Anda di halaman 1dari 12

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Budaya
a. Pengertian Budaya
Budaya berasal dari bahasa Sanskerta budhaya, bentuk jamak
dari budhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Definisi
kebudayaan dari buku Pengantar Antropologi (Koentjaraningrat, 1996)
sebagai berikut:
1) Taylor, dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi
kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan
kesenian. Moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat.
2) Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan adalah seluruh
kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Dari kedua definisi tersebut, Taylor menjelaskan tentang unsur
budaya, sedangkan Koentjaraningrat menjelaskan tentang aspek
budaya. Unsur universal yang pasti didapatkan di semua kebudayaan
di dunia adalah: sistem religi, sistem dan organisasi masyarakat, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, teknologi dan
peralatan (Notoatmodjo, 2005).
Budaya adalah hal-hal yang dipelajari dalam masyarakat tentang
nilai-nilai, kepercayaan, sikap, konsep dan kebiasaan yang membentuk
pikiran dan tingkah laku yang membuat suatu kelompok sosial itu unik
dan berbeda dengan yang lainnya (Basford, 2006). Budaya
7


menggambarkan sifat non-fisik,seperti nilai, keyakinan, sikap atau adat
istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari
satu generasi kegenerasi berikutnya. Banyak keyakinan, pikiran dan
tindakan masyarakat, baik yang disadari maupun yang tidak disadari
ditentukan oleh latar belakang budaya (Potter & Perry, 2006).
Setiap budaya memiliki latar belakang yang berbeda-beda
sehingga variasi budaya yang diturunkan pun berbeda-beda pula
kepada generasi berikutnya. Kebanyakan perilaku ibu selama periode
paskapartum sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya ibu
tersebut. Semua budaya mengembangkan metode pengamanan dan
pencapaian kepuasan sendiri dalam perawatan ibu dan bayi (Bobak,
2004).
Kepercayaan dan praktik budaya menjadi determinan penting
dalam perilaku orang tua. Kedua hal tersebut mempengaruhi interaksi
orangtua dengan bayi. Karena tidak semua orang selalu percaya pada
praktik tradisional ini, sangat penting untuk memastikan praktik
budaya yang masih dianggap penting pada setiap pasangan orangtua
(Bobak, 2004).
Perilaku ibu dalam melakukan perawatan diri dan bayinya
biasanya didasari oleh keyakinan budaya. Hal ini akan membantu
proses pemulihan selama tidak membahayakan ibu dan bayinya. Tetapi
terkadang masih banyak ibu muda yang merupakan generasi pertama
atau generasi kedua dari keluarganya yang mengikuti tradisi budaya
mereka hanya jika ada anggota keluarga yang lebih tua (Bobak, 2004).

b. Aspek Budaya Yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku
Kesehatan
Menurut G. M. Foster (1973) aspek budaya dapat mempengaruhi
kesehatan seseorang antara lain adalah:
1) Pengaruh Tradisi
8


Ada beberapa tradisi di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh
negatif terhadap kesehatan masyarakat. Misalnya di New Guinea,
pernah terjadi wabah penyakit kuru. Penyakit ini menyerang
susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus. Penderitanya
hanya terbatas pada wanita dan anak-anak kecil. Setelah dilakukan
penelitian, ternyata penyakit ini menyebar luas karena adanya
tradisi kanibalisme, yaitu kebiasaan memenggal kepala orang, dan
tubuh serta kepala manusia yang dipenggal tersebut hanya
dibagikan kepada wanita dan anak-anak sehingga kasus epidemi
penyakit kuru ini hanya terbatas di kalangan wanita dan anak-anak
(Notoatmodjo, 2005).

2) Pengaruh Sikap Fatalistis
Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku
kesehatan. Beberapa anggota masyarakat di kalangan kelompok
yang beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan,
dan sakit atau mati itu adalah takdir, sehingga masyarakat kurang
berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi
anaknya yang sakit, atau menyelamatkan seseorang dari kematian.
Sebagai contoh dari penelitian Proyek ASUH (Awal Sehat Untuk
Hidup Sehat) di Kabupaten Cianjur, ditemukan bahwa di kalangan
ibu-ibu yang beragama Islam percaya bahwa bayi yang mati akan
menarik ibunya ke surga sehingga ibu-ibu pasrah dan tidak ,
mendorong mereka untuk segera mencari pertolongan pengobatan
bagi bayinya yang sakit. Hal tersebut ditemukan juga oleh penulis
di kalangan masyarakat yang beragama islam di Kalimantan
Selatan (Notoatmodjo, 2005).

3) Pengaruh Sikap Ethnocentris
Sikap enthocentris adalah sikap yang memandang kebudayaannya
sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan
pihak lain. Misalnya, orang-orang Barat merasa bangga terhadap
9


kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya dan selalu
beranggapan bahwa kebudayaannya yang paling maju sehingga
merasa superior terhadap budaya dari masyarakat yang sedang
berkembang (Notoatmodjo, 2005).

4) Pengaruh Perasaan Bangga
Suatu perasaan bangga terhadap budayanya berlaku pada semua
orang. Hal tersebut berkaitan dengan sikap ethnocentris. Sebagai
contoh, Merle S. Farland menyampaikan pengalaman kerjanya di
Taiwan dalam program kesehatan ibu dan anak. Di Taiwan,
extended family atau keluarga luas masih berpengaruh kuat
terhadap perilaku anggota keluarganya. Ia menemukan kasus
seorang ibu muda dicegah oleh wanita dari generasi yang lebih tua
untuk memeriksakan kehamilannya kepada bidan meskipun ibu
muda tersebut sudah termotivasi untuk menggunakan pelayanan
bidan (Notoatmodjo, 2005).

5) Pengaruh Norma
Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya, norma yang
berlaku di masyarakat sangat mempengaruhi perilaku kesehatan
dari anggota masyarakat yang mendukung norma tersebut. Sebagai
contoh, upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi
banyak mengalami hambatan karena adanya norma yang melarang
hubungan antara dokter sebagai pemberi pelayanan dengan ibu
hamil sebagai pengguna pelayanan.

6) Pengaruh Nilai
Nilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap
perilaku kesehatan. Nilai-nilai tersebut ada yang menunjang dan
ada yang merugikan kesehatan. Beberapa nilai yang merugikan
kesehatan misalnya ada penilaian yang tinggi terhadap beras putih
meskipun masyarakat mengetahui bahwa beras merah lebih banyak
10


mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras putih.
Masyarakat lebih memberikan nilai yang tinggi bagi beras putih,
karena mereka menilai beras putih lebih enak dan lebih bersih
(Notoatmodjo, 2005).

7) Pengaruh Unsur Budaya Yang Dipelajari Pada Tingkat Awal Dari
Proses Sosialisasi
Pada tingkat awal proses sosialisasi, seorang anak diajarkan antara
lain bagaimana cara makan, bahan makanan apa yang dimakan,
cara buang air kecil dan besar, dan lain-lain. Kebiasaan tersebut
terus dilakukan sampai anak tersebut dewasa, dan bahkan menjadi
tua. Kebiasaan tersebut sangat mempengaruhi perilaku kesehatan
dan sulit untuk diubah. Misalnya saja, manusia yang biasa makan
nasi sejak kecil akan sulit untuk diubah kebiasaan makannya
setelah dewasa. Oleh karena itu, upaya untuk menganjurkan
kepada masyarakat untuk makan makanan yang beranekaragam
harus dimulai sejak kecil (Notoatmodjo, 2005).

8) Pengaruh Konsekuensi Dari Inovasi
Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi, atau dengan
perkataan lain, suatu perubahan akan menghasilkan perubahan
yang kedua dan perubahan yang ketiga. Apabila seorang pendidik
kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan
masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa
yang akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-
faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha
untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan tersebut. Apabila ia tahu budaya masyarakat setempat
dan apabila ia tahu tentang proses perubahan kebudayaan, maka ia
harus dapat mengantisipasi reaksi yang akan muncul yang
mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan
(Notoatmodjo, 2005).
11



2. Keterampilan
a. Definisi Keterampilan
Terampil menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (2005) adalah
cakap dalam menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan, sedangkan
keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas (KBBI,
2005).



b. Jenis Keterampilan
Steele dan Pollack (1968) menyatakan bahwa menjadi orang tua
merupakan satu proses yang terdiri dari dua komponen. Komponen
pertama, bersifat praktis dan mekanis, melibatkan keterampilan
kognitif dan motorik. Komponen kedua bersifat emosional, melibatkan
keterampilan afektif dan kognitif. Kedua komponen ini penting untuk
perkembangan dan keberadaan bayi.
1) Keterampilan Kognitif-Motorik
Komponen pertama dalam proses menjadi orangtua
melibatkan aktivitas perawatan anak, seperti memberi makan,
menggendong, mengenakan pakaian, dan membersihkan bayi,
menjaganya dari bahaya, dan memungkinkannya untuk bisa
bergerak. Aktivitas yang berorientasi pada tugas ini atau
keterampilan kognitif-motorik tidak terlihat secara otomatis pada
saat bayi lahir. Kemampuan orangtua dalam hal ini dipengaruhi
oleh pengalaman pribadinya dan budayanya. Banyak orangtua
harus belajar untuk melakukan tugas ini dan proses belajar ini
mungkin sukar bagi mereka. Akan tetapi, hampir semua orangtua
yang memiliki keinginan untuk belajar dan dibantu dukungan
orang lain menjadi terbiasa dengan aktivitas merawat anak (Bobak,
2004). Proses pembelajaran ini merupakan salah satu proses
kognitif untuk membentuk pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
12




2) Keterampilan Kognitif-Afektif
Komponen psikologis dalam menjadi orangtua, sifat keibuan atau
kebapakan tampaknya berakar dari pengalaman orangtua di masa
kecil saat mengalami dan menerima kasih sayang dari ibunya.
Dalam hal ini orangtua bisa dikatakan mewarisi kemampuan untuk
menunjukan perhatian dan kelembutan serta menyalurkan
kemampuan ini ke generasi berikutnya dengan meniru hubungan
orangtuaanak yang pernah dialaminya. Keterampilan kognitif-
afektif menjadi orangtua ini meliputi sikap yang lembut, waspada,
dan member perhatian terhadap kebutuhan dan keinginan anak
(Bobak, 2004).

3. Masa Nifas
a. Pengertian Masa Nifas
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali
organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih
dari enam minggu (Saleha, 2009). Masa nifas atau puerpurium dimulai
sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42
hari) setelah itu (Prawirohardjo, 2010).
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun
dianggap normal, dimana proses-proses pada kehamilan berjalan
terbalik. Banyak faktor termasuk tingkat energi, tingkat kenyamanan,
kesehatan bayi baru lahir, dan perawatan serta dorongan semangat
yang diberikan tenaga kesehatan professional ikut membentuk respons
ibu terhadap bayinya selama masa ini (Bobak, 2004).

b. Tujuan Asuhan Masa Nifas
Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan untuk:
1) Meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi
2) Pencegahan, diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu
13


3) Merujuk ibu keasuhan tenaga ahli bilamana perlu
4) Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta memungkinkan
ibu untuk mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga
dan budaya yang khusus
5) Imunisasi ibu terhadap tetanus
6) Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian
makan anak, serta peningkatan pengembangan hubungan yang
baikantara ibu dan anak (Sulistyawati, 2009)

c. Tahapan Masa Nifas
1) Puerpurium dini: masa kepulihan, yakni saat-saat ibu dibolehkan
berdiri dan berjalan-jalan
2) Puerpurium intermedial: masa kepulihan menyeluruh dari organ-
organ genital, kira-kira antara 6-8 minggu
3) Remote puerpurium: waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi (Sulistyawati, 2009)
4. Perawatan Tali Pusat
a. Pengertian Perawatan Tali Pusat
Perawatan tali pusat merupakan tindakan keperawatan yang
bertujuan merawat tali pusat pada bayi baru lahir agar tetap kering dan
mencegah terjadinya infeksi (Alimul Hidayat, 2008). Tujuan
perawatan tali pusat adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
tetanus pada bayi baru lahir, penyakit ini disebabkan karena masuknya
spora kuman tetanus kedalam tubuh bayi melalui tali pusat, baik dari
alat yang tidak steril, pemakaian obatobatan, bubuk atau daun
daunan yang ditaburkan ke tali pusat sehingga dapat mengakibatkan
infeksi (Depkes RI, 2005).

b. Cara Perawatan Tali Pusat
Selama belum lepas, tali pusat harus dirawat dengan baik. Jika
tidak, maka tali pusat akan mengalami infeksi, basah, bernanah, dan
14


berbau. Keadaan ini jelas berbahaya bagi bayi. Maka dari itu perlu cara
perawatan tali pusat yang baik (Irawan, 2011).
Pilihan perawatan tali pusat meliputi triple dye, alkohol
isopropyl, larutan povidon-iodin, salep antimikroba, atau tanpa
intervensi sama sekali (Haws, 2007).
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan tali pusat.
2) Jangan membungkus puntung tali pusat atau mengoleskan cairan
atau bahan apapun ke puntung tali pusat.
3) Mengoleskan alkohol atau povidon yodium masih diperkenankan
apabila terdapat tanda infeksi, tetapi tidak dikompreskan karena
menyebabkan tali pusat basah atau lembab.
4) Lipat popok di bawah puntung tali pusat.
5) Luka tali pusat harus dijaga tetap kering dan bersih, sampai sisa tali
pusat mengering dan terlepas sendiri.
6) Jika puntung tali pusat kotor, bersihkan (hati-hati) dengan air DTT
dan sabun dan segera keringkan secara seksama dengan
menggunakan kain bersih.
7) Perhatikan tanda-tanda infeksi tali pusat: kemerahan pada kulit
sekitar tali pusat, tampak nanah atau berbau. Jika terdapat tanda
infeksi, segeralah membawa bayinya ke fasilitas kesehatan.
(Kemenkes RI, 2010)
Mungkin akan keluar beberapa tetes darah atau lendir saat tali
pusat terlepas. Ini normal-normal saja. Namun, jika ternyata masih
keluar banyak darah atau muncul nanah, segera minta bantuan medis
(Saleha, 2009). Bila tali pusat yang sudah kering bau busuk itu
merupakan tanda infeksi, dan diperlukan larutan antibiotik. Jika kulit
disekitar tali pusat yang kering terlihat normal dan tidak memerah,
tidak perlu perhatian khusus. Infeksi yang memerlukan penanganan
dokter adalah bila berwarna merah, panas, bengkak, dan ada area
lembut disekitar dasar tali pusat seukuran uang logam seratus rupiah
(Sears, 2003).
15



c. Mekanisme Lepasnya Tali Pusat
Ketika neonatus pertama kali tiba di ruang perawatan, sekitar 5
cm tali pusat biasanya masih terdapat pada abdomen dengan beberapa
tipe penjepitan. Setelah beberapa hari tali pusat mengkerut dan
menghitam. Kemudian setelah beberapa hari atau minggu tali pusat
akan lepas dengan sendirinya, meninggalkan area kecil yang
bergranulasi, dan biasanya menghilang. Jaringan parut yang kecil dan
kontraktur disebut umbilikalis (Sodikin, 2009).
Lepasnya tali pusat selain dipengaruhi oleh perawatan tali pusat
dengan menjaga agar tali pusat tetap kering dan bersih juga
dipengaruhi kepatuhan ibu untuk membersihkan tali pusat setiap hari.
Kebersihan saat merawat tali pusat dan frekuensi mengganti popok
setiap kali popok kotor dan basah (Wawan, 2009).
Tali pusat merupakan tempat potensial terjadinya infeksi,
tempat ideal terjadinya kolonisasi dan replikasi organism.
Staphylococcus aureus biasanya berkoloni di tali pusat. Penelitian
terbaru menunjukan bahwa pembersihan tali pusat dengan zat
berbahan dasar spiritus dan bedak akan memperlambat pelepasan tali
pusat dan dan dapat meningkatkan resiko infeksi melalui penundaan
kolonisasi alami (Johnson dan Taylor, 2004).
Lepasnya tali pusat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1) Timbulnya infeksi pada tali pusat yang disebabkan tindakan atau
perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya
pemotongan tali pusat dengan bambu/gunting yang tidak steril,
atau setelah dipotong tali pusat dibubuhi abu, tanah, minyak daun-
daunan, kopi dan sebagainya
2) Cara perawatan tali pusat dengan pembersihan menggunakan air
dan sabun cenderung lebih cepat puput (lepas) daripada tali pusat
yang dibersihkan dengan alkohol
16


3) Tali pusat juga tidak boleh ditutup rapat dengan apapun, karena
akan membuatnya menjadi lembab. Selain memperlambat
puputnya tali pusat, juga menimbulkan resiko infeksi
4) Kondisi sanitasi lingkungan sekitar yang bisa menimbulkan tetanus
melalui luka tali pusat karena tindakan atau perawatan yang tidak
memenuhi syarat kebersihan (Irawan, 2011).

B. Landasan Teori
Dari tinjauan teori, dapat diketahui bahwa budaya adalah hal-hal yang
dipelajari dalam masyarakat tentang nilai-nilai, kepercayaan, sikap, konsep
dan kebiasaan yang membentuk pikiran dan tingkah laku yang membuat suatu
kelompok sosial itu unik dan berbeda dengan yang lainnya (Basford, 2006).
Kepercayaan dan praktik budaya menjadi determinan penting dalam perilaku
orang tua. Kedua hal tersebut mempengaruhi interaksi orangtua dengan bayi
(Bobak, 2004).
Keterampilan ibu dalam melakukan aktivitas perawatan bayi, termasuk
perawatan tali pusat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, motivasi, dan
budayanya. Oleh karena itu, budaya ibu berpengaruh terhadap keterampilan
ibu dalam merawat tali pusat.

C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan
maka kerangka konsep dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen



Gambar 2.1
Kerangka Konsep


Perawatan Tali Pusat Oleh Ibu
Budaya Dalam
Perawatan Tali Pusat
17


D. Hipotesa Penelitian
Ha : Ada hubungan antara budaya dengan perawatan tali pusat oleh ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakuwon Kabupaten Garut.

Anda mungkin juga menyukai