Anda di halaman 1dari 13

PERITIONITIS

Peritonitis merupakan penyakit berat yang harus ditangani dengan benar sejak awal karena
berpotensi untuk menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Infeksi intraabdomen yang
berkembang menjadi sepsis tetap merupakan penyebab kematian tertinggi di ICU karena
biasanya berhubungan dengan abses, peritonitis berulang atau persisten, dan berlanjut menjadi
gagal organ.
(1,2)
. Terdapat suatu golongan pasien dengan peritonitis yang menunjukan angka
mortalitas sampai 60%
(3)
. Diduga golongan ini menderita peritonitis tersier atau peritonitis yang
menetap atau timbul kembali minimal 48 jam setelah terapi peritonitis primer atau sekunder.
(4)
.
Risalah ini membicarakan masalah peritonitis tersier ini karena ternyata perjalanan penyakit dan
mikrobiologinya berbeda dari peritonitis primer dan sekunder yang sering kita tangani dan
kurang menunjukan reaksi terhadap terapi antibiotik maupun terapi operatif.
(5)


ANATOMI & FISIOLOGI

Peritoneum merupakan membran yang tdd. satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat
vaskuler dibawahnya oleh membrana basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera
dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum
parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis.
(4,6,7)
Luas permukaannya
mendekati luas permukaan tubuh, yang pada orang dewasa mencapai 1.7 m
2
. Ia berfungsi
sebagai membran semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan
untuk difusi ini seluas +/- 1 m
2
.
(7,8)

Sel Mesotel yang melapisi peritoneum juga merupakan sel pertahanan yang dapat mensekresi
berbagai sitokin (al. IL-1, Il-6) dan merangsang sel imun lain untuk mensekresi sitokin dan O
2

radikal. Semua ini dimaksud sebagai pertahanan terhadap benda asing. Sel mesotel dan
Makrofag bila dirangsang juga dapat mensekresi mediator hemostasis untuk memulai proses
koagulasi intraperitoneal.

Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat +/-100 cc cairan peritoneal dengan BD 1016
yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa Albumin. Jumlah sel normal adalah
300/mm
3
yang tdd 45% Makrofag, 45% sel-T, sisanya tdd. Sel NK, sel-B, eosinofil dan Mast cell
serta sekretnya terutama Prostacycline dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat
meningkat sampai > 3000/mm
3
.
(4,9)


Dalam keadaan normal 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang
sisanya melalui peritoneum parietalis.
(6)
Penyerapan cairan oleh limfe diafragma terjadi karena
adanya aliran cairan ke cranial yang ditimbulkan oleh gerakan diafragma (pompa diafragma).
(4)

Relaxasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk bakteri
akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel diafragma dengan ukuran 10 yang
berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak ke limfe substernal. Kontraksi diafragma
menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum.
(8,10)

Jelas bahwa menjamin berlangsungnya pernafasan spontan yang baik agar clearance bakteri
peritoneum dapat berlangsung merupakan suatu kondisi yang harus dipertahankan terutama post
operatif.
(6)

Cekungan parakolika kanan merupakan jalur utama antara peritoneum atas dan bawah. Hal ini
terlihat pada penyuntikan kontras melalui drain yang terletak di daerah ileosekal. Kontras akan
terakumulasi di pelvis dan subhepatik.
(6,8)


RESPONS PERITONEUM.
Peritoneum menangani infeksi (peritonitis) dengan 3 cara :
1. Absorpsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
2. Penghancuran bakteri oleh Sel Imun
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses.

Ad. 1 Absorpsi cepat
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri ke arah stomata. Oleh
karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran
dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis yi. nyeri
perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.
(6)

Pada percobaan binatang 1/2 jumlah bakteri yang diletakan di rongga peritoneum dikeluarkan
melalui limfe diafragma dan hanya dalam 6 menit sudah ditemu di ductus thoracicus.
Proses pengeluaran cairan dan partikel ini sangat menguntungkan bila bakteri yang terdapat di
dalamnya telah dibunuh. Bila tidak, maka yang terjadi adalah masuknya bakteri hidup kedalam
aliran sistemik yang kemudian menimbulkan sepsis.
(6)


Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan interstisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas
yang keluar akibat perforasi akan memperbesar pergeseran cairan ini.
(7)


Ad.2 Respons Imun Peritoneum.
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel Mesothel, Netrofil, Makrofag, Mast Cell, dan
Limfosit untruk menimbulkan reaksi Inflamasi.
Tergantung berat trauma, Makrofag akan memproduksi TNF dan Il-1 yang mempengaruhi
sel Mesothel untuk mengeluarkan Il-8, suatu kemokin, yang menarik masuknya Netrofil.
(11)
.
Proses ini dibantu dengan peningkatan expresi molekul adhesi (ICAM-1 and VCAM-1) pada sel
mesothel.
(12,13)
.
Mast Cell juga membentuk TNF yang turut meningkatkan emigrasi Netrofil. Selain melepas
mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung Histamin
dan Prostaglandin. Histamin dan Prostaglandin yang dilepas Mast Cell dan Makrofag
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga
menimbulkan exudasi cairan kaya komplemen, Imunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin.
(4)

Sitokin/Kemotaksin lain seperti Leukotriene B4 juga asal Makrofag, Mast cell, PMN dan
komplemen C5a turut merangsang masuknya PMN.
Sel-B peritoneum berperan dalam imunitas mukosa usus. Ia berhubungan dengan Sel Plasma
IgA di lamina propria usus.

Hubungan Peritoneum dengan Respons Imun usus.
GALT (Gut Associated Lymphatic Tissue atau jaringan limfoid usus) merupakan 2/3 sel limfoid
tubuh oleh karena itu mereka terus menerus terexpose stimuli. Rangsangan di peritoneum dapat
memicu pembentukan sitokin usus. Walaupun tidak ditemu bakteri di daerah Porta maupun di
sistemik, usus dapat membentuk Il-6 dan TNF . Selain bakteri, shock juga dapat merangsang
pembentukan kedua sitokin Pro-Inflamsi diatas. Bahkan ternyata Il-10 yang bersifat Anti-
Inflamasi juga dapat dibentuk usus.

Hubungan Peritoneum dengan Sistemik
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respons mediator Pro-Inflamasi
di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan yang dimulai dengan timbulnya mediator Anti-
Inflamasi yang menghentikan proses Pro-Inflamasi. Keadaan ini menujukan adanya
keseimbangan antara respons Pro dan Anti Inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi
ketidak seimbangan dimana salah satu yaitu. Pro-inflamasi atau Anti-inflamasi atau bahkan
keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua
mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi
kegagalan organ. Bagaimana hubungan dengan Sistemik terlihat misalnya pada peritonitis
dimana dalam peritoneum ditemu kadar tinggi mediator Pro Inflamasi, tetapi di Sistemik terjadi
proses Anti Inflamasi hebat. Keadaan ini dikenal dengan Compensatory Anti-Inflammatory
Response Syndrome (CARS). Tetapi seperti telah dikemukakan tidak pada semua proses
penyembuhan terjadi mekanisme CARS terkontrol. Respons Anti-Inflamasi dapat berjalan
sendiri dengan akibat kerusakan organ.
Bahkan ditemu pula keadaan dimana respons pertama yang timbul bukan Pro-Inflamasi tetapi
langsung Anti-Inflamasi. Belum jelas mengapa tubuh mengadakan respons bunuh diri seperti ini.
Yang jelas pada keadaan ini yang ditandai hilangnya pertahanan anti bakteriel, sangat mudah
terjadi kerusakan organ yang disebabkan bakteri.

Ad.3 Lokalisasi Infeksi
Pada peningkatan permeabilitas venule terjadi exudasi cairan kaya protein yang mengandung
fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan thromboplastin yang mengubah prothrombin menjadi
thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya
hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam
peritoneum dan mencegah masuk ke aliran sistemik. Dalam keadaan normal Fibrin dapat
dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi. Pada jaringan
inflamasi dapat ditemu Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1). PAI-1 sel mesothel ini
menetukan apakah Fibrin yang terbentuk pada trauma akan dihancurkan atau menimbulkan
adhesi.
(6)
Abses yang terjadi jarang dapat hilang sendiri.
Di bagian tengah abses ini :
terdapat banyak bakteri dan exoenzym
pH rendah
tak ada pembunuhan bakteri
Semua keadaan ini memudahkan terjadinya pertumbuhan bakteri anaerob.
(7)

Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya
perlekatan.

Penghentian Respons Inflamasi
IL-10, salah satu sitokin Anti Inflamasi meningkat di limfe mesenterika. Pada beberapa keadaan
peningkatan ini sangat tinggi. Kadar serum mediator Anti-Inflamasi seperti cortisol, IL-1ra, sIL-
2r, sICAM-1 dan IL-10 jauh lebih tinggi pada pasien infeksi dibanding relawan sehat.
(4,11)

Mediator counter-inflammatory juga ditemu pada infeksi. Hal ini menujukan bahwa aktivitas
biologik mediator inflamasi dihambat oleh zat anti inflamasi alami, dan tubuh dapat menurunkan
kelebihan zat inflamasi untuk mengembalikan homeostasis.
(11)

Pada resolusi, Netrofil akan mengalami apoptosis dan difagositosis Makrofag yang kemudian
akan beremigrasi ke kelenjar limfe dan berfungsi untuk presentasi antigen ke sel B untuk
membentuk antibodi. Dengan demikian berbeda dari Makrofag resident, Makrofag inflamasi
akan bergrerak keluar peritoneum melalui limfe.
(15)

Dikemukakan bahwa timbulnya gejala peritonitis bakteri adalah manifestasi respons mediator
Pro dan Anti Inflamasi baik lokal dan sistemik.
(16)


KLASIFIKASI PERITONITIS

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum apapun sebabnya.
(4,17)
. Dalam kepustakaan dibedakan 3
jenis peritonitis :
1. Primer : Peritonitis bakteriel spontan dangan bakteri yang masuk secara hematogen atau
pada perempuan melaui genitalia, bukan akibat perforasi saluran cerna
(4)
. Biasanya
monomikroba berupa Pneumococcus, Staphylococcus aureus, atau Streptococcus
hemolitik. Dapat ditemu akibat infeksi nosokomial di ICU
(17)
. Pada dewasa dapat ditemu
pada pasien cirrhosis hepatis dengan ascites, atau pada pasien yang memerlukan dialisis
peritoneal.
(5)
.
2. Sekunder : Disebabkan bakteri intralumen saluran cerna akibat perforasi atau infeksi
organ intra-abdominal.
(4,5,8,17)
. Mikrobiologi cairan peritoneal walaupun polimikroba,
biasanya menunjukan corak bakteri yang dapat diduga (tabel 3). Dengan tindakan
operatif dan terapi antibiotik yang adekuat, sebagian besar peritonitis primer dan
sekunder dapat sembuh tanpa sequele.
3. Pada beberapa penderita dengan peritonitis primer atau sekunder tidak terjadi resolusi
walaupun telah diberi terapi yang dianggap adekuat bahkan terlihat inflamasi sistemik
berkepanjangan (pirexia, gagal organ progresif, infeksi peritoneal persisten/rekuren).
Pada pemeriksaan bakteriologi ditemu spektrum mikroorganisme yang berbeda dari yang
lazim ditemu pada peritonitis sekunder. Umumnya ditemu flora yang berasal dari saluran
cerna atas seperti Staphylococci coagulase (-), Pseudomonas, Candida, dan Enterococci
(4,18)
. Hal ini menunjukan adanya pergeseran atau perubahan flora bakteri yang mungkin
disebabkan keadaan umum pasien yang lemah atau efek terapi antibiotika yang tidak
adekuat
(4)
. Pada pasien ini sering ditemu fokus infeksi yang tidak jelas tetapi kemudian
berlanjut sampai timbulnya gejala sepsis serta MOF. Mortalitas umumnya tinggi (30-
64%)
(5)
walau dengan terapi bedah dan antimikrobial yang agresif.
(17)
. Keadaan diatas
menggambarkan Peritonitis Tersier yaitu peritonitis persisten atau rekurens disertai
gangguan pertahanan tubuh dan timbulnya MOF karena tidak ada respons terhadap terapi
awal.
Definisi tersier menurut :
- Malangoni : Infeksi peritoneum rekuren setelah peritonitis primer atau sekunder.
- Nathens : Infeksi intra abdominal yang dibuktikan dengan kultur yang persisten atau rekurens
minimal 48 jam setelah terapi adekuat terhadap peritonitis sekunder.
- Reems : Pritonitis difus tanpa patogen atau fungus, atau bakteri patogenitas rendah dengan
fokus infeksi yang tidak jelas.
(17)


MIKROBIOLOGI

Gaster dan Duodenum umumnya steril atau sedikit mengandung Aerob Gr (+) berupa
Enterococcus, Streptococcus, Staphylococcus, dan patogen tahan asam yang terdapat dalam
saliva seperti Candida, lactobacilli, dan streptococcus.
(4,18,23)


Usus halus proximal:
Mulai ditemukan bakteri Gr (-) seperti E coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Proteus,
Acinetobacter, Citrobacter. Jumlah serupa dengan dalam lambung tetapi pada obstruksi
jumlahnya akan meningkat tajam.
(18,23)
.

Usus halus distal dan Kolon ditemu Gram (-) dan Anaerob berupa Bacteroides, Clostridium, dan
Fusibacterium.
(4,18,24)

Kolon mengandung sangat banyak patogen dan >99% merupakan anaerob dengan jenis
Bacteroides fragilis yang tersering ditemukan. Jumlah patogen ini berada dalam keadaan
keseimbangan dengan aerob Gr(-) seperti E coli dan Gr(+) seperti Enterococcus.
(18)

Anaerob dalam usus berperan penting dalam mempertahankan corak mikroflora usus. Percobaan
binatang yang menghilangkan anaerob caecum dengan antibiotika akan meningkatkan jumlah E
coli caecum sebesar 5-log. Pada manusia hilangnya anaerob akan meningkatkan koloni Candida
dan Enterococcus.
Jenis dan jumlah mikroflora yang umumnya tetap dapat berubah akibat penyakit atau terapi
antimikrobial sebelumnya. Misalnya, hilangnya asam lambung akibat antacid atau obstruksi
distal dapat menyebabkan kolonisasi lambung dengan anaerob seperti Bacteroides,
fusobakterium, atau organisme oropharynx seperti Streptococcus, Candida, dan Lactobacilli.
Komposisi flora juga ditentukan saat mulainya penyakit serta pengobatannya. Enterococcus lebih
sering ditemu pada peritonitis post operatif atau peritonitis yang timbul selama perawatan di
rumah sakit, post operastive based (kebocoran anastomosis etc.) dari pada peritonitis yang
dimulai di diluar Rumah sakit atau community based (apendisitis akut).
(4)

Pada perforasi kolon ratusan spesies yang merupakan flora normal akan keluar.Tetapi saat
peritonitis sudah manifest umumnya akan tinggal hanya 5 patogen yang tdd 3 anaerob dan 2
aerob.
(8, 23,)
. Menurut penelitian, E coli merupakan penyebab sepsis dan kematian pada peritonitis
dini, sedang B fragilis bersama E coli dan Enterococci menyebabkan abses lambat
intraperitoneal.
(18)


Perjalanan waktu menimbulkan perubahan mikroba penyebab sepsis dari terutama Gram (-)
tahun 60-80 menjadi campuran pada tahun 80-90 (tabel 1). Demikian dengan lokasi infeksi
primer (tabel 2)
(20)


1963 1987 1988 - 1998
Gr (-) 85% 42%
Gr (+) 12% 34%
Mixed 2% 14%
Fungi 1% 5%
Lain - 5% (anaerob 2%)

Tabel 1

Sepsis Gram negatif disebabkan Enterobacter 29%, Escherichia coli 13%, Klebsiella pneumoniae
8%, dan Pseudomonas aeruginosa 8%.
50% sepsis Gram positif disebabkan Staphylococcus (S aureus 12%, Staphylococcus coagulase
(-) 7%) Enterococcus 8%, Pneumococcus 4%.
Sepsis akibat Jamur terutama disebabkan Candida. Sepsis oleh Anaerob hanya ditemu sebesar
2%.

Waktu juga mengubah lokus infeksi :
1963 1987 1988-1998
Abdomen 27 % 19 %
Tr Urinarius 21 % 13 %
Paru-paru 17 % 36 %
Darah 16 % 20 %
Lain 19 % 5 %
Kulit dan jaringan 7 %
lunak

Tabel 2. Intensive Care Med 2001; 27 : S33-S48
(20)


Walaupun kebocoran usus mengeluarkan multi flora, komposisi yang keluar umumnya dapat
diprediksi
(1)

PRIMER SEKUNDER TERSIER
Gr (-) Gr (-) Gr (-)
E coli E coli 32-61% Pseudomonas
Klebsiella Enterobacter 8-26% Enterobacter
Klebsiella 6-26% Acinetobacter
Proteus 4-23%

Gr (+) Gr (+) Gr (+)
S aureus Enterococci 18-24% Enterococci
Enterococci Streptococci 6-55% Staphylococci
Staphylococci 6-16% coagulase (-)

Anaerob
Bacteroides 25-80%
Clostridium 5-18%

Fungi 2-15% Fungi
Candida
Tabel 3. Intensive Care Medicine 2003;29:530-38
(22)


Dalam usaha untuk lebih merinci dan menjelaskan jenis mikroba yang mungkin ditemukan,
dibedakan waktu pengambilan bahan untuk kultur. Dibedakan antara Community based atau
awal sakit yang terjadi diluar rumah sakit dari Post operative based atau sakit dengan indikasi
operasi yang terjadi selama dirawat. Dicari pula perbedaan antara mereka yang hidup dan yang
meninggal.

Walau sumber infeksi sama (isi usus), terdapat perbedaan mikrobiologi dan virulensi antara
Community based dan Post operative.
Enterococcus yang dalam keadaan normal bersifat virulensi rendah, post operatif ia merupakan
patogen utama pada infeksi nosokomial dan menunjukan banyak resistensi terhadap berbagai
antibiotika.
Pada Community acquired disease yang umumnya dikenal dengan peritonitis sekunder,
mikrobiologinya dapat diduga (E coli dan B fragilis.
(24)
, resistensi belum ada, pemberian
antibiotika disesuaikan dengan jenis mikroba.
Pada Post operative Peritonitis mikrobiologi belum banyak diketahui tetapi dapat berupa
Enterococcus, Enterobacter, S aureus, Staphylococcus coagulase (-)
(23)
. Merupakan kondisi
berbahaya karena pasien umumnya sudah lama dirawat dan sudah diberi pengobatan. Terdapat
resistensi tinggi terhadap antibiotika, mungkin sudah terjadi perubahan spektrum mikroba akibat
seleksi. Penyakit dasar serta komplikasinya dapat berperan besar.

Mortalitas kedua jenis penyakit berbeda :

Tabel 4
Community Post Op
Mortalitas : 9% 39%

Meninggal
Gr (-)
E coli (Gr -) (35,6%) (18,9)
Enterobacter (Gr -) (3,4%) (11,7%)

Gr(+)
Enterococcus (5,0%) (20,7%)
Streptococcus (17,8%) (3,6%)
Staph aureus (0,8%) (6,3)
Staph coag (-) (0,8%) (3,4%)

Pseudomonas lebih tinggi (tak signifikan)


E coli rendah di post op dapat dibagi :
Hidup 28%
Meninggal 9%

Enterobacter
Hidup 5%
Meninggal 19%
Enterococcus
Hidup 17%
Meninggal 25%

Pada Community based perbedaan hidup dan meninggal tak berbeda bermakna.

Perbandingan pasien yang diberi antibiotika pre operatif dan tidak (antibiotika diberi setelah re-
operasi) sangat mempengaruhi perubahan flora.
Pasien yang tidak diberi antibiotika mengandung flora serupa dengan community based yaitu.
E coli 36%, menjadi 11% setelah antibiotika, Enterococcus menurun dari 24% menjadi 14%.
Jumlah Enterobacter tidak banyak berubah. Staphylococcus coagulase (-) hanya ditemu setelah
antibiotika.
Pemberian antibiotika selanjutnya sangat mempengaruhi efikasi terapi yang akan datang karena
banyak penelitian menunjukan adanya pasien yang seluruh floranya sudah resisten
(17)
.

PATOFISIOLOGI

Setiap bakteri dalam peritoneum mempunyai elemen PAMPS (Pathogen Associated Molecular
Patterns) yang dikenal oleh sel efektor terutama Makrofag. Pengenalan ini akan menimbulkan
respons inflamasi baik lokal maupun sistemik berupa vasodilatasi, vasokonstriksi, agregasi sel
dll.
(8)

Histamin, Prostaglandin, Leukotriene B4, dan produk Makrofag lainnya akan meningkatkan
permeabilitas pembuluh peritoneal sehingga terjadi influx cairan kaya protein, netrofil,
komplemen, Imunoglobulin, dan fibrin
(23)
.
Perubahan permeabilitas dan aliran darah lokal ini akan mengubah pertukaran cairan. Inflamasi
peritoneum menyebabkan pergeseran cepat dari intravaskuler ke interstisiel dan ruang
peritoneum. Ileus yang selalu menyertai peritonitis akan menambah kehilangan cairan akibat
pergeseran masuk ke dalam lumen usus dan menurunnya absrorpsi.
Semua ini menimbulkan hipovolemi dan peningkatan tekanan intraabdominal sehingga dapat
terjadi abdominal compartment syndrome atau tekanan > 10 mmHg.
(8)
. Tekanan tinggi ini
perlu diperhatikan karena bila tekanan mencapai antara 10-20 mmHg akan mengganggun aliran
darah viseral dan gangguan fungsi paru. Tekanan antara 20-40 mmHg menambah penurunan
aliran balik vena sehingga terjadi gangguan fungsi miokard dan oliguria. Tekanan >40 mmHg
menimbulkan anuria
(8)


Selain perubahan permeabilitas, inflamasi peritoneum juga merangsang aktivasi kaskade
koagulasi dengan percepatan pembentukan fibrin yang menyebabkan adhesi dan kapsul abses
(4)
.
Fungsi fibrinolisis akan menurun pasca laparotomi dan hilang pada peritonitis. Menetapnya
fibrin berguna untuk melokalisir bakteri, akan tetapi pada saat yang sama ia melindungi bakteri
dari penghancuran oleh sel imun. Bakteri dalam bekuan fibrin dapat melepas enzim dan O
2

reaktif yang merusak jaringan. Keadaan ini berakhir dengan pembentukan abses suatu daerah
yang sulit dicapai obat. Pembunuhan bakterti oleh Netrofil akan menurun sedangkan jumlah
bakteri serta coenzimnya akan meningkat.
(4,8)

Faktor yang menetukan berat/ringan inflamasi infeksi sekunder antara lain berat kontaminasi dan
virulensi bakteri, adanya adjuvant seperti isi usus, empedu, darah, atau barium, respons lokal dan
sistemik host, dan terapi yang diberikan
(19)
.
Pasca terapi peritonitis sekunder dapat dikenal 2 keadaan berbeda yang saat ini banyak diteliti
yaitu :
1. Abses sederhana pasca operasi.
2. Infeksi berulang/persisten intraabdomen, sepsis, dan MOF.
Untuk identifikasi 2 keadaan berbeda ini banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor
risiko dan pada pasien mana keadaan diatas akan berlanjut.
(5)


Kenapa pada seorang penderita dapat terjadi peritonitis tersier belum terdeteksi dengan jelas dan
belum banyak penelitian yang mencari sebabnya.
Deteksi perubahan peritonitis sekunder menjadi tersier mungkin tidak jelas karena gejala yang
terlihat adalah tidak adanya perbaikan kondisi dan bukan penurunan drastis.
Oleh karena itu kesiagaan untuk mengantisipasi munculnya dengan mencari secara aktif faktor
risiko menjadi sangat penting. Walaupun dikatakan bahwa peritonitis tersier terjadi bila infeksi
awal tidak dapat dihilangkan secara efektif mungkin akibat pertahanan tubuh yang tak optimal,
ketidak mampuan melakukan source control, dan pemberian antibiotik secara tidak adekuat
saat operasi pertama, pencarian terhadap faktor risiko lain harus terus dilakukan al. :
- Malangoni mengidentifikasi Hipoalbuminemia.
- Pusajo menemukan MOF, operasi darurat sebelumnya, ileus lama, infeksi luka, nyeri
noninsisionil rekuren.
- Kegagalan pertahanan lokal :
akumulasi exudat berlebih
disregulasi imun yang dapat disebabkan cairan GI atau jaringan nekrotik yang menghambat
aktivitas Netrofil
infeksi multimikrobial
perubahan keseimbangan koagulasi-fibrinolisis.
menumpuknya cairan akan menurunkan efektivitas mediator lokal.
dilepasnya O2 reaktif dan enzim protreolitik merupakan mekanisme perusakan diri yang
berhubungan dengan timbulnya sepsis berat dan MODS.
(9)

- Peritonitis yang tidak hilang atau timbul kembali pasca operasi.
- Organisme resisten. Enterococcus sangat meningkat dan sering merupakan patogen utama. Ia
dapat ber sinergi dengan E coli untuk meningkatkan mortalitas, dan dengan B fragilis untuk
meningkatkan pembentukan abses
(21)
.
- Gangguan menghentikan infeksi dalam bentuk abses.
- Ketidak mampuan melokalisir infeksi.
- Terjadi perubahan respons lokal peritoneum.
(5,17)






TERAPI

Surgical Infection Society of North America dan Eropa mengharuskan terkumpulnya 3 data
sebelum mendiagnosis infeksi intra abdomen. :
1. Data pre operatif
A. Gejala klinik peritonitis.
B. Pencitraan yang menujukan adanya peritonitis atau abses. CT abdomen berguna
untuk menentukan adanya abses, cairan persisten, free air. Bila CT normal cari
source lain.
(19)


2. Data Intra Operatif
a. Infeksi peritoneal terlihat saat operasi berupa .
* Abses terlokalisir
* Peritonitis difus

b. Pus didapat melalui drainage percutan

3. Data Post Operatif
Kultur positif.

Penanganan peritonitis tersier sama dengan sekunder:
1. Suportif terutama untuk organ yang sakit.
2. Source control dengan operasi atau drainage perkutan. Tujuan terapi bedah tidak hanya
ditujukan untuk menghilangkan penyebab peritonitis sekunder tetapi juga untuk
mencegah disfungsi inflamasi sistemik yang dapat merupakan pencetus timbulnya
peritonitis tersier. Intervensi teknis untuk menghilangkan fokus infeksi, kontrol
kontaminasi, restorasi anatomi, dan restorasi fungsi al. drainase, debridement, reseksi,
penutupan perforasi, atau pembuatan stoma harus selalu diikuti pencucian dengan saline.
Tetapi kontrol sumber infeksi tak selalu dapt dilakukan saat operasi pertama. Cara lain
adalah dengan planned reoperation, open abdomen, continuous post op lavage.
3. Pemberian antibiotika yang sesuai resistensi dibatasi hanya 5-7 hari . Bila terdapat gejala
infeksi persisten harus dilakukan prosedur tambahan untuk mengontrol infeksi karena
antibiotik saja tidak mungkin mengontrolnya. Ditemukannya Enterococcus dalam kultur
intraperitoneal dianggap sebagai kegagalan terapi. Bakteri ini sering berhubungan dengan
infeksi post operatif atau peritonitis rekuren, maka perlu diberi terapi khusus anti
enterococcus.
(19)
. Ditemukannya Enterococcus pada peritonitis sekunder merupakan
pertanda kurang baik, tetapi terapi antibiotika spektrum luas masih memadai. Sedangkan
walau bukti penelitian belum defenitif, pemberian antibiotik khusus terhadap
Enterrococcus dapat memperbaiki prognosis. Dengan demikian saat ini diambil
konsensus bahwa ditemunya Enterococcus pada peritonitis tersier harus diberi antibiotika
spektrum sempit khusus antienterococcus yang tidak mengganggu mikroba anaerob. Obat
yang ditujukan terhadap B fragilis dan E coli ternyata cukup untuk menurunkan
Enterococcus. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa Enterococcus ini
merupakan komponen utama yang perlu mendapat perhatian khusus karena menimbulkan
abses. Tampaknya perlu diberi terapi khusus terhadapnya.
(23)
Pemeriksaan mikrobiologi
perlu dilakukan untuk menentukan apakah aspirat steril atau terinfeksi, dan mendeteksi
perubahan ke peritonitis tersier.
(5)


Pengawasan dan penilaian kembali harus dilakukan secara terus menerus. Lakukan pemeriksaan
kultur, pencitraan, dan laboratorium setiap 7 hari untuk menyingkirkan kemungkinan peritonitis
rekuren, jangan bersikap WAIT AND SEE.
(5)


KESIMPULAN
Terdapat satu golongan pertitonitis dengan prognosis yang buruk karena penanganannya yang
sulit. Segala tindakan harus diarahkan untuk mengawasi kemungkinan timbulnya melalui
pengenalan faktor risiko.

ANJURAN
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan terus
menjadi tidak terkontrol. Source control agar dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur
dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukan perjalanan penyakit yang
panjang dan berat.
Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi, dan gunakan obat yang sesuai
resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.




KEPUSTAKAAN

1. Hackford AW. Intra-abdominal sepsis: a medical-surgical dilemma. Clin Ther 1990;12 Suppl
B:43-53.
2. Bosscha K, van Vroonhoven Th JMV, van der Werken Ch Surgical management of severe
secondary peritonitis. Br J Surg 1999 Nov;86(11):1371-7 Comment in: Br J Surg. 2000
Mar;87(3):378.
3. Schein M, Wittmann DH, Holzheimer R, Condon RE. Hypothesis: compartmentalization of
cytokines in intraabdominal infection. Surgery 1996 Jun;119(6):694-700.
4. Marshall JC, Innes M. Intensive Care Management of Intra abdominal Infection. Critical Care
Medicine 2003; 31(8) : 2228-37
5. Evans HL, Raymond DP, Pelletier SJ, Crabtree TD, Pruett TL, Sawyer RG. Tertiary peritonitis
(recurrent diffuse or localized disease) is not an independent predictor of mortality in surgical
patients with intraabdominal infection. Surg Infect (Larchmt). 2001 Winter;2(4):255-63 .
6. Hall JC, Heel KA, Papadimitriou JM, Platell C. The pathobiology of peritonitis.
Gastroenterology 1998 Jan;114(1):185-96.
7. Heemken R, Gandawidjaja L, Hau T. Peritonitis: pathophysiology and local defense
mechanisms. Hepatogastroenterology 1997 Jul-Aug;44(16):927-36.
8. Hau T.Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci 2003, 33:131-4.)
9. Broche F,Tellado JM. Defense mechanisms of the peritoneal cavity.Curr Opin Crit Care
2001,7:105-16
10. Farthmann EH, Schoffel U. Epidemiology and pathophysiology of intraabdominal infections
(IAI). Infection 1998 Sep-Oct;26(5):329-34.
11. Iwagaki H, Hizuta A, Uomoto M, Takeuchi Y, Kohoka H, Okamoto T, Tanaka N. Clinical value
of cytokine antagonists in infectious complications. Res Commun Mol Pathol Pharmacol 1997
Apr;96(1):25-34.
12. Topley N, Mackenzie RK, Williams JD. Macrophages and mesothelial cells in bacterial
peritonitis. Immunobiology 1996 Oct;195(4-5):563-73.
13. Li FK, Davenport A, Robson RL, Loetscher P, Rothlein R, Williams JD, Topley N. Leukocyte
migration across human peritoneal mesothelial cells is dependent on directed chemokine
secretion and ICAM-1 expression. Kidney Int 1998 Dec;54(6):2170-83.
14. Ajuebor MN, Das AM, Virag L, Szab, Perretti M. Regulation of macrophage inflammatory
protein-1 alpha expression and function by endogenous interleukin-10 in a model of acute
inflammation. Biochem Biophys Res Commun 1999 Feb 16;255(2):279-82.
15. Bellingan GJ, Caldwell H, Howie SE, Dransfield I, Haslett C. In vivo fate of the inflammatory
macrophage during the resolution of inflammation: inflammatory macrophages do not die
locally, but emigrate to the draining lymph nodes. J Immunol 1996 Sep 15;157(6):2577-85.
16. Haecker FM, Berger D, Schumacher U, Friess D, Schweizer P.. Peritonitis in childhood: aspects
of pathogenesis and therapy. Pediatr Surg Int 2000;16(3):182-8
17. Rosengart MR, Nathens AB.Tertiary Peritonitis.Current Treat Options in Infect Dis 2002, 4:403-
9
18. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis : Update on Pathophysiology, Clinical
Manifestation, and Management.Clin Infect Dis1997;24:1035-47
19. Malangoni MA. Current Concepts in Peritonitis. Current Gastroenterol Rep 2003, 5(4):295-301
(10)
20. Bochud PY, Glauser MP, Calandra T. Antibiotics in Sepsis. Intensive Care Med 2001; 27 : S33-
S48
21. Hau T,Wacha N, Siebeck M, Geiler B, Lichtwark-Aschoff,M et al. Circulating mediators H.
Importance Of Enterococci In Intraabdominal Infections. Shock 2004;suppl 21: 140
22. Levy ML, Fink MP, Marshall JC, Abraham E et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Conference. Intensive Care Medicine 2003;29:530-38
23 Lawrence KL, Adra M, Schwaitzberg SD. An Overview of the Pathophysiology and treatment of
secondary peritonitis. Formulary 2003,48:102-11 (17)
24 Roehrborn A, Thomas L, Potreck O, Ebener C, Goretzki PE, Roher HD. The Microbiology of
postoperative peritonitis. Clin Infect Dis 2001,33: 1513-9

Anda mungkin juga menyukai