Anda di halaman 1dari 24

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 November 2010

(ACIS) Ke - 10

ISLAM NUSANTARA:
Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa

Abdul Munim DZ





Pendahuluan

Nusantara sebagai sebuah istilah dan sekaligus konsep bukanlah sesuatu yang
mengada begitu saja, yang muncul dan sekali jadi, tetapi merupakan sebuah proses becoming
terus berkembang dalam prosses menjadi, mulai dari peristilahan, muatan maupun dari segi
watak dari kenusantaraan itu sendiri. Penamaan terhadap wilayah maritim (wilayah
perairan ini) berbeda beda sepanjang sejarah. Pada awalnya kawasan ini dikenal dengan
nama Desantara, kemudian disebut juga sebagai Dipantara,
1
selanjutnya dikenal dengan
nama Nusantara. Semua penamaan ini menunjukkan tempat dan kebudayaan yang sama,
yang merupakan asal usul dan masa lalu bangsa Indonesia bahkan bangsa Asia Tenggara
pada umumnya.
Selama ini konsep antara hanya dipahami secara bilateral yaitu posisi antara Benua
Asia dengan Benua Australia. Padahal sesungguhnya antara di situ memiliki makna multi-
lateral, makna yang lebih luas setidaknya posisi di antara empat benua bahkan lima benua.
Di sebelah utara ada benua Asia, di sebelah selatan ada benua Australia di sebelah Timur
ada benua Amerika dan di sebelah Barat ada Benua Afrika. Mengingat kenyataan itu
Desantara, Dipantara dan Nusantara bukan kosep bicontinental, tapi benar-benar
merupakan konsep intercontenental (antar benua). Pemahaman geografis ini telah mereka
miliki terbukti sejak zaman Sanjaya Mataram Kuno armadaa laut negeri ini terbukti telah
berdagang tidak hanya ke Cina dan India tetapi melesat hingga ke Afrika Barat. Itulah
sebabnya Sarjana Belanda GJ Bleeker menyebut Nusantara ini sebagai pusat pertemuan
agama-agama besar dunia, Hindu, Budha, Konfusianisme, Zoroaster, Islam, Kristen dan
agama-agama serta kepercayaan kecil lainnya yang berasal dari belahan berbagai benua.
2

Bukan hanya itu secara etnis dan ras Nusantara ini sangat beragam mulai dari yang putih,
kuning, sawo matang dan hitam ada semua, belum lagi dari segi bahasa wilayah ini
memiliki ratusan bahasa daerah.
Istilah Desantara ini lebih ditunjukkan sebagai konsep geo-kultural, yang berarti
desa antar benua. Desa itu yang kemudian berkembang menjadi kota, baik dari segi nama
maupun kemajuan peradabannya. Dengan demikian kepulauan ini disebut Desantara
dipahami sebagai desa antar benua atau peradaban antara benua. Ini menunjukkan bahwa
Jauh sebelum datangnya agama Hindu Budha peradaban di sini sudah sangat maju, salah
satu sistem falsafah yang disebut Kapitayan, merupakan sistem kebudayaan yang ada
sebelum agama datang dan sampai saat ini masih bisa ditemui jejaknya.
3
Memang
penduduk kawasan ini telah memiliki peradaban yang maju dan dengan sendirinya
memiliki hubungan antar benua dengan kerajaan di berbagai belahan dunia.
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

870
Sementara ini konsep Dipantara digunakan terutama pada masa Kerajaan Singasari,
yang lebih menempatkan wilayah Ini sebagai sebuah geo-politik yang dijadikan sebagai
wilayah pertahanan antara benua. Maka tidak aneh kalau angkatan laut Kerajaan ini digelar
untuk menjaga wilayah laut sejak dari Arafura, jawa hingga Selat Malaka untuk
membendung hegemoni Mongolia yang saat itu menaklukkan seluruh dunia dalam
kekuasaannya. Hanya negeri seberang lautan ini (Singasari) di bawah Raja Kertanegara
yang mampu membendung ekspansi kaisar Kubilai Khan. Sehingga keutuhan Dipantara
terjaga, sebuah wilayah bebas yang terikat dalam pakta pertahanan antar kerajaan yang ada
di wilayah ini bisa dipertahankan. Ekspedisi Pamalayu, milsalnya bukan sebuah penaklukan
dan pendudukan, tetapi merupakan perwujudan adanya pakta pertahanan bersama ini.
Penamaan Nusantara sendiri dikenal paling awal pada masa pemerintahan
Majapahit, yang tertuang dalam beberapa pupuh dalam Kitab Negarakertagama. Istilah
Nusantara yaang berarti kepulauan antar benua ini lebih merupakana konsep geo-politik dan
geo-kultural sekaligus. Berbagai istilah tersebut dengan sendirinya merupakan konsep yang
luas dan sekaligus besar, yang selalu menjadi cita-cita para raja Nusantara saat itu. Dalam
kenyataannya konsep tersebut selalu menyertai tokoh tokoh besar seperti Raja Sanjaya,
Mataram Kuno, Raja Kertanegara Singasari, dan Hayam Wuruk serta Gajah Mada di
Majapahit.Termasuk Kerajaan Demak dan Sultan Agung zaman Mataram Islam.
Dalam Zaman modern konsep itu juga yang menginspirasi Gerakan Diponegoro
(zaman rintisan), Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo (zaman Kebangkitan) dan
Soekarno (masa perjuangan kemerdekaan). Kesadaran terhadap masa lalu itu yang
menginspirasi mereka untuk membangun sebuah negara merdeka berdaulat, meski harus
menerobos dinding kolonialisme yang kokoh. Bersmaaan dengan jaatuh bangunnya
kekuasaan dan kebudayan di negeri ini konsep kenusantaraan tersebut juga mengalami
pasang surut.
Konsep ini muncul kembali justeru ketika negeri ini dihempas oleh berbagai krisis,
krisis ekonomi, krisis sosial dan kemudian memuncak pada krisis kebudayaan. Ketika
liberalisme yang ditawarkan oleh globalisme tidak menunjukkan kemanfaatan orang mulai
kembali menengok lagi warisan budaya Nusantara. Dengan harapan bisa mencari landasan
berpikir yang berakar pada tradisi sendiri. Kesadaran ini sebenarnya telah muncul sejak
zaman menjelang kemerdekaan. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara adalah
merupakan produk budaya Nusantara. Tetapi selama masa orde baru penggalian khazanah
kenusantaraan itu disirnakan, semuanaya diganti dengan modernisme yang dibawa oleh
pembangunanisme yang mengadopsi sepenuhnya dari budaya barat. Kemajuan harus di
peroleh dengan meninggalkan segala warisan tradisi. Karena ini sumber dari
konservativisme lawan dari dinamisme dan progresivitas. Suasana Krisiss memungkinkan
warisan Nusantara baik yang pra Islam maupun yang Islam, dipertimbangkan kembali.
Terbitnya tulisan Geolog Brazil, Arysio Santos tentang teori baru mengenai Atlantis yang
menjelaskan bahwa peradaban manusia pernah mencapai puncaknya di bumi Nusantara
ini.
4
Buku itu tidak hanya memberi informasi baru tetapi juga memberikan gairah baru
untuk meneliti dan mengembangkan budaya Nusantara, sebagi budaya yang maju dan
beradab. Demikian halnya di sisi lain kawasan ini juga dikenal daerah bahaya, baik secara
geografis maupun politis. Secara geografis kawasan ini berada dalam the ring of fire
(lingkaran api) yang berupa gunung-gunung berapai berbahaya seperti Krakatau, Semeru,
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

871
Rinjani, Tambora, dan Jayawijaya. Pada saat yang sama kawasan ini berada pada lempeng
benua, yang rawan gempa daan tsunami.
Secara politis, kawasan strategis ini akan selalu menjadi rebutan kekuasaan bagi yang
ingin menguasasi dunia, karena itu seorang ahli geopolitik Austria menyebut Nusantara ini
sebagai der Totenkreuz (persilangan maut), kawasan strategis ini selalu menjadi
persengketaan sepanjang zaman. Di sini tidak hanya Cina, Arab India pernah bertemu,
tetapi kemudian dalam penjelajahan dunia antara Spayol yang ke barat dan Portugis yang
ke Timur untuk mencari jajahan, ternyata kedua ekspedisi itu juga ketemu dan berebut
kekuasaan di kawasan ini. Kawasan ini pula yang menjadi perebutan Jepang dengan tentara
sekutu, selama perang Dunia Kedua. Sekarang ini kawasan Nusantara menjadi tempat
berbahaya karena perbatasan yang begitu longgar sehingga menjadi persinggahan
kelompok radikal baik dari Mesir, dari Saudi Arabia,dari Afganisatan, Irak dan sebagainya.
Pada saat yang sama kelompok liberal dan kelompok ateis, juga berkembang pesat saat ini.
Kelompok radikal telah menteror kawasan ini dengan berbagai ledakan bom dan menyulut
berbagai konflik di berbagai kawasan Nusantara. Munculnya kelompok puritan baru yang
radikal ini tidak hanya mengancam tradisi Islam Nusantara tetapi telah menggoncangkan
sendi-sendi harmoni di tengah masyarakat.

Sosok Islam Nusantara

Dalam kesempatan ini kita akan membahas Islam Nusantara, bukan Islam di
Nusantara. Dengan konsep Islam Nusantara dimakasudkan sebuah pemahaman keislaman
yang bergumul, berdialaog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui
proses seleksi, akulturasi dan adaptasi. Dalam perkembangan sejarah Islam munculnya
Istilah Nusantara atau Islam Nusantara ini relatif baru, pada mulanya lebih dikenal dengan
Islam Jawi, kemudian juga disebut Islam Melayu, baru belakangan kemudian disebut
sebagai Islam Nusantara. Sebutan Jawi sendiri tidak terbatas wilayah pulau Jawa, wilayah
Jawi meliputi seluruh Nusantara, Sehingga para ulama dari Ternate, dari Lombok, dari
Makasar, Bugis, banjar, Palembang Aceh, Johor hingga Patani termasuk Siam, juga disebut
sebagai ulama Jawi. Bentuk keagamaannya juga disebut sebagai Islam Jawi, Islam ini
belakangan disebut secara lebih luas sebagai Islam Nusantara.
Mereka disebut demikian karena Islam yang merekapahami dan mereka
kembangkan diintegrasikan ke dalam kebudayaan setempat (nusantara). Walaupun mereka
memiliki bentuk keagamaan yang lekat dengan warna lokal, tetapi tidak sedikit mereka
yang mendapatkan tempat terhormat di pusat peradaban Islam yaitu di Haramain (Mekah
dan Madina), mereka menjadi syekh (guru besar) di situ dan menjadi panutan para ulama
lain dan dihormati para raja, seluruh wilyah arab dan seluruh dunia. Murid mereka
bertebaran hingga ke Eropa Turki hing Ke Afrika, termasuk India dan Persia. Sistem
keilmuan yang dikembangkan masyarakat Jawi atau Nusantara ini memiliki kekhasan
sendiri, bahkan kemudian juga menciptakan aksara sendiri yang merupakan paduan antara
aksara lokal dengan abjad Arab yang disebut dengan tulisan Jawi,
5
yang hingga sekarang
masih dipergunakan di berbagai pesantren di seluruh Nusantara.
Islam Nusantara memang bukan Islam murni yang langsung datang dari Mekah
yang hanya berbekal dan berpegang pada Al Quran dan Sunnah Nabi. Islam yang datang
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

872
ke wilayah ini adalah Islam yang telah penuh dengan pengalaman pergumulan, baik dengan
budaya Arab sendiri, dengan kebudayaan tua Persia, termasuk kebudayaan Hindu India,
ada pula yang memalui budaya konfusianisnme Tiongkok atau Cina.
6
Dengan adanya
pengalaman sosiologis dan kultural antar bangsa dan antar peradaban itulah Islam yang
datang ke wilayah ini sangat mudah mengapresiasi bahkan beradaptasi dengan kebudayaan
Nusantara. Kedekataan ulama Nusanatara dengan kebudayaan-kebudayaan besar tersebut
bisa kita saksikan sejak dulu hingga saat ini karya ulama dari berbagai negeri besar itu
masih dibaca dan dirujuk oleh para santri di lingkungan pendidikan Pesantren di seluruh
Nusantara.
7
Hal itu kemudian yang membentuk jaringan Islam Nusantara, yang satu sama
lain memiliki silsilah keilmuan yang sambung-menyambung hingga sekarang. Islam
nusantara kemudian juga mengkeristal tidak hanya menjadi sistem pengetahuan tersendiri,
tetapi juga membentuk sistem keyakinan tersendiri dan sistem politik kenegaraan tersendiri
yang berbeda dengan sistem lainnya.

a.Sistem Pengetahuan
Jauh sebelum Islam datang ke kawasan ini, lembaga pendidikan telah berkembang
tidak hanya di perkotaan tetapi sampai ke kawasan perdesaan. Pusat pendidikan itu disebut
sanggar, padepokan atu pertapaan, surau dan sebagainya. Hampir semuanya berbasis
agama, baik Hindu maupun Budha ataupun kepercayaan lainnya, namun demikian juga
mengajarkan keilmuan di luar agama, seperti ilmu kanuragan, ilmu pertanian, perbintangan
dan perlogaman. Termasuk punya fungsi penting sebagai penjagaan keamanan. Ketika
Islam datang lembaga, lembaga itu digunakan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana
pendidikan Islam, maka mulai muncullah di Jawa ada Langgar, di Aceh ada Meunasah di
Minangkabau ada surau dan sebagainya. Setiap komunitas Islam Nusantara memiliki
lembaga pendidikan klasik semacam itu.
Ada hal yang penting untuk ditelaah adalah bagaimana Islam itu di perkenalkan
dan diajarkan pada masyarakat, sehingga kemudian dikenal dengan Islam Nusanatara.
Kisah Abdurrauf Al Fansuri As Sinkli ini merupakan contoh khas bagaimana para wali
atau ulama terdahulu mengenalkan Islam pada masyarakat Nusantara. Wali yanag menjadi
Qodli Qudlot (Hakim Agung ) dalam Kesultanan Aceh Darussalam itu memiliki beberapa
santri dari Minangkabau. Ketika sudah pepak keilmuannya mereka ditugaskan untuk
dakwah di negeri masing-masing. Keempat santri tadi menyiarkan Islam secara tegas sesuai
dengan ajaran yang diperoleh di pesantren, sesuai dengan ajaran Imam Syafii, dan tauhid
Imam Al Asyari. Akibatnya mereka ditolak oleh masyarakat bahkan mereka diusir,
sementara satu orang santri bernama Burhanuddin ketika datang tidak langsung
mengajarkan Islam, tetapi bergaul dengan masyarakat, tanpa mengusik kepercayaan
mereka, akhirnya mereka diterima secara baik. Dalam memperkenalkan agama,
Burhanuddin tidak langsung pada orang tua, tetapi lebih mementingkan pengajaran pada
anak-anak, itupun tidak dengan ceramah dan mengaji tetapi dengan berbagai permaianan
dan dongeng yang menyenangkan, sehingga setiap sore mereka datang ke padepokan atau
surau Burhanuddin. Dari situ anak mulai diperkenalkan dengan tatakrama dan sopan
santun pergaulan. Selain itu mereka diajarkan juga permainan, tetapi tak satupun mereka
bisa menandingi gurunya. Akhirnya para murid bertanya apa rahasia kemenangannya. Lalu
oleh sang Wali dikatakan bahwa rahasia kemenangannya adalah karena sebelum main
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

873
membaca mantera yaitu bismillahirrahmanirrahim. Dari bismillah itulah mereka mulai
diajarkan ketauhidan. Melihat perkembangan moral anaknya yang meningkat itu para
orang tua berterima kasih kepada Syekh Burhanauddin, bahkan merekapun ikutan untuk
belajar berbagai ilmu darinya. Bagi orang yang baru ikut itu tetap dibiarkan mengadakan
upacara adat, memakan babi, minum tuak dan sebagainya, tetapi akan secara bertahab
dihentikan.
Keadaan seperti itu menggelisahkan teman-teman seperguruannya. Di tengah
keputusasaannya para santri yang lain itu mau berguru lagi ke Aceh, sambil melaporkan
kelakuan Burhanuddin. Mendengar laporannya itu Syeh Abdurrauf Sinkli (Syah Kuala)
akhirnya ia menjelaskan tentang kesalahan metode mereka dalam menyampaikan dakwah
Islam yang dilakukan secara kaku, justeru yang benar adalah cara yang dilakukan
Burhanuddin, lalu mereka disarankan untuk tidak berguru kepadanya, tetapi disuruh
berguru ke Burhanuddin. Tentu saja mereka kaget, tetapi karena ini perintah guru maka
dilaksanakan. Sesampai di Ulakan, Padang Pariaman, ketiganya diterima di pesantren
ulakan, tidak disuruh berguru secara langsung tetapi diminta oleh Burhanuddin untuk
membantu mengajar dan menyiarkan Islama dari suraunya. Burhanuddin menjelaskan
bahwa yang pertama-tama perlu disampaikan bukanlah Islam dalam bentuk doktrin dan
hukum, kalau itu yang disamapaikan mereka akan menolak, karena mereka merasa tidak
berkepentingan, tetapi yang perlu disampaikan adalah rasa Islam, ini yang mereka perlukan,
yaitu rasa ingin pendapatkan ketenteraman, kedamaian dan keadilan yang hakiki.
8
Syariat
hanya merupakan sarana untuk itu. Pengenalan rasa Islam didahulukan syariat diajarkan
belakangan.
Pada umumnya qodli (hakim Agung ) kerajaan di Aceh dan di Kesultanan manapun
di Nusantara adalah meraka yang menguasasi fikih Madzhab Syafii, tetpi ada satu syarat
lagi yang tidak kalah pentingnya adalah mereka harus menguasasi hukum adat atau budaya
setempat. Penguasaan itu yang dimiliki oleh Abdurrauf Sinkli dan muridanya Syekh
Burhanuddin. Persyaratan itu umum berlaku d seluruh kerajaan Nusantara. Imam Masjid
Agung juga dipersyaratkan memiliki penguasaan yang sama, sehingga mereka menjadi
pembimbing umat yang mumpuni. Mampu menyelesaikan maslah agama dan persoalan
adat yang dihadapi masyarakat.
Penyiaran Islam dengan mengapresiasi kebudayaan setempat, bahkan yang
bertentangan sekalipun, yang kemudian dihilangkan secara bertahap itu merupakan gejala
umum di Nusantara termasuk yang dilakukan oleh para Wali dan Ulama di Jawa di
Kalimatan, Sulawesi, Nusatenggara hingga Maluku. Anak-anak sebagai sasaran dakwah
merupakan strategi dakwah jangka panjang, dengan demikian memerlukan lembaga
pendidikan. Karena lembaga pendidikan ini tidak terputus dengan masa lalunya yang pra
Islam, maka beberapa tradisi dan pelajaran dalam sanggar dan padepokan di masa lalu
dianggap penting, maka tetap diajarkan seperti silat, pembacaan serat, penghormatan pada
leluhur, ilmu kanuragan dan pertanian.
Penggunaan metode pengajaran lokal dan penggunaan sarana lokal lainnya itu
membuat Islam dengan mudah diterima, karena mereka melihat kehadiran Islam bukan
sebagai ancaman, baik bagi kepercayaan lama mereka atau terhadap status sosial ekonomi
mereka. Sebaliknya Islam diangap sebagai penerus dan penegas dari tradisinya. Dari
sistem ini lahir berbagai serat, kakawin, baik yang bersifat sufistik yang disediakan untuk
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

874
kalangan terpelajar, hingga yang berbentuk tembang dolanan (permainan), sebagai upaya
menyentuh kalangan anak-anak dan remaja.
Kuatnya pelajaran sastra dalam tradisi Hindu-Budha, hal itu juga sangat menolong
mudahnya masuk ajaran Islam ke pesantren. Apalagi hampir semua pelajaran agama sesulit
apapun telah digubah dalam bentuk nadzam, sementara di lingkungan sanggar dan
padepokan pelajaran kekawian baik dalam bentuk prosa dan puisi berlangsung serius,
sehingga sastra Arab atau bahasa Arab mudah diterima dan dikuasai oleh mereka, hal itu
bisa dilihat selain menulis dalam bahasa-bahasa Nusantara para ulama juga menulis dalam
bahasa Arab. Lihat misalanya karya Syeh Nuruddin Ar Raniri dalam bahsa Arab dan
Melayu, karya Syeh Arsyad Al Banjari dalam bahasa Arab dan Melayu. Begitu juga karya
Para wali dan ulam Jawa abad ke-16 hingga abad ke-19 juga menggunakan dua bahasa,
Arab dan Jawa.
Upaya mengakarkan Islam dalam budaya lokal ini dilakukan agar tidak terjadi
diskontinuitas, masyarakat dengan masa lalunya. Setiap perkembangan apapun harus
berangkat dari tradisi yang ada agar awet dan lestari dantidak artifisial yang hanya
cangkokan, tidak mengakar dan tidak mendarahmendaging. Di lingkungan masyarakat
Bugis para ulama lebih berani lagi dalam membuat langkah pribumisasi Islam ini, beberapa
naskah seperti Hikayat Israk Murroj demikian juga Hikayat Rabiatul Adawiyah, yang ditulis
oleh para ulama di situ dikatakan bahwa Nabi Muhammad itu bukan orang asing
melainkan tetangga mereka sendiri yang lahir di tanah Bugis. Ini bukan dimakasudkana
sebagai pemalsuan, tetapi upaya pendekatan agar Islam tidak dianggap sebagai sesuatu
yang asing, tetapi sesuatu yang pribumi, sehingga layak diikuti.Tradisi seperti ini juga
tercermin dalam Babat Tanah Jawi, juga dalam Sejarah Melayu, anakronisme banyak terjadi,
karena yang dipentingkan di sini ajaran moral bukan kronik sejarah.
Sistem pendidikan Islam ini tidak hanya melahirkan ulama ulama yang mumpuni,
tetapi juga melahirkan ribuan naskah tentang sastra dan agama. Tetapi yang penting lagi
mampu mendidik ribuan santri atau murid secara mandiri. Sistem pendidikan juga dikelola
secara mandiri disangga bersama-sama oleh kiai, santri dan masyarakat sekitar. Sebelum
munculnya sekolah setelah politik balas budi yang dilakukan Belanda dengan mendirikan
sekolah untuk para calon pegawai pribumi, seluruh sistem pendidikan masyarakat
Nusantara baik untuk kalangan bangsawan dan kalangan masyarakat biasa adalah di
pesanten. Pesantren tidak mengenal diskriminasi, seperti pendidikan kolonial, yang hanya
menerima anak para priyayi terutama yang berkedudukan tinggi. Selama ini pesantren telah
mendidik semuanya. Karena itu keilmuan di kalangan masyarakat berkembang walaupun
belum ada sekolah. Semua pejabat, raja dan pujangga dididik dalam lingkungan
pendidikan tradisional Nusantara ini.
Sumber paling lengkap yang mengungkap tradisi keilmuan pesantren ini adalah
Kitab Centini yang ditulis pada zaman kerajaan Surakarta tahun 1814 M. Kitab yang ditulis
bersamaan para ulama dan pujangga keraton ini menjelaskan jenis keilmuan yang diajarkan
di pesantren seluruh Jawa (Nusantara). Tetu saja pertama-tama adalah ilmu tauhid
terutama Sifat 20, ini menunjukkan bahwa madzhab teologi yang diikuti mereka adalah
Asyariyah. Sementara itu di bidang fikih disebutkan bahwa masyarakat dan ulama
mengikuti salah satu dari empat Mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, tetapi
ditegaskan bahwa di tanah Jawa umumnya mengikuti mazhab Syafii, karena itulah kitab
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

875
Syafiiyah yang diajarkan di pesantren.
9
Sementara itu tasawuf menjadi puncak dari ajaran
ini.
Selain masalah ketauhidan dan ubudiyah, juga diajarkan ilmu sastera, penggunaan
bahasa kawi, pembuatan kakawin, dari situ lahir berbagai serat dan kakawin, sebagai karya
sastra yang unggul. Demikian juga diajarkan pula ilmu-ilmu diniawi, seperti ilmu falak
khususnya untuk mengetahui pranata mangsa, juga diajarkan farmasi bagaimana meramu
obat-obatan dan juga ilmu metalurgi bagaimana mengolah logam untuk menjadi sebuah
keris atau perangkat gamelan. Dalam konteks ini sebenarnya tidak ada dikhotomi antara
ilmu agama dan duniawi, seorang ulama atau wali menguasasi keduanya. Hanya saja
kemudian ada yang menguasai lebih baik dari yang lain, karena itu di pesantren muncul
spesialisasi. Ada ulama yang hebat dalam fikih, ada yang bidang sastra, ada yang mahir di
bidang falak dan kanuragan. Bahkan ada yang ahli khusus di bidang siyasah (politik) karena
para raja dan pamong praja juga belajar ilmu pemerintahan di pesantren.
Kitab-kitab yang mengajarkan sistem politik dan ketatanegaraan Islam seperti
Ahkamussultoniyah, bughyatul murtarsyidin, Nashihatul Muluk dan Tajussalatin dan seterusnya
itu sangat populer di kalangan pesantren. Dengan adanya spesialisasi antar kiai pesantren
itu maka kalau memperdalam ilmunya para santri perlu pindah dari satu pesantren ke
pesantren yang lain. Dari situlah kemudian muncul apa yang disebut dengan santri kelana,
berkelana melakukan rihlah ilmiah (pengembaraaan keilmuan) untuk mencari ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lain. Selain berbagai ilmu yang diajarkan metode pencarian ilmu ini
juga merupakan watak sistem pengetahuan dalam Islam Nusantara. Kitab yang dijadikan
rujukan serta metode yang digunakan di seluruh pesantren Nusantara hampir seragam.
Kiai, Taun Guru, Gurutta, Ajengan sebagai figur sentralnya.

b. Adat dan Sistem Kepercayaan
Walaupun dikatakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara ini berupa Islam
sufistik, tetapi bukanlah sufi ghullah (ekstrem) seperti aliran wihdatul wujud (pantheis). Aliran
ini pernah dikembangkan oleh syekh Hamzah Fansuri, tetapi kemudian dikritik oleh Syekh
Nuruddin Ar Raniri, karena itu kemudian dievisi oleh salah seorang murid Fansuri yaitu
Syekh Syamsuddin As Sumatrani dan juga Abdurrauf Sinkli (Syah Kuala), sehingga tasawuf
terus menerus diselaraskan dengan pandangan sufi sunnah, yang menyeimbangkan antara
ajaran tasawuf dengan syariah. Pegangan pada mazhab fikih yang empat merupakan bukti
kuatnya Islam Nusantara terhadap ikatan fikih, karena itu tasawuf yang dikembangkan
adalah tasawufnya Imam Ghazali yang berhasil memadukan antara tasawuf dan syariah
secara seimbang. Maka tarekat yang berkembang adalah tarekat yang sejalan dengan
pandangan sufi itu, seperti tarekat Qadiriyah, Naqshabandiyah, Syattariyah dan sebagainya
yang dikategorikan sebagai tarekat Muktabarah yaitu tarekat yang memiliki silsilah
ajarannya sinambung hingga pada Nabi Muhammad SAW dan secara isi tidak
bertentangan dengan syariat. Tarekat ini yang diberi legitimasi teologis untuk bergerak,
diajarkan dan diamalkan di tengah masyarakat.
Sebagi Islam sufistik maka mereka sangat menghormati guru, baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal, karena itu tradisi silaturrahmi dan tradisi ziarah
kubur para ulama dan wali berkembang subur di kalangan Umat Islam. Dalam ziarah itu
ada dua hal yang dilakukan pertama adalah pembacaan tahlil mendoakan pada arwah
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

876
mereka, selanjutnya juga dilakukan tawasul kepada para ulama atau wali, sebagai orang
yang dekat dan dikasihi Allah, agar mereka dimohonkan doa kepada Allah. Selain adanya
kepercayaan terhadap tawasul, dalam ziarah mereka juga melakukan itibar (mengambil
pelajaran) atas kesungguhan dalam perjuangan mereka. Bagi para pejuang yang ingin
mendapatkan keberhasilan tidakl sedikit yang mencari pelajaran dan keteguhan hati melalui
proses ziarah. Dan ini berlaku hingga saat ini, sehingga makam ulama dan wali selalu ramai
diziarahi dengan motif-motif seperti itu.
Pembacaan shalawat kepada nabi adalah bentuk tawasul yang paling murni dari
kalangan Islam Nusanatara, pembacaan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
lahir berbagai macam sholawat, seperti pembacaan maulid Nabi, Barzanji, solawat
munjiyat, bahkan untuk menghadapi masyarakatnya Syeh Burhanddin Ulakan di
Minagkabau menciptakan Sholawat Dulang. Demikian juga Kiai Manshur Shiddiq di Jawa
Timur untuk menghadapi kelompok ateis maka menciptakan Shalawat Badar. Pembacaan
selawat ini dilakukan di surau atau langgar setiap malam jumat atau dalam perayaan
kelahiran seseorang, terutama dalam perayaan lahirnya Nabi Muhamamad. Bentuk
pembacaan ini adakalanya hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga ada yang diiringi dengan
beraneka ragam alat musik.
Selain perayaan hari lahir nabi, yang diisi dengan pembacaan Dziba, Barzanji yang
berisi riwayat hidup nabi Juga diadakan pembacaan manakib (riwayat hidup) para ulama,
seperti Syek Abdul Qadir Jailani dan para tokoh tarekat, bahkan dibacakan juga manakib
para wali dan ulama sekitar. Pembacaan itu bukan sekadar pembacaan sejarah atau
dongeng tapi sekaligus bentuk penghormatan dan sekaligus suatu bentuk tawasul, agar
didoakan kepada Allah atas hajat yang dimiliki. Karena itu pembacaan manakib ini bukan
merupakan bentuk pengajian, tetapi lebih merupakan sebuah prosesi ritual. Sebagaimana
lazimnya dalam tradisi sufi maka perayaan nishfu Syaban juga sangat umum dilakukan, yang
dianggap sebagai malam keramat, sehingga Tuhan akan mengampuni segala dosa mereka,
karena itu perayaan hari itu yang dipenuhi dengan berbagai amal ibadah dilaksanakan
setiap pertengahan bulan Syaban. Perayaan ini tidak bedanya perayaan Muaharrom yang
disertai dengan pelaksanaan puasa sebagai sarana penyucian.
Tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan Al-Quran saat ada yang meninggal dunia
juga merupakan tradisi yang melekat pada masyarakat Islam Nusantara. Selain dijadikan
sarana untuk mendoakan pada orang Muslim yang meninggal, juga dijadikan sarana pelipur
lara bagi keluarga yang ditinggalkan, selain itu juga untuk mengganti kebiasaan di zaman
pra Islam sering kali dalam acara kematian justeru disertai dengan judi dan pesta minuman
keras. Maka oleh para wali tradisi meratap diganti dengan talkin sementara kebiasaan judi
diganti dengan pembacaan zikir, dan tahlil. Karena itu tradisi ini sangat kuat mengakar di
masyarakat, karena dikembangkan berdasarkan tradisi mereka, tetapi dengan menggeser
tujuannya, kalau dulu diartikan sebagai pemujaan arwah kemudian digunakan untuk
mendoakan arwah para guru dan leluhur.
Penggunaan sarana tradisi untuk mendukung pelaksanaan peribadatan memang
sangat umum. Mislanya selain memanfaatkan sanggar pemujaan untuk menjadi langgar
atau surau menjadi tempat ibadah umat Islam, juga mamanfaatkan sarana yang lain seperti
beduk dan kentongan.
10
Kedua sarana yang selama ini digunakan sebagai pemberitahuan
dan tanda akan diselenggarakan pertemuan, dan juga tanda bahaya tergantung iramanya.
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

877
Kedua alat tadi kemudian digunakan untuk memberi tahu tentang tanda dimulainya waktu
sembahyang, karena adzan saja yang diteriakkan melalui menara belum cukup komunikatif,
mengingat jarak antara masjid, langgar atau surau dengan rumah penduduk jauh sangat
berpencaran, maka dibutuhkan sarana bantu berupa bedug dan kentongan yang suaranya
bahkan bisa didengar di kampung lain.
11
Bahkan ukuran beduk dan panjang kentongan
diselarskan dengan kedudukan masjid atau surau dan langgar yang bersangkutan. Beduk
mesjid agung dengan sendirinya berbeda besarnya dengan mesjid biasa. Sarana yanag
dulunya sekadar sebagai sarana bantu, kemudian berkembang sebagai penentu status dari
masjid yang bersangkutan,dan selanjutnya ini menjadi perwujudan dari islam di kawasan
Nusantara, sehingga tidak sempurna sebuah masjid yang tidak memiliki beduk yang
representatif.
Perayaan Maulid, pembacaan shalawat, pembacaan tahlil, manakib termasuk
perakyaan nishfu Syaban dilaksanakan dengan menggunakan sarana adat dan tradisi,
sehingga antara ajaran agama dengan tradisi tidak lagi bisa dipisahkan. Para ulama
mengesahkan hal itu karena berangkat dari prinsip al adah muhakkamah (adat merupakan
sumber hukum) , sehingga pelaksanannya tidak hanya menjadi sarana peribadatan, tetapi
telah menjadi sarana pengembangan tradisi. Pertautan Islam dengan tradisi itulah yang
membuat Islam diterima secara uas oleh masyarakat, karena apa yang sebelumnya
dianggap asing, kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang pribumi.Ini merupakan strategi
para wali yang kemudian membentuk sebagai sistem keyakinan yang berkembang di
kalangan masyarakat Nusantara.
Betapapun besarnya penghargaan terhadap kebudayaan lokal yang diberikan pada
para ulama Nusantara, namun tetap berusaha menjaga sesuai dengan batas-batas keimanan
Islam. Syekh Arsyad Al Banjari dalam Kitabnya Tuhafatur Raghibin, yang mengajarkan
tauhid itu, setelah mengukuhkan paham ahlussunnah wal jamaah berdasarkan madzhab
Asyariyah dan Maturidiyah juga memberikan batasan tegas antara Sunnah dan bidah.
Kemudian merinci berbagai bidah, mulai dari bidah yang wajib seperti menafsirkan Al
Quran, mensyarahi Hadits dan sebagainya, Bidah yang sunnah, seperti menguraikan
masalah tasawuf dan seni dan bidah yang haram yaitu mengikuti paham jabariyah,
qodariah, wujudiyah dan sebagainya.
12
Karena itu ulama ini walaupun membiarkan tradisi
Banjar yang lain tetapi melarang paraktik adat yang dianggap melanggar ajaran seperti
tradisi pesilih (buang pakaian) dan menyanggar (membuat sesajen untuk leluhur). Sebenarnya
batasan dan penjagaan terhadap keutuhan tauhid terus dijalankan tetapi tidak dengan cara
membongkar seluruh tradisi, melainkan dengan cara merevisi.


c. Sistem Politik Ketatanegaraan.
Kebudayaan akan selalu mencukupi kebutuhan komunitas pendukungnya
sendiri,dan suatu kebudayaan besar akan memiliki kapasitas besar untuk mencukupi
aspirasi warga budaya itu sendiri, salah satu produk kebudayaan tertinggi adalah
kemampuan menciptakan sistem pemerintahan.dengan adanya pemerintahan itulah
kemudian terbentuk negara. Kebudayaan kecil hanya akan melahirkan pemerimtahan
setingkat suku atau kepala adat, kebudayaan besar akana melahirkan negara bahkan
imperium. Dalam Konteks ini Nusanatara sebagai konsep kebudayaan telah melahirkan
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

878
sistem pemerintahan bahkan ketatanegaraan yang besar, tidak hanya dalam konsep tetapi
juga dalam praktek. Di Nusantara dikenal beberapa kerajaan Besar mulai dengan Kutai,
Sriwijaya, Singasari,Majapahit, Demak, Mataram dan seterusnya. Tantpa ada hukum
ketatageraaan tidak mungkin mereka bisa mempertahankan negara hingga ratusan tahun.
Sistem ketatanegaraan mereka itu yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga
mereka menjadi negara yang tertib dan stabil walaupun mengendalkan wilayah yang luas
dan terpencar seperti Nusantara ini.
Majapahit mislanya memiliki sistem ketatanegaraan yang disebut dengan Kutara
Manawa yang berisi perundang-undangan dan Kitab Negarakertagama yang juga berisi
masalah ketatanegaraan Majapahit dan Singasari. Itu semua yang erasal dai warisan Hindu
Budha. Pada Zaman Kerajaan Demak sebagai penerus majapahit, juga telah menciptakan
sistem hukum dan ketatanegaraan sendiri baik bersumber pada tradisi politik sebelumnya
maupun berasal dari tradisi Islam sebagaimana diajarkan oleh para Wali, undang-undang
ini tertuang dalam kitab Salokantara. Sementara itu kerajaan Islam yang bertebaran di
Sumatera juga telah memiliki sistem ketatanegaran berdasarkan ajaran slam, Kitab kitab
Nashihatul Muluk karya Imam Ghozali sangat berpengaruh di sini sehingga mengilhami
lahirnya kitab kitab seperti Bustanus salatin karya Syekh Nuruddin Arraniri, dan di Jawa juga
terdapat kitab yang sama yaitu serat Tajus Salatin, ditambah lagi dengan kitab-kitab Adabus
Salatin, Ikhbarul Muluk dan sebagainya. Semuanya itu menjadi rujukan para raja dalam
menyusun undang-undang dan melaksanakan kebijakan pemerintahan. Kitab-kitab
tersebut juga diajarkan di pesantren pada para santri senior, khususnya bagai para calon
pemimpin.
Pada umumnya kitab tersebut menceritakan tentang keharusan para raja dan
menteri menjalankan pemeritahan dengan adil dan mempedulikan nasib rakyat, karena itu
cerita tentang keadilan sahabat Umar bin Khattab menjadi contoh utama dalam kitab itu,
tidak ketinggalan ketinggian budi Khalifah Umaiyah yaitu Umar Ibn Abdul Aziz
merupakan contoh yang ditampilkan, sedangkan contoh sebelum Islam diperkenalkan
Annussyirwan Al Adil, raja bijaksana dari Persia, yang banyak dicontohkan imam Ghazali
dalam kitabnya.
Selain masalah keadilan Kitab-kitab ketatanegaraan tersebut juga mengajarkan
tentang maslah teknis pemerintahan, mulai cara memilih seorang menteri, kewajiban
seorang menteri, kewajibana seorang prajurit, tanggung jawab pemegang baitul mal dan
sebagainya. Di dalam kerajaan islam di jawa sendiri, selain telah umum dikuasasi Kitab
Tajus Salatin yang bertuliskan aksara Jawa itu, pada abad ke 19 Raja Surakarta
Mangkunegara IV yang seangkatan dengan Ronggowarasito mengarang Kitab Wedhatama
(ajaran luhur) yang dijadikan pelajaran bagi para pangeran calon raja. Selain itu juga ditulis
pula kitab yang sama yaitu Wulangreh.
Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara berdiri kuat sejak dari zaman Samudera Pasai,
Aceh Darusalama, Demak, Mataram, Ternate, Bone dan sebagainya berdiri kokoh karena
memiliki sistem ketatanegaraan yang pasti yang bersumber dari agama dan tradisi
setempat. Beberapa kitab tadi yang kemudian diterjemahkan secara teknis menjadi
berbagai hukum dan peraturan kerajaan, maka di sana selalu ada Qodli Qudlot (hakim
Agung) serta patra penghulu yang menangani pelaksanaan hukum dan peradilan bila terjadi
masalah di antara mereka. Dalam pada akhir abad ke-19 Kesultanan Sambas, Kalimantan
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

879
Barat misalnya sistem hukum dan ketatanegaraannya telah dijalankan secara seksama yang
terdiri dari sistem peradilan mulai dari paling rendah Balai Bidai, kemudian Balai Raja, dan
yang tertinggi Balai Kanun.
13
Semua balai atau kitab-kitab itu merupakan perpaduan antara
syariat Islam dengan hukum adat. Terutama Balai Kanun yang posisi konstitusinya lebih
tinggi dan lebih luas telah mengatur tata pemerintahan, tertib kehidupan sosial, termasuk
di dalamnya membahas masalah pidana dan perdata.
Semua kesultanan dengan bantuan parta qadli yang merupakan ulama-ulama
terkemuka di setiap kesultanan selalu membantu dalam merumuskan hukum
ketatanegaraan, sebab selain menguasai hukum Islam, para ulama itu juga memahami adat
setempat. Dari situ lahir berbagai hukum dan ketatanegaraan untuk diterapkan di masing-
masing kesultanan. Tetapi semuanya ini kemudian pudar ketika kerajaa-kerajaan Islam
Nusantara itu satu persatu dikuasai Belanda, maka hukum Islam yang tertuang dalam
sistem ketatanegaraan itu berangsur hilang diganti dengan hukum dan ketatanegaraan
Belanda. Setelah merdeka diganti dengan ketatanegaraan Nasional.

Prasangka Terhadap Islam Nusantara

Keutuhan kebudayaan Islam Nusantara yang tumbuh dan berkembang dan
bertahan selama berabad-abad sehingga merupakan budaya dan identitas tersendiri itu
kemudian mendapatkan tantanagan keras, bukan dari luar, tetapi datang dari kalangan
Islam sendiri, setalah itu berangsur-angsur pula serangan datang baik dari kalangan agama
maupun dari kalangan akademisi dan dari kalangan penguasa politik. Mereka ada yang
sekadar melakukan kritik, ada yang berusaha menyingkirkan dari kehidupan masyarakat,
baik karena dianggap berlawanan dengan ajaran agama yang mereka pahami, maupun
karena dianggap tidak sejalan dengan nalar modernitas yang sedang berkembang. Kritik itu
dilaksanakan sepanjang abad sejak Belanda itu sendiri masuk, lalu mencapai puncaknya
pada masa gerakan paderi di Sumatera Barat, kemudian dilanjutkan oleh gerakan-gerakan
Islam puritan yang datang belakangan. Bahkan kemudian beberapa kritik itu diterapkan
menjadi kebijakan politik pemerintah, sehingga berakibat makin terpinggirnya peran Islam
Nusantara. Apalagi setelah dinyatakan sebagai sumber konservativisme, yang tidak sesuai
dengan nalar modernitas.

a.Prasangka Agama.
Keberanian para ulama untuk mengapresiasi kebudayaan yang berkembang
dikawasan Nusantara itu bahkan tidak sedikit yang didukuhkan sebagai bagian dari tardisi
Islam, hal itu dianggap merusak kemurnian ajaran Islam, apalagi kalau ajaran tersebut jelas-
jelas berasal dari tradisi Hindu atau Budha. Apa yang oleh para Raja, para pujangga dan
para ulama Nusantara selama dianggap sebagai sebuah kemajuan itu, kemudian oleh para
penganut Islam puritan dianggap sebagai kemunduran dan penodaan terhadap kesucian
Islam. Tidak sesuai dengan standar ajaran Islam Al Quran dan Hadits.
Walaupun sbelumnya adakelompok yang berusahamenganjurkan Islam muni, tetapi
bersifat individual dan sektorla. Tetapi kemudian muncul kelompok puritan yang lebih
terorganisir ketika tiga orang santri berasal dari Minangkabau yang belajar di Mekah dan
mereka terpengaruh oleh ajaran wahabi yang puritan dan menerapkan di tanah airnya.
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

880
Mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif, yang pulang
ke kampung halamannya pada tahun 1802 untuk meluruskan ajaran Islam dari segala
macam didah dan khurafat, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhamamad Ibnu Abdul
Wahab di Tanah Arab. Sesampai di kampung halaman mereka menghimpun kaum muda
berjumlah depalan orang diketuai Nan Renceh. Mereka juga berusaha mengajak para
ulama sesepuh di daerahnya, seperti Tuanku Nan Tuo, tetapi ulama besar itu menolak
penegakan ajaran Islam dengan paksa menggunakan pedang. Sebab menurut Tuanku Nan
Tuo, apabila suatu nagari telah besar pengaruh Islam tidak boleh diserang. Tugas para
ulama untuk mendidik mereka selanjutnya agar lebih sesuai dengan Islam. Dengan
demikian tidak akan ada pertentangan antara agama dengan adat. Karena menolak ajakan
kaum muda itu maka Tuanku Nan tua dituduh sebagai Rahib tua, yang dalam sejarah
kemudian dikenal sebagai Kaum Tua. Sejak saat itu dikhotomi kelompok tua dan muda
tercipta dan menyebar ke seluruh Nusantara. Kelompok yang mempertahankan tradisi
Islam Nusantara disebut sebagai kaum Tua sementara kelompok Islam puritan yang
berusaha mengikis Islam dari pengaruh tradisi Nusantara disebut kaum muda atau kaum
Paderi.
Kelompok Paderi berusaha mengekpresikan Islam secara murni sesuai dengan
Al-Quran dan Hadits an sesuai dengan budaya Arab, berjubah putih, memakai cadar,
memelihara cambang. Dengan pasukannya yang militan Paderi mampu menaklukkan
beberapa daerah dengan penuh teror. Peristiwa paling tragis adalah ketika mengadakan
perundingan dengan para pangeran Kerajaan Pagaruyung yang bermazhab Syafii. Ketika
mereka tidak mau terang-terangan mendukung gerakan puritanisasi Paderi, maka seluruh
anggota kerajaan dibantai ditempat permusyawaratan, hanya beberapa bangsawan yang
bisa meloloskan diri, kemudiankerajaan juga dibakar.
14
Setelah itu kelompok ini juga
meluaskan serangannya ke daerah sekitar Minangkabau, seperti ke Mandailing, Bengkulu
dan sebagainya. Karena itu menurut Ketua Kerapatan Adat Minangkabau Bagindo
Muhammad Letter, sebenarnya perang Paderi bukan perang antara agama melawan adat,
tetapi perang antara kelompok bermadzhab dengan kelompok bebasa madzhab.
Pokok Soal yang ditentang oleh kelompok muda yang mendapat spirit dari ajaran
Muhammad Bin Abdul Wahab itu adalah beberapa tradisi keislaman yang berlaku di
kawasan Minangkabau yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran dan aliran mereka antara
lain seperti;
1. Mengucapkan niat dalam sembahyang (ushalli) merupakan bidah sebab Nabi
Muhammad tidak berbuat seperti itu, itu hanya perbuatan para ulama.
2. Solat taroweh 23 rakaat
3. Berdiri ketika membaca barzanji ketika sampai marhaban, yang dibayangkan nabi
datang pada saat itu. Ini hanya rekayasa para ulama yang tidak ada dasar
agamanya.
4. Membaca talqin, tahlil dan ziarah kubur,semuanya tidak ada sumbernya dari Al
Quran dan Shunnah malah mengarah pada kemusyrikan.
5. Merayakan Nisfu Syaban memrupakan tindakan bidah karena bersandar pada
hadis-hadis palsu.
Selain itu banyak larangan lain seperti memakan sirih, merokok, dan juga anjuran
agar menutup rambut bagi wanita, dan memakai jubah putih bagi kaum pria, menyediakan
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

881
tempat wudlu di setiap halaman rumah. Gerakan yang semula hanya di Minangkabau itu
kemudian meluas ke daerah-daerah yang lain. Gerakan itu tidak hanya berbentuk gerakan
pendidikan dan dakwah, tetapi membentuk gerakan militer sehingga menyerang siapa saja
yang diangggap tidak sejalan dengan aliran mereka. Banyak ulama yang menjadi korban
kekejaman kelompok muda itu, korban paling tragis adalah keluarga Kerajaan Pagaruyung.
Sementara itu di Jawa kemudian juga muncul gerakan pemurnian Islam yang
dipimpin oleh H Ahmad Dahlan, dengana organisasinya Muhammadiyah (1912) yang tidak
hanya terpengaruh oleh ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab dari Najed tetapi juga
sebagai pengikut gerakan modern Islam dari Muhammad Abduh dari Mesir. Sekitar tahun
1925 gerakan yang ada di Minangkabau di bawah Pimpinan KH Abdul Karim Amrullah
itu menyatu dengan gerakan Islam puritan yang ada di Yogyakarta. Sehingga menjadi
kekuatan yang signifikan dalam upaya memurnikan Islam di Nusantara. Akibatnya dari
periode ke periode ketegangan antara kelompok Islam modernis dengan kelompok
bermadzhab terus meningkat. Hampir di seluruh kawasan Nusantara gerakan modernis ini
melakkan gerakan pemurnian terhadap Islam Nusantara yang dianggap sinkretis, penuh
bidah dan khurafat.
Masyarakat Islam Palembang di Sumatera Selatan juga dilanda gelombang
puritasisasi itu , munculnya kelompok modernis pada tahun 1930-an dibawa oleh H
Ridwan dari Kota Gede Yogyakarta merupakan picu utamanya. Mereka segera menuduh
bidaah segala perilaku para ulama dan masyarakat Palembang yang masih menjalankan
tahlil, zikir maulud dan mengamalkan tarekat.
15
Akhirnya terjadi ketegangan dan keretakan
dalam masyarakat, antara yang anti tradisi dengan kelompok yang mempertahankan tradisi.
Padahal suluruh perangkat kesultanan maupun tempat ibadah yang ada seperti masjid dan
surau serta pesantren mengamalkan hal-hal tersebut. Serangan terhadap ajaran agama itu
dengan sendirinya juga membuat goncangan sosial. Demikian juga di Sasak Lombok
gerakan pemurnian berjalan berupaya mengikis pengaruh ajaran Hindu yang masih
menyertai berbagai ritual Islam di Pulao Lombok itu. Gerakan modern Islam yang
merupakan gerakan internasional yang berhembus dari Mesir dan Arab Saudi itu
merupakan badai besar yang menghempas tradisi Islam Nusantara dari berbagai penjuru.
Gempuran terhadap tradisi Islam Nusantara juga terjadi di Sulawesi Selatan salah
satunya adalah gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Kahar Muzakkar selain dengan
cita-cita negara Islam itu dia berusaha memurnikan ajaran Islam dari Pengaruh tradisi
Bugis yang dianggap penuh bidah bahkan kemusyrikan, sehingga melemahkan spirit
perjuangan Islam. Lantas dia merampas, naskah-naskah penting karya para ulama setempat
lalau membakarnya, juga melakukan tindakan kekerasan pada pengikut ulama pesantren,
karena memang Islam di masyarakat Bugis tidak diimplementasikan dalam bentuk
penegakan institusi syariah tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam pangandereng
(adat). Justeru dengan tindakannya itu ia menjadi terisolir, karena para ulama penguasa
pesantren menarik dukungannya terhadap DI dan balik melawan karena dianggap
menentang ajaran para ulama setempat.
16

Sejak dasawarsa 1970-an yakni masa pemerintahan orde baru, di mana
pembangunan dijalankan dengan paradigma modernisasi, dengan sendirinya pengaruh
kelompok modernis itu semakin kuat ditandai dengan dominannya mereka di pusat
kekuasaan. Hal itu juga berpengaruh dalam kebijakan keagamaan, lebih diarahkan pada
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

882
saerana pendidikan modern yang tidak lagi berpusat di surau dan pesantren, tetapi lebih
ditekankan pada sekolah, akhirnya pesantrenpun mulau membuka sekolah umum. Secara
budaya muncul fenomena mencolok seperti penurunan beduk dan kentongan dari serambi
masjid-masjid penting, langgar dan menggantinya dengan pengeras suara. Peniadaan
dzibak dan barzanji serta tahlilan di masjid masjid, peniadaan pengajian kitab kuning,
mengurangi solat taroweh dari 20 rakaat menjadi delapan rakaat dan sebagainya juga
merupakan lain fenomena tergesernya tradisi Islam Nusantara dari kehidupan masyarakat.
Namun demikian ajaran Islam Nusantara yang telah mengakar dalam masyarakat
dan terpateri dalam lembaga pendidikan dan tempat-tempat ibadah yang ada. Betapapun
gencarnya serangan itu tapi tidak semuanya bisa ditembus. Apalagi kekuatan jaringan
ulama Nusantara itu telah demikian luas, tidak hanya jaringan keilmuan, tetapi juga
jaringan politik serta jaringan kekeluargaan telah terbentuk sedemikian kuat, sehingga
sekuat apapun gerakan puritaan tidak mampu menggoyahkan seluruh sendi-sendi Islam
Nusantara. Gerakan itu tetap menjadi gerakan kelompok terpelajar di perkotaan,
semantara kalangan desa tetap pada keyakinannya. Tidak hanya karena cocok dengan
tradisi mereka, tetapi mereka juga merasa kepercayaan yang dipeluk benar dan memiliki
dasar syariah yang kuat.
Dalam mengembangkan strategi kebudayaan Islam, para ulama mengakui adanya
nilai-nilai positif yang sudah tumbuh dan sudah ada pada manusia atau kelompok
sebelum menerima ajaran Islam. Terhadap nilai-nilai tradisi lama tersebut Islam tidak
bersikap apriori menolak, menentang atau menghapusnya sama sekali. Islam bersikap
akomodatif, selekttif dan proporsional, karena itu tradisi dilihat dalam beberapa kategori :
ada yang harus dikoreksi total; ada yang harus dikoreksi sebagian; ada yang harus diisi dan
diperkaya; ada yang perlu dikokohkan dan disempurnakan lebih lanjut.
17
Hal itu tidak
dilakukan sembarangan, tetapi ditetapkan berdasarkan metode berpikir ilmu fikih antara
lain dengan menggunakan metode qiyas, ishtislah ataupun istihsan sebagaimana ditetapkan
dalam qawaidul fiqhiyah dan qawaidul ushuliyah. Dengan demikian bagi mereka itu
apresiasi terhadap kebudayaan lokal itu tidak bisa dianggap bidah, kalau bidahpun
tergolong bidah hasanah, dilaksanakan demi kemaslahatan Islam dan umat Islam. Karena
itua jaran ini bertahan dari serangan kaum puritan, bahkan terus berkembang di tengah
gelombang modernisasi.

b. Prasangka Akademis.
Tidak hanya kalangan pengikut Islam modernis yang menolak tradisi Islam
Nusantara yang diangap penuh bidah, khurafat dan kemusyrikan, tetapi kalangan
akademisi baik dari karangan orientalis maupun para intelektual pribumi juga menyoroti
tajam soal karakteristik tradisi Islam Nusantara ini. Tentu saja Dr Snouck Hurgronje
adalah indolog paling menonjol dalam masalah ini, ketika pada akhir abad ke-19
mendapatkan tugas penelitian ke Aceh kemudian menerbitkan hasilnya dalam sebuah buku
terkenal De Atjehers (terbit 1893), dengan mengkritik penulis sebelumnya yaitu Mr der
Kinderen dan Mr. LWC Van den Berg, yang dianggap tidak mampu melihat adanya
pertentangan adat dengan Islam. Menurut Hurgronje, banyak sekali pertentangan adat
dengan Islam, sebab pada umumnya para sultan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sama
sekali tidak menguasasi hukum Islam, sehingga banyak tindakannya dan tradisi yang
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

883
dikembangkan menyimpoang bahkan bertentangan dengan syariat Islam.
18
Sebagai perintis
dari Indologi, pikiran Snouck Hurgronjr ini sangat berpengaruh pada penulis-penulis
berikutnya.
Ilmuwan yang juga sangat menonjol dalam menyroti hubungan islam Nusantara ini
adalah BJO Scherike, karena intelektual ini mendpat tugas untyuk melakukan studi
lapangan persis saat perang paderi Selesai. Demikian juga Van der Kroef, dalam melihat
Islam misalnya ia menilai bahwa waalaupun secara umum dikatakan masyarakat menganut
agama Islam, tetapi dalam kenyataannya mereka sangat jauh berbeda dengan ajaran Nabi
Muhammad, karena Islamisasi di Indonesia berjalan setengah hati, akibatnya mayoritas
pemeluk Islam Indonesia mencampur agamanaya dengan kepercayaan lokal yaitu ajaran
manunggaling kawulo gusti. (panteisme).
19
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Prof
Harry J Benda, bahwa Islam ketika masuk keindonesia (Nusantara) dipaksa untuk
menyesuaikan diri dengan tradisi yang sudah berabad-abad umurnya, baik tradisi
penduduk asli mapun tradisi Hindu-Budha, sehingga Islam kehilangan kemurnian
doktrinnya. Tradisi mistik Jawa tersebar luas hingga ke sumatera dan kepulauan lainnya.
Dengan berdirinya kerajaan Mataram di pedalaman, Islam Nusantara semakin dipaksa
masuk ke dalam dirinya sendiri dan berkutat pada kepercayaan tradisional, karena itu
keislaman mereka jauh dari ortodoksi, sehingga yang muncul bukan agama Islam
melainkan agama Jawa, maka yang dianut bukan Al Quran melainkan adat-istiadat Jawa,
mengikuti feodalisme Jawa bukan egalitarianisme Islam. Namun demikian professor dari
Universitas Cornell itu mengakui, walaupun Islam Nusantara sudah tidak lagi murni
dengan adanya pencampuradukan dengan budaya pra Islam, tetapi bagi bangsa Indonesia
agama Islam tetap bisa menjadi titik pusat identitas, sebagai pembeda dengan identitas
Belanda yang Asing.
20
Dalam Bukunya Nusantara Bernard HM Vlekke, mempunyai
pandangan tersendiri terhadap Islam Nusantara ini, dikatakan bahwa, walaupun beberapa
daerah telah dikuasasi raja raja Muslim dan berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak,
Cirebon, Mataram, Jepara, Gresik dan Surabaya dikuasi oleh raja-raja muslim, tetapi para
raja dan rakyatnya masih mempertahankana cara hidup hindu Budha. Salah satu bukti
adanya Sinkretisme Islam Buhda itu kata Vlekke, bisa ditemukan dalam makam-makam
raja dan ulama jawa yang bersimbul Siwa dan kaligrafi Arab. Bahkan hingga saat ini
menurut pandangan Vlekke masyarakat masih tetap kukuh dengan kepercayaan Hindu
Budha,
21
terutama yang ada di lingkungan keraton.
Clifford Geertz tentu saja tokoh yang tidak bisa kita lupakan dalam hal ini,dalam
Buku munumentalnya The Religion of Java, dan juga buku studi perbandingan Budayanya
yaitu Islam Observed, memberikan gambataan yang begitu stereotip terhadap Islam
Nusantara. Dikatakan, karena Islam yang datang ke Nusanatara itu melewati jalur India,
maka progersivitasnya ditumpulkan dan dibelokkan menjadi mistik yang merupakan
percampuran Hindu, Budha dan animisme. Dengan demikian Islam telah terputus
dengan pusat kemurnian di Mekah maupun Kairo. Lebih jauh Geertz menuduh bahwa
untuk menutupi sinkretisme tersebut Para ulama menyiasasti dengan berbagai cara yaitu
seperti pengubahan nama berbagai praktik Budis diberi nama Arab (pemujaan roh leluhur
disebut tahlil), demikian raja Hindu diberi gelar Sultan, roh hutan disebut dengan jin,
sementara tidak ada perubahan isinya. Masyarakat tenggelam dalam kebodohan dan
takhayul , ajaran suci telah diselubungi dengan kebiadaban syirik yang berasal dari adat
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

884
kebiasaan.
22
Proses Islamisasi ini dianggap sebagi proses manipulasi, akaiabatnya dalam
mendeskripsikan Islam Nusantara juga menjadi sangat melenceng; dikatakan bahwa Islam
Asia Tenggara (Islam Nusantara) lebih merupakan Islamnya kaum tani yang menyerap
konsep-konsep Islam kemudiam diramu dengan praktek-praktek agama lama yaitu Hindu,
dari stu kemudian dipersatukan dewa, hantu, jin dan nabi-nabi dalam suatu animisme
yang filosofis. Hasilnya dalah sebuah sinkretisme agama yang canggih.
23
Walaupun sudah
banyak kritik terhadap pandangan para orientalis atau Indonesianis tentang berbagai
pandangannya yang bias, tetapi tradisi akademik itu terus berkembang bahkan hingga
belakangan ini seperti yang dilakukan oleh John Ryan Bartholomew, ketika melakukan
studi Islam Sasak. Dia telah berusaha sangat hati-hati dalam melakukan kategorisasi, tetapi
tetap saja terjerumus dalam kesimpulan bahwa orang Sasak hampir semuanya Muslim
papan nama,
24
karena mereka mengamalkan agama melalui perangkat tradisi. Pendeknya
pandangan yang ditanamkan penulis sebelumnya terutama Snouck Horgronje, begitu kuat
berpengaruh dan begitu setia diikuti oleh sarjana sesudahnya.
Tidak berbeda dengan para guru besranya dari universitas-universitas di Barat,
kalangan sarjana lokal seperti Deliar Noer, alumni Universitas Cornell ini juga menyoroti
soal Islam Nausantara dengan cara yang kurang lebih sama. Dalam bukunya Gerakan
Modern Islam di Indonesia ia menegaskan bahwa Islam Indonesia berwatak Sufistik yang
kuat mempertalikan hubungan Tuhan dengan para guru, dengan paham sufi panteis
(wihdatul wujud), sementara panteisme adalah sebuah ajaran yang sangat bertentangan
dengan ajaran Islam. Namun ajaran itu mendapatkan lahan yang subur di tengah Islam
Nusantara sejak Islam datang ke sini, disebabkan oleh tabiat alam pemikiran masyarakat
Nusantara yang telah terpengaruh Hindu-Budha selama berabad-abad. Kedudukan Kiai
atau guru yang terhormat itu menurut Deliar Noer berasaal dari dari warisan agama
Hindu-Budha bahkan kelanjutan dari zaman animisme yaitu berkaitan posisi seorang
dukun, sementara selalu saja kiai adalah seorang dukun. Percampuran antara peribadatan
Islam dengan adat dan tardisi itu mewarnai Islam Indonesia selama ini. Terhadap orang-
orang yang berziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan Minangkabau, Deliar Noer
menilai, bahwa, pembacaan shalawat, pujian, tahlil dan dalail itu merupakan kelanjutan
tradisi para dukun yang tersebar di Sumatera zaman sebelum Islam yang melakukan
pujaan terhadap dewa-dewa agama Hindu.
25
Ketidakmurnian Islam Masyarakat Nusantara
ini menjadi sorotan studi mereka, akibatnya mereka perlu diislamkan secara benar.
Mengingat buku-buku yang disebutkan tadi menjadi buku rujukan baik dalam studi
Sejarah, politik dan kebudayaaan termasuk studi islam, maka pandangan stereo type yang
penuh bias semacam itu terus berkembang menjadi sebuah konsep akademik bahkan
kemudian menjadi teori akademis yang. Dalam kenyataanya, prasangka para akademisi itu
kemudian berkembang menjadi stereo type ilmiah seperti sitilah tradisional dan modern,
sementara tradisionalisme adalah sumber konservativisme, karena itu Islam Nusantara
yang kuat mengapresioasi tradisi dinilai tidak sesuai dengan kemodernan, sehingga harus
diubah dan ditinggalkan. Tesis atau pemikiran dan konsep-konsep akademis itu selanjutnya
terlaksana menjadi kebijakan politik. Hal itu secara eksplisit dikatakan oleh Harry J Benda
bahwa Prestasi paling besar dari Snouck Horgroye dalam melakukan studi Islam sepanjang
hidupnya adalah kemampuannya meyakinkan temuanya untuk mendesakkan dilakukan
reorientasi politik serta perubahan-perubahan dalam menjalankan stretgi militer dalam
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

885
pemerintah Belanda.
26
Hubungan teori akademik yang sedemikian dekat itu sering
diabaikan oleh para akademisi sendiri, sehingga mereka merasa bahwa apa yang dianggap
obyektif itu tidak memiliki interest politik tersendiri.

c. Dari Prasangka Sampai ke Kebijakan Politik.
Selama ini sering diasumsikan bahwa antara dunia akademik dan dunia politik itu
berjarak sedemikian jauh, sehingga hampir tak bisa dipertemukan, yang satu merupakan
wilayah kebenaran maha tinggi bernilai universal, yang dibungkus dengan objektivitas
sangat murni. Sementara dunia politik merupakan serangkaian taktik meperoleh
kepentingan jangka pendek yang penuh trik dan rekayasa. Tetapi dalam kenyataannya
sering kali dua dunia itu teramat dekat dan saling berkelindan seiring sejalan dan setujuan.
Dalam banyak pengalaman menunjukan bahwa seringkali temuan akademik kemudian
menjadi kebijakan politik dan seringkali pula berbagai teori akademik sebenarnya
merupakan kelanjutan ari kebijakan politik. Secara gamblang sebenarnya lahirnya
orientaslime dan khusunya lahirnya indologi adalah yang merupakan bagian penting dari
akademi-akademi di Belanda adalah merupakan sarana penunjang kolonialisme yang aktif,
sebagaimana dijelaskan oleh benda mengenai peran Snouck Horgroye di mana temuan
ilmiahnya sering dijadikan landasan dalam penentuan policy politik dan penetapan strategi
militer.
Proses debunking (penelanjangan) yang dilakukan oleh para ilmuwan kritis terhadap
teori modernisai yang dikembangkan dunia Barat sehingga menjadi paradigma tunggal
sebenarnya tidak lebih merupakan sebuah agenda modernisasi untuk mendukung dominasi
kapitalisme. Teori yang dikembangkan pasca perang dunia kedua ini berkait erat kaitannya
dengan perang dingin. Dunia Barat dengan teri modernisasi berusaha menerapkan agenda
politiknya, yang dibangun dengan mempengaruhi pola pikir kaum terpelajarnya.
Dalam kebijakan politik orde baru sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya
yang lebih menghargai tradisi. Sebaliknya Orde baru dengan program pembangunanisme
menerapkan sepenuhnya teori modernisasi, sementara teori modernisasi dengan idea of
progress (filsafat kemajuan) sebagai sarana penunjang idea of growth (filsafat pertumbuhan)
ekonomi, maka berusaha keras menyingkirkan bidang-bidang yang tidak sejalan dengan
idea of progress yang paling utama dilawan adalah tradisi yang dianggap sebagai sumber
keterbelakangan, penyebab kekolotan dan kemunduran, karena itu Islam Nusantara
dengan segala perangkatnya yang selama ini secara akademik telah di-stereo type-kan
sebagai Islam tradisional, Islam konservatis mulai dipinggirkan, karena tidak sejalan dengan
agenda modernisasi dan pembangunan yang mengutamakan progres. Orde baru
membutuhkan manusia baru yang progresif (bersemangat maju) untuk menjadi progresif
tidak boleh terikat dengan segala bentuk tradisi, maka pemghilangan tradisi terus terjadi
dalam upaya mencapai ekselerasi modernisasi (percepatan kemodernan). Modernisasi
berorientasi pada zaman baru dan masa depan dengan meninggalkan idealisasi zaman
lama. Perubahan tatanilai dan penggantian norma-norma yang menghambat
perkembangan menjadi agenda utama pembangunan Orde baru.
27
Secara pelahan tradisi
dikesampingkan modernitas dikedepankan, akibatnya pembangunan Nasional tidak
berpijak pada tradisi sendiri. Bahkan secara tegas berbagai tradisi asing yang
dicanggkokkan.
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

886
Dalam pelaksanaan politik kebudayaan orde baru ini dengan sendirinya merupakan
masa suram bagi ekspresi Islam Nusantara yang dikategorikan sebagai Islam tradisional.
Setiap kemodernan merupakan bentuk individualisasi, maka denagn adanya semangat
kemajuan yang ditanamkan, bentuk-bentuk lama seperti sikap komunalisme mulai
meluntur, sarana-sarana kultural seperti yasinan, macopatan, tahlilan, dzibaan, mulai
tergerus, padahal forum itu selama ini sebagai wahana untuk memperkuat tali
komunalisme, karena semuanya dibentuk dalam semangat paguyuban,kemudian diubah
dan direorganisasi secara modern menjadi berbagai lembaga atau organisasi resmi seperti
karang taruna, kelompencapir, dan sebagainya yang tujuannya semata duniawi dan
ekonomis. Segala sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomis dianggap tidak sesai dengan
zaman pembangunan. Berbagai perayaan adat dinggap tidak produktif secara ekonomi
akhirnya satu persatu ditingalkan. Ini merupakan masa-masa paling suram dalam sejarah
tradisi Nusantara.

Mempertimbangkan Kembali Islam Nusantara

Dengan semangat Islam yang tinggi sekelompok masyarakat Islam kota yang
modern pad permulaan dasawarsa 1990-an menyelenggarakan vestival kebudayaan Islam
yang diberi nama Festival Istiqlal. Dalam vestival ini tidak hanya mengundang para
cendekiawan dan budyawan Muslim dari seluruh Nusantara bahkan dari seluruh dunia.
Selain itu juga diselenggarakan pameran seni budaya Islam. Berbagai benda seni dan
produk kebudayaan dari seluruh penjuru tanah air dipamerkan. Semuanya terkejut dan
bangga melihat keanekaragama khazanah budaya Islam dengan mutu kebudayaan yang
sangat tinggi. Mereka baru sadar bahwa apa yang dipamerkan dan dibanggakan itu adalah
warisan budaya Islam Nusantara, sebagai sisa-sisa yang berhasil dipertahankan oleh para
pemangkunya yang setelah sekian dasawarsa bahkan sekian abad mengalami peminggiran
dan cemoohan, baik secara teologis, akademis maupun politis. Tanpa advokasi apapun,
hanya berkat keteguhan saja sekarang barang pusaka dan sumber tata nilai itu bisa
dihadirkan tidak hanya mewakili budaya lama Nusantara tetapi dianggap mewakili Islam
modern dan menjadi identitas Islam modern di masa depan.
Beduk mislanya yang selama ini telah lama diturunkan secara paksa dari berbagai
mesjid, dalam vestival itu beduk paling tua dan paling besar dari Temanggung diarak dari
kota pedalaman itu hingga ke Jakarta, yang di setiap tempat disaksikan penduduk
sepanjang jalan. Berbagai naskah klasik terutama manuskrip yang berisi perbendaharaan
pengetahuan Islam baik sufisme, faikih, astronomi, astrologi hingga ketabiban, yang selama
ini dianggap sebagai sumber kemunduran dan biang konservativisme dihadirkan kembali
sebagai kebanggaan dan dijadikan inspirasi membangun pearadaban Islam. Demikian pula
berbagai seni agama murali dari barzanji, dziba, tari saman tari seudati ditampilkan kembali
dan direspon dengan penuh apresiasi.
Sebenarnya upaya untuk mempertimbangkan kembali tradisi Nusantara atau tradisi
Timur dalam kehidupan sosial politik dan kebudayaan ini telah mulai diperbincangkan
jauah sebelum kemerdekaan yakni tahun 1935-an. Ada pihak yang menginginkan untuk
meninggalkan warisan Nusantara ini, karena tidak sesuai lagi dengan dinamika zaman
untuk itu perlu mengambil dari Barat. Hal itu disampaikan oleh pemikir westernis seperti
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

887
Sutan Takdir Ali Syahbana. Sebaliknya kalangan cedekiawan yang lain seperti Ki Hajar
Dewantara dan Dr Soetomo menghendaki kebudayaan Timur terutama sistem nilai dan
pendidikan pesantren sebagai basis pendidikan Indonesia merdeka.
28
Kedua ekstrem itu
yang mewarnai gerak kebudayaan Indonesia hingga saat ini.

a.Ekslusivisme Menghadang Islam Multikultural .
Islam garis keras yang selama orde baru ditekan tidak dapat mengekspresikan
kehadirannya di tengah masyarakat, tetapi menjelang akhir orde baru tumbang, ketika
cengkeraman rezim militer itu mulai longgar, gerakan itu mulai bermunculan ke
permukaan. Aspirasi negara Islam mulai muncul kembali, keengganan pada Pancasila yang
berlandaaskan pada Bhinnek tunggal Ika juga muncul secara terbuka. Berbagai ketegangan
bahkan konflik antar aliran, antar etnis bahkan antara agama terjadi. Ekstremisme
Kelompok puritan neo konservatif atau juga disebut dengan neo Wahabi itu sering disebut
sebagai pemicu utamanya, setidaknya selalu berada di depan dalam menghadapi setiap
konflik, terutama anatar agama. Mereka menolak Pancasila sebagai ideologi negara, dengan
memaksakan untuk mendirikan negara Islam, bahkan mereka menolak negara bangsa,
berusaha menggantinya dengan sistem khilifah (kekhalifahan) yang bersifat trans-nasional.
Mereka itu menolak keragaman budaya Islam, mereka menginginkan adanya warna
tunggal Islam secara internasional yang bercorak kearaban, karena jarinmgan gerakan
mereka nbersifat inter nasional, maka mereka disebut Islam trans-nasional, yang sama
sekali menolak bentuk dan corak sistem politik dan budaya nasional. Tidak seperti
sebelumnya nama mereka menjadi begitu tercemar ketika berbagai konflik sosial dan
bakan teror dilakukan mereka. Mereka dinilai tidak toleran dengan mazhab atau golongan
Islam yang lain, lebih tidak bertoleransi pada agama yang lain. Mereka disudutkan sebagai
sumber konflik dan ketegangan, agitasi dan serangan terhadap gereja atau rumah ibadah
lainnya kerap dilakukan. Di pihak lain berbagai upaya juga dilakukan untuk meredam
gerakan Islam radikal.
Tradisi Islam Nusantara yang toleran terhadap tradisi dan kepercayaan lokal serta
agama-agam lain dilirik kembali, karena dalam situasi tegang maka kelompok ini yang
sering menjadi penyeimbang atau mediator dalam menyelesaikan ketegangan sosial. Begitu
juga dalam situasi konflik kelompok ini mempunya kemampuan meredam yang cukup
efektif. Sikap toleran si yang didasari oleh pandangan hidup kebhinnekatunggalikaan itu
terbukti mampu menjaga kesembangan dalam masyarakat yang kompleks. Dalam
kenyataannya kalangan Islam Nusantara ini relatif tidak terlibat dalam konflik etnis atau
agama, apalagi terlibat dalam terorisme yang sedang marak. Maka model pemahaman
Islam Nusantara yang moderat dan toleran itu mulai ditengok lagi. Tetapi terkadang tradisi
itu sudah terlampau kecil dan terlampau lemah untuk membendung sebuah konflik besar,
itulah sebabnya berbagai konflik terjadi berkepanjangan, padahal sebelumnya mereka
saling membahu dalam melakukan aktivitas sosial dan keagamaan.
Ketika rezim orde baru tengah mengalami krisis dan pembangunanisme juga
menemui jalan buntu, ternyata kelompok yang dituduh tradisional itu justeru lebih mampu
memberikan berbagai pemikiran dan soslusi yang kreatif, maka sikap under estimate
(peremehan) terhadap Islam Nusantara mulai berbaik menjadi lebih positif. Hal itu tidak
hanya merombak dikhotomi akademik yang lama seperti Islam tradisional dan Islam
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

888
modern dan Islam progresif melawan Islam konservatif. Pandangan dunia yang linier
mendapatkan kritik radikal dan ditinjua ulang secara mendasar, hanya saja dunia akademik
tidak melanjutkan upaya ini, karena mereka mulai sibuk dengan kegiatan birokratik dan
kemudian politik, persoalan gap paradigma ini akhirnya tidak terarasi secara tuntas.
Jalan buntu demokrasi liberal, ditambah dengan sikap ambivaalensi negara-negara
penganjur demokrasi serta pejuang haka asasi manusia, membuat masyarakat mulai
mencari bentuk pemerintahan yang lebih pas dan sesuaia dengan Pancasila sebagai dasar
negara. Selama ini pancasila hany diakui sebagai dasar negara tetapi tidak perah dijadikan
rujukan dalam menyusun Undang-undang termasuk Undang-undang dasar apalagi undang-
undang yang lebih bawah. Ini juga dinilai sebagai penyebab terjadinya instabilitas dalam
politik nasional. Karena itu upaya penggalian terhadap sistem politik dan kenegaraan
Nusantara juga dimulai lagi. Tidak hanya mengkaji pemikiran Ki Hajar Dewantara,
Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Soekarno, Muhammad Yamin termasuk
Supomo. Khazanah Nusantara klasik baik sejarah maupun babad serat dan sebagainya
mulai dikaji kembali.
Berbagai gerakan untuk membangkitkan peran Islam Nusantara seperti gerakan
merdesa, (kembali Kekampung) kembali kenagari, kembali ke surau di Minangkabau atau
gerakan kembali Ke Pesantren di Jawa, baru langkah permulaan, masih membutuhkan
waktu panjang, selain menghidupkan infrastrukturnya yang sudah usang dan suprastruktur
yang sudah terlupakan. Belum lagi situsi eksternal yang sama sekali berlawanan,
menjadikan gerakan itu tersendat apalagi belum ada konsep yang benar-benar matang, lagi
pula tidak memiliki ketokohan yang kuat yang dijadikan panutan. Kondisi pendanaan yang
semakin seret karen sumber ekonomi perdesaan sudah mulai menyempit, sementara
ekonomi makro tidak berorientasi kedesa, ke sektor rill saja tidak, sehingga ketersediaan
dana sebagai basis material pendukung gerakan itu juga masih lemah. Tidak sepadan
dengan gerakan Islam transnasional yang memiliki dana cukup dan organisasi yang relatif
solid dan tertib.

b. Toleransi Berbasis Tradisi.
Berbagai tradisi yang tellah dijalankan sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara baik
yang Hindu, Budha hingga Islam sebenarnya telah mewariskan berbagai tatanan bahkan
mekanisme untuk mengatur pola hubungan-hubungan sosial yang tertib dan harmoni.
Menciptakan harmoni di tengah pluralitas atau kemajemukan memang membutuhkan kiat
politik tersendiri. Tanpa adanya strategi kebudayaan yang relevan bagi kerajaan yang ada
dari kesultanan atau dari para ulama pemimpin surau, maka langkah mereka untuk
membangun masyarakat akan mengalami hambatan.
Tatanan sosial yang diwariskan sejak zaman kesultanan dan dari berbagai pesantren
itu sebenarnya masih hidup di tengah masyarakat, terutama di kalangana pemangku adat
Nusantara, karena iru tertib sosial terus ada. Hanya saja tidak selalu dirumuskan dalam
kitab hukum atau aturan formal, tetapi telah menjadi norma-norma sosial yang mengikat
mereka. Dengan kelenturan cara beragama masyarakat Nusantara ini sebenarnya mereka
lebih cepat mengadaptasi tantangan modernitas. Ketika heterogenitas penduduk Nusantara
ini semakin meningkat, maka untuk menghindari ketegangan diciptakan berbagai undang-
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

889
undang yang mengatur. Di masa lalu kerajaan Majapahit telah ada hukum yang mengatur
hubungan Hindu, Budha dan Islam, sehingga semuanya hidup harmonis.
Demikian juga dalam Kesultanan Samabas Kalimantan Barat misalanya, ketika
kelompok Eropa mulai masuk ke wilayah itu, maka Balai Kanun yang ada juga
disempurnakan sehingga dimungkinkan untuk menjamin kehidupan mereka secara layak
dan menempatkan di tengah masyarakat secara proporsional. Terhadap pendatang dari
Sumater disediakan tempat yang diberi nama Kampung Tanjung Rengas, kepada kelompok
India dibuatkan tempat yang disebut dengan Kampung Nagur, untuk orang Bugis disediakan
Kampung Bugus dan kemudian ketika Belanda datang ditempatkan secara tersendiri dalam
Tanjung Belanda.
29
Pandangan multi kulturalisme ini berkembang hingga sekarang, sebaga
sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat. Hanya saja tidak tercermin sepenuhnya
dalam sistem pemerintahan, karena itu walaupun ada tetapi rapuh, sehingga tidak mampu
menghadapi gelombang ekstremisme baik yang disebabkan pemahaman keagamaan
maupun kepentingan ekonomi.
Nasib serupa juga dialami oleh tradisi atau mekanisme hubungan masyarakat multiu
kultural yang telah dikembangkan sejak zaman kesultanan Lombok. Daerah yang multi
etnis itu yaitu sasak, Jawa, bali, Bugis, Banjar Sumbawa dan sebagainya itu selalu dilanda
konflik. Dikisahkan dalam Babad Lombok, ketika raja Lombok Prabu Ranggasari dilantik ia
mengundang musuhnya untuk melanjutkan perang, tetapi tidak dengan senjata karena
perang itu telah memakan korban, tetapi perang dengan bersenjatakan makanan.
Disepakati pasukan Lompok bersenjatakan binatang laut, ikan, cumi-cumi dan sebagainya,
sementara lawannya Demang bantun bersenjatakan hasil bumi, berbagai macam buah-
buahan dan masakan seperti ketupat, wajik dan sebagainya.
30
Tradisi ini kemudian secara
populerdikenal dengan perang ketupan. Perang yang sebelumnya dilandasi oleh semangat
permusuhan, kemudian dikonversi menjadi perang persahabatan.
Ini sebuah mekanisme resolusi konflik tradisional yang penuh dengan kearifan, di
satu sisi menyalaurkan hasyrat perang tetapi diarahkan kepada bentuk persahabatan,
sehingga kehidupan sosial dan politik kawasan multi etnis dan multi agama itu tetap
harmoni. Tetapi sekali lagi tradisi itu hanaya berkembang menjadi norma sosial, tetapi
sama sekali tidak diadaptasi ke dalam hukum formal maka tidk memiliki kekuatan politik
untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Akibatnya Pulau Lombok yang selama ini
dikenal dengan keramahan dan kerukunanya, kemudian berubah asecara mencolok
menjadi daerah konflik. Banayk kalangan Islam radikal muncul di situ sehingga akerukunan
terganggu. Tidak aneh kalau kemudian sejarawan Ruth Mc Vay menyebut Lombok
sebagai atau orang Sasak sebagai pengikut Islam garis keras. Nilai tradisional ditantang
dan dikalahkan sehingga masyarakat yang berpaham pluralis toleran bisa terkonversi
menjadi eklusif dan intoleran. Gelombang ekstremismu itu juga menggerogoti sarana
kultural penyangga harmoni sosial, sehingga tradisi baku-bae di Ambon Maluku pun hampir
sirna, sehingga perlu direvitalisasi kembali agar menjadi norma masyarakat.
Kenyataan lapangan seperti itu telah mendorong kalangan pemuka agama, kalangan
pemerintah dan akademisi untuk mencoba membangun kembali tardisi lama yang telah
mengajarkan tertib sosial yang mampu menjaga keamanan warga. Tradisi lama seperti
perang ketupat dan lainnya memang masih ada dan selalu menjadi pengisi acara-acara
kultural bahkan semi ritual, hanya sayang kemudian kegiatan itu lebih diarahkan pada
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

890
pamrih tourisme, sehingga misi utamanya untuk membangun kembali mekanisme
hubungan masyarakat yang harmoni praktis terhalang. Padahal untuk menggerakkan
mekanisme hubungan sosial dan manajemen konflik tersebut selaian perlu dituangkan
dalam rumusan konsep tual yang matang, juga perlu dituanggakan pada pasal-pasal dalam
hukum yang berlaku dan yang lebih penting lagi secara konsisten dan sungguh sungguh
mewarnai kebjakan sosial yang dilakukan pemerintah dan masyarakat secara suka rela mau
memegangi norma sosial yang telah disepakati tersebut.

Penutup

Islam Nusantara terbentuk melalui proses sejarah yang panjang, juga mengalami
pasang surut sejarah. Ia terbentuk melalui proses dialog, melalui proses seleksi dan
internalisasi serta koreksi yang cukup, sehingga memperoleh sosoknya yang kuat. Sejarah
dan warisan budaya masa lalau walaupun tidak bisa dihadirkan ataupun direkonstruksi
sepenuhnya di masa kini, tetapi tata nilai yang masih berkembang di masyarakat bisa
digerakkan kembali. Apalagi kalau warisan tersebut sebenarnya masih hidup utuh tetapi
dalam komunitas terbatas, maka untuk merekonstruksi jauh lebih dimungkinkan. Hanya
saja perlu terus-menerus dilakukan reformulasi. Langkah itu perlu didahului dengan
penggalian sumber sejarah, peninggalan kebudayaan, untuk menggerakakan tata nialai yang
telah kehilangan vitalitas karena diabaikan.
Islam Nusantara walupun selama ini posisinya lemah baik ketika menghadapi
modernisme awal apalagi setelah menghadapi globalisme kebudayaan yang menyapu ke
seluruh sektor kehidupan itu, tantangan unuk membangun ataua merevitalisasi budaya
Islam Nusantara membutuhkan stamina dan kesungguhan yang lebih besar. Karena
kebudayaan sendiri bersifat dinamis bahkan progresif, pembangunan warisan masa lalu
perlu diletakkan dalam dinamika kebudayaan itu, sehingga kehadiran kebudayaan ini tidak
hanya relevan tetapi sekaligus membawa manfaat. Islam nusantara itu mesti telah ada
dalam kenyataan, tetapi perlu terus dibentuk dan dirumuskan kembali.



Endnotes :

Penulis sekarang menjabar sebagai Wakil Sekretaris PB NU



1
Marwati D Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II,
Balai Pustaka, Jakarta, 1993, h. 12, tetapi buku ini tidak memberikan keterangan yang
memadai tentang konsep Dipantara. Demikian Juga Athony Reid (ed) dalam bukunya
Percentionsof the Past In Southeast Asia, sama sekalu tidak menjelaskan kedua istilah Desantara
maupun dipantara tersebut. Diskusi berkala saya selama bebapa tahun dengan novelis
Pramoedya Ananta Toer membantu saya dalam mehami berbagai kosep tersebut secara
lebih mendalam, tetapi sebagai konsep penulis mencoba merumuskan sendir berdasarkan
tealah atas sumber-sumber yang ada, sehingga tanggungjawab tetap pada penulis sendiri.
ABDUL MUNIM DZ Islam Nusantara

891
2
Lihat GJ. Bleeker, Pertemuan Agama-Agam Dunia, Penerbit Sumur, Bandung 1963,
h. 101.
3
Agus Sunyoto, Falsafah Kapitayan Sebagai dasar Budaya Nusanatara makalah
dalam diskusi di NU Online, Jakarta 2005. Kemajuan falsafah ini mampu menahan segala
pengaruh budaya maupun agama besar. Pandangan itu dengan sendirinya jugamnyangkal
pandangan para sarjana pada umumnya, seperti pandangan Tregonning yang menyatakan
bahwa pada masa pra sejarah, yakni sebelum datangnya Hindu-Budah bangsa Nusantara
merupakan banagsa primitif yang tidak beradab. Padahal kebudayaaan di sini sangat tinggi
sehingga agama dan budaya apapun yang datang pasti tunduk dan menyesuaikan diri
dengan falsafah pribumi ini.
4
Arysio Santos, Atlantis, The Lost Continent Finally Found, Penerjemah Hikmah
Ubaidillah, Penerbit Ufuk, Jakarta , 2010. h. 72 dan 81.
5
Kajian lanjut tetang hal ini bisa ditelaah dalam karya Mahayuddin Hj. Yahya,
Naskah Jawi, Sejarah dan Teks, Penerbit Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1994.
6
Lihat buku, Proceeding Seminar ; Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, Medan, 1963,
h., 111-112.
7
Tema ini telah diulas oleh penulis dalam tulisan Mengukuhkan Jangkar Islam
Nusantara jurnal Tashwirul Afkar No 26, 2008. Sebelumnya tema serupa juga diulas dalam
buku Budaya Damai dalam Komunitas Pesantren, dengan judul,Pergumulan Pesantren
dengan Masalah Kebudayaan , LP3ES, Jakarta 2007.
8
Imam Maulana Abdul Manan, Sejarah Ringkas Syekh Bburhanuddin Ulakan, Penerbit,
Puitika, Padang, 2001, h., 29-30.
9
RN. Ranggasutrasna (dkk), Centini Tembangraras-Amongraga, jilid I-II, Penerbit balai
Pustaka, Jakarta, 1992.
10
Dalam Babad Demak misalnya dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga telah
mengunakan alat ini setiap membangun masjid atau langgar. Lihat KRT. Suryadi, Babad
Demak, alih bahasa Suwaji, Penerbit PPBSID, Jakarta, 1981, h., 66.
11
Naskah-naskah klasik Nusantara, mencatat semua tradisi yang telah berkembang
asejak masuknya Islam ke kawasan ini, lihat misalnya Kitab Centhini, Babad Demak, Serat
Cabolek, menunjukkan bahwa tradisi itu telah berkembang sejak zaman Islam permulaan.
12
Lihat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Tuhfatur Raghibin, Penerbit Yapida
Martapura, 2000, h., 86-86.
13
Baca, Erwin Mahrus Dkk, Shaykh Ahmad Khatib Sambas, Penerbit Untan Press,
Pontianak, 2003, h., 4.
14
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Penerbit Sinar harapan jakarta,
1981, h., 391-392. Hamka dalam bukunya Ayahku (1958) juga menukis tentang peristiwa
ini. Penggambaran lebih dramatis ditulis oleh MO Parlindungan dalam bukunya Tuanku
Rao (1960) walaupun banyak yang dilebih-lebihkan tetapi menunjukkan bahwa teror
pembantaian terhadap kelompok Islam Syafii (adat) itu juga dilakukan terhadap masyarakat
Batak.
15
Lihat uraian Jeroen Petters, Kaum Tuo-kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang
1821-1942, Penerbit INIS, Jakarta 1997, h., 167 dan seterusnya.
16
Lihat Muhlis Paeni, Hikayat Bugis sebagai Sumber Sejarah, Makalah Seminar tradisi
Lisan, Jakarta 2004.
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010

892
17
Lihat,KH Ahmad Siddiq, Hubungan Agama dan Pancasila, Penerbit Yayasan Majalah
Aula, Surabaya, 1992, h., 100.
18
Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, alih bahasa Ng Singarimbun dkk,
Penerbit Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, h. 15.
19
Baca Van der Kroef, Indonesiain modern world, penerbi Van Hove, h., 211.
20
Lihat, Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Penerbit Pustaka Jaya,
Jakarta 1980., h. 31-32, buku ini merupakan rujukan penting bagi para sarjana Indonesia
dalam melakukan studi Islam.
21
Bernard HM Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, W van Hoove Ltd, Den
Haag, 1965, h., 84-85.
22
Clifford Geertz, Abanga,n Santri ,Priyayi, Pustaka Jaya, jakarta 1981, h., 171-172.
23
C Clifford Geertz, Islam Yang Saya amati, Perkembanagn di Maroko dan Indonesia,
YIIS, Jakarta 1982, h. 19.
24
Lihat John Ryan Bartholomew, Kearifan Masyarakat Sasak, Penerbit Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2001, h., 4.
25
Deliar Noer , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1924, LP3ES, jakarta, 1980,
h., 19.
26
Benda, op.cit. h. 40.
27
Simak kembali pemikiran orde baru mengenai pembangunan antara lain dalam
Ali Murtopo, Strategi Pembanunan Nasional, CSIS, Jakarta 1981. h., 59-60
28
Polemik antar para cendekiawan yang terjadi hampir dua tahun itu tertuang
dalam buku Achdiat K Mihardja, Polemik Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1950.
29
Erwin Mahrus dkk, op., cit., h. 3.
30
Lihat Sri Mintosih dkk, Pengkajian Nilai Budaya Naskah Babad Lombok , Jakarta
1999, h., 136-137.

Anda mungkin juga menyukai