Anda di halaman 1dari 8

Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembutan Mie Basah 41

J.Pascapanen 2(1) 2005: 41-48


PENGAYAAN TEPUNG KEDELAI PADA PEMBUATAN MIE BASAH
DENGAN BAHAN BAKU TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI
TEPUNG GARUT
Widaningrum
1
, Sri Widowati
1
dan Soewarno T. Soekarto
2
1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
2
Institut Pertanian Bogor
Selama ini terigu yang digunakan di Indonesia seluruhnya diimpor dari luar negeri. Total impor terigu dari Januari hingga
Desember 2003 mencapai 344,2 ribu ton atau senilai US$ 75,4 juta yang setara dengan Rp 677,9 milyar. Eksplorasi
sumberdaya karbohidrat lokal dapat dilakukan dalam rangka menghemat devisa. Alternatif umbi-umbian yang dapat
mensubstitusi terigu dalam banyak penggunaan diantaranya yaitu umbi garut, dengan mengubah bentuknya terlebih dahulu
menjadi tepung. Penelitian ini bertujuan untuk membuat mie basah substitusi 20% tepung garut yang diperkaya kandungan
proteinnya dengan tepung kedelai. Penelitian ini didahului dengan pembuatan tepung garut dan tepung kedelai, kemudian
dilakukan analisis sifat fisiko kimianya. Penambahan tepung kedelai dilakukan pada taraf 0; 5; 10; dan 15%. Penambahan
tepung kedelai terbukti dapat meningkatkan kandungan protein dan memperbaiki warna mie basah dari terigu dengan
substitusi tepung garut 20%. Penambahan 15% tepung kedelai ke dalam formula tepung komposit 20% tepung garut
menghasilkan peningkatan kandungan protein dan lemak tetapi menurunkan kandungan karbohidrat. Uji deskripsi yang
dilakukan terhadap warna, tekstur, aroma dan rasa mie basah dengan penambahan tepung kedelai menunjukkan bahwa
panelis masih menyukai dan dapat menerima mie basah dari terigu substitusi 20% tepung garut sampai tingkat penambahan
tepung kedelai 10%. Mie tersebut mengandung air 27,4%; abu 0,7%; protein 9,7%; lemak 10,1%; serat kasar 3,4% dan
karbohidrat 52,2%. Berdasarkan uji organoleptik deskripsi termasuk sifat fisiko kimianya, produk ini telah memenuhi
persyaratan SNI untuk mie basah yaitu SNI 01-2987-1992.
Kata kunci: Tepung garut, tepung kedelai, mie basah
Abstract. Widaningrum, Sri Widowati and Soewarno T. Soekarto. 2005. Soybean Flour Enrichment in Wet
Noodle Made of Wheat Flour Substituted with Arrowroot Flour. Indonesian has been importing wheat flour for
domestic consumption for a long time. The total import of wheat flour from January to December 2003 was 344,200 tons
equal to US$ 75.4 million (Rp 677.9 billion). The exploration of local carbohydrate resources is a choice to preserve the
foreign currency deposit. One alternative of crops which could substitute wheat flour in many usages is arrowroot tuber, by
processing it to flour. The aim of this research was to increase protein content in wet noodle by enriching soybean flour
into wet noodle which made of 20% of arrowroot flour and 80% of wheat flour. Soybean flour was added in 0; 5; 10; and
15% concentration. This research was initiated by producing of arrowroot and soybean flours, then analyzing their
physico-chemical characteristics. The result showed that addition of soybean flour was proven increasing protein content
and improving the colour of wet noodle. The description test which applied to texture, colour, odor and taste of wet noodle
showed that panelists still accepted wet noodle made of wheat flour substituted with 20% of arrowroot flour with addition
10% of soybean flour. This product contents 27.4% of moisture; 0.7% of ash; 9.7% of protein; 10.1% of fat%, 3.4% of
crude fiber and 52.2% of carbohydrate. Based on description test including its physico-chemical characteristics, this
product has fulfill the requirement of wet noode standard of SNI 01-2987-1992.
Key words: arrowroot flour, soybean flour, wet noodle
PENDAHULUAN
Terigu merupakan bahan pangan utama yang digunakan
untuk membuat makanan di seluruh dunia. Selama
beberapa abad, terigu digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai jenis makanan seperti roti, kue, crackers,
pasta dan mie. Di negara-negara Asia, hampir setengah
dari jumlah terigu yang ada dibuat menjadi mie (Miskelly,
1993; Yeh and Shian, 1999). Mie di Asia dijual dalam bentuk
mentah, basah, kering, atau instan. Warna, sifat
pemasakan, tekstur dan rasa merupakan faktor penting
yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap mutu
mie di Asia (Moss, 1971 atau Nagao et al., 1977).
Secara umum, pengertian mie adalah bahan pangan
bentuk pipih dengan diameter 0,07 0,125 inchi, dibuat
dari tepung terigu dengan penambahan air, telur, dan air
abu melalui proses ekstrusi basah. Mie basah adalah mie
yang berkadar air 25 35% (Badrudin, 1994) dalam
Yustiareni (2000). Anonymous (1992) mendefinisikan
bahwa mie basah adalah produk makanan yang terbuat
dari terigu baik dengan atau tanpa penambahan bahan
baku lain, dan bahan tambahan makanan yang diizinkan,
berbentuk mie yang tidak kering, serta mempunyai kadar
air maksimal 35%.
42 Widaningrum
1
et al.,
Selama ini kebutuhan terigu di Indonesia diperoleh
dengan cara mengimpor dalam jumlah besar. Pada tahun
2003 Indonesia mengimpor terigu sebanyak 344,2 juta ton
yang setara dengan US$ 75,3 juta atau Rp 677,9 milyar
(Anonymous, 2003). Walaupun angka ini mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu Indonesia
mengimpor terigu sebesar 3,8 juta ton pada tahun 2002,
namun hal ini tetap harus menjadi perhatian utama untuk
dapat menemukan alternatif bahan pangan yang dapat
digunakan sebagai pensubstitusi atau bahkan pengganti
terigu pada produk makanan di masa yang akan datang.
Hal ini berkaitan erat dengan banyaknya kasus KEP
(Kurang Energi dan Protein) pada anak-anak dan dewasa,
busung lapar pada balita yang terjadi di NTB dan NTT
baru-baru ini, dan begitu banyak kasus-kasus kurang gizi
pada bayi dan balita. Peristiwa tersebut harus menggugah
para peneliti untuk terus menggali potensi hasil pertanian
yang berlimpah agar dapat dieksplorasi demi mewujudkan
ketahanan pangan nasional melalui diversifikasi pangan.
Salah satu hasil pertanian di Indonesia yang
potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan sumber
kalori yaitu umbi garut. Umbi garut semula dikenal
masyarakat sebagai tanaman obat untuk menyembuhkan
luka. Perkembangan ilmu menunjukkan bahwa umbi garut
memiliki potensi sebagai penghasil tepung. Lingga et al.
(1986) dalam Yustiareni (2000) menyebutkan bahwa umbi
garut mengandung pati 19,4-21,7%, air 69,1-72%, abu 1,3-
1,4%, serat kasar 0,6-1,3%, lemak 0,1% dan protein 1,0-
2,2%. Umbi garut sebenarnya merupakan hasil pertanian
yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia.
Penggunaan garut terlupakan dengan diperkenalkannya
terigu. Tepung garut dikenal sebagai bahan baku kue
garut, jenang garut, makanan bayi, keripik garut, dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku mie, baik mie kering
maupun mie basah. Dalam industri makanan, pemakaian
pati garut sudah semakin luas sebagai pengental sup, saus,
manisan, puding, dan es krim (Widowati et al., 1999).
Dukungan pemerintah pun cukup kuat dalam
meningkatkan peranan tanaman garut sebagai salah satu
alternatif penghasil tepung pensubstitusi atau
pendamping terigu (Yustiareni, 2000).
Secara umum sifat fisikokimia tepung garut hampir
mirip terigu, hanya garut tidak mengandung gluten.
Kekurangan lainnya dari tepung garut yaitu rendahnya
kandungan protein, sehingga untuk meningkatkan
kandungan protein produk yang dihasilkan dari tepung
garut perlu adanya penambahan sumber protein, misalnya
dengan tepung kedelai atau kacang-kacangan lain.
Sebagai informasi tambahan, kadar protein tepung garut
ialah 1,46% sedangkan pada tepung kedelai sebesar
46,39% (Yustiareni, 2000). Peningkatan nilai gizi tepung-
tepungan dapat dilakukan melalui proses pengkayaan atau
fortifikasi. Sebagai contoh, fortifikasi betakaroten sintetik
maupun vitamin A dapat dilakukan kedalam terigu yang
diolah menjadi berbagai macam produk bakery seperti
pastry, wafell beku, bagels, kue-kue basah, dan snack
(Gordon et al., 1985; Heinonen et al., 1989). Diharapkan
penambahan tepung kedelai pada produk mie basah dapat
meningkatkan nilai gizinya dan produk mie basah dari terigu
dengan substitusi tepung garut mempunyai sifat sensoris
yang lebih menarik.
Diantara jenis kacang-kacangan, kedelai memiliki
prospek yang baik untuk dikembangkan karena
mengandung protein yang tinggi (35-38%). Selain itu,
kandungan lemak pada kedelai juga cukup tinggi ( 20%).
Dari jumlah ini sekitar 85% merupakan asam lemak esensial
(linoleat dan linolenat). Disamping memiliki protein tinggi,
kedelai mengandung serat atau dietary fiber, vitamin dan
mineral. Selain kandungan protein yang tinggi, secara
kualitatif protein kedelai tersusun dari asam-asam amino
esensial yang lengkap dan baik mutunya kecuali asam
amino bersulfur yang merupakan faktor pembatas pada
kedelai (Afandi, 2001).
Bila dibandingkan dengan serealia, kedelai memiliki
kelebihan karena kandungan asam amino lisin (sebagai
asam amino esensial) yang tinggi dan melebihi persyaratan
FAO. Bila dinyatakan dalam persentase terhadap
persyaratan FAO, maka asam amino lisin pada beras dan
gandum hanya mencapai masing-masing 94 dan 67%
sedangkan kedelai mengandung lisin 154% dari
persyaratan FAO. Begitu pula kandungan asam amino
sulfur pada kedelai terdapat dalam jumlah yang lebih
rendah dibandingkan dengan serealia. Menurut Ferrier
dan Lopez (1979) dalam Afandi (2001), pencampuran ini
akan bersifat komplementer. Kedelai juga mengandung
1,5-3,0% lesitin yang sangat berguna baik dalam industri
pangan maupun non pangan. Hal ini menurut Tsen et al.,
(1973) disebabkan oleh adanya natural emulsifier pada
tepung kedelai berlemak utuh, yaitu lesitin, yang pada
tepung kedelai bebas lemak ikut terekstrak bersama lemak.
Selain itu protein kedelai memiliki sifat fungsional antara
lain sifat pengikatan air dan lemak, sifat mengemulsi dan
mengentalkan serta membentuk lapisan tipis (Wolf dan
Cowan, 1975). Sifat-sifat fungsional ini dapat dimanipulasi
untuk memperoleh sistem pangan yang dikehendaki.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
kandungan protein mie basah dari tepung terigu substitusi
20% tepung garut dengan penambahan tepung kedelai 0-
15% dan evaluasi sifat fisikokimia, sifat fungsional serta
sifat organoleptik produk mie basah tersebut. Substitusi
tepung garut yang berjumlah 20% ditentukan berdasarkan
penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan,
diantaranya penelitian Yustiareni (2000) yang
menunjukkan bahwa substitusi 20% tepung garut terhadap
terigu pada mie kering masih disukai panelis. Secara umum,
substitusi tepung-tepungan lain dalam pembuatan mie
Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembutan Mie Basah 43
dapat dilakukan dan disukai panelis sampai substitusi 20%.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Prangdimurti
(1991) menunjukkan bahwa mie terigu dapat disubstitusi
tepung singkong 20%, atau tepung j agung 20%
(Hadiningsih, 1999). Oleh karena itu angka substitusi 20%
tepung garut ditetapkan sebagai formula mie basah dalam
penelitian ini, yang selanjutnya dilakukan pengayaan
kandungan proteinnya dengan tepung kedelai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi IPB Bogor dan Laboratorium Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
pada bulan Maret sampai Agustus 2001. Bahan baku yang
digunakan ialah umbi garut (Maranta arundinacea L.)
kultivar Creole, tepung kedelai, tepung terigu dengan
kandungan protein 10-15%, minyak goreng, garam, air abu
(bahan alkali), aquades, telur, serta bahan-bahan kimia
untuk analisis bahan baku dan analisis produk.
Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap. Pada
tahap pertama dilakukan pembuatan tepung garut dan
tepung kedelai. Tepung garut dibuat mengikuti metode
modifikasi Widowati et al. (1999) yaitu umbi garut segar
dikupas kemudian diiris dan direndam dalam larutan
NaHSO
3
0,3% selama 1 jam. Setelah itu umbi dikeringkan
pada pengering kabinet dengan suhu 60-70C selama 5-6
jam dan ditepungkan lalu diayak dengan ayakan 100 mesh
sebanyak 2 kali sampai diperoleh tepung garut yang halus.
Tepung kedelai dibuat mengikuti metode Samahita
(1980). Biji kedelai dipilih yang utuh dan tidak cacat atau
sedikit warna hitamnya kemudian direndam selama 4-6 jam
dan direbus selama 30 menit pada suhu 80C. Selanjutnya
dikupas kulitnya, kemudian kedelai dijemur sampai kering
lalu ditepungkan dan diayak menggunakan ayakan 80
mesh sebanyak 2 kali sehingga diperoleh tepung kedelai
yang halus. Pengamatan dilakukan terhadap sifat kimia
tepung meliputi kadar air metode oven (AOAC, 1995), abu
(AOAC, 1995), protein (metode semi mikro kjeldahl, AOAC
1990), lemak (AOAC, 1995) dan serat kasar (AOAC, 1990)
serta analisis sifat fisik meliputi derajat putih (DP)
(menggunakan alat Kett Photoelectric Tube Whiteness
Meter) dan daya serap air (DSA) dengan metode Rasper
dan J.M. de Man (1980).
Pada tahap kedua, dilakukan pembuatan mie basah
dengan bahan baku terigu substitusi 20% tepung garut
dengan penambahan tepung kedelai (Gambar 1).
Penambahan tepung kedelai dimaksudkan untuk
meningkatkan kandungan protein mie. Bahan baku mie
adalah tepung komposit yang terdiri dari berbagai tingkat
penambahan tepung kedelai dengan rasio (terigu:tepung
garut:tepung kedelai) = 80:20:0; 75:20:5, 70:20:10 dan
65:20:15. Tepung komposit dicampur dengan garam, air
abu, aquades dan telur kemudian diaduk dengan molen
pada mesin pembuat mie selama 10-20 menit, lalu
diistirahatkan selama 10 menit. Setelah itu dilakukan
pembentukan lembaran dan pemotongan adonan menjadi
mie. Mie dilumuri minyak goreng kemudian dikukus dan
dilumuri minyak goreng kembali sehingga menjadi mie
basah.
Karakteristik mie yang diamati adalah sifat fisik yang
meliputi derajat putih (DP) (menggunakan alat Kett
Photoelectric Tube Whiteness Meter), daya serap air
(DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
metode Rasper dan J.M. de Man (1980), pemanjangan mie
basah yang diukur dengan menggunakan alat Tensile
Strength Tester dan warna mie basah dengan alat Chroma-
Meter Minolta CR-200. Sementara itu sifat kimia yang
diamati meliputi analisis proksimat serta uji organoleptik
deskripsi. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu
Rancangan Acak Lengkap dengan 2 kali ulangan. Uji
organoleptik deskripsi dilakukan terhadap 25 orang panelis
agak terlatih dengan skor penilaian sebagai berikut :
Tepung Komposit
Pencampuran
Pengadukan (10 -20 menit)
Pengistirahatan (10 menit)
Pembentukan lembaran
(sheeting)
Pemotongan
Pemberian minyak goreng
Pengukusan ( 15 menit)
Pemberian minyak goreng
Mie basah
Garam, air abu,
aquades, telur
Gambar 1. Bagan alir pembuatan mie basah dari terigu substitusi
tepung garut (Modifikasi dari Widowati dan Buckle
(1991) dalam Widowati et al., 1999)
Figure 1. Flowchart production of wet noodle made from
wheat flour with arrowroot flour substitution
(Modificated from Widowati and Buckle (1991) in
Widowati et al., (1999))
44 Widaningrum
1
et al.,
a. Untuk parameter Tekstur: b. Untuk parameter Warna:
For odour parameter For colour parameter:
1 = Sangat lembek 1 = Kuning coklat gelap
very soft dark brown yellow
2 = Lembek 2 = Kuning coklat
Soft brown yellow
3 = Agak lembek 3 = Kuning agak coklat
fairly soft fairly brown yellow
4 = Netral 4 = Kuning pucat
Neutral pale yellow
5 = Agak kenyal 5 = Kuning merata
Fairly elastic smooth yellow
6 = Kenyal 6 = Kuning bersih
Elastic clear yellow
7 = Sangat kenyal 7 = Kuning bersih
mengkilat
very elastic bright clear yellow
c. Untuk parameter Aroma: d. Untuk parameter Rasa:
For texture parameter: For taste parameter:
1 = Aroma khas mie 1 = Sangat tidak enak
noodle odour very untasty
2 = Aroma menyimpang 2 =Tidak enak
foreign odour untasty
3 = Agak tidak enak
fairly untasty
4 = Netral
neutral
5 = Agak enak
fairly tasty
6 = Enak
tasty
7 = Sangat enak
very tasty
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Bahan Baku Tepung Garut dan Tepung
Kedelai
1. Analisis Sifat Fisik Bahan Baku Tepung Garut dan
Tepung Kedelai
Sifat fisik bahan baku meliputi rendemen, derajat
putih dan daya serap air. Rendemen tepung garut yang
dihasilkan dari bahan baku umbi garut yaitu 12,6% (Tabel
1). Rendahnya rendemen ini kemungkinan disebabkan
oleh tingginya kadar air, umur panen yang masih relatif
muda (10 bulan) dan serat umbi garut yang tidak dapat
digiling lebih halus atau tidak bisa lolos ayakan 100 mesh.
Ayakan 100 mesh digunakan sebagai standar. Penggunaan
ayakan dengan ukuran di bawah 100 mesh akan
menghasilkan tepung yang masih kasar.
Derajat putih tepung garut yang dihasilkan bernilai
74,2% sedangkan derajat putih tepung terigu 86,5%. Nilai
derajat putih kedua bahan tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan standar yaitu serbuk BaSO
4
(nilai
derajat putih 87%). Tepung kedelai tidak dianalisis derajat
putihnya karena warna tepung kedelai bukan putih
melainkan kuning.
Daya serap air (DSA) tepung garut sebesar 120,6%
dan DSA terigu 65,8% sedangkan DSA tepung kedelai
cukup tinggi yaitu 242,4% (Tabel 1). DSA menunjukkan
kemampuan bahan baku dalam menyerap air dan
berhubungan dengan jumlah pati pada suatu bahan
tersebut.
2. Analisis Sifat Kimia Bahan Baku Tepung Garut dan
Tepung Kedelai
Sifat kimia bahan baku meliputi kandungan
proksimatnya. Kadar serat kasar tepung garut cukup
tinggi yaitu 6,0% sedangkan kadar serat tepung kedelai
lebih rendah yaitu 3,2% dan terigu 1,9%. Kadar protein
dan lemak tepung garut cukup rendah, yaitu masing-
masing 2,5% dan 1,4% sedangkan pada tepung kedelai
jauh lebih tinggi yaitu masing-masing 41,7% dan 27,1%
dan pada terigu masing-masing 14,9% dan 2,3%. Kadar
karbohidrat tepung garut sangat tinggi yaitu 86,9%
sedangkan terigu 69,3% dan tepung kedelai hanya
mengandung karbohidrat 23,3%. Tepung garut
mengandung karbohidrat yang tinggi (86,9% bb) sehingga
berpotensi sebagai sumber kalori. Kadar protein tepung
kedelai sangat tinggi (41,7% bb) sehingga layak untuk
ditambahkan ke dalam formula tepung komposit mie basah
dengah harapan dapat meningkatkan kadar protein mie
basah yang dihasilkan.
Komponen(%)
Componen
Rendemen(yield)
Derajat putih (degree of whiteness)
Daya serap air (water absorption)
Kadar air (moisture)
Kadar abu(ash)
Serat kasar (crude fiber)
Kadar lemak (fat)
Kadar protein(protein)
Karbohidrat (carbohydrat)
Pati (starch)
Gula (sugar)
Tannin(tannin)
Tepung Garut
Arrowroot flour
Tepung Kedelai
Soybean flour
Terigu*
Wheat flour*
12,6
74,2
120,6
7,0
0,3
6,0
1,4
2,5
86,9
46,8
0,6
3,7
-
-
242,4
6,6
1,3
3,2
27,1
41,7
23,3
-
0,7
-
-
86,5
65,8
13,2
0,4
1,9
2,3
14,9
69,3
33,0
0,3
-
Keterangan : *Tepung terigu komersial (-) Tidak dianalisis
Remark : *Commercially wheat flour (-) Not analyzed
Tabel 1. Sifat fisikokimiawi tepung garut, tepung kedelai dan
terigu
Table 1. Physicochemical characteristics of arrowroot,
soybean, and wheat flour
Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembutan Mie Basah 45
Pembuatan Produk Mie Basah dari Terigu yang
Disubstitusi 20% Tepung Garut dengan Penambahan
Tepung Kedelai 0-15%
1. Analisis Sifat Fisik Mie Basah dari Terigu yang
Disubstitusi 20% Tepung Garut dengan
Penambahan Tepung Kedelai 0-15%
Uji sidik ragam pada taraf 5% menunjukkan bahwa
penambahan tepung kedelai berpengaruh sangat nyata
terhadap derajat putih (DP) mie basah, yaitu cenderung
menurunkan derajat putih (DP) mie basah dari 41,6%
sampai 38,4% (Tabel 2 dan Gambar 4). Hal ini terlihat dari
warna mie basah yang awalnya putih agak pucat/keruh
(yang disubstitusi tepung garut) menjadi kekuningan.
Namun penambahan tepung kedelai sampai tingkat 10%
tidak menunjukkan beda nyata dengan penambahan
tepung kedelai 5%. Mie basah yang dibeli langsung dari
pasar dan tanpa perlakuan apapun digunakan sebagai
pembanding (kontrol) pada percobaan ini.
Daya serap air (DSA) mie basah substitusi tepung
garut dan kedelai menunjukkan penurunan dengan nilai
DSA berkisar antara 235%-176,8% (Tabel 3 dan Gambar
5). Penurunan nilai daya serap air disebabkan oleh
penurunan kadar pati pada adonan. Analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai sampai
tingkat 10% tidak menunjukkan beda nyata dengan
penambahan tepung kedelai 5% (Tabel 2).
Pada nilai KPAP, peningkatan penambahan tepung
kedelai menyebabkan KPAP mie basah semakin menurun
(18,012,4%) (Tabel 3 dan Gambar 5). Hal ini disebabkan
penambahan tepung kedelai menyebabkan tekstur mie
basah semakin kurang elastis serta agak kasar sehingga
porositas mie semakin rendah dan menyebabkan air yang
diserap oleh mie semakin sedikit sehingga padatan yang
keluar semakin sedikit pula. Analisis statistik menunjukkan
penambahan tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak
menunjukkan beda nyata dengan penambahan tepung
kedelai 5% (Tabel 2).
Daya serap air (DSA) mie basah substitusi tepung
garut dan kedelai menunjukkan penurunan dengan nilai
DSA berkisar antara 235%-176,8% (Tabel 3 dan Gambar
5). Penurunan nilai daya serap air disebabkan oleh
Penambahan
tepungkedelai (%)
Additionof soybean
flour(%)
Nilai analisisstatistikmiebasah
Statistictest result
DP
Degreeof
Whiteness
DSA
Water
absorption
capacity
KPAP
Cooking
losses
Pemanjangan
Elongation
Warna(notasi Hunter)
Colourvalue(Hunter
Notation)
Kontrol*)
Control*)
0
5
10
15
13,84
a
41,64
b
38,39
b
39,17
b
39,90
b
273,74
a
234,98
b
206,98
c
205,23
c
176,77
d
14,06
a
18,04
b
15,51
ab
12,64
a
12,36
a
11,76
a
12,04
a
11,39
a
11,30
a
9,17
b
63,55
a
50,55
b
50,06
b
45,49
b
45,96
b
-1,69
a
1,53
b
1,29
b
1,45
b
1,44
b
22,64
a
10,36
b
10,61
b
10,46
b
9,93
b
L a b
Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada taraf 5%.
*) Kontrol adalah mie basah yang dibeli dari pasar
Remark :
Mean values in each column with the same letter were not
significantly different(p=5%).
*) Control was wet noodle bought from traditional market
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Kontrol 0 5 10 15
Penambahan Tepung Kedelai (%)
Addi ti on of soybean fl our
D
e
r
a
j
a
t

P
u
t
i
h

(
%
)
D
e
g
r
e
e

o
f

w
h
i
t
e
n
e
s
s
Tabel 2. Nilai tengah sifat fisik mie basah dari terigu yang
disubstitusi 20% tepung garut dengan penambahan
tepung kedelai 0-15%
Table 2. Mean values of physical characteristics on wet
noodle made from wheat flour with 20% substitution
of arrowroot flour and added with 0-15% of soybean
flour
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Kontrol 0 5 10 15
Penambahan tepung kedelai (%)
Addition of soybean flour
0
50
100
150
200
250
300
KPAP
Pemanjangan
DSA
Gambar 3. Daya serap air (DSA), kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP) dan pemanjangan mie basah dari
terigu yang disubstitusi tepung garut dengan
penambahan tepung kedelai 0-15%
Figure 3. Water absorption capacity, cooking losses and
elongation performances of wet noodle made from
wheat flour substituted with 0-20% of arrowroot flour
added with 0-15% of soybean flour
Gambar 2.Derajat putih mie basah dari terigu yang disubstitusi
20% tepung garut dengan penambahan tepung kedelai
0-15%
Figure 2. Degree of whiteness performances of wet noodle
made from wheat flour substituted with 20% of
arrowroot flour added with 0-15% of soybean flour
46 Widaningrum
1
et al.,
penurunan kadar pati pada adonan. Analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai sampai
tingkat 10% tidak menunjukkan beda nyata dengan
penambahan tepung kedelai 5% (Tabel 2).
Pada nilai KPAP, peningkatan penambahan tepung
kedelai menyebabkan KPAP mie basah semakin menurun
(18,012,4%) (Tabel 3 dan Gambar 5). Hal ini disebabkan
penambahan tepung kedelai menyebabkan tekstur mie
basah semakin kurang elastis serta agak kasar sehingga
porositas mie semakin rendah dan menyebabkan air yang
diserap oleh mie semakin sedikit sehingga padatan yang
keluar semakin sedikit pula. Analisis statistik menunjukkan
penambahan tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak
menunjukkan beda nyata dengan penambahan tepung
kedelai 5%.
Nilai pemanjangan mie basah berkisar antara 9,2-
12,4% dengan pertambahan panjang 1,4-2,1 cm. Nilai
pemanjangan menurun disebabkan oleh penambahan
tepung kedelai (Gambar 9). Rasio terigu yang telah
disubstitusi 20% tepung garut yang diperkaya tepung
kedelai 15% menurunkan ketersediaan protein gluten
sehingga menurunkan nilai pemanjangan. Hal ini
disebabkan protein gluten berperan dalam sifat
perenggangan mie basah (Badrudin, 1994) dalam
Yustiareni (2000). Semakin kecil kandungan protein gluten
dalam mie maka kemampuan pemanjangannya pun
menurun. Penambahan tepung kedelai 10% memberikan
nilai pemanjangan 11,3% (Tabel 3) dan nilai tersebut lebih
rendah dari mie basah kontrol (11,8%). Analisis statistik
menunjukkan penambahan tepung kedelai sampai tingkat
20% tidak menunjukkan beda nyata dengan penambahan
tepung kedelai 5%.
Peningkatan kedelai sampai 15% menurunkan nilai L
(50,645,5%) yang berarti menurunkan tingkat kecerahan
mie basah (Tabel 5) dan memberikan peningkatan nilai a
(1,51,3) yang menunjukkan bahwa mie basah mempunyai
kecenderungan berwarna kuning agak gelap. Penurunan
nilai b (10,49,9) menunjukkan intensitas warna mie basah
sampai substitusi 20% tepung garut yang semakin menuju
ke wana kuning (Gambar 6). Analisis statistik menunjukkan
penambahan tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak
menunjukkan beda nyata dengan penambahan tepung
kedelai 5%. Pada ketiga nilai tersebut (L, a, b) penambahan
tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak menunjukkan
beda nyata dengan penambahan tepung kedelai 5%.
3. Analisis Sifat Kimia Mie Basah dari terigu yang
disubstitusi 20% Tepung Garut dengan penambahan
Tepung Kedelai 0-15%
Penambahan tepung kedelai bertujuan untuk meningkatkan
kadar protein mie basah yang dihasilkan dan
meningkatkan kecerahan warna. Penambahan tepung
kedelai sampai 15% pada mie basah dari penelitian
pendahuluan yang mempunyai rasio terigu 80% dan
tepung garut 20% (namun jumlah terigunya disesuaikan,
Keterangan : *)Kontrol adalah mie basah yang dibeli dari pasar
Remark :*)Control was wet noodle bought from traditional
market.
0
10
20
30
40
50
60
70
Kontrol 0 5 10 15
Penambahan tepung kedelai (%)
Addition of soybean flour
N
i
l
a
i

L

d
a
n

b
V
a
l
u
e

o
f

L

a
n
d

b
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
N
i
l
a
i

a
V
a
l
u
e

o
f

a
L
b
a
Komponen
Components
Penambahan tepung kedelai (%) pada mie basah substitusi
tepung garut 20%
Addition of soybean flour(%) into wet noodle substitute with 20% of
arrowroot flour
Sifat Fisik:
Phisycal properties:
DP (%)
Degree of whiteness
DSA (%)
Water absorption capacity
KPAP (%)
Cooking losses
Pemanjangan (%)
Elongation
Warna (notasi Hunter)
Colour value (Hunter notation)
L
a
b
Sifat Kimia:
Chemical properties:
Air (% b/b)
Moisture (wet basis)
Abu (% b/b)
Ash (wet basis)
Protein (%)
Protein
Lemak (%)
Fat
Serat kasar (%)
Crude fiber
Karbohidrat (%)
Carbohydrate
Kontrol*)
Control*)
13,8
273,7
14,1
11,8
63,6
1,7
22,6
31,2
0,9
6,7
3,6
1,0
57,7
0
41,6
235,0
18,0
13,0
50,6
1,5
10,4
26,1
1,0
8,2
8,2
1,2
60,9
5
38,4
207,0
15,5
11,4
50,1
1,3
10,6
24,6
0,7
8,3
8,4
2,2
58,1
10
39,2
204,0
12,6
11,3
45,9
1,5
10,5
27,4
0,7
9,7
10,1
3,4
52,2
15
39,9
176,8
12,4
9,2
46,0
1,4
9,9
29,8
0,6
11,3
11,0
4,5
46,7
Tabel 3. Pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap sifat
fisikokimiawi mie basah dengan bahan baku terigu :
tepung garut = 80:20
Table 3. Effects of soybean flour addition to wet noodles
physicochemical characteristicsmade from wheat
flour : arrowroot flour = 80:20
Gambar 4. Nilai warna (notasi Hunter) mie basah dari terigu
yang disubstitusi 20% tepung garut dengan
penambahan tepung kedelai 0-15% (n=25)
Figure 4. Colour values (Hunter notation) performances of wet
noodle made from wheat flour substituted with 20%
of arrowroot flour added with 0-15% of soybean
flour (n=25)
Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembutan Mie Basah 47
yaitu diturunkan, agar jumlah total tepung kompositnya
tetap 100%) meningkatkan kadar protein dan lemak mie
basah tetapi menurunkan kadar karbohidrat (Tabel 3). Hal
ini disebabkan bahan dasar tepung kedelai mempunyai
kadar protein dan lemak yang cukup tinggi pula yaitu
masing-masing 41,7% dan 27,1% (Tabel 1). Peningkatan
kadar protein dikehendaki dalam pembuatan mie basah
pada substitusi tepung garut 20%.
3. Analisis Organoleptik Deskripsi Mie Basah dari
Terigu yang Disubstitusi 20% Tepung Garut dengan
Penambahan Tepung kedelai 0-15%
Penambahan tepung kedelai sampai 15% pada mie basah
substitusi 20% tepung garut mempengaruhi sifat
organoleptik mie basah yaitu warna, aroma, rasa dan
tekstur. Analisis statistik menunj ukkan bahwa
penambahan tepung kedelai sampai tingkat 15% tidak
menunjukkan beda nyata pada tekstur mie basah
(Tabel 2).
Penambahan tepung kedelai memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap warna dan aroma, dan berpengaruh
nyata terhadap rasa mie basah (pada selang kepercayaan
5%). Untuk warna, panelis memberikan nilai rata-rata 6,8
(kuning bersih sampai kuning bersih mengkilat) pada
kontrol dan nilai 2,6 (kuning kecokelatan) pada mie basah
dengan penambahan tepung kedelai 15%. Hal ini
dikarenakan mie kontrol yang dibeli dari pasar
menggunakan bahan pewarna makanan (biasanya
Tartrazine) yang menyebabkan mie pasar berwarna kuning
mengkilat, sedangkan dalam penelitian ini mie yang
dihasilkan tidak menggunakan bahan pewarna makanan
dan bahan tambahan lainnya. Analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai sampai
tingkat 10% tidak menunjukkan beda nyata dengan
penambahan tepung kedelai 5%. Untuk aroma, panelis
memberikan nilai rata-rata 1,0 (aroma khas mie) untuk mie
basah kontrol dan nilai rata-rata 1,6 (aroma khas mie basah
dengan penambahan tepung kedelai) untuk mie basah
dengan penambahan tepung kedelai 15%. Analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai 10%
tidak menunjukkan beda nyata dengan penambahan
tepung kedelai 5%. Untuk rasa, panelis memberikan nilai
rata-rata 6,0 (enak) pada mie basah kontrol dan nilai rata-
rata 4,1 (netral sampai agak enak) pada mie basah dengan
penambahan tepung kedelai 15%. Analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan tepung kedelai sampai
10% tidak menunjukkan beda nyata dengan penambahan
tepung kedelai 5%. Secara umum sampai tingkat
penambahan tepung kedelai 10%, panelis masih
memberikan nilai relatif baik pada mie basah yang
dihasilkan yaitu untuk parameter tekstur mie basah
mempunyai nilai rata-rata 5,0 dengan predikat agak kenyal,
sedangkan untuk parameter warna dan aroma panelis
memberikan nilai 2,5 (kuning agak coklat) dan 1,5 (bau
khas mie seperti kedelai). Untuk rasa panelis memberikan
skor 4,2 (netral sampai agak enak).
Mie basah yang dapat diterima oleh panelis adalah
mie basah rasio terigu 70%, tepung garut 20%, dengan
penambahan tepung kedelai 10% (Tabel 4). Mie basah
tersebut telah memenuhi persyaratan SNI untuk mie basah
yaitu SNI 01-2987-1992 . Tabel 5 menunjukkan komposisi
mie basah yang dihasilkan dari rasio terigu 70% dan
tepung garut 20% dengan penambahan tepung kedelai
10%.
Penambahan
tepung kedelai (%)
Addition of soybean
flour (%)
Nilai analisis statistik mie basah
Statistic test result
Kontrol*)
Control*)
0
5
10
15
4,9
a
5,0
a
5,0
a
5,0
a
5,2
a
6,8
a
3,4
b
2,9
c
2,5
c
2,6
c
1,0
a
1,4
b
1,3
bc
1,5
bc
1,6
bc
6,0
a
4,5
a
5,0
a
4,2
ab
4,1
b
Tekstur
Texture
Warna
Colour
Aroma
Odour
Rasa
Taste
Komponen (%)
Componen
Air (moisture)
Abu (ash)
Protein (protein)
Lemak (fat)
Serat kasar (crude fiber)
Karbohidrat (carbohydrate)
Mie basah
Wet noodle
Kontrol
Control
Perlakuan
Treated
31,2
0,9
6,7
3,6
1,0
57,7
27,4
0,7
9,7
10,1
3,4
52,2
Tabel 4. Nilai uji organoleptik deskripsi mie basah dari terigu
yang disubstitusi tepung garut 20% yang ditambah
tepung kedelai 0-15% (n=25)
Table 4. Mean values of description organoleptic test from wet
noodle made from wheat flour substituted with 20%
of arrowroot flour and added with 0-15% of soybean
flour (n=25)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5%.
*)Kontrol adalah mie basah yang dibeli dari pasar
Remark : Mean values in each column with the same letter
were not significantly different (p=5%)
*)Control were wet noodle bought from traditional
market.
Tabel 5. Komposisi kimiawi mie basah kontrol (pasar) dan
mie basah dengan rasio terigu: tepung garut :tepung
kedelai = 70:20:10%
Table 5. Chemical compositions of wet noodle control
(bought from traditional market) and wet noodle
with comparation of wheat flour : arrowroot flour:
soybean flour=70: 20%: 10%
48 Widaningrum
1
et al.,
KESIMPULAN
1. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan terhadap
sifat fisik dan penerimaan panelis, mie basah dengan
rasio terigu 70% dan tepung garut 20% ditambah
tepung kedelai 10% merupakan produk yang terbaik.
Mie basah dengan formula ini mempunyai sifat-sifat
sensoris yang masih disukai dan sifat kimiawi yang
memenuhi SNI mie basah (SNI 01-2987-1992).
Penambahan tepung kedelai pada produk mie basah
dapat meningkatkan kadar protein, lemak dan serat
kasar, tetapi menurunkan kadar abu dan karbohidrat.
Penambahan tepung kedelai juga dapat memperbaiki
warna mie basah yang dihasilkan dan warna cenderung
lebih baik yaitu lebih kuning dan menarik.
2. Sifat fisikokimiawi mie basah dengan penambahan
tepung kedelai 10% adalah kadar air 27,4%; abu 0,7%;
serat kasar 3,4%; lemak 10,1%; protein 9,7%;
karbohidrat 52,2%; derajat putih 39,2%; pemanjangan
11,3%; daya serap air 204%, kehilangan padatan akibat
pemasakan 12,6%; warna kecerahan (L) 45,9; warna
notasi Hunter a 1,5 dan b 10,5.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, S. 2001. Mempelajari Pembuatan Tepung Kedelai (Glycine
max Merr) Amerika Serikat dan Analisa Mutu Tepung yang
Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. 60 halaman.
Anonymous. 1992. SNI-01-2987-1992. Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta. 3 halaman.
Anonymous. 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia
(Impor) Jilid I. BPS, Jakarta.
Gordon, H.T., L.e. Johnson and J.C. Bauernfeind, 1985. The use
of betacarotene in bakery products. Cereal Foods World.
30:274-276.
Hadiningsih, N. 1999. Pemanfaatan tepung jagung sebagai bahan
pensubstitusi terigu dalam pembuatan produk mie kering yang
difortifikasi dengan tepung bayam. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 51 halaman.
Heinonen, M. , Ollilainen, V. , Linkola, E. , Varo, P. , and
Koivistoinen, P. 1989. Carotenoids and retinoids of wheat
flour dough and comparison with some characteristics of
extruded noodles. Cereal Chem. 76: 614-620.
Miskelly, D.M. 1993. Noodles a new look at an old food. J. Of
Food Australia. 45:496-500.
Moss, H.J. 1971. The quality of noodles prepared from the flour
of some Australian wheats. Aust. J. Exp. Agric. Anim. Hus.
(AJEAAH). 11:243-247.
Nagao, S., Ishibashi, S., Imai, S., Sato, T., Kanbe, T., Kanbe, Y.,
and Otsubo, H. 1977. Quality characteristics of soft wheats
and their utilization in Japan. II. Evaluation of wheats from
the United States, Australia, France, and Japan. Cereal Chem.
54: 198-204.
Prangdimurti, E. 1991. Fortifikasi zat besi pada mie kering yang
dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung singkong.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 80 Halaman.
Rasper, V.F. and J.M. de Man. 1980. Effects of granule size of
substituted starches on the rheological character of composite
doughs. Cereal Chemist. 57: 331-340.
Samahita, G. 1980. Mempelajari pembuatan tepung kedelai tidak
langu dan beberapa penggunaannya. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 68
halaman.
Satin, Morton. 2004. Functional Properties of Starches. J. Of
The science of food and agriculture. V0. 96(3): 111-122.
Tsen, C.C., E. M. Peters, T. Schaffer dan W.J. Hoover. 1973.
High protein cookies I. Effect of soy protein fortification and
surfactants. Baker Digest, 47 (4): 34-39.
Widowati, S., B.A.S. Santosa, L.Hartoto, Elis Yustiareni. 1999.
Kajian penggunaan tepung garut untuk substitusi tepung terigu
yang difortifikasi dengan tepung kedelai dalam pembuatan
mie kering. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Teknologi Pangan, 12-13 Oktober 1999 di Jakarta.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. 253 halaman.
Wolf, W.J. dan J.C. Cowan. 1975. Soybean as a Food Source.
The Chemical Rubber Co., Cleveland, Ohio.
Yeh, A., -I., and Shian, S. -Y. 1999. Effects of oxido-reductants
on theological properties of wheat flor dough and comparison
with some characteristics of extruded noodles. Cereal Chem.
76: 614-620.
Yustiareni, Elis. 2000. Kajian substitusi terigu oleh tepung garut
dan penambahan tepung kedelai dalam pembuatan mie kering.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor. 63 halaman.

Anda mungkin juga menyukai