sekolah karena menjadi sarana penyaluran
pengetahuan mengenai tunarungu dan bahasa isyarat. Pun menjadi fasilitator bagi
hearing person untuk memahami penyandang tunarungu melalui pendidikan
isyarat. Sebab tak dapat dipungkiri, bahasa memiliki posisi sentral dalam proses
interaksi yang terlembaga melalui komunikasi.
Sebagai penggagas SST, selama ini kegiatan DAC bermula dari sebuah
rumah di Jl. Langernahan Lor No 16A. Lokasi rumah tersebut ada di sisi Timur
Alun-Alun Kidul. Basis kegiatan DAC tidaklah sulit ditemukan, demikian juga
dengan akses jalannya. Bangunan tempat DAC beraktivitas adalah sebuah rumah
gaya Belanda dengan jendela besar serta halaman depan luas yang ditumbuhi
beberapa pepohonan rindang. Tempat ini berada di lingkungan yang sangat tenang.
Dimana nyanyian-nyian tempo dulu yang bersumber dari salah satu rumah selalu
mengiringi sore hari di tempat itu. Jika dianalogikan, lingkungan tersebut mirip
dengan kompleks pusat studi UGM di Bulaksumur. Berbagai macam komunitas
dan lembaga nonformal menjadikan daerah ini basis kegiatannya. Salah staunya
adalah Floating Hotel Course yang mengambil tempat tepat di depan rumah DAC.
Memasuki bangunan ini, ruang pertama dan paling depan memiliki fungsi
sebagai ruang tamu. Di ruangan ini kita akan disambut oleh hasil karya
penyandang tunarungu DAC seperti kaos, pin, stiker, rak buku, dll. Selain itu, ada
pula sebuah meja kayu, dua sofa sedang dan tiga kursi kayu untuk memfasilitasi
para tamu yang datang atau sekadar menunggu kelas isyarat. Tak hanya itu,
menempel di dinding adalah dua buah rak masing-masing berfungsi untuk menaruh
buku dan berbagai penghargaan yang telah diterima oleh DAC. Di samping ruang
tamu, terdapat sebuah ruangan menyerupai kamar yang digunakan sebagai tempat
berkumpul, kesekertariatan, dan tempat anggota DAC memproduksi karya seperti
pin.
Ruangan selanjutnya adalah ruang tengah yang biasa menjadi tempat bagi
kelas SST. Ruangan ini kurang lebih berukuran 3 x 4 meter dan dapat menampung
cukup banyak peserta kelas SST. Ketika belum dimulai, ruangan ini biasnaya
dibiarkan kosong dan hanya berisi sebuah meja dan papan tulis (whiteboard) yang
ditempel pada salah satu sisi tembok. Namun ketika kelas akan dimulai, anggota
DAC akan menggelar tikar dan memasang sebuah layar yang disambungkan pada
sebuah laptop sebagai alat penunjang pembelajaran di atas meja. Kelas ini terbuka
bagi umum baik penyandang tunarungu maupun hearing person. Dalam satu kelas,
tidak ada pembedaan antara deaf dan hearing. Semua belajar di satu ruangan yang
sama tanpa ada sekat. Ketiadaan sekat ini membuat keduanya saling berinteraksi
dan belajar memahami satu sama lain.

Metode Pengajaran SST
Dalam praktiknya, pengajar SST merupakan penyandang tunarungu yang
menjadi anggota DAC. Dimana tiap pengajar selalu digilir dan memiliki jadwalnya
masing-masing Sama seperti guru pada umunya, para pengajar sebelumnya juga
mendapatkan pelatihan mengenai materi yang akan diajarkan. Zakka, salah satu
pengajar yeng berasal dari Kaliduren, Moyudan, Sleman in telah mengajar di SST
sejak Desember 2013 lalu. Meski tergolong muda, siswa kelas dua SMSR ini tidak
terlihat canggung meski mengajari orang yang lebih tua darinya. Menurutnya
mengajar adalah panggilan dari hati sebab tak banyak orang menguasai bahasa
isyarat dan bisa mengajarkannya.
Zakka menceritakan bahwa ia belajar bahasa isyarat dari teman-teman
sekolahnya ketika di SLB setingkat SD dan SMP. Meski demikian, diakuinya ada
ada beberapa perbedaan antara bahasa isyarat yang diajarkan di SLB dan DAC.
Dari seorang teman di SLB inilah ia kemudian mengenal DAC. Zakka pun
menceritakan bahwa awalnya ia tertarik bergabung dengan DAC karena ingin
belajar seni khusunya hip-hopsebelum membuka SST, basis kegiatan DAC lebih
banyak melalui media seni seperti teater, dance, hip hop, dan puisi isyarat. Namun
semakin berjalannya waktu, Zakka pun mulai tertarik untuk mengajar meski
awalnya ia menolak karena takut.
Berdasarkan penuturan Mada, salah satu volunteer, kelas SST yang
terorganisir dimulai sejak Desember 2013 lalu. Sebelumnya, SST hanya berupa
kelas belajar yang belum memiliki kurikulum atau materi khusus. Pengajar kala itu,
Fani, sebelumnya hanya mengaar penyandang yunarungu yang lebih muda agar
memahami bahasa isyarat. Tapi setelah terbuka untuk umum ternyata SST
mendapat respon yang baik dari masyarakat dengan banyaknya orang yang
mengikuti kelas. Lalu setelah Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu (Gerkatin)
melakukan kerjasama dengan DAC, dibuatlah sebuah kurikulum tertentu yang
memuat materi-materi apa saja yang akan diajarkan pada tiap pertemuan. Bahsa
isyarat yang digunakan dalam kurikulum ini adalah Bahasa Isyarat Indonesia
Yogyakarta. Sebab seperti hanya bahasa daerah, bahasa nasional, dan internasional,
sign ternyata juga berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Hal ini terjadi karena
kesepakatan komunitas tunarungu di satu wilayah dengan lainnya bisa jadi
berbeda. Mada pun menyampaikan bahwa perbedaan itu selalu ada. Tapi biasanya
teman-teman deaf bisa lebih cepat dan mudah memahami perbedaan bahasa
tersebut karena persamaan yang mereka miliki.
Pada pertemuan yang diadakan setiap Senin dan Kamis ini SST memiliki
tema yang berbeda dan telah ditentukan sebelumnya. Dalam satu hari materi yang
disampaikan sama antara sesi pertama (pukul 16.00-17.00) dan sesi kedua (17.00-
18.00). Pada salah satu pertemuan, ketika tim datang hanya ada lima peserta yang
mengikuti sesi pertama. Kelima peserta merupakan hearing person yang tertarik
mempelajari bahasa isyarat. Menurut salah satu peserta, tidak biasanya kelas sepi
seperti sore itu. Biasanya peserta bahkan bisa mencapai 30 orang dalam satu kali
pertemuan. Pada sesi kedua, setidaknya peserta yang hadir lebih banyak dari
sebelumnya, yakni 10 orang. Pada sesi ini, komposisi peserta lebih beragam dari
sebelumnya. Jika sesi pertama kesemua peserta adalah mahasiswa, pada sesi kedua
para pesetra terdiri dari mahasiswa, aktivis dan pekerja. Peserta SST selama ini
datang silih berganti dan tidak tetap. Ada yang memang berniat belajar dan
bertahan lama, tapi ada pula yang hanya mengikuti kelas sekali dua kali lalu
menghilang. Bahkan tidak jarang mereka yang telah mengikuti sesi pertama ikut
menyimak pelajaran sesi kedua.
Metode belajar yang dipakai adalah dengan menunjukkan gambar melalui
layar yang dilanjutkan dengan bahasa isyarat oleh para pengajar. Setelah materi
dalam satu slide tersampaikan, pengajar akan menanyakan apakah para peserta
sudah mengerti. Jika mengerti matei akan dilanjutan ke slide berikutnya, tapi jika
tidak mereka akan mengulang pembahasan tersebut. Penggunaan layar dan laptop
ini sebenarnya baru dilaksanakan sejak Desember 2013. Sebelum memiliki materi
seperti saat ini, media pembelajaran masih menggunakan papan tulis putih
(whiteborard) dimana peserta menyebutkan sendiri kata-kata yang ingin mereka
pelajari. Pun SST juga pernah menggunakan proyektor agar lebih jelas karena
banyaknya peserta yang mengikuti kelas. Meski demikian, mekanisme yang
digunakan dalam pengajaran relatif sama. Dimana setelah materi selesai
disampaikan pengajar akan memberikan sedikit rewiew dan membuat sebuah
kalimat dari gambar-gambar tersebut. Setelah itu, pengajar akan meminta para
peserta mengikuti gerakan atau kalimat yang ia buat dan meminta mereka
mengulanginya di depan kelas.
Dalam proses belajar ini, Zakka mengatakan bahwa ada beberapa kendala
yang biasa ia hadapi. Kejadian yang paling sering terjadi adalah saat peserta
mengaku sudah paham dengan apa yang diajarkan, mereka sering kali menolak
saat diminta melakukan praktik di depan kelas. Hal ini diakui Zakka sudah sering
terjadi dan tidak lagi menjadi maslaah besar baginya. Selain itu kehadiran peserta
yang tidak menentu juga menjadi masalah lain sebab akan mempengaruhi
pemahaman peserta atas materi yang disampaikan. Meski demikian, Zakka
mengaku tetap bersemangat mengajar dan menambah pengalaman.

Peserta SST (Sekolah Semangat Tuli)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peserta SST tidak pernah tetap dan
berasal dari berbagai macam latar belakan. Salah satu peserta yang mengikuti kelas
adalah Nurani. Mahasiswi semester VI Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNY ini
telah cukup lama bergabung dengan SST. Ia menerangkan bahwa tujuannya
mengikuti kelas ini adalah agar dapat berkomunikasi dengan penyandang
tunarungu. Nurani memilih DAC karena kelasnya di kampus tidak mengajarkan
bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu. Meski di awal
merasa kesulitan, ia tetap bertahan dan mulai bisa beradaptasi dengan
penyandangan tunarungu. Sebelum bergabung dalam kelas ini, Nurani
mendapatkan informasi mengenai DAC dari teman yang telah bergabung dengan
kelas ini terlebih dulu. Nurani berharap melalui DAC ia akan mampu mengerti dan
memahami apa yang dikomunikasikan oleh teman-teman deaf, sehingga ketika
telah menjadi guru SLB ia bisa dekat dengan anak didik terutama penyandang
tunarungu.
Selain Nurani, ada pula Wisnu yang telah bergabung dengan DAC sebelum
SST menjadi lebih terorganisir. Berbeda dengan Nurani, Wisnu telah bekerja dan
tidak lagi menyandang status sebagai mahasiswa. Wisnu beralasan bahwa ia ingin
mengajarkan bahasa isyarat pada penyandang tunarungu di sekitar lingkungan
rumahnya. Selama hampir 8 bulan bergaung dengan DAC, selain bahasa Wisnu
mengaku bisa mempelajari kebersamaan dari teman-teman deaf. Ia mengatakan
bahwa tidak jarang diantara mereka terjalin komunikasi yang lebih intens seperti
bercanda bersama dan saling curhat. Wisnu pun pernah beberapa kali hadir di
acara pementasan DAC. Wisnu mengatakan, Apa yang menjadi kekurangan
teman-teman deaf adalah mereka tidak mengerti maksud ucapan kita. Namun
kendala bagi orang normal adalah tidak dapat mengerti bahasa yang mereka (deaf)
gunakan. Alasan itulah yang seharusnya menjadi alasan hearing people untuk
belajar sign.

B. TINJAUAN TEORITIS
Dalam melihat fenomena DAC, teori yang dipilih adalah Teori Belajar
Humanistik oleh Jurgen Habermas. Dimana proses belajar harus dimulai dari dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Secara sederhana,
pendidikan yang memanusiakan manusia dapat diartikan sebagai proses mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri melalui mekanisme belajar
mengajar. Oleh karenanya, teori ini bersifat holistik dan eklektik karena
menggabungkan banyak perspektif untuk mencapai aktualisasi diri. Sebab seperti
dikatakan Maslow, aktualisasi diri menempati posisi tertinggi dalam hierarki
kebutuhan.
Proses belajar ini menjadi mungkin apabila terjadi interaksi antara individu
dengan lingkungannya, baik alam maupun sosial. Pada proses belajar mengajar, teori
humanistic menekankan pada terjadinya self regulated learning. Dimana peserta harus
mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar, mulai
dari apa, kapan, dan bagaimana mekanisme belajar yang akan mereka lakukan.
Habermas membagi tipe belajar menjadi tiga yaitu:
Pembelajaran Teknis (Technical Learning) Proses belajar yang paling awal
dimana individu diharapkan bisa mengenal dan berinteraksi dengan alam. Pada
tingkatan ini individu diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan dalam mengelola lingkungan alamnya.
Pembelajaran Praktis (Practical Learning) Dalam proses belajar ini, yang
menjadi titik tolak bukan lagi kemampuan individu berinteraksi dengan alam,
melainkan lingkungan sosialnya. Meski fokus pada nilai-nilai yang lebih bersifat
sosiologis dan psikologis, tidka berarti lingkungan alam menjadi terabaikan.
Pembelajaran Emansipatoris (Emancipatory Learning) Proses ini
menekankan pada upaya individu mencapai suatu pemahaman dan kesadaran atas
perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Oleh karenanya,
dalam memahami perubahan tersebut ilmu atas bahasa dan budaya menjadi sangat
dibutuhkan. Habermas pun menganggap tahapan ini sebagai yang paling tinggi.
Sebab transformasi kultural merupakan tujuan pendidikan yang tertinggi.

Selain menggunakan Teori Belajar Humanis, Experiential Learning Theory juga
dianggap sebagai teori yang releven digunakan kaitannya dnegan isu yang diangkat.
Dimana menurut teori ini belajar merupakan proses dimana pengetahuan diciptakan
melalui transformasi pengalaman. Pandangan David Kolb ini menempatkan
pengalaman pada posisi paling sentral sebab proses inilah yang pada akhirnya
membentuk pengetahuan yang didapatkan oleh peserta. Kemunculan teori ini lantas
memungkinkan terciptannya model pembelajaran yang lebih holistik atau utuh. Kolb
pun membagi model pembelajaran berdasarkan pengalam menjadi empat tahap.
1. Tahap Pengalaman konkrit (Concrete Experience)
Pada tahapan awal ini, individu mengalami sesuatu peristiwa sebagaimana adanya
(hanya merasakan, melihat, dan menceritakan kembali peristiwa itu). Dimana
dalam tahap ini seseorang belum memiliki kesadaran tentang hakikat sebuah
peristiwa, apa yang sesungguhnya terjadi, dan mengapa hal itu terjadi.
2. Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)
Di tahap kedua ini sudah ada usaha observasi dari peserta yang terlihat dalam
proses belajar. Mereka mulai berusaha memahami peristiwa yang dialami, mencari
jawaban, melakukan refleksi, dan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kritis
atas peristiwa tersebut.
3. Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)
Kemampuan mengabstraksi diharapkan telah dapat terlihat pada tahapan ini.
Dimana dari abstraksi tersebut nantinya aka berkembang teori, konsep, ataupun
prosedur atas hal yang menjadi objek perhatian.
4. Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)
Pada tahapan terakhir ini, peserta telah memiliki upaya untuk terlibat aktif secara
langsung dengan apa yang ia pelajari. Di tahapa ini pula lah segala teori, konsep,
dan prosedur yang abstrak menemui praktiknya sehingga bisa menjadi sesuatu
yang real dalam kehidupan nyata.

Kedua konsep atau teori tersebut menjadi relevan dalam membicarakan DAC
sebab ada praktik-praktik humanis dan pengalaman dalam pengajaran yang dilakukan
di kelas SST. Selan itu, melalui kedua teori ini nantinya akan terlihat bagaimana
praktik-praktik humanisme ini berjalan dalam proses belajar yang dikembangkan oleh
SST. Ketiadaan suprastruktur yang mengontrol segala proses belajar juga menjadi salah
satu indikaor yang menjadikan pembelajaran ini bersifat lebih humanis daripada
pendidikan sekolah formal pada umumnya. Sebab perlu dipahami bahwa belajar
merupakan suatu perkembangan yang memiliki tiga fase dalam praktiknya, yakni
pengumpulan pengetahuan, pemusatan pada bisnag tertentu, dan pemunculan minat dan
tujuan dari objek yang menjadi perhatian. Oleh karenanya, pada dasarnya semua model
pembelajaran bisa menjadi sebuah proses yang saling berkaitan dan terintegrasi satu
sama lain.

C. AGENDA MAGANG
a. Jadwal:
- Kamis, 24 April 2014
- Senin, 28 April 2014
- Senin, 5 Mei 2014
b. Proses:
Tim sebelumnya menemui pembina untuk menanyakan kesediannya menjadi
subjek dari riset ini. Setelah itu tim langsung pergi ke lapangan dan melakukan
observasi atas kegiatan apa yang dilakukan oleh SST. Tim juga melakukan observasi
partisipasn dengan menjadi bagian dari peserta kelas SST. Wawancara pun
dilakukan dengan Mada (Volunteer), Zakka (Pengajar), Nurani (Peserta), dan Wisnu
(Peserta) agar bisa mendapatkan hasil yang lebih objektif.
c. Materi:
- Kamis, 24 April 2014 Barang-barang elektronik
- Senin, 28 April 2014 Olah raga
- Senin, 5 Mei 2014 Dunia Internasional

D. ANALISIS
Seperti telah sempat disinggung sebelumnya, proses pembelajaran yang terjadi
di kelas SST ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bahasa isyarat (sign) pada
hearing people. Dimana permasalahan atas moda komunikasi yang berbeda antara
penyandang tunarungu dan tidak selama ini selalu menjadi kendala. Tunarungu selama
ini sulit mengerti bahasa manusia pada umumnya karena mereka tidak memiliki
kemampuan mendengar. Begitu pula individu normal tidak bisa mengerti dan
memahami penyandang tunarungu karena tidak mengerti bahasa yang digunakan.
Kemunculan SST ini pada satu sisi bisa dilihat sebagai model pendidikan yang humanis
atau memanusiakan manusia. Sebab melalui proses ini deaf dan hearing sama-sama
belajar untuk memahami satu sama lain. Seperti apa yang dikatakan teori humanistik,
ada proses aktualisasi diri yang berusaha dicapai dalam hal ini. Jika biasanya peserta
berusaha mengakualisasikan dirinnya melalui pendidikan atau proses belajar yang
dialami, SST tidak hanya mengajak peserta tapi juga pengajar untuk sama-sama
mengaktualisasikan diri mereka. Dengan kata lain, yang memiliki kebutuhan untuk
menunjukkan diri dan mengukuhkan keberadaan mereka tidak hanya peserta, tapi juga
pengajar yang notabene penyandang tunarungu.
Merujuk pada tiga tipe belajar yang dikemukakan Habermas sebelumnya,
mekanisme pembelajaran yang terjadi di SST lebih mengarah pada Pembelajaran
Emansipatoris (Emancipatory Learning). Sebab seperti dijelaskan Habermas, proses ini
menekankan pada upaya individu mencapai suatu pemahaman dan kesadaran atas
perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dimana dalam
memahami perubahan tersebut ilmu atas bahasa dan budaya menjadi sangat dibutuhkan.
Dari tujuan pembentukannya, terlihat jelas bahwa SST muncul untuk
mengubah atau menransformasi pemahaman individu atas penyandang tunarungu.
Bahwa tunarungu juga memiliki potensi yang setara dengan orang lain dan sama-sama
memiliki hak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi serta mendapatkan informasi.
Oleh karenanya DAC memunculkan SST sebagai salah satu cara mengubah
pemahaman tersebut. Dimana bahasa menajdi titik tolak atau gerbang untuk memahami
dan menjadi bagian dari transformasi tersebut.
Hasilnya, aktualisasi diri ini tidak hanya menjadi milik peserta, tapi juga
pengajar. Sebab peserta memang memperoleh pengetahuan dan bisa mempraktikkan
kemampuannya pada orang lain. Tapi di sisi lain, para penyandang tunarungu juga
mampu mengaktualisasian dirinya lebih dari sebelumnya. Dimana akan semakin
banyak orang yang mengerti bahasa mereka dan akan mempermudah mereka dalam
berkomunikasi dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Pun nyatanya tidak hanya
hearing yang belajar sign, tapi para anggota Dac juga berusaha belajar membaca bibir
untuk memudahkan mereka berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Contoh nyata
dari aktualisasi peserta ini adalah Nurani yang berharap akan mampu mengerti dan
memahami apa yang dikomunikasikan oleh teman-teman deaf. Sehingga ia bisa dekat
dengan anak didiknya ketik menjadi guru SLB kelak. Begitu pula dengan Wisnu yang
berkeinginan membagi ilmu isyaratnya kepada penyandang tunarungu lain di
lingkungan sekitar rumahnya.
Dari proses belajar tersebut, berikut beberapa poin yang bisa dijadikan tolok
ukur dari praktik humanisme yang ada di SST:
1. Tujuan pembelajaran untuk mengajarkan bahasa isyarat agar hearing dapat
berkomunikasi dengan deaf. Begitu pula dengan deaf yang belum mengerti sign
bisa belajar di SST sehingga bisa berkomunikasi dengan sesamanya,
2. Materi pembelajaran yang disiapkan melalui gambar dan tulisan singkat (satu
sampai tiga kata),
3. Kelas dimulai dengan materi yang umum ringan sebab tidak semua orang dapat
menangkap sign dengan cepat. Pun ada pengulangan materi jika dinilai perlu,
4. Topik pembelajaran berawal dari benda-benda yang sering ditumi dalam kehidupan
sehari-hari sehingga mudah dipahami,
5. Penyampaian materi menggunakan media laptop dan LCD (layar),
6. Pengajar mempraktikkan bahasa isyarat dari gambar tertentu yang kemudian
diikuti oleh peserta,
7. Pengajar mengajak peserta untuk memahami makna dari bahasa isyarat tersebut
melalui contoh kalimat dan praktik peserta,
8. Pengajar berbagi pengalaman yang pernah didapat melalui cerita menggunakan
sign,
9. Setelah proses belajar selesai peserta dapat beriteraksi langsung dengan
penyandang tunarungu (proses belajar di luar kelas),
10. Setiap pertemuan diawali dengan evaluasi materi pertemuan sebelumnya sebelum
memasuki materi yang baru.


Selain itu, pengalaman juga sangat tercermin dalam proses belajar yang
dilakukan di SST. Sebab sign merupakan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan.
Para pengajar pun sebelumnya pernah belajar dan dilatih menggunakan bahasa isyarat.
Begitu pula para mengajar ini pernah menemui perbedaan bahasa isyarat yang
digunakan antara satu daerah dengan lainnya. Mereka pun memperoleh kosakata baru
berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dari berinteraksi dengan sesamanya
yang berbeda daerah. Pengalaman-pengalaman ini lantas ditransfer oleh para pengajar
dalam proses belajar di dalam kelas. Adanya praktik langsung yang diadakan setiap
pertemuan pun menjadi pengalaman bagi para peserta yang mengikuti kelas ini. Begitu
pula saat mereka berusaha bercakap-cakap dengan anggota lain di luar jam pertemuan.
Di sana akan ada lebih banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa didapatkan bila
dibandinkan dengan pembelajaran di kelas saja. Ini seperti apa yang dikatakan David
Kolb dengan pengetahuan sebagai perpaduan antara memahami dan mentrasformasi
pengalaman.
Melihat praktik pengajaran yang diterapkan SST, pengalaman terbukti memiliki
peran sentral dalam proses belajar. Dalam hal ini pengalaman pengajar dalam
mempraktikkan bahasa isyarat penting, sebab penerapan akan semakin mematangkan
pemahaman. Berikut adalah contoh dari beberapa fase yang bisa ditemui di SST:
1. Pengumpulan pengetahuan Pengetahuan didapat dari kelas pengajaran.
Zakka (Pengajar): Ada banyak kegiatan belajar yang diusung oleh DAC, salah
satunya adalah SST. Dimana dari kegiatan ini Zakka mendapatkan pengetahuan
tentang bagaimana cara mengajar.
Mada (Peserta & Volunteer): Meski sempat ragu di tengah jalan dalam belajar
bahasa isyarat, ia memutuskan untuk melanjutkan belajar karena banyak
pengetahuan baru yang bisa ia dapatkan dari kelas tersebut.
2. Pemusatan perhatian pada bidang tertentu:
Zakka (Pengajar): Beberapa anggota DAC mulai memfokuskan pada bidang-
bidang tertentu, seperti memilih untuk mengajar pada kelas bahasa isyarat meski
awaknya takut dan tidak percaya diri.
Mada (Peserta & Volunteer): Seteah belajar sign mulai memutuskan untuk fokus
dan terus membantu DAC. Sebab harus diakui bahwa para penyandang tunarungu
membutuhkan keberadaan orang-orang yang memahami bahasanya sebab tidak
banyak orang yang memiliki keahlian serupa.
3. Menaruh minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul minat
dan tujuan hidup baru:
Zakka (Pengajar): Meski awalnya tidak bersedia mengajar, ia akhirnya akhirnya
menemukan dorongan untuk mengajar. Ketika sudah pernah merasakan
pengalaman dalam mengajar, ia tidak lagi takut dan menikmati kegiatannya. Kini
Zakka bahkan lebih senang mengajar sendirian ketimbang berdua dengan
temannya.
Mada (Peserta & Volunteer): Berawal dari DAC, Mada berniat untuk fokus ke
dunia difabel. Ia saat ini juga sedang dalam proses mempelajari pengetahuan lain
yang berhubungan dengan difabel.

Di atas adalah beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana pengetahuan itu
berkaitan erat dengan pengalaman. Bahwa impresi yang didapatkan dari pengalaman
pertama akan merembet dan menentukan pilihan rasional seseorang dalam
memperlakukan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Pengalaman-
pengalaman tersebut nantinya akan mempengaruhi nilai-nilai yang kemudian
terinternalisasi dan menjadi keyakinan dari individu tersebut.

Selain proses pembelajaran, ada beberapa fungsi yang bisa didapatkan dari
pembelajaran di SST ini, diantaranya:
Fungsi Sosialisasi
Pendidikan yang dilaksanakan Sekolah Semangat Tuli membuka proses
interaksi antara pengajar yang tuna rungu dengan peserta yang tuna rungu maupun
peserta yang normal. Sosialisasi yang terjadi yakni mengajarkan komunikasi
menggunakan bahasa isyarat. Sosialisasi ini memunculkan komunikasi dua arah
yang mentransfer pengetahuan, mengenalkan kebudayaan melalui bahasa isyarat.
Fungsi Pengembangan Pribadi dan Sosial
Dalam kehidupan masyarakat, teman-teman deaf masih dipandang sebelah
mata. Adanya stigma tersebut membuat kaum deaf merasa rendah diri. Bahkan
terkadang beberapa dari mereka terasingkan dari lingkungan sosialnya. Hadirnya
komunitas DAC yang memberikan sarana pendidikan nonformal, membuat kaum
deaf dapat mengembangkan dirinya. Mereka dapat mengaktualisasikan diri melalui
media seni yang ada di DAC ini. Selain itu dengan adanya banyak kegiatan
eksternal pada komunitas ini membuat teman deaf dapat berinteraksi langsung
dengan masyarakat luas. Disinilah mereka dapat mengembangkan kepercayaan
dirinya dan dapat memiliki semnagat untuk berkarya.
Keberanian mereka untuk muncul di kehidupan masyarakat dengan
pengembangan pribadi yang telah dilakukan perlahan akan mengubah pandangan
masa terhadap kaum deaf ini. Status sosial mereka akan lebih diakui dan mulai
dipertimbangkan ketika mereka berani untuk muncul dalam masyarakat. Hal ini
akan berpengaruh pula pada perubahan stigma-stigma yang ada dan pada akhirnya
membuat kaum deaf tidak dipandang sebelah mata.
Fungsi Perubahan sosial
Pengajaran mengenai bahasa isyarat pada kelas Sekolah Semangat Tuli
(SST) juga memberikan perubahan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi
masyarakat yang mulaya tidak paham menegani apa itu tuna rungu dan bagaimana
memahami mereka dapat belajar dalam komunitas DAC. Secara tidak langsung
telah memeberikan perubahan khususnya proses interaksi dalam masyarakat
walaupun belum berperngaruh penuh, karena masih banyak masyarakat yang
belum memahami tunarungu.
Fungsi Kontrol Sosial
Pendidikan yang ada dalam komunitas ini memberikan kontrol sosial
terhadap anggota komunitas maupun peserta yang mengikuti kelas Sekolah
Semangat Tuli (SST). Bagi anggota komunitas, adanya pendidikan yang
berlangsung membuat anggota komunitas terjaga dalam stigma-stigma yang hadir
dalam masyarakat. Sedangkan bagi peserta yang mengikuti kelas, setidaknya
melatih peserta untuk saling menghargai dan memahami satu sama lain. Termasuk
bagaimana peserta normal memahami teman-teman dead dengan bahasa isyarat
yang digunakan dan tingkah laku mereka. Sikap ini juga menjaga seseorang untuk
tidak mencela dan merendahkan kaum deaf.
Fungsi Seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja
Fungsi ini hanya dapat dilihat bagi anggota komunitas serta bagi pengajar
dalam kelas. Sekolah Semangat Tuli (SST). Bagi anggota komunitas, DAC telah
memberikan pendidikan nonformal mengenai latihan dalam bidang kesenian
sebagai bentuk aktualisasi diri. Dari sini mereka mampu menghasilkan produk-
produk kreatif yang bernilai jual, seperti memproduksi baju, lemari, pin, stiker
serta berjualan makanan kecil saat kelas Sekolah Semangat Tuli (SST)
berlangsung. Awalnya mereka akan dibimbing dengan interpretator, namun setelah
mereka mulai mahir mereka akan dilepas untuk mengelola usahanya secara
mandiri. Sedangkan, bagi pengajar, pendidikan akan memberikan latihan dan
mengembangkan skill mereka dalam mengajar dan berinteraksi dengan orang
normal. Sehingga, harapannya mereka akan mampu bersaing dengan orang-orang
normal di pasar kerja nantinya ketika sudah terbiasa berinteraksi dengan orang
normal.
Mengembangkan dan memantapkan hubungan sosial
Bagi pengajar akan mengembangkan hubungan sosialnya dengan individu
yang lain. Karena ketika mereka mengajar, mereka akan bertemu dengan peserta
yang berbeda-beda dan akan terjadi interkasi yang berlanjut menjadi hubungan
sosial. Hubungan sosial itu pun dapat berlanjut di luar kelas pembelajaran. Oleh
sebab itu maka muncul hubungan yang lebih dari sekedar pengajar dan peserta
didik, namun dapat menciptakan hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan
dalam, seperti persahabatan, pertemanan dan saudara.

BAB III
KESIMPULAN

Proses belajar yang dilakukan oleh DAC melalui SST telah memraktekkan berbagai
macam fungsi praktek pendidikan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ada nilai-nilai
sosialisasi yang terlembaga dalam praktek pengajaran ini. Begitu pula dengan fungsi
pengembangan pribadi dan sosial; perubahan sosial; kontrol sosial; seleksi, pelatihan dan
pengembangan tenaga kerja; serta mengembangkan dan menerapkan hubungan sosial.
Mekanisme pengajaran yang dilakukan pun dapat dikategorikan mengikuti pola
belajar humanis dan eksperimential atau melalui pengalaman. Sebab SST muncul sebagai
usaha memanusiakan penyandang tunarungu sebagai manusia yang menjadi bagian dari
masyarakatnya. Pengalaman pun memiliki peran penting dalam kelas ini sebab sign dipelajari
dengan melakukan praktik berkomunikasi langsung dengan para anggota DAC sebagai
penyandang tunarungu.
Selain itu, pada aktivitas lain yang dilakukan oleh DAC seperti latihan kesenian dan
produksi kerajinan pun mempraktekkan proses belajar yang humanis dan berbasis
pengalaman. Dimana para anggota DAC mengabstraksi sendiri subjek apa yang ingin mereka
pelajari. Pun mereka juga mengeluarkan ide mengenai event Difabel for Cancer untuk
menunjukkan kepedulian mereka kepada sesama. Bahwa meskipun menjadi penyandang
tunarungu mereka tetap ingin berbagi dengan sesamanya yang lebih membutuhkan bantuan.
Proses belajar yang dilakukan pun berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik melalui
orang lain ataupun dirinya sendiri. Misalnya saja untuk kegiatan dance, mereka mempelajari
gerakan-gerakan tersebut dari media-media seperti youtube untuk mengenal gerakan-gerakan
tari. Pun mereka pernah belajar pada salah sati mahasiswa ISI yang sempat melakukan
penelitian di DAC. Dari proses ini, terlihat bagaimana DAC berusaha membuat iklim belajar
yang tidak mandatori atau dipaksakan. Para peserta dibebaskan memakai mekanisme apapun
yang mereka rasa nyaman untuk mengembangkan kemampuan yang mereka miliki tanpa
harus terikat dengan tuntutan-tuntutan yang selama ini dibebankan pada peserta sekolah
formal, nilai misalnya.

BAB IV
LAMPIRAN

A. DOKUMENTASI FOTO KEGIATAN










Foto 1 : Hasil Kerajinan Anggota DAC



Foto 2 : Pin buatan DAC yang dijual Foto 3 : Simbol Huruf












Foto 4 : Kegiatan kelas pembelajaran dengan pembina DAC













Foto 5 : Kegiatan Bioskop Kecil (Bioscil), menonton film dokumenter



Foto 6: Proses Kegiatan
Belajar Kelas SST






Foto 7: Proses Kegiatan
Belajar Kelas SST










Foto 8: Proses Kegiatan
Belajar Kelas SST



B. TRANSKRIP WAWANCARA
a. Transkrip Mbak Mada (Volunteer DAC)
Dian: Mbak Mada udah berapa lama mbak di DAC ini?
Mada: Udah setahun ini.
Dian: Bisa ceritakan nggak mbak awalnya DAC ini terbentuknya gimana?
Mada: Oh, kalau untuk itu aa brosurnya, sebentar ya saya ambilkan.
Dian: Oh, jadi di DAC ini selain ada Sekolah Semangat Tuli (SST) ada DAC Goes
To School juga ya mbak?
Mada: Kalau DAC Goes To School itu sebenernya bukan ke sekolah-sekolah
kayak SD, SMP, atau SMA gitu. Jadi ini tu kayak sosialisasi ke kampus-kampus
tentang bahasa isyarat. Tergantung kampusnya. Kadang kalau mereka mengadakan
acara dan mengundang DAC, DAC biasanya datang.
Dian: Sebenarnya kalau Sekolah Semangat Tulinya itu ada dari kapan sih mbak?
Mada: Ini ada dari 2012. Kalau nggak salah nih ya, ada dari 1 April 2012.
Dian: Berarti baru ya ini itungannya SST?
Mada: Kalau Sekolah Tulinya memang baru, tapi kalau untuk komunitasnya itu
sudah lama. Dari 2004 berarti hampir 10 tahun dia. Di tahun 2004 dulu namanya
Matahariku terus berubah tahun 2007 kalau nggak salah jadi Deaf Art Community
(DAC).
Dian: Tadi kan aku baca ada brosur yang mengajak mereka untuk menjadi guru,
jadi sebenernya temen-temen di sini itu memang sengaja diajari untuk mengajar
dan jadi seorang guru?
Mada: Oh, itu beda, kalau itu bukan ngajar di sini mbak. Yang ngajar di sini ya
teman-teman dari sini (dari DAC). Kalau brosur ini memang ada lagi dari acara
lain. Harapannya itu nanti lebih besar, itu kan cakupannya nasional. Ini juga baru
diadakan di Jogja dan Jakarta. Itu ada foundernya sendiri. Tapi kalau yang ngajar
di sini ini itu emang anak-anak DAC.
Dian: Sebenernya waktu masuk sini temen-temen DAC ini apakah mereka
sebelumnya sudah bisa bahasa isyarat atau belajar dulu di sini?
Mada: Ini nanyanya mau sama aku atau langsung tanya aja sama mereka?
Dian: Sama mbak dulu aja deh.
Mada: Kalau aku sih tidak semua yang datang ke sini bisa isyarat, tergantung
mereka. Biasanya mereka yang dateng ke sini karena tertarik ikut, ingin ikut pentas
misalnya ada pantomim, ada dance, ada puisi isyarat, macem-macem itu kan.
Mereka tertarik ke sini akhirnya awalnya dulu kan bergeraknya di seni, untuk
pentas-pentas itu, jadi bukan untuk fokus di kelas isyarat itu bukan. Jadi sejak 2012
itu ada Sekolah Semangat Tuli akhirnya itumembuat program membuka kelas
isyarat biasanya dulu itu ngajarnya dari yang senior ngajari tuna rungu yang muda-
muda. Tapi ternyata sekarang itu dibuka untuk umum banyak yang tertarik. Jadinya
sampaisekarang programnya terus berjalan.
Dian: Jadi sebelum mereka mengajar emang dilatih dulu untuk mengajar gitu?
Mada: Kalau yang sekarang memang gitu. Kalau dulu itu memang ada kesepkaan.
Jadi bahasa isyarat Jogja yang biasa mereka pakai itu yang diajarkan ke yang
muda-muda. Tapi sejak bulan Desember itu kan sudah mulai terorganisir. Kalau
dulu kkan memang masih belum banyak peminatnya. Nah sejak Desember itu lebih
dimantapkan lagi, jadi sudah ada materinya dan bahasa isarat yang digunakan itu
seperti ini, seperti ini, seperti ini. Kalau dulu itu masih belum terorganisir, jadi
masih besok mau apa nih, apa nih, apa nih, gitu. Jadi masih rapat-rapat gitu. Tapi
kalau dari bulan Desember itu sudah mulai terorganisir, sudah ada materinya.
Dian: Desember 2013?
Mada: Desember 2013 kemarin.
Dian: Iya, tadi di dalem juga ada tulisannya pertemuan segini sampai segini gitu
ya.
Mada: Iya, itu kan makanya lebih terorganisir mbak. Sebenernya itu dimulai
itungannya dari Desember. Sebenarnya sebelum Desember sudah banyak tapi tidak
didokumentasikan, maksudnya belum ada jadwalnya. Eh, jadwalnya sudah ada
dulu Senin sama Jumat, tapi dulu pengajarnya juga bukan mereka, tapi Fani dulu.
Itupun materinya masih belum ada, belum terjadwal. Kalau dulu itu kamu besok
mau bahas apa, ayok. Jadi kalau yang sekarang kayak lebih tertata.
Dian: Eem, jadi kayak sudah ada kurikulumnya sendiri?
Mada: Iya, kayak semacam kurikulum.
Dian: Nah, tadi mbak kan bilang kalau bahasa isyarat yang digunakan adalah yang
lokal Jogja. Jadi sebenernya bahasa isyarat itu tidak hanya satu?
Mada: Sampai sekarang yang digunakan memang bahasa isyarat Indonesia
Jogjakatya. Karena memang bahasa isyarat internasional itu beda. Kalau misal
contoh itu kita ada bahasa daerah, ada juga bahasa Indonesia, ada juga bahasa
negara lain, ada juga bahasa kesepakatan internesainal, bahasa Inggris, misalnya
gitu. Sama kayak mereka, jadi misalkan mereka pake bahasa isyarat Indonesia
Jogjakata, itu yang mereka ajarkan di sini. Karena itu bahasa yang kesepakatan
temen-temen tunarungu di Jogja dan juga yang biasa mereka pakai. Itu kan akan
mudah karena bahasa mereka sehari-hari untuk komunikasi gitu loh. Jadi akan
lebih mudah untuk temen-temen sharing informasi sesama tunarungu sesama Jogja.
Ntar kalau udah ke Solo, udah ke Jakarta itu bahasanya bisa berbeda. Tapi mereka
akan tetep paham karena mereka kan sesama tunarungu. Biasanya kan masih ada
gerakan yang sama.
Dian: Mbak Mada ini kan udah setahun ini di sini. Nah itu awal mulanya karena
memang niat untuk jadi volunteer atau karena ikut kelas ini akhirnya tertarik buat
jadi volunteer?
Mada: Jadi kalau dulu itu kan jaman aku skripsi kan, sekarang udah lulus. Itu dulu
pas jaman skripsi kan emang udah gak banyak kegiatan, jadi pengen cari kegiatan
apa gitu. Terus ada temenku share di twitter, ada videonya, ada profilnya, dan
tertarik pas ada pentas. Awalnya cuman ngobrol aja tapi terus ternyata ada kelas
bahasa isyarat gratis, jadi kan tertarik. Aku dateng ke sini dulu awalnya sendirian.
Maksudnya jadi dari Fani, senior itu ngajar bahasa isyarat sama anak kecil, bukan
anak kecil sih, muda muda atau junior tunarungu gitu. Jadi ngerasa aneh sendiri
gitu kan, normal sendiri gitu kan soalnya. Terus akhirnya dulu sempet aduh gimana
nih, gak nyambung. Tapi ternyata asik kok sama mereka, ikut pentas mereka, terus
ngobrol sama mereka ternyata asik terus akhirnya sampai sekarang akhirnya tetep
di sini. Soalnya kalau aku pikir saat kita sudah bisa berkomunikasi dengan mereka,
kenapa gak kita lanjutkan. Karena kan gak semua orang bisa dan mau nggak mau
sebenernya mereka membutuhkan kita kan. Apalagi kita yang sudah bisa bahasa
isysrat akan lebih mudah diterima mereka, kalau informasi kita juga bisa sharing.
Karena kalau aku mau cerita sebenernya dulu itu Babe juga cerita kalau banyak
banget orang yang dateng ke sini, terus tertarik ke sini. Tapi ya belajar terus pergi.
Udah tahu tunarungu itu sebenernya oh gini, oh gitu, oh bahasanya gitu, oh
budayanya gitu, ya udah mereka berlalu begitu aja. Kalau aku nyebutnya gini,
banyak orang yang tertarik sama DAC, tapi nggak banyak orang yang mau serius.
Kalau sekarang kebetulan ingin fokus di dunia difabel, jadi nggak Cuma tunarungu
aja. Awalnya memang dari tunarungu, pengennya belajar lagi banyak hal. Karena
di sekolah biasa kan nggak ada juga ya.
Dian: Tadi kan bilang kalau misalkan pentas-pentas gitu sering ikut, jadi kayak jadi
interpreter yang biasanya ada di depan gitu.
Mada: Iya pernah. Di sini kan volunteer-nya kan banyak. Nggak banyak sih kalau
dibilang banyak. Kadang ada dulu siapa, terus siapa, terus sekarang kalau memang
mereka ada kebiatan lain ya aku, tapi kalau misalkan aku nggak bisa ya ganti siapa.
Ada sekita lima orang lah yang seusia sama aku, tapi yang sekarang-sekarang ini
memang aku.
Karlin: Nah, kalau pengajar-pengajarnya itu memang gantian atau gimana?
Mada: Kalau setiap sesi itu per harinya memang sama yang ngajar. Misalkan ini
kan hari Senin, sesi satu dan sesi dua itu sama yang ngajar karena kan memang
jadwalnya mereka. Tapi kalau dulu itu kan rame, ini lagi sepi mbak. Kalau bulan-
bulan lalu itu bisa sampe yang ngajar dua orang sebenernya, jadwalnya harusnya
per sesi itu dua orang. Total yang ngajar itu empat orang, misal hari ini dua, besok
Kamis dua. Cuman ini memang pas lagi sepi, mungkin karena hujan lan tadi. Ini
juga yang ngajar juga cuman satu karena ngelihat yang dateng cuma sedikit jadi
lebih baik fokus satu aja, soalnya kan pengajarnya kan juga pada kuliah. Jadi kalau
misalkan pas mereka nggak bisa terpaksa satu orang atau siapa lah yang lagi dateng
di sini. Rata-rata yang ngajar di sini memang kuliah, tapi kalau yang Zakka ini
masih sekolah, kelas 2 SMK.
Karlin: Kalau sekarang ini kayak kita di dalem tadi media pembelajarannya udah
pake LCD. Tapi kan tadi di belakang kayaknya ada papan tulis juga, jadi apakah
papan tulis itu pernah dipakai? Maksudnya gimana gitu sebenernya media
pembelajarannya?
Mada: Iya kayak tadi aku bilang mulai Desember ini kan mulai terorganisir. Jadi
memang mulai Desember ini udah mulai pakai proyektor sih, jadi lebih besar. Jadi
di tembok sana itu, soalnya kan dikasih gambar, jadi biar jelas. Tapi itu karena
kemarin ada beberapa program yang berhenti, tapi ternyata peminatnya masih
banyak jadi kita lanjutkan tapi pake LCD (layar). Kalau sebelumnya, pas bulan
sebelum Desember itu memang pakek papan tulis. Itu ya dulu yang ngajar Fani,
anak sini, jadi mereka nulis bukan gambar. Misalnya gini, temen-temen yang
dateng maunya belajar kata-kata apa nih? Misalnya tas, baju, jilbab, sepatu, kursi,
nanti apa nanti Fani ngajarin. Kalau udah nanti terus dibikin kalimat terus maju.
Sebenernya masih sama tapi lebih siap karena sudah ada materi dan LCD-nya.
Karlin: Jadi memang lebih jelas ya?
Mada: Iya, karena memang sebenarnya butuh gambar.
Dian: Ini berarti tempatnya memang terpisah dari saat teman-teman belajar seni
kayak misalya dance, teater gitu .
Mada: Sebenernya tetap di sinilatihannya. Misalkan kalau mau pentas gitu ya
mereka latihannya di sini. Kalau dulu itu sebenernya ada jadwal latihan capoeira
itu di depan, cuman karena udah masuk musim hujan jadinya berhenti. Karena
kalau di dalem itu kurang akses gitu loh. Jadi untuk sementara berhenti. Besok juga
sebenernya ada latihan jimbe hari rabu. Mereka mau pentas dance latihannya ya di
dalem, di tengah situ. Tapi kalau misalkan pentasnya besar kayak kemarin
pantomim yang kumpul sama komunitas yang lain itu di TBY. Soalnya itu kan
gabung sama komunitas lain, sama temen-temen lainnya.
Dian: Kalau untuk craft ini juga mereka sendiri yang bikin?
Mada: Iya, jadi kalau ini (baju) mereka gunting sendiri. Jadi bahannya mereka
gunting sendiri terus desainnya mereka yang buat terus disablon sendiri, kayak
gitu. Saya nggak pernah lihat sih. Tapi terus ada yang lain kayak stiker, pin, gelas,
terus yang lain-lain itu memang mereka bikin sendiri. Cuman memang sekarang
agak kurnag apa ya, kayak kurang diurus kan soalnya mereka udah kuliah,
ngurusin kelas bahasa isyarat, banyak seminar, advokasi, dll. Tapi mereka yang
utamanya itu program untuk peduli sesama gitu ya. Jaditema besarnya itu Difabel
for Cancer. Jadi difabelnya kan tuna rungu nih. Mereka itu membuat acara amal
gima caranya mereka bisa membantu penyandang kanker. Jadi mereka itu difabel
tapi mereka mau bantu sesama. Nah, kalau dulu itu caranya setiap pentas ada
volunteer yang kayak bawa apa gitu buat yang mau nyumbang. Nah hasil
sumbangnnya ini akan disumbangkan semuanya ke yayasan kanker. Tapi kalau
sekarang programnya sudah diganti. Jadi mereka bikin ini (pin), ini dibikin mereka
sendiri. Jadi program besarnya itu ini. Mereka cetak sendiri, mereka bikin
desainnya sendiri, terus apa namanya, nanti hasil penjualannya seratus persen akan
disumbangkan ke yayasan kanker, Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja (YKAKJ).
Kita kerjasama sama YKAKJ itu alhamdulillah sudah terkumpul uang sampai
belasan juta hanya dari pin yang mereka buat. Itu baisanya setiap pentas itu nanti
ada yang memperkenalkan program kita itu salah satunya ini. Itu untuk
menumbuhkan kepedulian dari temen-temen difabel. Jadi dulu itu ada inisiatif
kayak gini ini aku udah ngerasa kalah banget. Ini dari mereka sendiri, idenya dari
mereka sendiri, yang bikin mereka sendiri, itu ada alatnya di sana, desain sendiri.
Jadi kita cuman nanya, kamu pengennya gimana, gini gini, gini gini, gitu.
Daripada uang pentas dikasihin gitu kan rasanya gimana gitu, lebih mulia kan
kalau bentuknya seperti ini.
Dian: Tadi mbak kan bilang kalau temen-temen DAC lagi sibuk dan banyak
kegiatan. Jadi kalau misalkan mekanismenya memang mereka sendiri yang dateng
ke sini, maksudnya DAC memang tidak mencari orang?
Mada: Nggak, mreka justru akan mencari kita. Karena coba deh kita pikir, kalua
kita minoritas, kita pasti akan mencari sesama kita kan, ya contohnya itu Rini, yang
ada di sana (menunjuk Rini yang jaga makanan di dekat pintu). Di baru aktif
sekitar satu dua bulan ini di sini. Awalnya dulu dia itu kerja, terus dia pengen
daftar kerja itu dia datengnya ke sini. Karena di sini tempat yang dia bilang gini, di
sini itu tempat yang bisa membuat dia dipahami, ngobrol, nggak banyak lo orang
yang bisa bahasa isyarat kan, dan bisa tanya gimana sih caranya daftar kerja, bikin
surat, dll. Ya udah kita bantu bikin dan sebelum pulang dia bilang terima kasih ke
semuanya, dia bilang dia terharu, dan dia senang ada di sini. Itu salah satunya, dan
yang lain juga rata-rata seperti itu. Karena kalau mereka pulang ke rumah pun
hambatan komunikasi itu yang bikin mereka mungkin nggak nyaman dan saat
berkumpul di sini mereka nyaman. Jadi akan kembali lagi pasti.
Dian: Oia, kemarin itu aku denger kalau teman-teman itu buat dancenya bikin
sendiri, belajar sendiri gerakan-gerakannya, itu emang kayak gitu ya mbak?
Mada: Kalau yang dance itu sebenarnya tidak murni 100 % mereka bikin sendiri.
Tapi mereka dapet inspirasi gerakan dari youtube juga. Terus dulu juga pernah ada
yang magang di sini, bukan magang sih, penelitian di sini, dan ternyata dia bisa
nge-dance kan anak ISI, jadi ajarin dong ajarin, gitu. Otomatis mereka dapet
inspirasi dari mana-mana, dari youtube, atau orang mereka lihat terus mereka
bikin. Biasanya kalau mau latiha aja eh tambah ini ya, tambah ini tambah itu, gitu.

b. Transkrip Zakka (Pengajar SST)
Peserta didik dari DAC ini memang tidak hanya dari kalangan tuna rungu,
namun justru sebagian besar murid adalah orang normal. Walaupun demikian
untuk tenaga pengajar sendiri, menurut Mada, salah seorang relawan di DAC,
adalah dari orang-orang tuna rungu sendiri.
Salah satu pengajara tersebut adalah Zakka, asal Kali Duren, Moyodah,
Sleman. Siswa kelas dua SMSR ini telah mulai mengajar sejak Desember tahun
2013 lalu. Walaupun tergolong masih berusia muda ia tidak canggung dalam
mengajar orang yang lebih dewasa darinya. Sebab menurutnya mengajar adalah
panggilan dari hati. Sebab tak banyak orang yang dapat menggunakan bahasa
isyarat terlebih untuk mengajarkan.
Ia sendiri mulai belajar bahasa isyarat dari teman-teman sekolahnya ketika
di SLB setingkat SMP. Namun ada beberapa perbedaan antara bahasa isyarat
teman SLB nya dengan bahasa isyarat yang diajarkan di DAC. Ia pun mengetahui
DAC juga dari teman sekolahnya tersebut. Ia sendiri awalnya tertarik bergabung
dengan DAC adalah karena ingin belajar seni khusunya tarian hip-hop. Namun
semakin berjalannya waktu ia pun mulai tertarik untun mengajar bahasa isyarat.
Walaupun awalnya ia sempat menolak sebab ada orang normal yang menurutnya
lebih bisa mengajar.
Pada mulanya DAC tidak bergerak dalam pengajaran bahasa isyarat seperti
sekarang ini. Namun lebih pada kesenian bagi penyandang tunarungu. Kelas
bahasa isyarat sendiri baru dimulai sejak desember 2013 lalu. Kelas pengajaran
dimulai dari Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu (Gerkatin) dengan guru
bernama Fani. Dari sinilah kelas mengajar bahasa isyarat mulai ada. Awalnya
sangat banyak peminat kelas ini, namun beberapa waktu terakhir murid dari kelas
ini mulai menurun.
Untuk fasilitas mengajar pertama kali menggunakan papan tulis. Yakni,
pengajar bertanya hal apa yang ingin dipelajari dan ditulis di papan tulis.
Kemudian mulai diajarkan bagaimana bahasa isyarat yang mewakili kata-kata
tersebut. Kemudian karena jumlah peserta yang meningkat mulai menggunakan
proyektor agar semua peserta dapat melihat materi atau gambar yang disampaikan.
Untuk sekarang ini menggunakan fasilitas laptop dan layar LCD sebagai alat
pengajaran. Materi pun lebih siap dibandingkan sebelumnya saat masih
menggunakan papan tulis.
Bentuk pengajarannya adalah pada layar LCD menampilkan gambar-
gambar yang kemudian dipraktekkan bahasa isyaratnya oleh pengajar yang
kemudian diikuti oleh peserta. Kelas berlangsung secara rileks tanpa materi yang
memberatkan. Pada setiap bagian akan dilakukan pengulangan oleh pengajar untuk
memastikan peserta memahami hal yang disampaika. Pada akhir kelas biasanya
pengajar membuat serangkaian cerita yang kemudian harus dipraktekkan di depan
kelas. Namun hal ini tidak semua peserta atau murid bersedia untuk maju kedepan
mepraktekkan walaupun mengaku sudah paham dan bisa. Menurut Zakka hal ini
merupakan salah satu kendala dalam proses pengajara. Walupun demikian ia tidak
terlalu memikirkan hal tersebut, sebab masih ada beberapa peserta yang bersedia
untuk maju kedepan. Menurutnya hal ini bukanlah masalah besar dalam proses
kelas bahasa isyarat ini. Selain itu kehadiran peserta yang tidak menentu juga
merupakan salah satu permasalahan pemahaman peserta tas materi yang
disampaikan. Walaupun demikian ia tetap bersemangat mengajar, untuk
menambah pengalaman dan bergrak atas suara hatinya.

c. Transkrip Nurani dan Wisnu (Peserta)
Nurani, Mahasiswa Semester 6 Pendidikan Luar Biasa UNY
1. Alasan mengapa tertarik bergabung dengan DAC?
Alasan utama bergabung dengan DAC ini, karena saya kuliah di jurusan PLB
yang seharusnya memiliki bekal bahasa isyarat. Untuk bahasa isyarat, memang
tidak ada mata kuliah khusus di kampus, yang ada hanyalah mata kuliah
komunikasi total. Oleh sebab itu saya bergabung dengan DAC ini agar saya
dapat belajar bahasa isyarat yang tidak diajarkan di kampus dan dapat
digunakan untuk kedepannya.

2. Darimana mendapat informasi DAC?
Informasinya di dapat dari teman-teman yang kebetulan bergabung di DAC
sebelum program kelas bahasa isyarat ini diadakan.

3. Sejak kapan bergabung di DAC?
Sudah cukup lama mbak, dulu sempat ada teman saya yang tuna rungu juga
ikut kelas ini, namanya Vivi, kadang ke sini kadang tidak. Dia ikut ini karena
dulu dia sekolah di Malang dan di Malang menggunakan komunikasi total,
jadi dia tidak bisa menggunakan bahasa isyarat.

4. Bagaimana metode pengajarannya?
Kalau metode pengajarannya, tadi mungkin mbak juga udah lihat sendiri ya,
jadi memang pengajarnya dari tuna rungu itu sendiri, tetapi mereka memang
sudah terbiasa berkomunikasi dengan orang normal. Pengajaran di bagi
menjadi 3 sesi, sesi pertama memberi pemaparan materi melalui gambar-
gambar yang ditampilkan di layar kaca. Sesi kedua, praktek langsung oleh
peserta didik dengan dipandu oleh pengajar. Sesi terakhir adalah praktek
mandiri oleh peserta didik. Mayoritas pengajar di DAC ini dipegang oleh para
penyandang tuna rungu, namun mereka tetap pandai dalam menyampaikan
materi.

5. Apa kendala yang diahadapi?
Kalau saya sih, kadang ada isyarat baru yang belum dimengerti, tapi langsung
teratasi dengan aku langsung bertanya. Kalau untuk pengajar tidak ada
masalah.

6. Apa harapan ke depan?
Harapan pribadi, kalau ketemu temen-temen tuna rungu bisa ngerti dengan apa
yang mereka komunikasikan, paham mereka bicara apa.

7. Apa yang telah di dapatkan selama belajar di DAC?
Ya, kenal bahasa isyarat dan teman-teman yang masih peduli dengan tuna
rungu.

8. Apa yang akan dilakukan setelah selesai dari DAC?
Bisa jadi guru yang bisa paham dan dekat dengan anak didik, salah satu
caranya dengan mengerti bahasa isyarat.

Dadang / Wisnu, sudah bekerja
1. Alasan mengapa tertarik bergabung dengan DAC?
Alasan saya bergabung di DAC ini agar saya dapat berbahasa isyarat dan dapat
mengajarkan kepada penyandang tuna rungu di daerah sekitar temoat tinggal
saya.

2. Darimana mendapat informasi DAC?
Dari teman yang aktif juga di sini.

3. Sejak kapan bergabung di DAC?
jadi saya di sini justru sebelum ada kelas bahasa isyarat ini. Awalnya saya
melalui Gerkati itu, dulu hanya yang ingin belajar ya belajar sendiri bersama
mereka setiap hari senin dan jumat, hanya berdua aja. Jadi awal mula kelas ini
ya bulan Desember 2013. Semenjak itu mulai ada kelas rutin, yang kadang
saya punya teman yang ganti-ganti, kadang dateng kadang nggak, ada lagi
baru dan begitu seterusnya.

4. Apa kendala yang diahadapi?
Kendala justru ketika teman-teman tuna rungu menggunakan bahasa isyarat
yang saya nggak tahu, saya juga harus bertanya kembali ke teman-teman
seperti kamu ngomong apa, itu bahasa isyarat apa. Bahasa isyarat itu harus
sabar tapi basicnya sih mempelajari huruf. Kadang ketika zakka berbicara
dengan teman-teman lain saya yang nggak tahu mereka ngomong apa.
Kendala lain, mungkin bahasa isyarat yang diajarkan di Yogyakarta memang
berbeda dengan daerah lain, jadi perlu penyesuaian-penyesuaian.

5. Apa harapan ke depan?
Harapannya sih disini terus, belajar terus dan nggak akan berhenti dari DAC.
Harapan yang kedua bahasa isyarat memiliki keseragaman di Indonesia. Yang
ada sekarang memang masih berbeda-beda, oleh sebab itu harapannya ke
depan dapat sama, sehingga tidak memunculkan kebingungan.

6. Apa yang telah di dapatkan selama belajar di DAC?
Yang di dapatkan selain materinya sisi kebersamaan teman-teman disini.
Tidak jarang diantara kami curhat, bercanda bersama, bergurau, melakukan
acara apa, hadir di acara pementasan. Selain itu pelajaran yang dapat diambil
adalah bagaimana sikap kita seharusnya bisa saling memahami, maaf memang
apa yang menjadi kekurangan mereka ya mereka tidak mengerti apa yang kita
maksudkan, namun kendala bagi orang normal adalah kita tidak dapat
mengerti bahasa mereka, oleh sebab itu belajar mereka.

7. Apa yang akan dilakukan setelah selesai dari DAC?
Memberikan pengajaran bagi penyandang tuna rungu di sekitar tempat
tinggalnya.

Anda mungkin juga menyukai