Anda di halaman 1dari 10

64 Maslahah, Vol.1, No.

1, Juli 2010

Mukaddimah
Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara
yang terdiri dari berbagai macam
suku bangsa. Keragaman suku
bangsa ini membawa sebuah
konsekuensi kepada munculnya
berbagai macam kebiasaan yang
hidup di tengah masyarakat. Ber-
bagai kebiasaan yang ada di te-
ngah masyarakat tersebut menjadi
sesuatu yang mengikat dalam ke-
hidupan sehari-hari. Kebiasaan ini
ada yang berimplikasi hukum dan
ada juga yang tidak berimplikasi
hukum. Khusus untuk kebiasaan
yang mempunyai implikasi hukum,
maka kebiasaan tersebut dikenal
dengan istilah Hukum Adat. Hu-
kum Adat merupakan terjemahan
dari istilah bahasa Belanda, yakni
adatrecht.
1
) Istilah adat itu sendiri
sebenarnya adalah sebuah kata
yang diambil dari bahasa Arab,
yang mempunyai arti kebiasaan.
Keberadaan Hukum Adat di
Indonesia mungkin sama tuanya
dengan keberadaan masyarakat
Konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam
di Masa Penjajahan
Muhammad Aiz


Abstract. The modern codification of civil law developed out of the customs,
or coutumes of the middle ages, expressions of law that developed in
particular communities and slowly collected and later written down by
local jurists. Such customs acquired the force of law when they
became the undisputed rule by which certain entitlements (rights) or
obligations were regulated between members of a community. The
Custom of Jawa --the customary law that developed within the city of
Jawa-- is an example of custom law. Sharia is derived from the sacred
text of Islam (the Qur'an), and Traditions (Hadith) gathered from the
life of the Islamic Prophet Muhammad. There are different
interpretations in some areas of Sharia, depending on the school of
thought (Madh'hab), and the particular scholars (Ulama) involved.
Traditionally, Islamic jurisprudence (Fiqh) interprets and refines Sharia
by extending it's principles to address new questions. Islamic judges
(Qadi) apply the law, however modern application varies from country
to country.



Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 65

yang menempati kepulauan Indo-
nesia itu sendiri. Oleh karenanya
Hukum Adat mengalami perubah-
an-perubahan seiring dengan ber-
ubahnya suatu masyarakat. Di da-
lam adat Minangkabau terdapat
pepatah yang berbunyi, sekali air
gadang, sekali tapian beranjak,
sekali raja berganti, sekali adat
berubah
2
)
Pengertian Hukum Adat itu
sendiri sebenarnya masih diper-
debatkan dan bermacam-macam,
antara lain ialah :
Ter Haar dalam pidato
Dies NatalisRechtshogeschool,
Batavia, 1937, menyatakan Hukum
Adat adalah seluruh peraturan
yang ditetapkan dalam keputusan-
keputusan yang penuh wibawa,
dan yang pelaksanaannya diterap-
kan begitu saja, artinya tanpa
adanya keseluruhan peraturan,
yang di dalam kelahirannya dinya-
takan mengikat sama sekali.
3
)
Van Dijk menyatakan
bahwa Hukum Adat adalah hukum
yang tidak terkodifikasi dikalangan
orang Indonesia asli dan kalangan
timur asing.
4
)
Istilah Hukum Adat atau
adatrecht pertama kali diperguna-
kan oleh Snouck Hurgronje tahun
1839. Namun demikian istilah
tersebut baru secara resmi diper-
gunakan di dalam perundang-
undangan pada tahun 1920, yakni
Stbl. 1920 nr 105 tentang UU
Perguruan Tinggi di Belanda.
Pengaruh sejarah terhadap
Hukum Adat itu sendiri terlihat
dengan banyaknya hal-hal yang
berasal dari luar masyarakat itu
sendiri. Di antara pengaruh yang
cukup meresap di masyarakat ada-
lah yang berasal dari agama. Oleh
sebab itu tidaklah mengherankan
apabila ada hal-hal yang terkait
dengan masalah Hukum Adat
bernuansa agamis, baik Islami,
Kristen, Hindu, maupun Budha di
beberapa lingkungan masyarakat.
Sebagai contoh pengaruh Islam
dapat dilihat di masyarakat Mi-
nangkabau dan Jawa, Kristen di
Manado, dan Hindu di Bali. Bagi
pemeluk agama Islam berdasarkan
pembagian golongan masyarakat,
yakni pribumi, maka hukum yang
berlaku dalam peradilan adalah
Hukum Islam. Hal ini sesuai de-
ngan teori Receptio in complexio
yang dicetuskan oleh Van Den
Berg.
Keberadaan adat sebagai sua-
tu instrumen hukum, sudah lama
diperhatikan ketika penjajah B-
elanda tiba di Indonesia. Keber-


66 Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

adaan Hukum Adat ini terus ber-
langsung meskipun penjajahan Be-
landa di Indonesia telah berakhir
ketika pemerintah Kerajaan Negeri
Belanda di bawah pimpinan Let-
nan Jendral Ter Poorten menan-
datangani perundingan di Kalijati
Subang, tanggal 9 Maret 1942
dengan Kerajaan Jepang di bawah
pimpinan Letnan Jendral Hitoshi
Imamura, yang isinya menyatakan
bahwa Belanda menyerah kepada
Jepang. Pada saat dikuasai Jepang,
Indonesia dibagi menjadi dua,
yakni:
1. Pulau Jawa dan Sumatera
di bawah komando Angkatan Da-
rat yang berpusat di Jakarta.
2. Pulau Kalimantan, Sula-
wesi, dan Maluku di bawah
komando Angkatan Laut yang
berpusat di Makassar.
Berdasarkan hal tersebut
maka ada beberapa hal yang
menarik untuk dikaji berkaitan
dengan konstelasi Hukum Adat
dan Hukum Islam di masa pen-
jajahan Belanda dan Jepang, me-
ngingat antara Hukum Adat dan
Hukum Islam terkadang memiliki
persamaan dan perbedaan yang
sangat dalam.

Eksistensi Hukum Adat dan
Hukum Islam
Islam adalah agama samawi
atau agama wahyu. Dasar-dasar
hukum Islam adalah al-Quran
sebagai kitab yang berisikan wah-
yu-wahyu yang telah diterima
Nabi Muhammad SAW. Dasar
hukum yang kedua adalah apa-apa
yang telah dilakukan, diucapkan,
dan disetujui Rasul sebagai contoh
untuk melakukan al-Quran terse-
but, yang selanjutnya disebut
hadits. Dasar hukum ketiga adalah
ijma dan qias. Keduanya baru
dilakukan manakala ada keha-
rusan penetapan hukum semen-
tara tidak ditemukan aturannya
baik dalam al Quran ataupun ha-
dits. Walaupun begitu, hukum
Islam mengenal dan membenar-
kan hukum adat. Para ahli ushul
fikih menerima adat yang dalam
bahasa fikih disebut dengan urf
dengan batasan sebagai sesuatu
yang dilakukan atau diucapkan
berulang-ulang oleh banyak orang,
sehingga dianggap baik dan dite-
rima jiwa dan akal yang sehat.
Dalam hal akidah dan ibadah urf
tak lazim digunakan, sementara
para ahli usul fikih yang menerima
cenderung untuk membatasinya


Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 67

dalam masalah masalah muama-
lah.
Ada dua alasan mengapa hu-
kum adat dapat diterima dalam
hukum Islam dalam menentukan
status hukun atas sesuatu. Per-
tama, sebuah hadis yang menga-
takan, "Apa-apa saja yang diang-
gap ummat Islam baik, maka di sisi
Allah juga akan dianggap baik dan
apa-apa saja yang dianggap
ummat Islam buruk, maka di sisi
Allah juga buruk "(H.R.Bukhori
Muslim). Kedua, dalil: Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh. (Q.S.Al
Araaf [7]:199)
Sebagai salah satu dalil hu-
kum (dalam Islam), Islam mem-
bagi hukum adat jadi dua bagian.
Pertama, urf sahih, yaitu hukum
adat yang tidak bertentangan
dengan al-Quran dan sunnah (ha-
dits), tidak menghalalkan yang
haram, dan tidak mengharamkan
yang halal. Contohnya sesan da-
lam adat perkawinan di Lampung,
tetapi bukan bagian dari mahar
melainkan hadiah untuk memulia-
kan.)
Kedua, urf fasid (ditolak
syara) karena menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang
halal. Contohnya menghalalkan
riba atau khamar (minuman keras)
pada waktu waktu tertentu,
seperti pesta dan sebagainya.
Hukum adat atau urf sahih dalam
Islam dapat dibagi dua: (1) urf
amm yakni hukum adat yang
berlaku di berbagai tempat, dan
(2) urf khass yakni hukum adat
yang berlaku di tempat tertentu.
Baik amm ataupun khass dapat
dijadikan hukum Islam sejauh ha-
nya meliputi muamalah dan tidak
bertentangan dengan hukum Is-
lam yang berdasarkan al Quran
dan sunah. Para ulama fikih me-
nyepakati hukum adat sebagai
dalil penetapan hukum Islam. Bagi
Imam Hanafi, jika urf amm ber-
tentangan dengan kias, ia akan
memilih urf amm. Sementara
Imam Maliki menggunakan hukum
adat sebagai dalil dalam me-
netapkan hukum dengan qaidah
al-maslahah al-mursalah (masa-
lah yang tidak didukung dan tidak
pula ditolak oleh nash). Dengan
demikian, dalam menetapkan hu-
kum Islam, hukum adat dapat
dijadikan latar hukum Islam. Para
pelaku penetap hukum Islam
(mujtahid) harus mempertimbang-
kan hukum adat dalam menetap-


68 Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

kan hukum Islam seperti kese-
pakatan ahli hukum Islam (fuqaha)
yang menetapkan rumus dalam
ilmu fikih addah muhakkamah
(hukum adat dapat dijadikan
landasan hukum Islam), dan juga
qaidah lain al-maruf urfan ka al-
masyrut syartan (yang baik itu
menjadi kebiasaan, sama halnya
dengan yang disyaratkan menjadi
syarat).

Perubahan Budaya di Masa Pen-
jajahan Jepang
Kebiasaan yang tumbuh di
tengah masyarakat tidak semua-
nya mempunyai implikasi hukum.
Kebiasaan inilah yang dapat dika-
tegorikan budaya atau culture.
Pada masa pendudukan penjajah
Jepang, bangsa Indonesia meng-
alami suatu perubahan dalam hal
budaya dibandingkan saat penja-
jahan Belanda. Melalui kegiatan
yang tampaknya sudah terprog-
ram dengan baik berdasarkan
pengalaman restorasi Meiji yang
dilakukan oleh Shogun Tokugawa,
di Indonesia pun dilakukan juga
restorasi, yang mungkin lebih
sesuai disebut dengan istilah
reformasi. Sebab untuk membang-
kitkan bangsa Indonesia agar mau
bekerjasama dengan Jepang,
maka perilaku budaya yang sudah
dibina oleh Belanda harus segera
ditata kembali secara total.
Gerakan reformasi yang sudah
dirumuskan dengan mantap ini
diterapkan ke seluruh lapisan
masyarakat, baik di kota maupun
pelosok desa.
Perilaku penjajah Belanda
terhadap bangsa Indonesia adalah
dengan menjadikan manusia Indo-
nesia sebagai kuli kasar yang tidak
perlu dididik untuk mengenal
disiplin, etika, dan estetika, serta
dihilangkannya rasa kepercayaan
dirinya untuk tetap takut dan
patuh menjalankan peraturan.
Namun pada zaman Jepang tidak
demikian sepenuhnya. Walaupun
kita mengenal kerja paksa Romus-
ha tapi dilain sisi anak-anak usia
sekolah baik tingkat Sekolah
Rakyat (SD) maupun Sekolah
Menengah Tinggi (SMU) dilatih
dan dibina secara militer. Pel-
ajaran baris berbaris dan perang-
perangan juga diajarkan, termasuk
kampanye yang dilakukan secara
efektif bahwa musuh bangsa
Indonesia adalah Belanda, Ame-
rika, dan Inggris. Berbagai lagu
perjuangan untuk menunjang se-
mangat baik yang berbahasa Indo-
nesia maupun Jepang diajarkan


Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 69

hingga hafal karena setiap hari
selalu mendengar lewat radio
yang disiarkan oleh Jakarta Hoso
Kyoku.
6
) Namun demikian pel-
ajaran di sekolah masih menggu-
nakan pola pelajaran Belanda,
hanya bahasanya yang diganti
menjadi bahasa Jepang, seperti
buku Maki-Chi, Maki-Nya, Maki-
San, dan Maki-Yon.
7
)
Reformasi yang diterapkan
Jepang selama 3,5 tahun ternyata
telah berhasil mengubah perilaku
budaya dan sikap mental bangsa
Indonesia untuk percaya diri.
Kepercayaan diri inilah yang men-
jadi modal utamabangsa Indonesia
untuk meraih kemerdekaan. Na-
mun meskipun reformasi budaya
telah menjadikan bangsa Indone-
sia kuat tapi penderitaan selama
3,5 tahun ternyata lebih menye-
dihkan dibandingkan saat penja-
jahan Belanda

Perkembangan Hukum Adat
Antara Tahun 1928 1945.
Dalam periode antara tahun
19281945, menjelang berakhir-
nya masa penjajahan Belanda di
Indonesia tahun 1942, terjadi be-
berapa hal yang signifikan
terhadap perkembangan Hukum
Adat itu sendiri. Oleh Ter Haar
dalam karangannya Halverwege
de nieuwe adatrecht politiek
tahun 1939 disebutkan
8
)
Usaha untuk memper-
baiki Peradilan Agama dengan
diubahnya pasal 134 IS menurut
Ind. Stbl.1929 nr 221 jo nr 487.
Susunan dan kompetensi
Pengadilan Agama, yang diun-
dangkan dalam Ind. Stbl. nr 53 .
Juga dengan diundangkannya
Ordonansi dalam Ind. Stbl. nr 116
pada tanggal 1 Januari 1931.
Pada tahun 1932 dibuat
ordonansi tertanggal 18 Februari
1932 yang diundangkan dalam
Ind. Stbl. Nr. 80 yang berisikan
tentang pemberian aturan-aturan
dasar dan peraturan penyeleng-
garaan yang dibuat oleh residen
setempat bagi peradilan adat yang
secara langsung diperintah.
Pada tahun 1937 didiri-
kan Hof voor Islamitische Zaken,
sebagai pengadilan banding atas
keputusan pengadilan agama
(Raad Agama), dengan dikeluar-
kannya Ind.Stbl. 1937.nr 610.
Pada tanggal 1 Januari
1938, pada Raad van Justitie di
kota Jakarta (Betawi) didirikan
adatkamer yang mengadili dalam
tingkat banding mengenai perkara
hukum privat adat yang telah


70 Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

diputuskan oleh Landraad-land-
raad di pulau Jawa, Bangka dan
Belitung, Kalimantan, Bali, Palem-
bang, dan Jambi.
Memasuki pecahnya Perang
Dunia II telah menutup suatu
masa yang mengenal aktivitas
besar yang berhubungan dengan
Hukum Adat, baik di bidang ilmu
hukum maupun politik hukum. Hal
ini bisa dilihat dengan tidak
dilanjutkannya penyelidikan ten-
tang Hukum Adat yang dilakukan
oleh Mr. Kusumadi Pudjosewodjo,
yang akan menyelidiki Hukum
Adat di Jawa Timur dan Mr.
Chabot yang hendak menyelidiki
Hukum Adat di Sulawesi Selatan.
Dalam perkembangan sejarah
Hukum Adat di zaman Jepang
tidak banyak mengalami per-
ubahan yang berarti, sehingga se-
cara umum tidak mengalami
perbedaan dengan zaman Belanda
di bidang Hukum Adat. Tak ada
satupun produk perundangan-
undangan yang dihasilkan pada
masa itu. Sebagian besar produk
perundang-undangan Belanda
yang terkait dengan Hukum Adat
tetap dipertahankan dan diper-
gunakan selama tidak berten-
tangan dengan kepentingan Je-
pang tentunya. Sesungguhnya hal
ini dapat dimengerti karena sing-
katnya masa penjajahan Jepang di
Indonesia dan fokus perhatian Je-
pang lebih terarah ke masalah
pertahanan dari ancaman serang-
an sekutu.
Seiring dengan perjalanan
waktu, tatkala Jepang telah tun-
duk kepada tentara sekutu,
ternyata banyak diantara serdadu-
serdadu Jepang yang memutuskan
untuk menetap di wilayah terse-
but dan bergabung dengan ma-
syarakat setempat. Dalam konteks
Hukum Adat tentunya para bekas
serdadu Jepang tersebut harus
mentaati hukum setempat. Tanpa
mentaati hukum setempat maka
mustahil masyarakat asli akan me-
nerimanya. Sebagai contoh kasus
adalah yang terjadi di Bali. Di sana
banyak bekas serdadu Jepang
yang memutuskan untuk tinggal
dan menetap di Bali. Mereka ikut
berjuang bersama masyarakat Bali
di dalam memerangi tentara NICA.
Beberapa nama tercata pernah
bergabung dengan para pejuang
Bali, diantaranya ialah Haraki yang
telah mengubah namanya menjadi
I Made Sukri. Haraki gugur dalam
pertempuran di Puputan Marga-
rana pada tanggal 20 September


Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 71

1946 bersama dengan pahlawan
nasional I Gusti Ngurah rai.
9
)

Perbandingan Kedudukan Hukum
Adat di Zaman Jepang Dengan di
Zaman Belanda.
Hukum Adat yang merupakan
hukum tidak tertulis yang tumbuh
di setiap lingkungan masyarakat
merupakan suatu pegangan bagi
masyarakat di dalam bertindak
dan bergaul di antara sesama.
Dengan demikian Hukum Adat
sangat dibutuhkan untuk meng-
atur tingkah laku manusia di ling-
kungannya. Hal ini telah disadari
oleh penjajah Belanda sehingga
mereka menempatkan Hukum
Adat sebagai salah satu sumber
hukum yang diakui. Di samping itu
juga pemahaman terhadap Hukum
Adat oleh penjajah Belanda meru-
pakan salah satu penyebab ber-
hasilnya Belanda menjajah Indo-
nesia dalam jangka waktu yang
lama.
Apabila kita bandingkan ke-
dudukan Hukum Adat antara masa
penjajahan Belanda dengan masa
penjajahan Jepang, maka akan
nampak perbedaan yang jauh.
Saat penjajahan Jepang keber-
adaan Hukum Adat kurang men-
dapat perhatian dari penguasa
Jepang. Hal ini dapat dilihat
dengan tidak adanya tokoh-tokoh
atau ilmuwan Jepang yang meng-
ekplorasi keberadaan Hukum Adat
Indonesia. Kurangnya perhjatian
ini bukan disebabkan karena keti-
daktertarikan Jepang atas hukum
asli yang berkembang di masya-
rakat Indonesia, namun alasan
yang paling utama adalah ter-
pusatnya konsentrasi seluruh
pemimpin Jepang dalam meng-
hadapi serangan sekutu. Hal ini
juga yang menyebabkan tidak
adanya perpecahan diantara ma-
syarakat adat karena tidak ada
pihak yang memprovokasi. Hukum
Adat tidak dijadikan alat untuk
memecah belah bangsa Indonesia.
Bahkan disadari atau tidak
disadari Jepang lah yang telah
memberikan kepercayaan diri
kepada bangsa Indonesia untuk
berjuang.
Keadaan ini bertolak bela-
kang jika dibandingkan pada saat
penjajahan Belanda dimana kita
mengetahui bahwa Belanda
sangatlah memperhatikan keber-
adaan dan perkembangan Hukum
Adat Indonesia. Sebagai contoh
tentunya kita mengenal dengan
Snouck Hurgronje, Van Vollen-


72 Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

hoven, Van Den Berg dan seba-
gainya.
Sebenarnya apa yang
menyebabkan penjajah Belanda
begitu memperhatikan Hukum
Adat di Indonesia? Menurut
hemat penulis ada beberapa hal
yang menjadi penyebab hal
tersebut, diantaranya ialah :
Politik penjajahan
Di sini penjajah Belanda
mempunyai kepentingan yang
sangat dominan dalam upaya me-
langgengkan misi penjajahan me-
reka. Oleh sebab itu pemerintah
Kerajaan Belanda membuat kebi-
jakan yang mana menugaskan be-
berapa orang ahli atau ilmuwan
untuk mempelajari secara khusus
karakteristik dan budaya masya-
rakat Indonesia. Dengan kebijak-
an tersebut pemerintahan Belan-
da dapt mengetahui seluk beluk
dari Hukum Adat itu sendiri, yang
pada akhirnya justru dipergunakan
untuk membuat lemah masya-
rakat adat itu sendiri. Adu domba
antar masyarakat (politik devide et
impera) merupakan salah satu ha-
sil dari eksplorasi yang dilakukan
oleh para ahli atau ilmuwan ter-
sebut. Selain itu adu domba antar
masyarakat, pemerintah Belanda
juga menggunakan isu agama
untuk di bentrokan dengan adat.
Hal ini dapat dilihat pada teori
yang diungkapkan oleh Snouck
Hurgro-nje dan Van Vollenhoven
yaitu teori Receptie, dimana
dikatakan bahwa yang berlaku di
Indonesia adalah Hukum Adat,
Hukum Islam baru dapat berlaku
jika tidak bertentangan dengan
Hukum Adat. Jelaslah bahwa
dengan adanya keragaman Hukum
Adat di Indonesia selain sebagai
kekayaan budaya juga sebagai
alat yang dipergunakan oleh
pemerintah Belanda di dalam
mempertahankan wilayah jajahan-
nya.
Kekayaan budaya
Sebagai sebuah negara maka
Indonesia merupakan salah satu
dari sedikit negara yang mempu-
nyai keragaman budaya. Hukum
Adat sebagai produk budaya dari
setiap lingkungan masyarakat ten-
tunya merupakan kekayaan yang
tak ternilai harganya jika dapat
diekplorasi dan dieksploitasi de-
ngan baik dan tepat. Inilah salah
satu yang menjadikan alasan juga
bagi penjajah Belanda dalam usa-
ha untuk memahami dan me-
nyelami keberadaan Hukum Adat .




Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 73

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di-
tarik beberapa kesimpulan se-
bagai berikut:
Pertama, Hukum Adat dan
Hukum Islam dapat bersanding
selama tidak melanggar ketentuan
syariat.
Kedua, Hukum Adat adalah
hukum yang mengatur tingkah
laku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sama lain, baik
yang merupakan kelaziman mau-
pun keseluruhan peraturan yang
mempunyai sanksi yang ditetap-
kan oleh penguasa adat.
Ketiga, dalam masa penja-
jahan Jepang tidak banyak per-
ubahan yang terjadi dalam per-
kembangan Hukum Adat di Indo-
nesia.
Keempat, pada masa Jepang
Hukum Adat tidak dijadikan seba-
gai alat untuk memecah belah ma-
syarakat Indonesia.
Kelima, Disadari atau tidak, Je-
pang telah memberikan perubah-
an budaya atau adat, dalam pe-
ngertian kebiasaan, yang telah di-
arahkan oleh Belanda.

Daftar Pustaka


Adat istiadat Lampung Tengah
http://www.wahana-budaya-
indonesia.com AAdatdat i
Beberapa Orang Jepang Menjadi
tumbal Saat Revolusi Bali,
dalam Baliaga.com.
Departemen Agama RI , Al Quran
al-Karim,
Darsoprajitno,Soewarno,3,5
Abad Terhapus Reformasi 3,5
Tahun, Pikiran Rakyat,
Edisi 27 Juli 2001.
Kabah, Rifyal, Indonesian Legal
History, Universitas Indonesia
2001.
Muhammad, Bushar, Asas-asas
Hukum Adat Suatu Pengan-
tar, Pradnya Paramita
Jakarta, 1986.
Ter Haar (Terjemahan Soebakti
Poesponoto), Asas-asas Dan
Susunan Hukum Adat, Prad-
nya Paramita Jakarta, 1980.
Van Vollenhoven, Orientasi
Dalam Hukum Adat Indo-
nesia, Djambatan Jakarta,
1981.

Anda mungkin juga menyukai