Anda di halaman 1dari 19

Semiotika Roland Barthes

Oleh: Nur Vita Dinana



Roland Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda
melalui analisis semiotik ini. Kita tidak hanya mengetahui bagaimana isi pesan yang hendak
disampaikan, melainkan juga bagaimana pesan dibuat, simbol-simbol apa yang digunakan untuk
mewakili pesan-pesan melalui film yang disusun pada saat disampaikan kepada khalayak.
Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan
konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif
atau emosionalnya (Alex Sobur, 2003 : 263).
Adapun cara kerja atau langkah-langkah model Semiotik Roland Barthes dalam
mengenalisis makna dapat dipetakan sebagai berikut :
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)

1. Denotatif Sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIF SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIF SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIF SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).
Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) (Alex Sobur,
2004 : 69). Dari penanda konotatif akan memunculkan petanda konotatif yang kemudian akan
melandasi munculnya tanda konotatif.



Secara epistemologis, semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: vii) atau seme yang berarti penafsir tanda. Umberto Eco (Alex
Sobur, 2006: 95) menyatakan tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah
semiotika, semiologi atau strukturalisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itulah yang merupakan perangkat
yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan
bersama-sama manusia (Sobur 2004: 15). Suatu tanda hanya mengemban arti(significant) dalam
kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan (signifier) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur,
2004: 17).
Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory(semua tenda atau
sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda
tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan
secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Hasan, 2011: 60). Van Zoest mengartikan
semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya,
hubungannya dengan kata lain, pengiriman dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya.
Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger, ia menyebutkan bahwa semiotika adalah ilmu
tentang tanda-tanda dimana fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Sobur, 2006: 96).
Semiotika adalah ilmu tentang tanda, fungsi tanda-tanda, dan produksi tanda (Tinarbuko,
2008: 12). Semiotika lebih suka memilih istilah pembaca untuk penerima karena hal tersebut
secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan
merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Oleh karena iu, pembacaan itu
ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu mencipatakan makna teks
dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut (Fiske, 2011: 61).
Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-
makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks.
Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang
terdapat pada media massa (televisi, media cetak, film, radio, iklan) maupun yang terdapat di luar
media massa (karya lukis, patung, candi, fashion show, dan sebagainya). Dengan kata lain, pusat
perhatian semiotika adalah pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks (Pawito, 2007: 156).
Menurut John Fiske (2011: 60) semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda
yang berbeda itu menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang
menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengirganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mengekspliotasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan
kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Ada sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika
tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih
alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks. Umberto Eco (1979: 9-10;
Berger, 2010: 118) mengungkapkan ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai
bahan kajian ilmiah semiotika[6], antara lain: Semiotika binatang; Tanda-tanda bauan; Komunikasi
rabaan;Kode-kode perasaan; Paralinguistik; Semiotika medis; Kinesik dan proksemik; Kode-kode
musik; Bahasa-bahasa yang diformalkan; Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode
rahasia; Bahasa alam; Komunikasi visual; Sistem objek; Struktur alur; Teori teks;Kode-kode
budaya; Teks estetik; Komunikasi Mass; dan Retorika.
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh
aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara
lain: media, periklanan, tanda nonverbal, film, komik-kartun-karikatur, sastra, dan musik. Semiotika
untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa
sebagai metode analisis (Sobur, 2004: 114)
Dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah teks (pesan) kita
dapat mengetahui ekspresi emosi dan kognisi pembuat teks atau pesan itu, baik secara denotatif,
konotatif, maupun mitologis (Manning dan Cullum Swan dalam Sobur, 2004: 122). Metode semiotika
tidak dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna.
Penekanannya terhadap teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu budaya,
difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana
nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna (Fiske, 2011: 148).
Gagasan-gagasan Roland Barthes[7] memberi gambaran yang luas mengenai media
kontemporer. Roland Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis pengikut Saussure.
Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau
teks dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk
menunjukkan tingkatan-tingkatan makna (Pawito, 2007: 163). Denotasi (denotation) adalah
hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan, sedangkan
konotasi (connotation) adalah aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-
nilai kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003: 16-18). Didalam semiologi Barthes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua.
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tataran pertama. Penanda
tataran pertama merupakan tanda konotasi. Untuk memahami makna, Barthes membuat sebuah
model sistematis dimana fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi
dua tahap (two order of signification) yang digambarkan sebagai berikut:
First order Second order


Reality signs culture




form










content




Gambar 1. Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies, 2
nd
Edition. London: Routledge, hlm. 88.

Menurut Barthes, yang dikutip Fiske dari gambar tersebut menjelaskan bahwa signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dansignified (petanda) di dalam
sebuah tanda realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata
dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembicara serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subyektif
atau paling tidak inter-subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang telah digambarkan
tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Fiske,
1990: 88).
Pendekatan semiotika Barthes pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan yang disebutnya mitos. Menurut Barthes, bahasa
membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh
hadirnya sebuah tataran signifikansi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua
(Budiman, 2011: 38). Makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau
petunjuk mitos (yang menekankan makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna)
konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2010:65). Bila konotasi
merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatana kedua
dari petanda.
Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan
tertentu sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam
pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan sebuah cara pemaknaan;
dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos
timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai
mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya
sebagai penanda pada tingkatan yang lain (Hermawan, 2007).
Sementara Sudibyo (Sobur, 2003: 224) menyatakan bahwa Barthes mengartikan mitos
sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau
memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan.
Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Mitos tidak hanya berupa pesan
yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata lisan maupun tulisan), namun juga dalam berbagai
bentuk lain atau campuran antara verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, iklan,
forografi, dan komik.
Perspektif Barthes tentang mitos inilah yang membuka ranah baru dunia semiologi, yaitu
penggalian lebih jauh dari penanda untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian
masyarakat. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, Barthes dalam buku Mythologies (1993)
mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam
bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan
televisi (Sobur, 2003: 208). Mitos dikaitkan dengan ideologi, maka seperti yang dikatakan Van Zoest,
ideologi dan mitologi di dalam kehidupan kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis
dan komunikasi kita. Mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred),
yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari
(Sobur, 2003: 209).
Menurut Pawito (2007: 164), mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang yang kemudian
menghadirkan makna-makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya
masyarakat. Banyak hal yang di luar (atau tepatnya dibalik) lambang (atau mungkin bahasa) harus
dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang disebut
mitos.
Dalam bukunya yang terkenal, S/Z, Barthes menuliskan salah satu contoh tentang cara
kerjanya mengenai kode. Ia menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan bahwa dalam novel
tersebut terangkai kode rasionalisasi. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Lechte dalam Sobur,
2003: 65-66), yaitu:
1. Kode hermeneutik (kode teka-teki), yang berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang ada dalam teks.
2. Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Pembaca menyusun tema suatu
teks.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural.
4. Kode proaretik (kode tindakan), sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya
semua teks bersifat naratif.
5. Kode gnomik (kode kultural), merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui oleh
budaya.

Karya-karya Barthes seperti diatas memang sangat beragam. Karyanya berkisar dari teori
semiotika, esai kritik sastra, juga mengenai karya-karya bersifat pribadi tentang kepuasan dalam
wacana, cinta, dan fotografi. Barthes dalam setiap esainya membahas fenomena keseharian yang
luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi
yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil kontruksi yang cermat
(Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2006: 68).




[6] Menurut Umberto Eco (1979: 9), setiap tindakan untuk berkomunikasi dengan atau antar
makhluk hidup menuntut syarat bahwa suatu sistem penendaan menjadi suatu kondisi yang
dibutuhkan. Maka, seluruh komunikasi antar umat manusia bersifat terbuka bagi analisis semiotika
atau semiologi.
[7] Roland Barthes juga disebut tokoh yang memiliki peranan sentral dalam strukturalisme di era
60-an hingga 70-an. Barthes lahir pada tahun 1915 dari kalangan kelas menengah protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah Barat Daya
Perancis. Ada banyak karya yang dihasilkan oleh Roland Barthes selama ia menapaki dalam
sejarah pendidikannya. Karya yang cukup monumental yang dihasilkan Roland Barthes yaitu, Le
degre zero de Tcriture(1953/atau Nol Derajat di Bidang Menulis). Setahun kemudian Barthes
menerbitkanMichelet (1954). Kemudian menulis buku, Mythologies (mitologi-motologi). Lalu terbit
pula Critical Essays (1964). Selanjutnya, Barthes juga menghasilkan karya yang berjudul Element
de Semiologi (Beberapa Unsur Semiologi). Kemudian juga menghasilkan karya, System de La
Mode (Sistem Mode) selain itu, Empire Des Signes(Kekaisaran Tanda-Tanda) dan yang terakhir
adalah Roland Barthes Pare Roland Barthes (Roland Barthes oleh Roland Barthes). Semiotik yang
dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra
tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan
konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti kedua yang
tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Diposkan oleh vitta dinana di 21.51

Sumber: http://dinavirginitie.blogspot.com/2013/07/semiotika-roland-barthes_12.html

Teori Semiotika Roland Barthes
Disadur dan dimodifikasi oleh Shidarta
(dilarang mengutip kecuali menyebutkan sumbernya)

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Salah satu tokoh penting semiotika adalah Roland Barthes. Ia
banyak menulis buku seputar semiotika, antara lain Mythologies (1973),Element of
Semiology (1977), The Fashion System (1983), dan Camera Lucida (1994).

Teori semiotika yang secara singkat diungkapkan di bawah ini kerap digunakan untuk menelaah tanda-
tanda dalam bentuk iklan. Dengan teori ini, sebuah iklan tidak hanya bisa ditelaah secara apa yang
tersurat, melainkan juga yang bisa sampai pada mitos di baliknya. Jika kita melihat iklan rokok di televisi,
hampir tidak kita jumpai wujud fisik rokok diperlihatkan di sana. Bahkan anjuran untuk merokok pun tidak
tersajikan. Sebaliknya, pada akhir iklan justru ada pesan bahwa rokok itu membahayakan kesehatan.
Namun, kita tidak dapat menghindari bahwa iklan ini membawa pesan tertentu, bahkan sampai pada
sebuah mitos yang ingin terus dipelihara bahwa merokok itu jantan (macho), supel,trendy, cekatan,
disukai lawan jenis, dan berbagai karakter positif lainnya.

Tentu saja, "sign" di sini tidak harus berupa iklan. Ia dapat berarti teks apa saja, termasuk klausula
peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu lalu lintas. Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat
dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara
denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita
dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya,
misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda
berupa BUNGA MAWAR ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum
mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan
mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap
II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu merupakan
hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita
dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga
yang tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa
kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.

Teori semiotika, termasuk yang disampaikan oleh Barthes, tentu memiliki kelemahan. Dari gambaran di
atas dapat dirasakan betapa kuat dimensi subjektivitas tatkala kita membuat penafsiran-penafsiran ini. (*)
Diposkan oleh Shidarta di 21.18
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
2 komentar:
1.
LoveArt11 Maret 2014 22.56
maaf pak numpang tanya,apa bisa analisis semiotika menurut saussure membahas sebuah gambar?
Balas
2.
muhammad hasyim16 Maret 2014 08.20
Sebenarnya Barthes memisahkan skema tanda mitos dan konotasi, yang keduanya berada pada tataran
yang sama (kedua). di buku Elements of Semiologi, Barthes mengulas skema penandaan denotasi dan
konotasi, sementara itu, di buku Mytologie, Barthes membahas konsep langue (bahasa objek) pada tataran
pertama dan mitos pada tataran kedua. jadi, skema tanda konotasi dan mitos terpisah. Tidak mesti mitos
harus melalui proses konotasi. seingat saya, barthes menjelaskan secara terpisah antara konsep konotasi
dan mitos.
Balas

Sumber: http://darta-anekateori.blogspot.com/2011/04/teori-semiotika-roland-barthes.html

Semiotika Menurut Pandangan Roland Barthes
20.46 banggaberbahasa.blogspot.com No comments

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan hubungan atau
relasi antara kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang berjudul, Teori Budaya dan
Budaya Pop (An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Studies, 1993) telah memetakan
budaya pop dalam lanskap cultural studies. Dalam bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini,
Storey lebih memfokuskan kajiannya pada implikasi teoretis, implikasi metodologis, dan percabangan
yang terjadi pada saat-saat tertentu dalam sejarah kajian budaya pop. Storey cenderung lebih
memperlakukan teori budaya atau budaya popular sebagai sebuah proses pembentukan wacana
(discursive formation).
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland Barthes
dalam subtopik Strukturalisme dan Pascastrukturalisme. Barthes tidak hanya sering disalahpahami
konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau
poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa
Indonesia, seringkali terbatas dalam kategorikategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa
Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini,
tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthesoleh Kurniawan
(2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika
Negativa karya St. Sunardi (2004). Adapun Karya-karya Barthes tentang analisis sejumlah fenomena
budaya pop antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera Lucida.
Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika
(semiologi)terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order
semiotic system. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah
model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili sesuatu objek
representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama
merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik
lebih mengarah pada tradisi Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto Eco,
sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi
merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah yang dimaksud semiotika?
2. Bagaimana prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes?
3. Bagaimana pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya kontemporer dalam karya-karyanya?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Memaparkan tentang semiotika
2. Menjelaskan prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes
3. Memaparkan pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya kontemporer dalam karya-karyanya


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Semiotika
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini,
di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotikaatau dalam istilah Barthes,
semiologipada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-
hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa semiotika
mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Berbicara tentang
kegunaan semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu untuk mengetahui apa yang dilakukan
dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain, permasalahannya
terdapat pada produksi daan konsumsi arti. Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain:
semiotika musik, semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya, dsb.
Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi
sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini
melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang
ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang
bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa
yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda.
Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau
yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.
Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas, kata Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang menekuni
tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda
sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata
lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens,
Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda.
Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda
oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh
utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga
adalah semiotika ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis
ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti.
Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya
mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun
juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi
Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan
sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan
persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics).
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang
berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam
hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting
yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi,
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan
konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem
pemaknaan tataran pertama.

2.2 Prinsip Semiotika Menurut Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada
kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang
berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of
signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang
lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun
Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.



Bagan 1. Semiotika menurut Roland Barthes

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos
menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,
ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang
menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi
menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon
beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
(http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-pengantar/)
Menurut Barthes penanda (signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified) merupakan konteks tanda
(sign)

language

2
.

S
I
G




PENANDA (SIGNIFIER) = TEKS
PETANDA (SIGNIFIED) = KONTEKS
TANDA (SIGN)

1. SIGNIFIER
N
I
F
I
E
D
3. SIGN

myth

I. SIGNIFIER
II
.
SI
G
N
IF
IE
D
III. SIGN



WARNA

MITOS

TAHAP I DENOTASI
WARNA

TAHAP II KONOTASI





Bagan 2. Mitos : kekuatan cinta mengatasi segalanya

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat
dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif.
Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap
kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam
penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru dimaknai secara
denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar
itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan
untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu
merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita
dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cinta itu abadi seperti bunga yang tetap
bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos,
bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifi dan muncul dengan teori
mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada
Dua Mawar
dalam satu
tangkai
Dua Mawar akan
mekar
ditangkainya


HASRAT CINTA MEKAR DI
SEGALA MASA


Hasrat cinta abadi seperti bunga yang tetap
bermekaran pada segala masa
masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang
dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah
pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi,
untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifi). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis,
misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first
order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna
persidangan. Lapis kedua ini yang disebut konotasi.
Derrida membangun teorinya dengan argumen yang bertolak belakang dengan pemikiran
Husserl. Husserl mengemukakan bahwa makna ujaran adalah yang diinginkan oleh pemroduksi tuturan.
Bahasa yang utama adalah tuturan. Bagi Derrida, bahasa bersifat memenuhi dirinya sendiri (self-
sfuficient), dan bahkan terbebas dari manusia. Derrida melihat bahasa bersumber pda tulisan. Tulisan
adalah bahasa yang secara maksimal memnuhi dirinya sendiri karena tulisan menguasai ruang ruang
secara maksimal pula. Sebenarnya pemaknaan yang dilakukan oleh Derrida adalah pemaknaan
membongkar dan menganalisis secara kritis (critical analysis). Teori ini bertolak dari teori Saussure
tentang tanda.

2.3 Pandangan Roland Barthes dalam Karya-karyanya
Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap sejumlah fenomena budaya pop
seperti dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida, memang tidak terkait dengan
apa yang dilakukan oleh Hoggart maupun Williams di Inggris. Bahkan Barthes menulis kajian terhadap
budaya massa lebih awal, yakni pada tahun 1954-1956 yang secara reguler dia tulis untuk sejumlah
media yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Mythologies; dibandingkan tulisan-tulisan
Hoggart maupun Williams untuk The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies. Tulisan
Hoggart yang berjudul The Uses of Literacy (tentang kegelisahan anak-anak muda terutama kelompok
the juke-box boys), yang dianggap sebagai tonggak school of thought kajian budaya di Inggris,
diterbitkan pada 1957. Oleh karena itu, Barthes dapat digolongkan sebagai salah satu
tokoh cultural studies dari kutub pemikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai cikal
bakal berdirinya kajian budaya ini.

1) Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua subbab, yakni: (1) Mythologies,
dan (2) Myth Today. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan mengulas
tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan
hero-hero lainnya, ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan Odiseus
yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga di belahan bumi lainnya termasuk
di Indonesia. Barthes sama sekali tidak menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis dan legendaris
tersebut.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer
semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein,
manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citron, plastik, fotografi,
tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya pada
cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan
sejumlah esai tentang topik-topik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa.
Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru
masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang
ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun
pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di balik semua hal
itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap
signifikansinya. Mitos merupakan salah satu type of speech. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos
masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang kedua yang berjudul Myth Today.

2) Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode.
Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi struktur
penanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya.
Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini
dikembangkannya.
Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau wujud
pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan
fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu,
upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim
semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trendakan
mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia
mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode.
Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi
peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status
kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia. Barthes
tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya, mengingat Paris
merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek
kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model
yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis.
Status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang
dikenakannya. Padahal kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang
selama ini sering dikonter oleh para feminis.

3) Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-foto
dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, The
PhotographicMessage pada 1961 dan Rethoric of the Image juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini,
Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa
dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai
analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa
tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata
foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani
LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda
tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau
makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI
yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan
caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah
menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang
sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer
Prancis yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional.
Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto
itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi
warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan
konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek yang dipilihnya,
logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa yang hendak ditulisnya. Hal ini
seringkali ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan
kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali memanfaatkan
tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto-foto dalam media
massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan
pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas
foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan pendekatan
fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman, tapi bukan
sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai kemampuan untuk
membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati
tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes
untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu titik (St. Sunardi,
2004:166).



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Adapun simpulan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan berbagai pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa semiotika atau semiologi merupakan
cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-
tanda.
2. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos
menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-
signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos
3. Roland Barthes juga menganalisis tentang sejumlah fenomena budaya pop seperti dalamMythologies,
The Fashion System, ataupun Camera Lucida. Rupanya peristiwa sehari-hari, foto, atau gaya berpakaian
juga dapat dianalisis dengan kajian semiotik yang memiliki makna konotasi dan denotasi.


DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Sumawijaya, Bambang. 2008. Teori-teori Semiotika, Sebuah
Pengantar.http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-
pengantar/ (diunduh pada tanggal 22 september 2012)
Swandayani, Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies Perancis: Roland Barthes. Makalah dipresentasikan dalam
Seminar Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY Yogyakarta, pada 1415
September 2005
Sumber: http://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/09/semiotika-menurut-pandangan-roland_820.html

Anda mungkin juga menyukai