Anda di halaman 1dari 7

DIANTARA SUFI GUS DUR,

Oleh: KH.M. Luqman Hakim


Kharisma Gus Dur, setelah wafatnya, ternyata melebihi realitas kehidupannya. Keharuman
spiritual yang eksotis, begitu lekat dan fenomenal. Hal ini tentu berhubungan dengan kondisi
sosiologis masyarakat NU yang seringkali membuat standar maqom spiritual seseorang diukur
dengan kharisma dan keanehan yang luar biasa (khariqul adat) berupa karomah-karomah, walau
pun dalam perspektif Sufisme standar tersebut tidak baku.

Dalam khazanah tasawuf, tradisi kewalian seseorang sangat ketat dengan aturan-aturan gnostik
(marifatullah) yang teraksentuasi dalam sikap ubudiyah. Ada dua model kewalian dalam
sosiologi Tasawuf, di satu sisi seorang wali ada yang sangat popular dengan hal-hal luar biasa di
luar jangkauan nalar, ada pula yang sangat tersembunyi, bahkan kehebatan karomahnya tidak
dikenal oleh public sama sekali.

Namun, Gus Dur memiliki fenomena spiritual yang langka dibanding kiai-kai lain di Jawa,
karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yang penuh warna. Dari sosoknya sebagai
budayawan, seniman, kiai, politisi, pemikir, pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat
khazanah tradisional dalam dialog cosmopolitan yang actual. Dan spirit yang membawa
sosoknya sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya dengan
kebebasan, kemerdekaan, penghargaan kemanusiaan, sekaligus askestisme yang tersembunyi
dalam jiwanya: Dunia Sufi.

Sufisme Gus Dur yang selama ini hanya difahami oleh massanya, melalui kebiasaan ziarah ke
makam para wali, ungkapan-ungkapan yang controversial, dan spontanitasnya yang inspiratif,
serta garis keturunan seorang Ulama dan wali yang terkenal, Hadhratusy Syeikh Hasyim Asyari,
pendiri NU. Namun, laku Sufistik Gus Dur justru terletak pada sikap dan konsistensinya
terhadap nilai-nilai tasawuf yang sama sekali tidak terpaku pada simbolisme tasawuf
sebagaimana gerakan kaum Sufi modern saat ini.

Komunikasi Ilahiyah yang selama ini terjalin adalah hubungan rahasia yang sunyi di tengah-
tengah hiruk pikuk dunia, dan melakukan gerakan terlibat dengan kehidupan nyata, dengan
keberanian mengambil resiko bahaya, demi mempertahankan prinsip utamanya. Namun di sisi
lain, ada konser kebahagiaan yang berirama indah dalam musikal dzikrullah, saat Gus Dur
sedang sendiri, menyepi (khalwat) dalam jedah kesehariannya. Dua sisi hiburan spiritual yang
boleh disebut sangat langka: Ramai dalam sunyi, dan sunyi dalam ramai.

Pengaruh dari nuansa yang diyakini itu, Gus Dur justru mampu melakukan terobosan yang luar
biasa, begitu cepat. Dalam 20 tahun gerakan Gusdurian, masyarakat NU yang jumlahnya begitu
besar terbuka lebar dalam dialog kemodernan, seperti sebuah gerakan konser musik yang
dinamik. Maka liberalitas tradisionalnya muncul dengan kuantum melebihi zamannya. NU
menjadi organisasi masyarakat muslim modern yang mengejutkan, yang disebut oleh Nakamura
sebagai organisasi Islam paling demokratis di dunia.

Namun seluruh dinamika gerakan Gus Dur tidak lepas dari nilai-nilai tradisional Sufistiknya
yang transformative. Semisal Gus Dur yang begitu kental dengan hikmah-hikmah Ibnu Athaillah
as-Sakandary yang tertuang dalam kitab Sufi Al-Hikam bahkan hafal di luar kepala dalam
membangun masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan.

Kitab Al-Hikam sangat dikenal oleh para Ulama Sufi sejak abad tujuh hijriyah, menjadi manual
bagi Sufisme Pesantren tingkat tinggi, sebagai kajian sufi paska Ihya Ulumaddin, Al-Ghazaly,
Ar-Risalatul Qusyairiyah karya Abul Qasim Al-Qusyairy, maupun Al-Luma, karya Abu Nashr
as-Sarraj.

Kekentalan Gus Dur dengan Al-Hikam memberi warna kuat, terutama dua wacana disana yang
berbunyi: Janganlah engkau bergabung atau berguru dengan orang yang kata-kata dan perilaku
ruhaninya tidak membangkitkan dirimu dan menunjukkan padamu menuju Allah. Konon, nama
Nahdhatul Ulama mendapatkan inspirasi dari hikmah tersebut, sekaligus menjadi standar apakah
Ulama NU kelak konsisten dengan kebangkitan menuju Allah atau menuju dunia?

Kemudian, hikmah lain yang begitu kental, adalah, Pendamlah dirimu di tanah sunyi, karena
biji yang tak pernah terpendam tidak akan tumbuh dengan sempurna. Sebuah wacana yang
sangat kuat tekanannya dalam menggugat kemunafikan beragama, dan segala gerakan industri
ekonomi dan politik atas nama agama, yang akhir-akhir ini begitu menguat beriringan dengan
gerakan formalisme keagamaan.

Menyembunyikan hubungan antara hamba dan Allah sebagai rahasia kehambaan adalah mutiara
Sufi yang agung. Sebaliknya pamer pengalaman beragama, bahkan menjurus pada riya adalah
bentuk syirik yang tersembunyi. Karena itu, dalam Al-Hikam juga disebutkan, Nafsu dibalik
maksiat itu nyata dan jelas, tetapi nafsu di balik taat itu, sangat tersembunyi, dan terapi atas yang
tersembunyi sangatlah sulit.

Hal yang amat tidak disukai oleh Gus Dur manakala menjadikan agama sebagai industri
ekonomi maupun politik. Agama yang sacral, memang harus dijaga oleh politik, tetapi politisasi,
apalagi menciptakan agama sebagai dagangan bisnis adalah melukai agama itu sendiri.

Agama menjadi murah, dan agama menjadi duniawi, bahkan agama ditukar dengan kepentingan
nafsu yang sangat memuakkan.


DZIKIR MENURUT IBNU ATHO
dzikir menurut IBNU ATHA
Maret 18, 2009

Zikir bermacam-macam, diliputi cinta
Dan rindu dendam, ia menerbitkan ingatan kepada-Nya
Karena kekuatan zikir, nafsu menjadi lemah
Dan daapat dikendalikan olehnya
Jiwa mendapat pengaruh mendalam, duka pergi
Sehingga nafsu yang baik dapat disebar
Sadar atau tidak, zikir dapat menggulung
Hawa nafsu dan dapat mencerai berangkainya
Serta menghapusnya, kemudian
Memulihkan kekuatan penglihatan kalbu dan fikiran
Sehingga meninggi menjelma mahkota di atas kepala
Zikir ialah jalan mengenal Dia



HAKIKAT TASAWUF

Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan
Sufi. Yang mana (di masa tabiin) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam
beribadah, zuhud dan wara terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf ). Meski kelompok ini tidak mewajibkan
tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan Sufi,
sebagai nisbat kepada Shuuf ( ).

Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (

),
bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Taala, karena nisbat kepadanya
dinamakan Shaffi (

), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah (

)
karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (

) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr


(salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah
lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan
sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita
tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau
pun berkata: Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari
bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya
petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (daridibanding petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu alaihi
wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.
(Diringkas dari Majmu Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).

Siapakah Peletak/Pendiri Tasawuf ?

Ibnu Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam sendiri. Yang mana beliau menurut Ibnu Ajibah -
mendapatkannya dari Allah Taala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu Ajibah berbicara
panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan
kedustaan. Ia berkata: Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua
kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu alaihi wassalam pun mengajarkan
ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan
Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri
rahimahullah menimba darinya. (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At
Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: Perkataan Ibnu Ajibah ini
merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, ia
menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang
menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan
berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah Taala telah
perintahkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut
dalam firman-Nya (artinya): Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu
oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak
menyampaikan risalah-Nya. (Al Maidah : 67)

Beliau juga berkata: Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama,
maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin
mereka (Syiah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu sendiri yang
membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits
Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu anhu ia berkata: Suatu saat aku pernah berada di
sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: Apa
yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wassalam kepadamu? Maka Ali pun
marah lalu mengatakan: Nabi Shallallahu alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu
kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau Shallallahu alaihi
wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu
anhu berkata: Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ? Beliau menjawab:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: (Artinya) Allah melaknat seorang yang
melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah,
Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang
mengubah tanda batas tanah. (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Hakikat Tasawuf

Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu, maka
dari manakah ajaran Tasawuf ini ?

Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun
yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan
ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam
sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu alaihi wassalam , dan juga dalam
sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Taala di alam
semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al
Mansya Wal Mashadir, hal. 28). [1]

Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: Sesungguhnya Tasawuf merupakan
tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Taala di
dalam memerangi Allah Taala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wassalam. Sesungguhnya ia
(Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia
sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah
ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha,
Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan
Berhalaisme Jahiliyyah. (Muqaddimah kitab Mashraut Tashawwuf, hal. 19). [2]

Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf

1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum. (Dinukil dari Firaq Muashirah, karya
Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah Taala telah berfirman :


Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (Asy Syuura : 11)


Berkatalah Musa : Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu. Allah berfirman : Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di
dunia-pen) (Al Araaf : 143).

2. Ibnu Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi
istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah ! (Fushushul Hikam).[3] Betapa kufurnya
kata-kata ini , tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!

3. Ibnu Arabi juga berkata : Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia
menyembahku dan aku pun menyembah-Nya. (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]

Padahal Allah Taala telah berfirman :


Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (Adz Dzariyat
: 56).


Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha
Pemurah dalam keadaan sebagai hamba. (Maryam : 93).

4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : Aku seorang muslim, tapi
aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama masjid,
gereja, atau tempat berhala-berhala. [5]

Padahal Allah Taala berfirman :


Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali Imran :
85)

5. Pembagian ilmu menjadi Syariat dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada
tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Taala,
oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan
iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia
lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan
sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang
kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat
hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen). (Majmu
Fatawa, juz 11 hal. 401).

6. Dzikirnya orang-orang awam adalah , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus
dan paling khusus .ajas haA nad ,uuH ,hallA

Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda :


Sebaik-baik dzikir adalah . (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah
Radiyallahu anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami, no. 1104).[6]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa
dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah
Huu, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan. (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118,
dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)

7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang
tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Taala dustakan mereka dalam firman-Nya:


Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib
kecuali Allah. (An Naml : 65)

8. Keyakinan bahwa Allah Taala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam
dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Taala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wassalam. Padahal Allah Taala berfirman :


Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian,
yang diwahyukan kepadaku (Al Kahfi : 110).


(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : Sesungguhnya Aku akan ciptakan
manusia dari tanah liat. (Shaad : 71)




Wallahu Alam Bish Shawab



Hadits-hadits palsu atau lemah yang tersebar di kalangan umat



Hadits Abu Umamah



Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya
keimanan di hati kalian(HR Al Baihaqi dlm Syuabul Iman).

Keterangan : Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata :
Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh
Dhoifah Wal Maudhuah, no:90)
Diposkan oleh blog di 04.51

Anda mungkin juga menyukai