Anda di halaman 1dari 14

DAKWAH KULTURAL:

RELEVANSI SENI SEBAGAI MEDIA DAKWAH KEKINIAN


Disusun Oleh: Amir Khoiri, M.Ag

ABSTRAKSI
Implementasi dakwah di era kekinian dan di masa mendatang akan semakin berkembang
dan kompleks, sebab permasalahan yang dihadapi oleh juru dakwah atau muballigh juga akan
semakin berkembang dan meningkat komplesitasnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membawa berbagai perubahan dalam masyarakat, baik dalam pola pikir, sikap,
maupun perilaku, sehingga strategi dakwah yang diterapkan harus beradaptasi dengan perubahan
kebutuhan dan pertumbuhan masyarakat sebagai obyek dakwah.
Dakwah Islamiyah punya kaitan simbiosis dengan seni, dimana makna dan nilai-nilai
Islam dapat dipadukan. Namun dalam hal ini perlu adanya konsep dakwah yang strategis, dengan
pengelolaan secara profesional yang mampu mengakomodasi segala permasalahan sosial. Ketika
dihadapkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seni dalam kaitannya
dengan dakwah Islamiyah dihadapkan pada kenyataan bahwa seni dapat menjadi metode atau
media dakwah, namun juga menjadi sasaran antara bagi dakwah Islamiyah itu sendiri.
Akibatnya, relevansi seni sebagai media dakwah di era kekinian turut dipertanyakan pada tatanan
ilmplementasi dan strategi.
Sebagai media atau metode, seni mempunyai proyeksi yang mengarah pada pencapaian
kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada gilirannya mampu mernbentuk sikap dan
perilaku Islami yang tidak menimbulkan gejolak sosial, tetapi justru makin memantapkan
perkembangan sosial. Sedangkan sebagai sasaran, dakwah Islamiyah diarahkan pada pengisian
makna dan nilai-nilai Islami yang integratif ke dalam segala jenis seni dan budaya yang akan
dikembangkan.






A. DAKWAH KULTURAL
Dakwah bukanlah istilah baru dalam khasanah pemikiran Islam, bahkan istilah ini banyak
ditemukan dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah, antara lain dapat dijumpai dalam surat An-
Nahl/16:125:

Artinya: Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhannmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk.

Berdasarkan ayat tersebut, hakikat dakwah dapat dirumuskan sebagai suatu kewajiban
mengajak manusia kejalan Tuhan dengan cara hikmah, mauidhah hasanah dan mujadalah yang
ahsan. Sementara itu menurut Amrullah Ahmad, dakwah Islam merupakan aktualisasi teologis
yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir,
bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam
rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan
menggunakan cara tertentu.
1
Jadi pada dasarnya esensi dakwah adalah tindakan menyebarkan
dan mengkomunikasikan pesan-pesan Islam atau dengan kata lain sebagai upaya untuk
menghimbau orang lain ke arah Islam.
Dakwah dapat juga dimaknai dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk
terjadinya perubahan pikiran, keyakinan, sikap dan prilaku ke arah pikiran, keyakinan, sikap dan
prilaku yang lebih Islami. Dengan kata lain, dengan adanya dakwah seseorang atau sekelompok
orang akan berubah pikiran, keyakinan, sikap dan prilakunya ke arah yang lebih positif yaitu ke
arah yang sesuai dengan ajaran atau nilai-nilai Islam. Misalnya dari tidak mengenal tuhan ke
mengenal Tuhan, dari bertuhan banyak ke Tuhan satu, dari tidak shalat menjadi shalat, dari
berprilaku jelek menjadi berprilaku baik, dari kondisi miskin yang pasrah terhadap nasib menjadi
sadar dan mau merubah nasib dan sebagainya. Oleh karena itu, dakwah hendaklah dikemas
dengan baik sehingga mampu menarik perhatian madu, misalnya dengan mengkompromikan
nilai-nilai atau ajaran Islam dengan nilai-nilai tradisi atau budaya lokal.

1
Amrullah Achmad, Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1983), h. 2.
Salah satu tujuan dakwah adalah perubahan masyarakat serta transformasi kontinu
masyarakat untuk makin mendekatkan diri ke jalan yang lurus. Islam mengajarkan dan
membimbing orang untuk tidak menjadi saleh dan benar sendiri, tetapi juga berusaha untuk
memperbaiki orang lain.
2
Dalam hal ini, eksistensi gerakan dakwah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dan senantiasa bersentuhan dengan masyarakat tempat dakwah dilaksanakan.
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu yang terikat oleh kesatuan adat,
ritus atau hukum khas, dan hidup bersama.
3
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan
pandangan hidupnya. Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya
mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat tersebut, dan sistem nilai merupakan salah satu
unsur budaya. Faktor kebudayaan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
manusia. Dalam kebudayan itu terdapat norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur tingkah laku
manusia dalam masyarakat. Kepribadian tidak dapat difahami terlepas dari nilai-nilai dan norma
kebudayaan tersebut.
Budaya merupakan seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat, aturan dan
kode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang, mengikat mereka satu sama
lain dan memberi kesadaran bersama.
4
Setiap budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem nilai
yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Kebudayaan terbentuk
karena kondisi lingkungan sekitarnya.
Dakwah dengan mengakomodasi pelbagai budaya masyarakat diistilahkan dengan
dakwah kultural yang secara definitif dapat dinyatakan sebagai sebuah pendekatan dakwah yang
dilakukan dengan melihat aspek budaya masyarakat yang telah mengakar di tengah lokalitas tertentu
dengan mempertimbangkan aspek budaya, pendidikan dan psikologi dengan berorientasi kepada
pembangunan moral. Sehingga dakwah atau penyeruan kepada Islam dapat dilakukan dengan tetap
berorientasi kepada pelestarian budaya dan tradisi tersebut karena pada hakikatnya, setiap budaya
adalah bangunan nilai dan kearifan lokal yang di dalamnya ada pesan-pesan kebijakan.
5

Menurut Simuh pendekatan kompromis ini pernah dilakukan oleh para Wali Sanga dalam
penyebaran Islam di tanah Jawa yang sebelumnya memang kental akan nilai-nilai budaya Hindu

2
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), h. 253.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran:Tafsir Maudhui atas Pelbagai persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2000),
h. 319.
4
Rachmat Imampuro, Pengembangan Metodologi Dakwah Merupakan Tuntutan pada Era Globalisasi, Agus
Wahyu dkk (Ed), Dakwah Islam Antara Normatif dan Kontekstual, (Semarang: IAIN Walisongo, 2001), h. 76.
5
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009), h. 268.
dan Budha
6
(meskipun tentu ada ajaran-ajaran Islam yang tidak bisa dikompromikan seperti tata
cara shalat). Para wali tidak berusaha secara frontal dalam menghadapi masyarakat setempat,
tetapi ada strategi budaya yang dikembangkan agar Islam bukan merupakan sesuatu yang asing
bagi masyarakat setempat, tetapi merupakan sesuatu yang akrab karena sarana, bahasa dan
pendekatan yang dipakai merupakan hal-hal yang sudah dekat dengan mereka seperti selamatan,
kenduri, mitoni dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan yang kompromis inilah yang
melahirkan banyak produk budaya dalam masyarakat, yang tentu saja mengandung ajaran-ajaran
disamping seni dan hiburan yang dapat menyampaikan misi Islam yang rahmatan li al alamin.
Dalam konteks kekinian, pada pelaksanaannya, dakwah akan selalu berhadapan, bertemu,
bersinggungan dengan budaya masyarakat dimana dakwah dilaksanakan. Oleh karena itu
meskipun dakwah itu berhasil, namun hasil dakwah itu tetap akan dipengaruhi oleh budaya
masyarakat. Misalnya dakwah pada masyarakat Banjar akan dipengaruhi oleh budaya Banjar,
dakwah pada masyarakat Jawa akan dipengaruhi oleh budaya Jawa atau kejawen, dakwah pada
masyarakat Bugis akan dipengaruhi oleh budaya Bugis, dan sebagainya, bahkan pada tingkat
internasional, kita mengenal ada muslim Afganistan, muslim Pakistan, muslim Maroko, muslim
Malaysia dan sebagainya, yang semuanya nilai-nilai budaya setempat mempengaruhi ajaran-
ajaran atau nilai-nilai agama. Oleh karena itu agar dakwah berhasil dalam artian keimanan,
keislaman dan keihsanannya sama seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, maka perlu
pemaknaan budaya setempat yang mempengaruhi nilai-nilai dan ajaran Islam agar keimanan,
keislaman dan keihsanan tersebut tidak tercampur dengan hal-hal yang sifatnya syirik.
Dari pemaparan di atas, dakwah kultural tidaklah dimaknai sebagai wujud hegemoni
budaya terhadap agama ataupun sebaliknya, tapi lebih sebagai bentuk kompromi ajaran agama
terhadap budaya masyarakat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar serta nilai-nilai syariah.
Dakwah kultural merupakan aktivitas eksploratif maqasid al-syariah dalam budaya yang
berkembang di tengah masyarakat.



B. SENI SEBAGAI MEDIA DAKWAH KULTURAL

6
Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Yayasan Bintang, 1996), h. 6.
Implementasi dakwah kultural dengan pendekatan budaya di antaranya adalah dengan
menjadikan seni sebagai media dakwah. Seni adalah ekspresi dari perasaan manusia sehingga ia
merupakan ungkapan yang sesungguhnya dari hidup dan kehidupan masyarakat. Karena itu,
kehadiran agama di tengah-tengah masyarakat selalu bergerak dan tumbuh melalui wadah
kultural yang pada gilirannya melahirkan kultur yang bercirikan keagamaan, atau simbol-simbol
kultural yang digunakan untuk mengekspresikan nilai keagamaan.
Seni dalam pengertiannya yang paling universal selalu diidentifikasikan sebagai sebuah
keindahan karena keindahan disini merupakan unsur yang sangat urgen dalam seni. Herber Read
menyebutkan bahwa seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang
menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan disini diartikan sebagai sebagai bentuk yang dapat
membingkai perasaan keindahan.
7

Menurut Yusuf Qardhawi seni adalah suatu kemajuan yang dapat ditingkatkan harkat dan
martabat manusia dan tidak menurunkan martabatnya. Ia merupakan ekspresi jiwa yang mengalir
babas, memerdekakan manusia dari rutinitas dan kehidupan mesin produksi, berpikir, bekerja
dan berproduksi.
8
Menurut C. Isror, seni meliputi seluruh yang dapat menimbulkan kalbu rasa
keindahan, sebab seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan manusia.
9

Sedang menurut Sidi Gazalba, seni adalah tata hubungan manusia dengan bentuk pleasure
menyenangkan.
10
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa seni adalah keindahan, ia merupakan
ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni lahir
dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apapun
jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-hambanya.
11

Dengan seni orang dapat memperoleh kenikmatan sebagai akibat refleksi perasaan
terhadap stimulus yang diterimanya. Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan fisik lahiriyah,
melainkan kenikmatan bathiniah. Kenikmatan timbul bila kita dapat menangkap dan merasakan
simbol-simbol estetika dari pencipta seni. Sehingga, seringkali orang mengatakan nilai seni
sebagai nilai spiritual.

7
Herbert Read , The Meaning of Art, (New York : Pinguin Book, 1959), h. 1.
8
Yusuf Al-Qardhawi, Seni dan Hiburan Dalam Islam, terj., Hadi Mulyo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 20.
9
C. Isror, Sejarah Kesenian Islam I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 9.
10
Sidi Gazalba, Pandangan Islam Tentang Kesenian, (Jakarta : Bulan Bintang , 1977), h. 20.
11
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 385.
Seni merupakan manisfestasi dari budaya (priksa, rasa, karsa, intuisi,dan karya )
manusia yang memenuhi syarat estetik. Pada dasarnya seni dapat dibeda-bedakan atas:
a. Seni sastra atau kesusastraan, seni dengan alat bahasa.
b. Seni musik, seni dengan alat bunyi atau suara.
c. Seni tari, seni dengan alat gerakan.
d. Seni rupa, seni dengan alat garis, bentuk warna dan lain sebagainya.
e. Seni drama atau teater, seni dengan alat kombinasi; sastra musik, tari/gerak dan rupa.
12

Seni yang ada dalam dimensi batin ajaran Islam dan spiritualitasnya, dapat ditemukan
kembali dan diterapkan kembali oleh para seniman muslim yang tugasnya membuat dan
menciptakan bentuk, obyek, serta manifestasi kontemporer seni Islam. Seni pada hakikatnya
merupakan saksi pengejawantahan Yang Maha Esa dan keselarasannya memberi pengaruh
pembebasan jiwa yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada yang banyak dan
memungkinkan untuk merasakan kebahagiaan yang tidak terperikan dari kedekatan dengan Yang
Maha Esa.
13

Seni Islam memenuhi tujuan dan fungsinya sebagai penopang dan pembantu ajaran al-
Quran itu sendiri dengan bertindak sebagai pendukung untuk mencapai tujuan Islam, tujuan itu
sendiri adalah kesadaran akan Yang Maha Esa melalui keindahan bentuk, warna, dan bunyi yang
memikat, intinya menuntun menuju yang tak terhingga dan bertindak sebagai sarana untuk
mencapai Yang Maha Benar (al-Haqq) lagi Maha Mulia (al-Jalal) serta maha Indah (al-
Jamal).
14

Selain itu, seni perlu tetap diangkat kepermukaan berbagai dimensi agar seni dan budaya
dapat dilestarikan hingga tidak ditelan zaman. Seni dalam konteks Islam mengandungi beberapa
ciri sebagai komponen terpadu yang melengkapi antara satu sama lain yaitu keindahan, unsur
moral, segala aspek yang integral dengan agama, etika dan estetika. Dalam hal yang sama,
perkembangan ini dapat dijadikan simbol-simbol yang dapat mempengaruhi diri seseorang untuk
lebih mendalami dan menghayati isi dan kandungan al-Quran serta dapat menjadikannya
sebagai cerminan kehidupan masyarakat Islam.
Seni merupakan khazanah dunia yang terus dimiliki umat manusia. Perkembangan seni
yang tersebar ke seluruh pelosok dunia dengan berbagai bentuknya menjadikan umat Islam harus

12
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), h. 141.
13
Yusuf al-Qardhawi, op. cit., h. 20.
14
Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, Terj. Sutejo, (Bandung: Mizan, 1993), h. 219.
dapat membuat pilihan mengenai seni yang boleh dan tidak dibolehkan berdasarkan ajaran
agama Islam. Seni ini disalurkan berdasarkan perubahan-perubahan yang berlaku tanpa
menghilangkan ciri dan nilai kerohanian yang ada dalam ajaran Islam. Justru, isyarat al-Quran
mengenai seni sangat mempengaruhi dasar pengembangan aktivitas-aktivitas kesenian umat
manusia.
Dari pemaparan di atas, nampak jelas seni bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan
ajaran Islam, bahkan bisa dinyatakan selaras dengan puncak ajaran Islam itu sendiri, yaitu ihsan
yang cenderung pada aspek spiritual (rasa dan keindahan). Sebagai contoh, khusyu dalam shalat
adalah aspek ihsan yang hanya bisa dialami oleh setiap muslim yang mampu mengolah rasa atau
spiritualitasnya dalam menjalankan shalat.
Dalam kaitannya dengan dakwah, seni adalah sebuah media untuk mecapai tujuan
dakwah, seni menjembatani proses dakwah. Seni sebagai media dakwah bisa dinikmati oleh
apara pemirsa atau objek sasaran dakwah. Secara tidak langsung pesan-pesan dakwah pun bisa
ditangkap oleh mad'u. Dalam Islam terdapat dua macam kesenian. Pertama, ada kesenian yang
baik, yaitu semua bentuk keseniah yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, segala
kesenian yang tidak merusak budi pekerti, segala kesenian yang tidak melalaikan kepada ibadah,
dan segala kesenian yang tidak menjadikan manusia lupa kepada Tuhan. Kedua, ada kesenian
yang buruk, yaitu segala kesenian yang terlarang dalam agama, segala kesenian yang merusak
budi pekerti, segala kesenian yang melalaikan kepada ibadah, dan segala kesenian yang
menjadikan kita lupa kepada Tuhan. Oleh kerena itu, pemanfaatan seni yang positif dapat
membebaskan manusia dan untuk tegaknya dakwah Islamiyyah. Potensi-potensi masyarakat
dalam mengembangkan kesenian dalam Islam seharusnya menjadi sarana dan media untuk
mengembangkan dakwah Islamiyyah, dengan tujuan dapat memahami ajaran dan perintah Tuhan
melalui pendekatan seni.
Ditinjau dari sisi sosiokultural, sudah menjadi fakta bahwa salah satu pilar kesuksesan
dakwah Nabi Muhammad SAW dikalangan masyarakat Arab adalah strategi beliau dalam
mendekati kaum Arab lewat pendekatan seni dan budaya. Adanya kitab suci Al-Quran yang
bernilai sastra tinggi di lingkungan yang sangat menghargai sastra budaya pada saat itu
merupakan bukti bahwa melalui budaya masyarakat mudah menerima ajaran-ajaran Islam.
Begitu juga dalam menetapkan hukum atas sesuatu, beliau tidak menghilangkan budaya yang
ada, melainkan hanya meluruskan hingga sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
C. RELEVANSI SENI SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Dewasa ini kegiatan dakwah Islamiyyah di masyarakat seringkali mengabaikan
efektifitas dari kegiatan dakwah tersebut. Berdakwah artinya mempropogandakan suatu
keyakinan, menyerukan suatu pandangan hidup, iman dan agama.
15
Bahkan sudah menjadi
rahasia umum bahwa kegiatan dakwah yang ada terkesan monoton. Monoton disini berati adanya
suatu metode dari dakwah tersebut dinilai kurang memberikan efek yang besar bagi para madu
dalam menerima informasi. Maka sudah sepatutnya para pelaku dakwah beralih dari formula
dakwah yang sudah lazim dilakukan. Seperti halnya dakwah bi al-lisan. Kegiatan dakwah ini
bukan berarti bernilai tidak baik. Namun jika kita lihat dari efektifitas penerapan informasi dari
kegiatan dakwah tersebut sangatlah kurang memadai jika kita lihat maraknya informasi sekuler
yang ada di tengah masyarakat.
Konsep dakwah selama ini seolah seperti bank concept of communication, yang
mengibaratkan masyarakat sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan keyakinan nilai moral,
serta prktek-praktek kehidupan agar disimpan dan secara mekanis bisa dikeluarkan pada saat
dibutuhkan.
16
Pada dasarnya, dakwah dapat menggunakan bebagai wasilah yang dapat merangsang
indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan
efektif wasilah yang dipakai, semakin efektif pula pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah.
17

Seni merupakan media yang mempunyai peranan penting dalam melakukan pelaksanaan
kegiatan religi, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati setiap
pendengar dan penonton. Melalui kesenian tentunya tidak hanya sebagai hiburan belaka, namun
orang mencipta kesenian mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya sebagai mata pencaharian
untuk propaganda atau bahkan untuk berdakwah. Bagi mereka yang menikmati suatu karya seni
tentunya akan tergerak untuk menghayati apa yang sebenarnya misi yang terkandung di
dalamnya. Di dalam gempita dan persaingan kelompok kesenian di zaman modern ini, tidak
menjadikan kesenian-kesenian tradisional merasa pesimis untuk mendapatkan simpatisan dari
publik atau masyarakat, namun justru menjadi acuan untuk lebih meningkatkan mutu kesenian

15
Isa Anshary, Mujahid Dakwah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1995), h. 17
16
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Syafei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung : Pustaka Setia, 2002), h.
197.
17
Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), h.. 41.
yang ditampilkan. Hal ini terbukti dengan masih hidup dengan suburnya kesenian-kesenian
tradisional di daerah-daerah.
Saat ini perkembangan seni Islam telah meluas, ini semua terlihat dari beberapa aliran-
aliran seni musik yang ada. Kesenian Islam tampak pada acara-acara yang diselenggarakan pada
bulan ramadhan, maulid atau bulan yang lain bahkan acara yang umum sekalipun. Mereka
menampilkan seni Islam dengan berbagai macam pertunjukan, seperti : seni kaligrafi, puisi
Islam, shalawatan, seni baca Al-Quran (qiraah), nasyid, qasidah baik itu untuk pertunjukan
perlombaan, atau hanya untuk mengisi sebuah acara saja. Dengan demikian perkembangan seni
Islam saat ini mampu mengisi, mewarnai, dan bersaing dengan kesenian-kesenian yang lebih
modern juga kesenian yang ditonjolkan oleh budaya barat, sehingga kesenian Islam mampu
mengimbangi budaya barat yang terus berkembang.
Pada masa kini tantangan dakwah sangat kompleks, hal ini disebabkan oleh
perkembangan arus modernisasi. Modern merupakan keadaan masa kini dimana terjadinya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, hingga merasuk pada tatanan
cara berpikir, budaya, dan perubahan sosial lainnya. Arus modern dalam dunia teknologi
komunikasi dan informasi dapat dilihat dengan munculnya alat-alat komunisasi dan media
elektronik seperti handphone, internet, televisi, radio, serta media massa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mempengaruhi pola pikir, budaya,
dan perilaku masyarakat. Sehingga faham-faham yang berasal dari luar Islam akan mudah
diserap masyarakat dalam kehidupannya. Akibatnya argumentasi yang berdasarkan humanisme,
hak azazi manusia, dan liberty (kebebasan), serta pluralisme akan menjadi landasan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan. Hal ini terkadang terlihat menyampingkan hukum atau
aturan-aturan Allah SWT.
Untuk memaksimalkan dakwah dalam era modern ini diperlukan strategi-strategi yang
mengikuti perkembangan tersebut. Terutama dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern bagi-bagi pendakwah. Disamping memiliki pemahaman-pemahaman materi
dakwah yang banyak hendaknya pandakwah juga mengikuti perkembangan dalam dunia modern
ini. Hal ini dimaksudkan agar mudah memasuki setiap unsur dalam masyarakat yang menjadi
objek dakwah. Dalam era kekinian pemanfaatan seni sebagai media dakwah pun harus
beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan dalam makna
merubah seni tradisional menjadi seni kontemporer, tapi lebih kepada pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai saluran bagi seni dakwah Islam tersebut.
Meskipun diakui bahwa di satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
menciptakan fasilitas yang memberi peluang bagi pengembangan dakwah menggunakan seni,
namun antara tantangan dan peluang dakwah dewasa ini, agaknya tidak berimbang. Tantangan
dakwah yang amat kompleks dewasa ini dapat dilihat dari minimal dari tiga perspektif, yaitu:
Pertama, perspektif prilaku (behaviouristic perspective). Salah satu tujuan dakwah adalah
terjadinya perubahan prilaku (behaviour change) pada masyarakat yang menjadi obyek dakwah
kepada situasi yang lebih baik. Tampaknya, sikap dan prilaku (behaviour) masyarakat dewasa ini
hampir dapat dipastikan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Seni yang digunakan
dalam kegiatan dakwah tentu membawa muatan untuk merubah perilaku masyarakat, akan tetapi
di saat bersamaan mereka juga ditawarkan oleh media lain suatu perubahan perilaku tertentu
yang terkadang cenderung hedonistik.
Kedua, tantangan dakwah dalam perspektif transmisi (transmissional perspective).
Dakwah dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau transmisi ajaran agama Islam dari dai
sebagai sumber kepada madu sebagai penerima. Ketika ajaran agama ditrasmisikan kepada
masyarakat yang menjadi obyek, maka peranan media sangat menentukan. Ziauddin Sardar
mengemukakan bahwa abad informasi ternyata telah menghasilkan sejumlah besar problem.
Menurutnya, bagi dunia Islam, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus
yang harus diatasi, agar umat Islam harus bisa memanfaatkannya untuk mencapai tujuan dakwah.

18
Kenyaataan yang ada dewasa ini nampak seperti apa yang dinyatakan oleh Sardar, bahwa
ketika seni sebagai media dakwah disalurkan melalui media informasi berteknologi, seperti
televisi, maka informasi yang disampaikan tidak hanya bersifat tunggal (yang baik saja), tapi ada
informasi lain yang mengikuti muatan informasi yang bernuansa dakwah. Sebagai contoh,
dakwah dengan media seni peran (sinetron) di televisi, tidak selalu pesan dakwahnya yang
diserap masyarakat, tapi bisa jadi mode pakaian pelakonnya yang menjadi titik perhatian mereka,
dan sebagainya.

18
Ziauddin Sardar, Information and The Muslim World: A Strategy for The Twenty-First Century, terj. Priyono
Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi. (Bandung: Mizan, 1996), h. 16-17.
Ketiga, tantangan dakwah perspektif interaksi. Ketika dakwah dilihat sebagai bentuk
komunikasi yang khas (komunikasi Islami),
19
maka dengan sendirinya interaksi sosial akan
terjadi, dan di dalamnya terbentuk norma-norma tertentu sesuai pesan-pesan dakwah. Hal yang
menjadi tantangan dakwah dewasa ini, adalah bahwa pada saat yang sama masyarakat yang
menjadi obyek dakwah pasti berinteraksi dengan pihak-pihak lain atau masyarakat sekitarnya
yang belum tentu membawa pesan yang baik, bahkan mungkin sebaliknya.
Untuk mengantisipasi trend masyarakat kekinian harus dapat mempersiapkan materi-
materi dakwah yang lebih mengarah pada antisipasi kecenderungan-kecenderungan masyarakat.
Oleh karena itu, maka seluruh komponen dan segenap aspek yang menentukan atas keberhasilan
dakwah harus ditata secara professional dan disesuaikan dengan kondisi madu agar dapat
menghasilkan kemasan dakwah yang benar-benar mampu memperbaiki dan maningkatkan
semangat dan kesadaran yang tulus dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam.
Ada empat hal penting yang harus diorganisir oleh seni sebagai media dakwah dalam
memfilter trend masyarakat yang negatif, seiring dengan perkembangan dan trend masyarakat
dunia serta masalah manusia yang semakin kompleks, yaitu; 1) Perlu adanya konsep dan strategi
yang tepat untuk membentuk ketahanan diri dan keluarga melalui pengefektifan fungsi nilai-nilai
agama, karena dengan dasar agama yang kuat dapat dijadikan filter pertama dan utama untuk
menghadapi berbagai trend budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, 2)
Mempertahankan nilai-nilai budaya luhur yang dapat melestarikan tradisi positif yang pada
dasarnya tidak bertentangan dengan paham dan ajaran agama (Islam) yang menanamkan nilai-
nilai baik dan suci, 3) Perlu dukungan dan keikutsertakan semua lapisan masyarakat untuk
menciptakan dan memiliki komitmen yang sama dalam melihat seberapa bergunanya nilai-nilai
baru itu untuk sebuah komunitas dan kemajuan masyarakat, dan 4) Kesiapan dan kematangan
intelektual serta emosional setiap penerima message baru, apakah hal tersebut memang akan
mendatangkan manfaat plus bagi diri dan lingkungannya.
20

Berangkat dari empat hal di atas, maka agar seni yang dijadikan media dakwah relevan
dengan era kekinian, maka seni yang akan digunakan haruslah menopang budaya positif dalam
masyarakat yang telah berkembang sedemikian rupa serta berkemampuan menghambat trend
budaya negatif. Menjadi kontra produktif bagi kegiatan dakwah jika seni yang digunakan

19
Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, (Makassar: Sawah Press, 2007), h. 111.
20
Abd. Madjid, Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 79.
menjadi jembatan masuknya budaya-budaya negatif bagi masyarakat. Hal penting lain, adalah
dukungan berbagai pihak terhadap seni sebagai media dakwah. Hal ini menjadi penting
mengingat dukungan yang diberikan tidak selamanya dilatarbelakangi keinginan yang
mensyiarkan ajaran Islam, tapi lebih kepada peraihan keuntungan materi belaka. Penayangan
seni peran melalui media televisi sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik,
budaya, dan sebagainya. Maka sinetron religi yang ditayangankan televisi menjadi kotra
produktif bagi kegiatan dakwah jika tidak didukung sepenuhnya untuk syiar ajaran Islam.
Hal penting lain, dalam rangka keberhasilan pemanfaatan seni sebagai media dakwah di
era kekinian, maka diperlukan dai yang memiliki profil berikut ini, yaitu: memiliki komitmen
tauhid, istiqamah dan jujur, memiliki visi yang jelas, memiliki wawasan keislaman, memiliki
kemampuan memadukan antara dakwah bi al-lisan dengan dakwah bi al-hal, sesuai kata dengan
perbuatan, berdiri di atas semua paham dan aliran, berpikir strategis, memiliki kemampuan
analisis interdisipliner, sanggup berbicara sesuai dengan kemampuan masyarakat.
21


D. PENUTUP
Seni sangat relevan untuk digunakan sebagai media dakwah bagi masyarakat pada era
kekinian, menimbang bahwa budaya dalam masyarakat tidak terikat oleh bergulirnya waktu.
Hanya saja seni sebagai media dakwah harus mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkekuatan merubah perilaku, pola pikir, dan nilai-nilai norma
dalam masyarakat.
Relevansi seni sebagai media dakwah saat ini harus ditopang oleh materi dakwah yang
relevan dengan perkembangan masyarakat serta dilakukan oleh pribadi-pribadi yang memiliki
visi dakwah yang jelas serta dapat menjadi tauladan bagi masyarakat. Pelaku seni dalam dakwah
akan menjadi penghambat misi dakwah ketika berkata, berperilaku, dan bersikap yang tidak
sesuai dengan apa yang ditampilkan dalam kesenian yang ditampilkannya.
Kesenian-kesenian tradisional tetap relevan untuk ditampilkan sebagai media dakwah
dikarenakan eksistensinya yang sudah mengakar dalam sistem kehidupan masyarakat. Seni
tradisional akan semakin efektif jika disalurkan melalui media berteknologi, seperti televisi,

21
Syahrin Harahap, Islam dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999), h.
130.
radio, dan sebagainya, serta didukung materi-materi dakwah yang relevan dengan perkembangan
masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Amrullah, Dakwah dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: PLP2M, 1983.

Al-Qardhawi, Yusuf, Seni dan Hiburan Dalam Islam, terj., Hadi Mulyo, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2001.

Anshari, Endang Saifuddin, Kuliah al-Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.

Anshary, Isa, Mujahid Dakwah, Bandung: CV. Diponegoro, 1995.

Aziz, Moh. Ali, Ilmu Dakwah Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009.

Effendi, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992.

Gazalba, Sidi, Pandangan Islam Tentang Kesenian, Jakarta : Bulan Bintang , 1977.

Harahap, Syahrin, Islam dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1999.

Idris, Malik, Strategi Dakwah Kontemporer, Makassar: Sawah Press, 2007.

Isror, C., Sejarah Kesenian Islam I, Jakarta : Bulan Bintang, 1978.

Madjid, Abd., Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi, Bandung: Pustaka Setia,
2000.

Muhyiddin, Asep dan Agus Ahmad Syafei, Metode Pengembangan Dakwah, Bandung : Pustaka
Setia, 2002.

Nasr, Sayyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam, Terj. Sutejo, Bandung: Mizan, 1993.

Read , Herbert, The Meaning of Art, New York : Pinguin Book, 1959.

Sardar, Ziauddin, Information and The Muslim World: A Strategy for The Twenty-First Century,
terj. Priyono Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi. Bandung: Mizan,
1996.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran:Tafsir Maudhui atas Pelbagai persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 2000.

Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta : Yayasan
Bintang, 1996.

Wahyu, Agus, dkk (Ed), Dakwah Islam Antara Normatif dan Kontekstual, Semarang: IAIN
Walisongo, 2001.

Anda mungkin juga menyukai