Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak mata (persambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea di limbus. Konjungtiva mengandung kelejar musin yang dihasilkan
oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
1,2

Karena lokasinya, konjungtiva terpapar terhadap mikroorganisme dan
faktor lingkungan lain yang menganggu. Air mata merupakan mekanisme
perlindungan permukaan mata yang penting. Pada film air mata, komponen
akueosa mengencerkan materi infeksi, mukus menangkap debris, dan aktivitas
pompa dari palpebra secara tetap membilas air mata ke duktus air mata. Air mata
mengandung substansi antimikroba, termasuk lizosim dan antibody (IgG dan
IgA). Agen infeksi tertentu dapat melekat dan mengalahkan mekanisme
pertahanan normal dan memicu reaksi peradangan sehingga timbul gejala klinis
konjungtivitis.
1,2,3
Konjungtivitis virus adalah penyakit mata yang umum ditemukan baik di
Indonesia maupun di seluruh dunia. Karena begitu umum dan banyak kasus yang
tidak dibawa ke perhatian medis, statistik yang akurat pada frekuensi penyakit
tidak tersedia. Pada penelitian di Philadelphia, 62% dari kasus konjungtivitis
penyebabnya adalah virus. Sedangkan di Asia Timur, adenovirus dapat diisolasi
dari 91,2% kasus yang didiagnosa epidemic keratoconjunctivitis. Infeksi virus
sering terjadi pada epidemi dalam keluarga, sekolah, kantor, dan organisasi
militer.
3
Gejala klinis konjungtivitis virus dapat terjadi secara akut maupun kronis.
Manifestasi konjungtivitis virus beragam dari mulai gejala yang ringan dan
sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan. Umumnya
pasien datang dengan keluhan mata merah unilateral yang dengan segera
menyebar ke mata lainnya, muncul sekret berwarna bening, bengkak pada
palpebra, pembesaran kelenjar preaurikuler, dan pada keterlibatan kornea dapat
timbul nyeri dan fotofobia. Terdapat pula gejala-gejala khas pada tipe virus
tertentu yang akan dibahas kemudian.
1,2
Diagnosis konjungtivitis virus ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung. Anamnesis
yang teliti mengenai keluhan utama dan riwayat terdahulu disertai adanya gejala
klinis yang sesuai biasanya sudah dapat mengarahkan pada diagnosis
konjungtivitis virus. Pemeriksaan sitologi maupun biakan dari kerokan
konjungtiva maupun sekret dapat membantu membedakan agen penyebab
konjungtivitis. Pemeriksaan serologi juga dapat membantu membedakan tipe-tipe
virus penyebab konjungtivitis. Konjungtivitis virus harus dibedakan dengan
penyebab mata merah yang lain seperti konjungtivitis oleh bakteri/alergi, keratitis,
uveitis, dan glaucoma akut.
1,2
Penatalaksanaan konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan
merupakan terapi simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan
penggunaan antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan
pemberian cairan pelembab. Kompres dingin pada mata 3 4 x / hari juga
dikatakan dapat membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk
penatalaksanaan konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk
infeksi.
1,2










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Istilah ini
mengacu pada peradangan yang tidak spesifik dengan penyebab yang beragam.
Virus merupakan agen infeksi yang umum ditemukan selain konjungtivitis
bakterial, alergi, dan lan-lain.
3
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab
konjungtivitis. Adenoviral merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus.
Beberapa subtipe dari konjungtivitis adenovirus antara lain demam
faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi mata primer oleh
karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya
menimbulkan konjungtivitis folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV
tipe I walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada
neonatus.
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster
(VZV), pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum
kontagiosum, vaccinia), serta Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi oleh
pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis
mirip dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan hemoragik.
Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis kronis yang terjadi
akibat shedding partikel virus dari lesi ke dalam sakus konjungtiva. Infeksi oleh
virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring dengan menurunnya
insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya
menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen
anterior juga pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS
cenderung lebih berat dan lama daripada individu lain yang immunokompeten.
Konjungtivitis juga kadang dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik
seperti virus influenza, Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps,
Newcastle) atau Rubella.
1,3
2.2 Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan
mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam
palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada
bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula
lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada
konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti
halnya membrane mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan
mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah,
iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat
menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan
infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus
tersebut.
3

2.3 Gejala dan Tanda Klinis
Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan
sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.
a. Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang
tipe 4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 40
0
C, sakit
tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok
pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi
bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai
keratitis superficial sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah subepitel.
Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang
ditemukan pada pasien mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua
gejala utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis).
1,2
b. Keratokonjungtivitis epidemika:
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D
tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan
sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama
biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti
dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan
subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan
hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan
konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun membran
sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis
berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea,
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut.
1,2
c. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)
Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan
keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi,
disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi
primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis
herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi eptelial tersendiri yang
umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang
banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi mumnya folikuler namun dapat
juga pseudomembranosa. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan
tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra. Nodus preaurikuler yang nyeri
tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis HSV.
1,2
d. Konjungtivitis hemoragika akut
Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan
kadang-kadang oleh virus coxsakie tpe A24. Yang khas pada konjungtivitis tipe
ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat
(5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing,
banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva.
Kadang-kadang dapat timul kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi
umumnya difus, namun dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan
berawal dari konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar
kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis
epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam,
malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang
melalui media sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
1,2

Konjungtivitis virus menahun meliputi:
a. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum
Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan
infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putih-
mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian
atau kulit palpebra dan alis mata apat menimbulkan konjungtivitis folikuler
menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin
menyerupai trachoma.
1
b. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan
konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran
dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi
umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal
perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang nyeri
tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu mata salah
arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam
palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis
eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat
jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-
tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan
bertambah pembuluh darahnya.
1
c. Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada tahap awal
konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti
pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi
kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan
dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada
konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi
pada anak-anak dan orang tua.
1
2.3 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu sangat
penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit ini,
pasien akan mengeluhkan gejala-gala yang berkaitan dengan proses infeksi
(bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di
bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah
kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari
pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian
depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp
untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien
mengalami pseudo-membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada
konjungtiva.
2
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral adalah
kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada infeksi yang
menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi konjungtiva yang
atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan yang diberikan
sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada konjungtivitis virus
ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi merupakan teknik
pemeriksaan dengan memaparkan organism penyebab kepada tubuh manusia
untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu. Deteksi terhadap antigen
virus dan klamidia dapat dipertimbangkan. Polymerase chain reaction (PCR)
merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan
pada fase akut.
2
1. Konjungtivitis viral akut
a. Demam faringokonjungtiva
Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis
maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini dapat
dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi. Dengan
berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara serologis melalui
peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun, diagnosis klinis merupakan
diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada kerokan konjungtiva didapatkan
sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan.
b. Keratokonjuntivitis epidemika
Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan
uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer. Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.
c. Konjungtivitis herpetik
Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler,
reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear
(karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea
dengan fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak dalam pulasan
giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus memiliki nilai diagnostik.
Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis biasanya ditegakkan dengan
ditemukan sel raksasa pada pewarnaan giemsa, kultur virus, dan sel inklusi
intranuklear.
d. Konjungtivitis New castle
Diagnosis dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran
klinisnya.
e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut
Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya.
2. Konjungtivitis Viral Kronis
a. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Bioposi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi
sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zooster
Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya
mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan dari
konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat
mengandung sel raksasa dan monosit

c. Blefarokonjungtivitis campak
Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika
ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan
sel-sel raksasa
Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis
yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya.
Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis
virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan
Subjektif dan Obyektif.
2
Gejala
subyektif
dan
obyektif
Glaukom
a akut
Uveitis
akut
Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
Penurunan
Visus
+++ +/++ +++ - - -
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi
siliar
+ ++ +++ - - -
Injeksi
konjungtiva
++ ++ ++ +++ ++ +
Kekeruhan
kornea
+++ - +/++ - -/+ -
Kelainan Midriasis Miosis Normal/ N N N
pupil nonrekatif iregular miosis
Kedalaman
COA
Dangkal N N N N N
Tekanan
intraokular
Tinggi Rendah N N N N
Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar
preaurikula
r
- - - - + -


2.4 Komplikasi
Komplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain
3
:
Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi
ulkus kornea

2.5 Penatalaksanaan
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi simptomatis,
belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral. Umumnya
mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres
dingin pada mata 3 4 x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan
pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral
harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi.
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Konjungtivitis viral akut
1,2

a. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena dapat
sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus yang
berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya
simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan
kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga
harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakteri.
c. Konjungtivitis herpetik
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu tahun atau
pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu
terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus doberikan untuk mencegah
terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea, harus dilakukan debridement
korneadengan mengusap ulkus menggunakan kain steril dengan hati-hati,
oenetesan obat anti virus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal
sendiri harus diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu
bangun. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias memperburuk
infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang
sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang berkepanjangan. Pada konjungtivitis
varicella zooster pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian kompres dingin.
Pada saat acyclovir 400 mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum.
Walaupun diduga steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat
mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan
analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat
diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila terdapat
episkleritis, skleritis dan iritis.
d. Konjungtivitis new castle
Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik.
e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut
Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik.
Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat digunkan untuk
mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari.
2. Konjungtivitis viral kronik
1

a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang
memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi
ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya.
b. Blefarokonjungtivitis varicella zoster
Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x selama 10
hari)
c. Keratokonjungtivitis campak
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan,
kecuali ada infeksi sekunder.
Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya
cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan
juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang
memeriksa pasien. Langkah langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah
mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong,
serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan
pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan
untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah
dalam 1 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama.
2


2.6 Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh
spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak
ditangani dengan baik.







DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburrys General Opthalmology. 16
th
edition. McGraw-Hill Companies. USA: 2004. p108-112
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2005. p128-131
3. Scott, IU. Viral Conjunctivitis. 2011. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall
4. Susila, Niti et al. Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. 2009.
5. Budhiastra, P et al. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. 2009.

Anda mungkin juga menyukai