Anda di halaman 1dari 20

Seperti namanya, Pajak Tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan alias

DITUNDA. Bagaimana perlakuan akuntansinya? Bagaimana cara menghitungnya?


Bagaimana cara menjurnalnya? Sesuai request adminnya JAK, kali ini saya akan
membahas mengenai cara menghitung dan menjurnal pajak tangguhan (aset
maupun kewajiban).
Karena materinya lumayan banyak dan cakupannya cukup luas, tulisan dibagi
menjadi dua bagian. Ini adalah pajak tangguhan bagian pertama yang diharapkan
bisa menjadi awal pengenalan sekaligus pemahaman konsep dasar pajak
tangguhan yang nantinya bisa dikembangkan ke hal yang lebih kompleks.
Tidak sesederhana mengartikan kata-per-kata secara harfiah, menghitung dan
menjurnal pajak tangguhan masih menjadi sumber kebingungan bagi sebagian orang
bahkan yang sudah berpengalaman kerja bertahun-tahun sekalipun, termasuk saya
(penulis) tentunya.
Sebelum menuliskan ini, saya sudah membaca berbagai publikasi online terkait dengan
pajak tangguhansebagai pembanding. Saya sudah pernah menulis topik yang sama
dalam bahasa Inggris, untuk konsumsi komunitasinternasional. Karena ini untuk kawan-
kawan di JAK dan menyangkut pajak, saya pikir pembahasan harus sesuai dengan
standard dan dasar hukum yang sesuai dengan wilayah yurisdiksi Indonesia. Untuk itu,
secara khusus saya mencari artikel dan jurnal-jurnal mengenai pajak tangguhan yang
berbahasa Indonesia. Hasilnya?
Sungguh mengagetkan: ternyata topik ini sudah banyak dibahas dari blog-blog sampai
ke website universitas. Penulisnyapun bermacam-macam, mulai dari yang memang
memiliki latarbelakang akuntansi sampai dengan yang mencantumkan identitas sebagai
internet marketer. Internet marketer membahas akuntansi? Hmm well, what a life..
hehe..
Sayangnya saya tidak menemukan artikel seperti yang saya harapkan. Dari puluhan
artikel yang sempat saya telusuri, ada yang isinya hanya 2 paragrafyang biasa
dialakukan oleh para blogger untuk sekedar memperkuat keyword density, ada yang
lumayan bagus tetapi tidak cukup detail (tanpa disertai contoh kasus), dan yang paling
banyak saya temukan adalah copy+paste isi PSAK.
Kalau PSAK, ya saya tergolong rajin membaca isi PSAK, meskipun setiap kali
membacanya, migraine saya selalu kambuh. Apakah karena bahasanya yang sulit
dipahami? Susunannya yg meloncat-loncat dari satu PSAK ke PSAK yang lain? Atau
karena otak saya yang tidak cukup encer untuk mencerna bahasa ilmiah dan bahasa
hukum? Ah entahlah.
Al hasil, saya gagal menemukan pembanding. Tetapi ya sudahlah. Saya paling malas
kalau harus menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Daripada berkutat pada
kepusingan, lebih baik saya tuliskan menurut versi saya sendiri saja. Bagi pembaca
yang ingin strict mengikuti kata-per-kata isi PSAK (terutama untuk keperluan karya
ilmiah atau tugas kampus), silahkan baca PSAK. Jika belum punya, bisa googling
dengan memasukan kata kunci PSAK 46, banyak koqbaik yang asli di IAI atau yang
sudah dicopy paste ke blog-blog.
Langsung ke topik utama saya mulai dengan konsep dasar pajak
tangguhan. Apa sih itu pajak tangguhan yang sesungguhnya? Mengapa ada
pajak tangguhanbagaimana bisa terjadi? Baru kemudian perlakuan
akuntansinyasudah pasti disertai contoh kasus dan penjurnalannya.

Konsep Dasar Pajak Tangguhan (Deferred Tax)
Seperti sudah saya singgung di preface tulisan ini, pajak tangguhan ya pajak yang
ditangguhkan. Gitu aja koq repot hehehe, kata kawan saya Bobsuper adminnya
JAK dengan bahas jawa medoknya. (Sudah kenal belum? Jika belum silahkan sapa
dia, he is warm and nice.)
Well, saya pribadi seide dengan dia, kalau bisa dibuat mudah kenapa dipersulit. Tetapi
definisi itu saja kan ya tidak cukuptidak berbau akuntansi, anak SD juga bisa.. iya
tidak? Hahaha.. (Sorry Mas Bob just kidding.)
Okelah, pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, lalu APA-nya yang
ditangguhkan? Ya pengakuannya. Sehingga definisi singkatnya Mas Bob di atas
menjadi:
Pajak tangguhan adalah pajak yang pengakuannya ditangguhkan.
Dari definisi sederhana di atas, timbul pertanyaan selanjutnya:pengakuan pajak
yang mana yang ditangguhkan? Pajak itu jenisnya kan macam-macam. Iya tidak?
Pajak yang ditangguhkan HANYA Pajak Penghasilan (PPh)baik penghasilan atas
operasional di dalam maupun di luar negeri.
Pertanyaan berikutnya: Mengapa ditangguhkan?
Jawabannya agak panjang. Perlu kesabaran untuk bisa memahami konsep yang satu
ini. Jika tidak, maka untuk seterusnya tidak akan pernah bisa memahaminya. Saya
akan berusaha agar waktu yang anda pergunakan untuk membaca, tidak tersia-sia.
[quote]Pada dasarnya, pengakuan pajak tangguhan dalam laporan keuangan di
maksudkan untuk mengantisipasi konsekwensi kewajiban pajak penghasilan (utang
PPh) baik di masa kini maupun di masa-masa yang akan datang.[/quote]
Konsekwensi apa (seperti apa)?
Konsekwensi akibat PERBEDAAN PENGAKUAN Laba Kena Pajak (baca:laba fiskal)
DENGAN Laba Akuntansialias laba sebelum pajak (baca: laba komersia).
Seperti diketahui, laporan keuangan fiskal disusun dengan menggunakan undang-
undang Pajak yang ditentukan oleh pemerintah bersama-sama DPRyang nota
benanya dibuat untuk kepentingan negara berdasarkan pendekatan politis. Sementara
itu, laporan keuangan komersial disusun dengan menggunakan prinsip-prinsip
akuntansi berterima umum (PSAK untuk di Indonsia)yang nota benanya dibuat untuk
kepentingan para pelaku usaha dan stake holders (manajemen, investor, kreditur dan
pemerintah) dengan menggunakan pendekatan bisnis.
Perbedaan kepentingan antara pajak dengan akuntansi kemudian menimbulkan
perbedaan cara memandang suatu transaksi keuanganbaik dalam menentukan
waktu pengakuan maupun besarnya nilai yang diakui.
Perbedaan perlakuan terhadap pendapatan dan biaya (baik itu saat pengakuan
maupun nilai-nya), sudah pasti akan menimbulkan perbedaan nilai antara Laba
Sebelum Pajak dengan Laba Kena Pajak (dasar pengenaan pajak penghasilan)
dalam Laporan Laba-Rugi, yang pada akhirnya juga mengakibatkan perbedaan pada
pengakuan Utang Pajak Penghasilan di Neraca.
Misalnya:
Kasus-1. PT. JAK adalah perusahaan kontraktor. Untuk laporan komersial, JAK
menggunakan metode persentase penyelesaian (percentage-of-completion method)
dimana pendapatan diakui berdasarkan persentase tingkat penyelesaian proyek, dan
untuk tahun 2012 JAK menerima pembayaran sebesar Rp 100,000,000 dari total
kontrak senilai 200,000,000 yang rencananya akan rampung di 2013. Sedangkan untuk
laporan fiskal, JAK menggunakan metode penyelesaian kontrak (completed-contract
method) dimana pendapatan baru akan diakui sekaligus ketika seluruh pembayaran
diterima (saat proyek rampung di 2013.) Akibatnya, di 2012 terjadi perbedaan
pengakuan pendapatan. Perbedaan pengakuan pendapatan ini mengakibatkan
perbedaan pengakuan Laba Kena Pajak yang otomatis juga akan mengakibatkan
perbedaan pengakuan Kewajiban Pajak Penghasilan (Utang PPh) baik di masa kini
maupun yang akan datang.
Kasus-2. PT. JAK adalah perusahaan retail. Dalam Neraca komersial tahun 2012,
PT. JAK mengakui adanya utang penukaran point belanja yang belum dibayar sebesar
Rp 25,000,000 yang kemungkinan akan diklaim oleh pelanggan di 2013. Di sisi lainnya,
PT. JAK juga mengakui Harga Pokok Penjualan handuk (sebagai penukar point)
sebesar yang sama dalam Laporan Laba-Rugi. Sedangkan dalam Laporan Laba-Rugi
fiskal, Harga Pokok Penjualan (HPP) handuk yang belum sungguh-sungguh terjadi
tidak boleh diakui di 2012 (sesuai ketentuan pajak). Akibatnya, terjadi perbedaan
pengakuan HPP antara laporan laba-rugi komersial dengan fiskal. Perbedaan
pengakuan HPP tersebut mengakibatkan laba kena pajak (laba fiskal) dan laba
sebelum pajak (laba komersial) juga berbeda, yang pada akhirnya akan membuat
Kewajiban Pajak Penghasilan (utang PPh) juga menjadi berbeda.
Kasus-3. PT. JAK adalah perusahaan manufaktur. Selama periode 2012, PT. JAK
mengeluarkan uang makan untuk beberapa orang pegawai sebesar Rp 2,000,000. Di
laporan komersial, semua jenis pengeluaran diakui sebagai beban (atau biaya)
termasuk uang makan tersebutyang akan mengurangi Laba Kena Pajak.
Sedangkan menurut aturan perpajakan, uang makan tersebut tidak boleh diakui
sebagai biaya. Sehingga, besanya laba kena pajak antara laporan fiskal dengan
komersial akan berbeda.
Perhatikan kembali contoh kasus pertama di atas. Menurut laporan fiskal 2012
pendapatan JAK nol sehingga TIDAK ADA Laba Kena Pajak (laba fiskal), otomatis
juga tidak ada utang pajak penghasilan)karena pendapatan baru akan diakui
sekaligus di 2013 sebesar Rp 200,000,000, sehingga laba kena pajak dan utang pajak
penghasilan akan terjadi sekaligus di 2013. Sedangkan menurut laporan komersial
untuk 2012 adalah Rp 100,000,000, sehingga ADA Laba Kena Pajak (laba komersial)
dan Utang Pajak Penghasilansisanya yang Rp 100,000,000 akan diakui di 2013.
Total pengakuan pendapatan, laba kena pajak dan utang pajak, sejak 2012 hingga
2013, akan sama. Perbedaan hanya terjadi pada waktu pengakuan-nya, oleh
sebab itu perbedaan yang seperti ini diistilahkan dengan beda waktu (timing
difference). Dengan kata lain: perbedaan yang terjadi di 2012 hanya bersifat
sementarapada titik tertentu nanti akan menjadi sama, itu sebabnya belakangan ini
istilah beda waktu (timing difference) sudah jarang dipakai, digantikan dengan istilah
beda sementara (temporary difference.)
Demikian juga dengan contoh kedua, yang terjadi hanya beda sementara (temporary
difference). Di tahun 2012 pengakuan HPP laporan fiskal lebih besar dibandingkan
laporan komersial, akan tetapi di 2013 yang terjadi adalah sebaliknyalaporan
komersial akan mengakui HPP lebih besar dibandingkan laporan fiskal. Sehingga, saat
semua point diklaim oleh pelanggan, total HPP antara laporan fiskal dan komersial akan
sama, total laba fiskal dan laba komersial sama, dan total utang PPh juga sama.
Contoh kasus yang ketiga tidak sama dengan dua contoh sebelumnya. Pada
kasus ini, perbedaan yang terjadi bersifat tetap. Dari aspek pajak, pengeluaran untuk
uang makan beberapa orang pegawai TIDAK AKAN PERNAH BISA diakui sebagai
bebanartinya juga tidak akan pernah bisa dijadikan faktor pengurang laba kena pajak
dan tidak akan pernah mengurangi utang pajak di masa-masa yang akan datang.
Sedangkan dari prinsip akuntansi, pengeluaran yang sama akan tetap diakui sebagai
beban. Dengan kata lain, utang pajak antara yang di laporan fiskal dengan komersial
tidak akan pernah sama. Perbedaan yang seperti ini disitilahkan dengan Beda Tetap
(Permanent Different.)
Lalu, apa hubungannya dengan pajak tangguhan? Mungkin ada yang berpikir
seperti itu.
Ya jelas ada hubungannya. Jika tidak, untuk apa saya capek-capek menuliskannya
sampai panjang lebar. Justru yang di atas itulah kunci pemahaman dari konsep pajak
tangguhan. Tanpa pemahaman yang cukup mengenai temporary dan permanent
different, mustahil bisa memahami konsep pajak tangguhan. Kalau perlu, baca
berulang-ulang hingga benar-benar paham maksudnya. Itu kalau benar-benar ingin
menguasai permasalahan pajak tangguhan. Jika tidak, buat apa buang-buang waktu.
Iya kan?
Jika sudah paham, kita masuk ke pajak tangguhan. Lanjut.

Jenis-Jenis Pajak Tangguhan dan Penyebabnya
Seperti sudah disampaikan diatas: definisi menurut saya (tidak usah dijadikan
referensi), sederhananya, pajak tangguhan adalah pengakuan pajak yang
ditangguhkan.
Mengapa ditangguhkan? Ada 2 faktor penyebab yang mengakibatkan timbulnya
pengakuan pajak tangguhan, yaitu:
Penyebab-1. Karena adanya pengakuan Laba Kena Pajak (laba fiskal) yang
UNTUK SEMENTARA lebih kecil dibandingkan Laba Sebelum Pajak (laba
komersial) di masa kinisudah pasti akan mengakibatkan timbulnya Utang Pajak
penghasilan di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai Kewajiban Pajak
Tangguhan (Deferred Tax Liabilitybiasa disingkat dengan DTL.)
Contoh Kasus Pengakuan Kewajiban Pajak Tangguhan:
Melanjutkan contoh kasus pertama di atas. Perbedaan metode pengakuan pendapatan
PT. JAK antara laporan fiskal dan komersial menyebabkan terjadinya perbedaan
pengakuan pendapatan, di 2012. Perbandingan laporan fiskal dan komersial PT. JAK
untuk 2012 dan 2013 akan nampak sebagai berikut:


Dari perbandingan laporan fiskal dan komersial di atas jelas terlihat bahwa, perbedaan
pengakuan pendapatan di 2012 mengakibatkan terjadinya perbedaan laba kena pajak
sebesar Rp 50,000,000. Perbedaan laba fiskal dan komersial tersebut akan
mengakibatkan peningkatan Utang PPh di 2013 nanti sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 50,000,000 = Rp 15,000,000.
Peningkatan Utang PPh inilah yang diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan
(Deferred Tax Liability) di tahun 2012. Bagaimana caranya JAK menjurnal pengakuan
kewajiban pajak tangguhan?
Mungkin anda sudah tahu bahwa pengakuan jurnal pengakuan Biaya dan Utang PPh
biasanya, sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 15,000,000
Tetapi karena laporan fiskal mengakui utang PPh nihildan sebagai gantinya PT.
JAK mengakui adanya kewajiban pajak tangguhan, maka jurnalnya menjadi sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = 0
[Kredit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
(Catatan: Untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan)
Dengan dimasukannya jurnal ini, maka di Laporan Laba-Rugi komersial PT JAK akan
menunjukan biaya PPh sebesar Rp 15,000,000 di satu sisinya, dan di Neraca akan
menunjukan Utang PPh = 0 dan Kewajiban Pajak Tangguhan sebesar Rp 15,000,000,
di sisi lainnya.
Saat proyek rampung di tahun 2013 nanti, jurnal yang dimasukan oleh PT. JAK di
penutupan buku adalah sebagai berikut:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000 (pengkuan biaya untuk 2013 saja)
[Debit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 30,000,000
(Catatan: Untuk mengakui Utang PPh Badan sebesar 15,000,000 untuk 2013 saja,
sekaligus memulihkan Utang PPh yang ditangguhkan di 2012 sebesar Rp 15,000,000,
sehingga total utang PPh menjadi Rp 30,000,000).
Penyebab yang pertama sudah. Selanjutnya kita lihat penyebab yang kedua.. Lanjut
Penyebab-2. Karena adanya pengakuan laba fiskal yang UNTUK SEMENTARA
lebih besar dibandingkan laba komersial di masa kiniyang nantinya bisa menjadi
faktor pengurang Utang PPh di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai Aset
Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assetbiasa disingkat dengan DTA)
Contoh Kasus Pengakuan Aset Pajak Tangguhan:
Melanjutkan contoh kasus kedua yang sebelumnya (silahkan dilihat kembali).
Perbedaan saat pengakuan utang point belanja yang belum dibayar dalam neraca
fiskal dan neraca komersial PT. JAK mengakibatkan perbedaan pengakuan harga
pokok penjualan (HPP) handuk (sebagai penukar point) dalam laporan laba-ruginya.
Perbedaan saat pengakuan HPP ini menyebabkan laba pajak yang LEBIH BESAR Rp
25,000,000 jika dibandingkan dengan laporan komersial di 2012. Selisih Rp 25,000,000
ini akan bisa dipulihkan di 2013saat pelanggan mengklaim point belanja. Jika tarif
efektif PPh di 2013 nanti 30%, maka PT. JAK dapat mengakui adanya Aset Pajak
Tangguhan (deferred tax asset) sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 25,000,000 = 7,500,000
Pengakuan aset pajak tangguhan dijurnal dengan cara sbb:
[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang Pajak Penghasilan = 7,500,000
Setelah jurnal ini dimasukan, maka Utang PPh PT JAK di 2012 akan bertambah
sebesar Rp 7,500,000sehingga utang yang diakui di laporan komersial menjadi sama
dengan laporan fiskal, dan sebagai pengimbang disajikan Aset Pajak Tangguhan
sebesar Rp 7,500,000 yang nantinya akan dijadikan faktor pengurang Utang PPh di
tahun 2013.
Anggap total klaim point belanja yang ditukarkan oleh pelanggan, di 2013,
memang mencapai Rp 25,000,000 seperti yang di perkirakan, dan ada laba fiskal
sebesar Rp 20,000,000 di periode 2013, maka aset pajak tangguhan yang diakui di
2012 dihapuskan (istilahnya dipulihkan) denganmengkreditkannya (melawankannya)
dengan Utang PPh 2013. Jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Biaya PPh = 20,000,000
[Kredit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang PPh = 12,500,000
(Catatan: Utang PPh = Utang PPh 2013 Aset Pajak Tangguhan 2012 = 20,000,000
7,500,000 = Rp 12,500,000.)
Jika saya rangkum semua, maka bisa disimpulkan bahwa:
1. Pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, sebagai antisipasi terhadap
konsekwensi utang pajak penghasilan, baik yang timbul di masa kini maupun masa
depan.
2. Salah satu penyebab terjadinya pajak tangguhan adalah adanya perbedaan
sementara antara laba fiskal dengan laba komersial, yang pada ujungnya menimbulkan
perbedaan antara Utang PPh dalam laporan fiskal dengan laporan komersial.
3. Jika laba pajak lebih besar dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih
tersebut diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset), sebesar selisih
tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya bisa dikreditkan (dijadikan pengurang)
di tahun fiskal berikutnya.
4. Jika laba pajak lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih tersebut
diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability), sebesar selisih
tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya dihapuskan ketika bisa dipulihkan di
masa depan.
Ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan, antara lain:
[-]. Kasus yang sering saya temui adalah adanya pajak tangguhan (baik berupa
aset maupun kewajiban) yang menumpuk. Itu artinya keputusan untuk
menagguhkan, kemungkinan besar diambil dengan pertimbangan dan alasan yang
tidak cukup kuat, sehingga pajak tangguhannya tidak pernah mengalami pemulihan.
Ada 2 kemungkinan penyebab:
Pengakuan kewajiban pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapitemporary
difference yang dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak memiliki potensi
pemulihan yang cukupalias tidak pernah bisa menghapusdimasa depannya.
Pengakuan aset pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary
difference yang dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak boleh dikurangkan
(tidak setujui oleh otoritas pajak) sehingga, tidak pernah bisa dikreditkan.
Agar ini tidak terjadi, pajak tangguhan sebaiknya hanya diakui jika potensi pemulihan
hampir bisa dipastikan (most probably) akan terjadi di masa depan. Jika tidak terlalu
yakin sebaiknya jangan mengakui pajak tangguhan.
[-]. Aset pajak tangguhan tidak selalu berasal dari temporary difference
dimana laba fiskal lebih besar dibandingkan dengan laba komersial. Sesuai
dengan PSAK 46, asset pajak tangguhan juga bisa terjadi akibat adanya:
Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, yang biasa disebut dengan istilah Loss
Carry Forward (LCF); dan
Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan (jika peraturan perpajakan
mengizinkan.)
Demikian halnya dengan kewajiban pajak tangguhan, juga tidak selalu berasal dari
temporary differenecedimana laba fiskal lebih kecil dibandingkan laba komersial.
Masih ada beberapa kemungkinan penyebab selain temporary difference.
Lagipula, pada prakteknya ragam penyebab temporary difference juga sangat banyak
yang tentunya perlu penghitungan dan pernjurnalan yang berbeda. Tetapi untuk
sementara, seperti sudah saya sampaikan, di tulisan ini saya hanya membahas konsep
dasarnya. Anggaplah ini pengenalan awal.
Di posting-posting berikutnya, saya akan bahas berbagai kemungkinan temporary
difference yang bisa timbul antara laba pajak dengan laba komersialbeserta tips cara
menentukan apakah suatu temporary difference akan menimbulkan deferred tax asset
atau deferred tax liability. Juga kemungkinan proses pemulihan dan penghapusan yang
melewati beberapa tahun fiskal, dengan variasi tarif efektif pajak yang berbeda antara
satu tahun denga tahun lainnya. Tentunya dengan contoh kasus dan penjurnalannya.
Untuk sementara, silahkan pahami konsep dasarnya terlebih dahulu, asah pola pikir
anda agar setiap timbul Utang PPh, pikiran anda otomatis merespon dengan
pertanyaan: (a) apakah ada temporary difference; (b) apakah temporary differencenya
memiliki potensi pemulihan yang tinggi di masa depan; (c) apakah perlu mengakui
pajak tangguhan; (d) jika iya, jurnal seperti apa yang diperlukan; (e) bagaimana nanti
proses penghapusannya; (f) dan seterusnya. Itu dulu yang penting.
Untuk variasi dan kompleksitas kasus pajak tangguhan (aset pajak tangguhan
dan kewajiban pajak tangguhan), bisa dikembangkan pelan-pelan. Dan seperti
biasa, JAK selalu ada untuk itu. JAK juga masih suka dan perlu belajar lebih
banyak lagi. Dan akan sangat menyenangkan jika kemampuan teknis dan
manajerial akuntansi, keuangan dan pajak kita terus berkembang. Untuk
sementara, semoga sukses dalam karir dan kehidupan lainnya. Salam dari jauh.



Pengakuan pajak tangguhan (deferred tax), aslinya konsep yang bagus, untuk
memenuhi prinsip kehati-hatiannya akuntansi. Namun, jika kurang hati-hati,
pengakuan ini justru menjadi sumber kerumitan yang berlarut-larut
kebelakangnya. Salah-salah, laporan keuangan menjadi tidak bisa diperaya.
Ada 2 macam Pajak tangguhan:
Liabilitas pajak tangguhan (deferred tax liability); dan
Aset pajak tangguhan (deferred tax asset).
Keduanya bisa menimbulkan konflik berkepanjangan, di dalam laporan keuangan, jika
pengakuan pajak tangguhan tidak didahului oleh pertimbangan yang matang.
Mengapa pengakuan pajak tangguhan berisiko? Apa saja risikonya? Bagaimana
caranya meminimalkan risiko akibat pengakuan pajak tangguhan?Itulah yang akan
saya bahas melalui tulisan ini.
Namun sebelum itu, mari kita overview sedikit mengenai bagaimana proses timbulnya
pajak tangguhan. Dari sana anda bisa melihat potensi konfliknyasehingga (mudah-
mudahan) bisa menemukan solusi yang bagus.

Proses Timbulnya Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan timbul akibat adanya perbedaan sementara (temporary difference),
antara standar akuntansi dan undang-undang pajak mengenai pengakuan nilai pajak
penghasilan (PPh) perusahaan.
Kemungkinan selisihnya ada 2:
1. Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH
BESARdibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui
sebagailiabilitas pajak tangguhan (deferred tax liability). Misalnya:
Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi) untuk tahun
2012, nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 10,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 30,000,000
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000
Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),
nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 15,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 25,000,000
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000
Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih besar Rp 500,000
dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 2,500,000). Selisih yang
sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi kewajiban di masa yang akan datang.
Dalam pengertian, di periode berikutnya kewajiban pajak akan meningkat (ketika HPP
yang saat ini belum diakui menjadi diakui). Prinsip kehati-hatiannya akuntansi
menyebutkan bahwa: kewajiban yang masih berupa potensi-pun sebaiknya diakui.
Oleh sebab itu maka selisih tersebut diakui sebagai liabilitas pajak tangguhan
(deferred tax liability) pada kelompok Liabilitas di Neraca.
2. Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH
KECILdibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui sebagai
aset pajak tangguhan (deferred tax asset). Misalnya:
Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi), nampak
sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 15,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 25,000,000
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000
Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),
nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 10,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 30,000,000
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000
Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih kecil Rp 500,000
dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 2,500,000). Selisih yang
sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi pengurang kewajiban pajak di masa
yang akan datang. Kewajiban pajak berkurang, maka aset meningkat. Oleh sebab itu
maka diakui sebagai aset pajak tangguhan (deferred tax asset) pada kelompok
Aset di Neraca.
Begitulah proses bagaimana pajak tangguhan bisa timbul.
Catatan: Pada contoh kasus di atas kebetulan saya hanya memakai HPP yang menjadi
penyebab selisih PPh. Itu hanya satu contoh kasus. Pada prakteknya, selisih PPh yang
bisa mengakibatkan pengakuan pajak tangguhan juga bisa disebabkan oleh adanya
perbedaan sementara pengakuan penjualan atau biaya-biaya.

Mengapa Pengakuan Pajak Tangguhan Berisiko, Dimana Letak Risikonya?
Di satu sisi konsep mengakui pajak tangguhan, terutama yang liabilitas pajak
tangguhan, sangat bagus, karena laporan keuangan menjadi patuh (compliant)
terhadap prinsip kehati-hatiannya akuntansi. Namun di sisi lainnya, perlu di sadari
bahwa, pengakuan pajak tangguhan bersifat SPEKULATIF.
Bahwa pengakuan pajak tangguhan telah didahului oleh proses kalkulasi, IYA. Tetapi,
bagaimanapun juga, kalkulasi yang dibuat masih berupa estimasi, menggunakan
penilaian (judgment) sendiriberdasarkan hasil interpretasi mengenai UU pajak
masih dalam fase self-assessment.
Sementara itu, status pajak (mengenai berapa besarnya kewajiban PPh) baru akan
pasti bila sudah ada ketetapan hukum, setelah official-assessment dari kantor pajak
(DJP). Dan ketetapan pajak dari pihak DJP belum tentu sama dengan perhitungan yang
dipakai dalam menentukan pajak tangguhan.
Lalu, apa risikonya?
Ada 3 risiko utama yang bisa timbul akibat pengakuan pajak tangguhan:
1. Repot Pajak tangguhan (baik yang liabilitas maupun aset) jelas merepotkan,
karena pengakuan pajak tangguhan bersifat sementara. Artinya, suatu saat nanti
ketika liabilitas atau aset itu benar-benar timbulharus dihapus. Misalnya: Pada contoh
kasus PT. JAK yang pertama di atas, liabiliast pajak tangguhan Rp 500,000 diakui di
2012, dengan jurnal:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 500,000
[Kredit]. Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000
Nantinya, apabila di tahun 2013 (atau setelahnya) selisih tersebut benar-benar menjadi
kewajiban PPh yang harus dibayar, maka liabilitas pajak tangguhan tersebut harus
diakui sebagai utang PPh, dengan jurnal:
[Debit]. Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000
[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000
Nah, dua kali posting bukan?
2. Menggantung dan Menumpuk Apa ya istilahnya yang lebih bagus? Mungkin
nyangsang ya bahasa sehari-harinya. Ini yang paling banyak terjadi. Terutama ketika
peusahaan mengakui adanya aset pajak tangguhan (pajak tangguhan yang masuk
kelompok aset). Misalnya: Melanjutkan contoh kasus PT. JAK kedua yang sebelumnya,
aset pajak tangguhan sebesar Rp 500,000 diakui dengan jurnal:
[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = Rp 500,000
[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000
Iya kalau di 2013 nantinya benar-benar timbul perbedaan yang mengakibatkan
kewajiban PPh menurun, iya kalau setelah diperiksa oleh DJP memang menghasilkan
ketetapan pajak yang benar-benar lebih kecil, bimana jika tidak? Dibiarkan nyangsang
di Neraca. Yang paling parah, bila penentuan aset pajak tangguhan tidak dilakukan
dengan hati-hati, bisa menggantung bertahun-tahun. Lebih celaka lagi jika bila di 2013
ada pengakuan aset pajak tangguhan yang baru, maka akan semakin menumpuk.
3. Laporan Keuangan Menjadi Tidak Dipercaya Pengakuan pajak tangguhan (baik
yang berupa liabilitas maupun aset) yang numpuk-numpuk dan tak kunjung terhapus ini
sudah sangat sering saya temui. Jangan salah, pembaca laporan keuangan yang jeli
(pemegang saham/kreditur) bisa menangkap keanehan ini. Ini bisa menggerus
kepercayaan pemegang saham dan kreditur terhadap laporan keuangan yang disajikan.
Pengakuan aset atau liabilitas yang menggunakan estimasi, rata-rata, memang
berpotensi mengakibatkan ketidakhandalan laporan keuangan. Terlebih-lebih ketika
estimasi dibuat secara gegabahtanpa melalui pertimbangan yang matang.

Meminimalkan Risiko Akibat Pengakuan Pajak Tangguhan
Sebagai akuntanterutama yang menyusun laporan keuanganmemang sering
berada di posisi yang serba-salah. Pada kasus pengakuan pajak tangguhan ini
misalnya; di satu sisi kita diharapkan untuk patuh terhadap prinsip-prinsip akuntansi
yang pada dasarnya memang baik. Di sisi lainnya, ada risiko yang bisa timbul ketika
perlakuan akuntansi tidak diterapkan secara hati-hati dan bijak.
Dalam kondisi seperti itu, saya selalu menganjurkan agar berhati-hati, jangan grasa-
grusu. Bagaimanapun juga, trade-off selalu diperlukan; antara menerapkan prinsip-
prinsip akuntansi secara ketat dengan risiko yang bisa timbul. Sebisa mungkin, tentu
kita berusaha agar gap ini bisa diminimalkansehingga prinsip akuntansi tidak
dilanggar, risiko juga bisa diminimalkan.
Bagaimana caranya meminimalkan ketiga risiko di atas?
Solusi#1. Gunakan Pertimbangan Yang Matang Agar tidak terjebak dalam masalah
berlarut-larut di kemudian hari, pertimbangkan masak-masak; antara mengakui atau
tidak mengakui pajak tangguhan. Minimal bisa menggunaka 2 pertimbangan berikut ini:
Materialitas Seberapa besar potensi kewajiban PPh yang akan timbul di periode
berikutnya (sehingga anda merasa perlu mengakui liabilitas pajak tangguhan),
seberapa besar potensi penurunan PPh yang diperkirakan akan timbul di periode
berikutnya (sehingga anda merasa perlu mengakui aset pajak tangguhan)? (a) Jika
besar, tentu sebaiknya diakui, sebab jika tidak akan mengakibatkan
peningkatan/penurunan PPh yang begitu drastissehingga laporan keuangan
menjadi nampak aneh; (b) jika kecil, sebaiknya tidak usah diakuitoh tidak terlalu
berpengaruh.
Tingkat kepastiannya Jika standar akuntansi menggunakan probabilitas, untuk
amannya pergunakan kepastian. Dengan kata lain, seberapa pasti timbulnya
kenaikan/penurunan PPh-nya di periode berikutnya? (jangan memakai seberapa
mungkin). Betul, namanya juga belum terjadi, tentu sulit mencari kepastian. Jika
memang demikian, saran saya: Jika tingkat kepastiannya belum mencapai 90%
sebaiknya, jangan mengakui pajak tangguhan. Caranya menentukan tingkat
kepastian? Pindah ke solusi#2
Solusi#2. Libatkan Profesional Dalam hal ini, konsultan pajak bersertifikat (BKP)
yang sesuai. Menggunakan jasa Trusted Business Advisor (TBA) yang biasanya
disediakan oleh KAP besar, juga bisa. Bagaimanapun juga, mereka lebih mampu
menginterpretasikan isi Undang-Undang PPh dengan lebih baik. Dengan menggunaka
jasa professional, anda bisa memagari diri dari risiko-risiko di atas. Katakanlah ternyata
saran mereka tidak sesuai, anda bisa meminta pertanggungjawaban mereka. Dan
kesalahan menjadi tidak ada pada perusahaan/anda sepenuhnya.
Solusi#3. Sertakan Penjelasan Yang Memadai Jika pada akhirnya anda mengakui
adanya pajak tangguhan di Laporan Keuangan (Neraca), cara yang paling bagus
adalah menyertakan penjelasan pada lembar Rincian dan Penjelasan atau sertakan
Footnote jika penjelasannya singkat. Dengan demikian, pembaca laporan keuangan
(pemegang saham dan kreditur) menjadi tahu mengapa ada pengakuan pajak
tangguhan, dan yang paling penting menjadi tahu bahwa pengakuan pajak tangguhan
menggunakan estimasimasih berupa potensi kenaikan atau penurunan pajakyang
bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktanya nanti. Sehingga mereka tidak
melihat adanya kecuranganbaik yang disengaja atau tidak.
Itulah, sejauh yang saya tahu, solusi untuk meminimalkan risiko yang bisa timbul akibat
pengakuan pajak tangguhan.

Rangkuman
Pajak tangguhan adalah potensi kenaikan atau penurunan PPh di masa yang akan
datang, yang diakui di periode pelaporanakibat adanya perbedaan (selisih) PPh
antara laporan komersial (versi standar akuntansi) dengan fiskal (versi UU Pajak).
Jika potensi itu berupa kenaikan PPh, maka diakui sebagai liabilitas pajak
tangguhan (deferred tax liability)dengan kata lain: diperkirakan akan timbul
kenaikan utang PPh di masa yang akan datang, sebesar liabilitas pajak tangguhan
yang diakuiakibat PPh pada laporan fiskal lebih kecil dari laporan komersial
Jika potensi itu berupa penurunan PPh, maka diakui sebagai aset pajak
tangguhan (deferred tax asset)dengan kata lain: diperkirakan akan terjadi
pengurangan kewajiban PPh di masa yang akan datang, sebesar aset pajak
tangguhan yang diakuiakibat PPh pada laporan fiskal lebih besar dari laporan
komersial.
Karena masih menggunakan penilaian sendiri (self-assessment), maka pengakuan
pajak tangguhan bisa dikatakan bersifat spekulatif, yang bisa saja tidak sesuai
dengan ketetapan dari DJP (setelah dilakukan pemeriksaan).
Pengakuan Pajak tangguhan yang tidak melalui perimbangan yang matang bisa
menimbulkan berbagai risiko bagi akuntan yang menyusun laporan keuangan,
diantaranya: repot (karena harus posting 2 kali), menggantung karena tidak
kunjung terselesaikan (saat kenaikan/penurunan PPh tidak terealisasi), dan bisa
menimbulkan ketidakpercayaan dari pengguna laporan keuangan.
Solusi untuk meminimalkan risiko akibat pengakuan pajak tangguhan: tidak
mengakui pajak tangguhan bila nilainya immaterial atau tingkat kepastiannya tidak
cukup tinggi, libatkan konsultan untuk menilai kelayakan pengakuan, nyatakan
dengan jelas dalam penjelasan laporan keuangan.
Lebih teknis mengenai penghitungan dan penjurnalan pajak tangguhan bisa dibaca di
artikel JAK sebelumnya (Cara Menghitung dan Menjurnal Pajak Tangguhan
Bagian Pertama).

Anda mungkin juga menyukai