Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan Makroekonomi Indonesia

Dalam mendukung keberlangsungan ekonomi makro, maka diperlukan kebijakan-


kebijakan yang tepat pula baik dalam fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal secara garis
besar membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya
dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dan kebijakan
moneter yang menitikberatkan pada proses mengatur persediaan uang sebuah negara
untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, dan mendorong usaha
pembangunan nasional. Dua kebijakan tersebut harus berjalan beriringan.
Melihat perkembangan perekonomian Indonesia saat ini, kebijakan fiskal maupun
moneter sudah cukup berimbang. Selama ini pemerintah sudah cukup giat dalam kebijakan
moneternya. Pascakrisis moneter, Indonesia sedang memperbaiki kebijakan-kebijakan
moneternya, salah satu cara adalah dengan independensi Bank Indonesia dalam mengatur
moneter. Dalam perjalanannya, Bank Indonesia (BI) menerapkan system Inflation Targeting
Framework (ITF) yang sukses diterapkan di berbagai Negara seperti Inggris, Kanada,
Sweedia, Australia, bahkan di Negara berkembang seperti Chili, Brazil, Korea, dsb.
ITF sendiri ditetapkan sejak bulan Juli 2005 lalu dan menuai hasil yang
menggembirakan bagi perekonomian makro. Lewat adanya ITF Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi yg rendah dan stabil sebagai
sasaran utama karena inflasi merupakan satu-satunya variabel makroekonomi yang dapat
dipengaruhi kebijakan moneter. Dengan tetap menjaga inflasi yang rendah dan stabil,
pemerintah percaya hal ini dapat menyebabkan terlaksananya kebijakan makro ekonomi
yang lain. Terbukti sampai sekarang tingkat inflasi masih berada di kisaran 4,5%.
Kebijakan moneter lain yang menunjang perkembangan makro ekonomi Indonesia
antara lain yaitu kebijakan suku bunga yang diaragkan agar pergerakan inflasi tetap berada
pada sasaran yang ditetapkan. Diantaranya BI menurunkan BI Rate 25 bps pada tahun
2012 sebagai stimulan ekonomi Indonesia ditengah lemahnya ekonomi global serta
mempertahamkam BI Rate pada tingkat 5,75% dan menguatkan operasi moneter untuk
mengendalikan akses likuiditas jangka pendek untuk mengantisipasi dampak peningkatan
inflasi jangka endek.
Selain suku bunga, kebijakan moneter yang dilakukan adalah kebijakan nilai tukar
agar stabilitas nilai tukar tetap terjaga. Bank Indonesia terus memantau perkembangan nilai
tukar rupiah yang ada dan melakukan interensi di pasar valas. Di sisi penguatan pasokan
valuta asing, BI mengeluarkan ketentuan terkait penerimaan Devisa Hasil Ekspor ((DHE)
dimana eksportir waji menerima seluruh DHE melalui bank devisa di dalam negeri. Selain
itu, BI juga mengadakan lelang Term Deposit (TD) Valas untuk memperkaya instrument
valas domestik dan menjadi outlet penempatan devisa. Sementara untuk stabilitas
keuangan dan pendukung keseimbangan eksternal, BI menerapkan kebijakan
makroprudensial melalu pengaturan besaran rasio loan-to-value (LTV) dan down
payment (DP) mengingat peningkatan tajam di kredit pebankan khususnya perumahan dan
otomotif. Kebijakan moneter terus ditata dan diperketat lagi, disisi makroprudensial sudah
ada BI yang mengatasi dan baru-baru ini pemisahan untuk urusan mikroprudensial dan
lembaga keuangan dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Lantas bagaimana dengan kebijakan fiskal Indonesia? Peranan atau fungsi
pemerintah di bidang fiskal adalah untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan
pendapatan, dan mengalokasikan sumber daya manusia. Khusus untuk fungsi stabilisasi
dan pemerataan, akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan fungsi
alokasi akan lebih efektif dilakukan pemerintah daerah (Kuncoro, 2004:187). Oleh karena
itu, kebijakan fiskal ini dilakukan sinergis baik pemerintah pusat maupun daerah.
Pemerintah melakukan upaya desentralisasi fiskal dalam rangka mensinergiskan
kebijakan fiskal pusat dengan daerah sehingga daerah juga bisa mengelola keuangannya.
Hal ini didukung dengan peran pemerintah dalam melakukan perimbangan keuangan
dengan cara transfer/hibah ke daerah dan didukung dengan
penyerahan sebagiankewenangan perpajakan kepada daerah.Untuk saat ini transfer
pendanaan daerah lebih mendominasi karena perpajakan daerah sendiri masih sangat
terbatas. Sampai saat ini pemerintah masih berusaha mengefektifkan desentralisasi fiskal.
Sementara bila kita berbicara fiskal, maka tidak bisa lepas dari Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Dalam RAPBN 2013, pemerintah
Indonesia mentargetkan pendapatan negara akan mencapai Rp1.507,07 triliun atau
meningkat 12,6% dari APBN-P 2012. Sementara itu, belanja 2013 juga diperkirakan akan
meningkat 8,7% menjadi Rp1.657,09 triliun. Peningkatan sumber pendapatan dan
pengeluaran negara tersebut menyebabkan defisit anggaran sebesar Rp153,34 triliun atau -
1,65% dari PDB dibandingkan dengan -2,23% dari PDB pada APBN-P 2012. Dari data yang
ada, anggaran belanja terbesar terletak pada anggaran belanja pusat di pusat dan setelah
itu disusul transfer ke daerah.
Untuk itu, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas pengeluaran Negara agar
berimbang. Hal pertama yang akan dilakukan adalah meningkatkan belanja modal untuk
terealisasinya pembangunan infrastruktur nasional dan konektivitas antardaerah serta
peningkatan ketahanan energi dan pangan. Akhir-akhir ini di tingkat mahasiswa sendiri
sudah sering membahas tentang rencana pemerintah dalam ketahanan energi dan pangan
yang sementara ini masih digodok dan belum tahu kapan ketahanan tersebut benar-benar
matang. Pemerintah menilai, selama ini kinerjanya dalam kebijakan fiskal terkait
pembangunan infrastruktur sudah cukup maksimal, sebagian besar belanja modal
digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yaitu sebesar Rp 216,1 triliun pada
tahun 2013. Anggaran ini meningkat 28,1% dari tahun 2012. Peningkatan anggaran
infrastruktur ini untuk pembangunan sektor riil seperti listrik, jalan raya, tol, dermaga dan
lain-lain.
Kedua, penurunan anggaran subsidi khususnya subsidi listrik untuk mengurangi
beban subsidi listrik. Rencananya pemerintah akan meningkatkan tarif listrik secara
bertahap setiap kuartal dan akan memprioritaskan perhatian pada masyarakat kalangan
menengah ke bawah. Subsidi juga akan dikurangi karena pemerintah berargumen distribusi
subsidi selama ini tidak merata dan salah sasaran. Penurunan subsidi yang akan dipotong
yaitu subsidi energi. Subsidi energi nantinya akan dialokasikan untuk bidang lain seperti
pendidikan dan kesehatan. Memanganggaran yang paling mendapat sorotan publik adalah
anggaran untuk subsidi energi.
Dalam RAPBN 2013, anggaran subsidi energi masih menjadi pengeluaran terbesar,
mencapai porsi 27,8 % dari total anggaran. Porsi terbesar kedua dalam komposisi belanja
pemerintah pusat adalah belanja pegawai (sebesar 21,2%). Kemudian disusul oleh belanja
modal (17%), belanja barang (14%), pembayaran bunga utang (9,9%), belanja sosial (5,2%)
dan belanja lain-lain (4,2%).
Dari segi pajak, pemerintah Indonesia mentargetkan pendapatan pajak sebesar
Rp1.193 triliun pada 2013 atau kenaikan sebesar 17,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Tujuan dari pemilihan instrumen fiskal pajak adalah untuk meningkatkan pendapatan yang
cukup sekaligus meminimalisasi distorsi dan menjaga sistem pajak yang mudah untuk
dilaksanakan.
Selain itu, jika berbicara lebih panjang tentang kebijakan fiskal, prestasi fiskal
Indonesia cukup baik mengingat pertumbuhan ekonomi cnderung positif. Indonesia
mendapat predikat sebagai Negara layak investasi (investment grade) dan membuktikan
pemerintah Indonesia cukup berhasil dalam menerapkan kebijakan fiskalnya. Rasio utang
terhadap PDB Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini terus menurun, dari 57% pada
2004 menjadi 24% pada akhir 2011 didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang semakin
kuat dan pengelolaan fiskal yang baik. Posisi fiskal Indonesia secara umum dinilai masih
sehat. Dimana, angka realisasi sementara defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2012 adalah Rp146 triliun. Artinya angka ini masih 1,8% dari PDB.

Anda mungkin juga menyukai