Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada pelaksanaan operasional tiap waduk,yang selalu diharapkan dan dipertahankan
adalah agar waduk dapat berfungsi sesuai dengan umur umur layanan waduk yang di
rencanakan. Dalam operasionalnya, waduk mengalamai proses sedimentasi yang dapat
berpengaruh pada perubahan kapasitas tampungan dan akhirnya dapat mempengaruhi usia
operasai wadk. Oleh karena itu, perlu adanya kajian sedimentasi yang dipengaruhi oleh
beberapa factor seperti tataguna lahan, erosi lahan, jenis tanah, kemiringan lereng dan curah
hujan. Namun pada masa operasional tidak jarang waduk mengalami sedimentasi nyata yang
melebihi laju sedimentasi yang di perhitungkan pada awal pembangunan waduk, sehingga
apabila tidak terkendali dapat berakibat waduk gagal memenuhi fungsi layanan sesuai
dengan umur yang direncanakan.
Bendungan Ir. H Djuanda adalah bendungan serbaguna yang pertama kali
dibangun di Indonesia dan salah satu bendungan terbesar di asia tenggara. Mulai
beroperasional sejak tahun 1967 yang membendung Sungai Citarum (sungai terpanjang di
Jawa barat) dengan debit rata rata 5,5 milyar m3/tahun atau 175 m3/detik. Bendungan ini
berada di kecamatan jatiluhur, kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dan berfungsi sebagai
pengendali banjir di bagian hilir khususnya kabupaten Karawang dan sekitarnya, kebutuhan
air irigasi seluas + 230.000 Ha, air baku untuk industry, air baku minum dan perkotaan
dimana 80% air minum DKI Jakarta berasal dari waduk ini, untuk PLTA, perikanan darat,
pariwisata dan olahraga air. Begitu besar manfaatnya bagi hudup orang banyak khususnya air
minum untuk warga DKI Jakarta , maka bendungan Ir. H. Djuanda merupakan bendungan
yang sangat penting dan menjadi pusat perhatian pemerintah pusat atas keberadaan terutama
didalam operasional dan pemeliharaannya termasuk pemantauan sedimentasi waduk. Pada
kondisi awal Bendungan Ir. H. Djuanda di bangun dengan volume air waduk 2,97 milyar
m3(1964) pada elevasi air waduk +107 m.dpl. dengan rencana umur layanan waduk 200
tahun pada sedimentasi lumpur mencapai level dead storage yakni +75 m.dpl (prof
sediatmo). Dead storage atau tampungan mati inilah yang menentukan perhitungan umur
suatu waduk dan merupakan ruangan khusus yang disediakan untuk menampung endapan
yang terbawa aliran sungai yang bermuara di waduk maupun yang terbawa air hujan disekitar
waduk. Menurut perhitungan konsultan Coyene et bellier (COB) dari paris, Perancis pada
tahun 1964 didapatkab persamaan volume waduk Ir. H. Djuanda sebagai berikut :
V = 0.557 H2 38,56 H + 719,325
Dengan V = Volume tampungan waduk (juta m3)
H = Ketinggian diatas permukaan laut (m)
Bila tampungan sedimen telah mencapai +75m.dpl. maka didapatkan volume
sedimentasi waduk sebesar 960,45 juta m3 dan untuk mencapai umur 200 tahun maka laju
sedimentasi sekitar 4,8 juta m3 per tahun dengan pertimbangan bahwa waduk Ir. H. Djuanda
berperan sebagai single dam.
Semenjak terjadi krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998 banyak sekali
terjadi penebangan pohon baik dilahan milik sendiri maupun lahan pemerintah(hutan dan
perkebunan) dan pembangunan jalan tol disekitar areal tangkapan air yang masuk ke waduk.
Dengan adanya penebangan pohon akan menyebabkan lahan gundul dan tingkat erosi
bertambah sehingga laju sedimentasi ke waduk semakin tinggi. Begitu juga dengan adanya
penambangan batu disekitar waduk juga akan meningkatkan sedimentasi waduk.
Berkaitan dengan echosounding dari tahun 2000 sampai 2009 laju sedimentasi
sangat besar yakni 274 juta m3 selama + 9 tahun (table 1.1). Oleh karena itu perlu adanya
kajian sedimentasi untuk mengetahui penyebab utama yang membuat sedimentasi waduk
sangat besar. Untuk menjaga kebutuhan air di hilir waduk atau bendungan bisa terpenuhi dan
terjaga dengan baik, maka perlu dilakukan suatu pemantauan tingkat laju sedimentasi yang
terjadi, sebagai peran serta dalam upaya menjaga kelangsungan fungsi waduk Ir. H. Djuanda
agar dapat memenuhi layanan sesuai dengan umur yang direncanakan.
Tabel 1.1 data echosounding yang telah dilakukan di waduk Ir. H. Djuanda adalah
sebagai berikut :
Tahun Pelaksanaan Luas
Genangan (Ha) Volume tampungan (juta m3) Sedimentasi
(juta m3)
1964 - 8.300 2,970 Perencanaan
1987 ITB 7.800 2,556 414
1995 Puslitbangtek SDA 7.700 2,458 512
2000 Puslitbangtek SDA 8.020 2,448 522
2009 PJT II 7.722 2,174 796
Sedimentasi waduk dapat diketahui dengan hasil pengukurab echosounding,
perhitungan erosi permukaan lahan (USLE), perhitungan sedimen berdasarkan angkutan
sedimen di sungai, perhitungan material sedimen yang keluar dari outlet waduk cirata dengan
material sedimen yang keluar dari waduk Ir. H. Djuanda.

B. Perumusan masalah
Sedimen waduk terbentuk dari erosi lahan di catchment area waduk yang disebabkan
adanya perubahan tataguna lahan yang dilakukan oleh adanya kegiatan manusia baik itu
berupa pembangunan sarana dan prasarana, pertanian, perkebunan dan pertambangan serta
kegiatan lainnya yang menyebabkan tataguna lahan berubah. Besar kecilnya erosi lahan bisa
dipengaruhi oleh Curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng. Hasil erosi bisa lahan bisa
langsung masuk ke waduk atau juga bisa melalui aliran sungai yang akhirnya akan masuk ke
waduk juga. Namun material erosi yang masuk kesungai kemudian terangkut oleh aliran
sungai tidak akan semua masuk ke waduk, tetapi ada juga yang tertinggal di sepanjang
sungai tersebut. Persentase sedimentasi waduk hasil erosi lahan dari catchment area tidak
kurang dari 0% dan tidak lebih dari 100% disebut dengan Sediment Delivery Ratio(SDR)
Selain dari catchment area, sedimen juga berasal dari outlet waduk cirata yang
cukup memberikan andil dalam sedimentasi waduk. Cara yang di gunakan adalah
menghitung suspended load yang keluar dari outlet waduk cirata dan outlet waduk Ir. H.
Djuanda.
Setelah volume sedimentasi waduk terbentuk atau terukur, maka akan terjadi
pemadatan terhadap endapan sedimen selama operasi waduk berlangsung. Oleh sebab itu
perlu ada pengukuran dan perhitungan endapan sedimen dengan metode berat volume kering
endapan sedimen waduk


Waduk Ir. H. Djuanda atau yang lebih di kenal dengan Waduk Jatiluhur merupakan
waduk yang sangat vital bagi pelayanan kebutuhan air bagi wilayah di hilir sungai Citarum
guna berbagai keperluan antara lain kebutuhan domestic, municipal dan industry (DMI) dan
yang lebih penting adalah sebagai pasokan air irigasi bagi areal sawah irigasi seluas lebih
kurang 240.000 Ha.
Pola operasai dan pemeliharaan Waduk Ir. H. Djuanda sangat tergantung pada kurva
korelasi antara kedalaman air waduk, luas genangan dan volume tamping waduk. Pada
umumnya, kurva korelasi tersebut merupakan kurva dinamis yang selalu berubah seiring
waktu, hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain perubahan
daerah tataguna lahan pada daerah tangkapan air (catchment area), perubahan daerah
sabuk/sekitar waduk serta perubahan paradigm yang terjadi pada perilaku masyarakat yang
tinggal di daerah hulu aliran sungai yang menyebabkan laju sedimentasi dan kualitas air
menjadi jelek. Kesalahan interpretasi terhadap kurva, serta kurva yang mempresentasikan
kondisi terkini (up date) dapat menyebabkan kesalahan pembacaan atau analisa
keseimbangan waduk (water balance) dan yang lebih ekstrim kesalahan pengambilan
keputusan dalam operasi dalam rencana tindak darurat (RTD) Waduk Ir. H. Djuanda.

Air adalah suatu benda yang mutlak dibutuhkan oleh mahluk hidup. Salah satu sumber air
di dunia adalah sungai. Sejarah peradaban manusia dimulai dari lembah sungai. Dalam
kehidupan, hubungan antara manusia dengan sungai tidak dapat dipisahkan sepanjang masa.
Oleh karena ini potensinya perlu dikembangkan dan dilestarikan. Banyak segi kehidupan
yang tergantung pada sungai, sebaliknya keganasan sungai dapat mendatangkan penderitaan
bagi manusia. Untuk itu perlu sebuah program penegmbangan pengendalian sungai terpadu
serta menyeluruh dari bagian paling hulu sampai muara, agar diperoleh manfaat air sungai
yang sebesar-besarnya. Dari sini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kita sekarang
dengan tanpa merugikan generasi mendatang.

DAS Citarum mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas ekonomi di Propinsi
JawaBarat dan DKI Jakarta. Selain menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air untuk sektor
irigasi, industri dan air bersih, DAS Citarum juga memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam menghasilkan energi listrik. Sungai Citarum dengan tiga bendungan (DAM) telah
menjadi tulang punggung produksi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan penduduk Jawa
dan Bali. Peranan dan potensi pemanfaataan yang cukup besar dari DAS Citarum tersebut
belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal untuk menjaga keberlanjutan pasokan air di
masa yang akan datang. Terjadinya kerusakan lingkungan, terutama di daerah hulu sungai
Citarum, telah menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas pasokan air. Padahal DAS
Citarum merupakan satu wilayah sungai yang paling tereksploitasi di Propinsi Jawa Barat.

Beban berat yang harus ditanggung oleh DAS Citarum ini disebabkan oleh tingginya
pertumbuhan ekonomi dan pesatnya perkembangan penduduk di wilayah yang dilaluinya.
Kedua faktor ini menyebabkan beban permintaan air Citarum oleh sektor-sektor pengguna
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Jawa Barat yang memiliki
3 (tiga) Bendungan besar di DAS Citarum (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) perlu
memperhitungkan serta memberikan pengamanan ekstra ketat terhadap umur ketiga
bendungan tersebut. Hal tersebut harus dilakukan mengingat kondisi ketiga bendungan
tersebut pada saat sekarang ini masuk dalam kondisi memprihatinkan. Sebagai contohnya di
bendungan Saguling yang masuk ke Wilayah Kabupaten Bandung Barat, adalah merupakan
sebuah bendungan yang menjadi filter awal Daerah Aliran Sungai Citarum bagi kedua
bendungan yang lainnya (Cirata dan Jatiluhur).
Waduk Jatiluhur
Lokasi : Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta
Luas Area : 83 km2
Daya Tampung : 3,5 Ms
Sumber Air : Sungai Citarum
Pengelola : PERUM JASA TIRTA II
Penggunaan Air Irigasi : 5,5 milar Ms/tahun
Luas Air Irigasi : 242.000 hektare
Penggunaan Baku Air Minum : 671,7 juta ms/tahun
Penggunaan Air Perikanan : 315,4 juta ms/tahun
Pembangunan : 1957 1967
Waduk yang dibangun selama sepuluh tahun ini, juga mempunyai nama lain yakni
Waduk Ir.H.Djuanda, merupakan waduk terbesar di Indonesia yang mampu menampung
hingga 3.500 juta m3 air. Fungsi utama waduk yang sumber airnya dari Sungai Citarum ini
adalah sebagai PLTA. Namun, digunakan pula sebagai sarana wisata dan budidaya ikan.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada tahun 2000, sedimentasi di waduk mencapai
500 juta m3, namun endapan ini masiih rasional karena tampungan di waduk ini mencapai
900 juta m3, laju endapan waduk jatiluhur tergolong sangat rendah hanya 1 mili per tahun.
1.2 Tujuan
Pelaksanaan kerja praktek ini bertujuan untuk :
A. Secara Umum :
1. Dapat menyelaraskan konsep dan materi yang diterima di bangku kuliah dengan
penerapannya di lapangan.
2. Melatih kemampuan mahasiswa agar dapat mengantisipasi dan menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dilapangan sehubungan dengan penerapan ilmu yang
telah di dapat di bangku kuliah.
B. Secara Khusus :
1. Mengetahui keadaan sistem pengelolaan air di daerah Jatiluhur
2. Mengetahui tindakan konsevasi tanah dan air yang di lakukan di daerah tangkapan air
waduk jatiluhur
3. Mengetahui hubungan antara tindakan konservasi tanah dan sedimentasi yang terjadi
di waduk jatiluhur
4. Mengetahui laju sedimentasi yang terjadi di waduk jatiluhur
1.3 Manfaat
A. Manfaat secara umum
Dengan melaksanakan kerja praktek ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mahasiswa dalam penerapan ilmu yang di dapat dibangku kuliah, sekaligus pelaksanaan
salah satu syarat menyelesaikan program pendidikan strata -1 di Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
B. Manfaat secara khusus
1. Dapat mengetahui dan memahami keadaan system pengelolaan air di daerah Jatiluhur
2. Mengetahui pengaruh atau peran dari vegetasi pada tindakan konservasi di daerah
tangkapan waduk Jatiluhur.
3. Mengetahui pengaruh tindakan konservasi tanah terhadap laju sedimentasi di waduk
Jatiluhur
4. Mengetahui pengaruh kegiatan masyarakat terhadap laju sedimentasi di waduk
Jatiluhur.

Anda mungkin juga menyukai