Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1).Anatomios nasal
Hidung berbentuk seperti piramida yang mempunyai kerangka dari tulang dan
tulang rawan, dilapisi otot jaringan subkutis dan kulit. Rongga hidung seperti
terowongan yang atapnya melengkung dari depan kebelakang, di pisah oleh bagian
kanan dan kiri oleh septum nasi. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior.
Bagian depan capum nasi ( di bagian sebelah dalam kuping hidung ) disebut
festibulum nasi, diapisi oleh kulit yang mengandung kelenjar sebasea dan rambut
rambut kasar. Lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior dan
berhubungan langsung dengan nasofaring.(Iskandar dkk,1989)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidungialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dantulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior,
konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

2

merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.Disini terdapat muara
dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus (Ballenger, 1994).
Secara fungsional hidung terbagi menjadi area pernapasan atau respirasi di
dua pertiga bagian bawah atau area olfactoris atau penciuman disepertiga bagian atas.
Melalui keberadaan sekat ronga hidung udara yang diisap mengalami sirkulasi
didalam rongga hidung untuk penyusuaian suhu udara yang masuk ke dalam paru
paru.
Sinus atau rongga dalam tulang sekitar hidung (sinus paranasalis) belum
terbentuk sempurna sesudah beberapa tahun. Sinus frontalis di tulang dahi baru
sempurna pada saat sekitar lima tahun, sinus maxilaris di tulang rahang atas setelah
erupsi gigi dewasa sekitar delapan tahun, dan sinus spenoidalis di belakang hidung
sekitar sepuluh tahun.

3

Melalui hubungan dengan udara luar , tekanan udara di dalam sinus selalu
mengalami pengaturan keseimbangan. Penyumbatan saluran ini menyebabkan
penurunan tekanan akibat absorbs udara oleh mucosa yang pada gilirannya akan
menyebabkan reaksi radang dan infeksi yang dinamakan sinusistis.








4











Di bagian depan septum terdapat jaringan pembuluh darah kecil, area ini
dikenal sebagai area Kiesebach yang mudah mengalami pendarahan hidung
(epistaxis). Pernapasan sensoris rongga hidung dikendalikan oleh cabang saraf otak
kelima.Atap rongga hidung atau area alfoctaris mempunyai pernapasan sensoris
umus melalui saraf tersebut diatas, dan penciuman melalui saraf otak Sinus
paranasalis juga mendapat persyarapan sensorik melalui saraf otrak kelima. Di
dalam sinus maxilaris, yaitu rongga di dalam tulang di kiri kanan hidung, terdapat
cabang cabang saraf yang mengatur gigi rahang atas.(Daniel s, 2013)


5


( Gambar II. 1, Rangka Hidung Tampak Lateral) ( Sobotta, 1,2003)
SSSSSSSSSSSSSSSSS







( Gambar II.2 Rangka Hidung Tampak Dorsal ) ( Sobotta jilid.1, 2003 )

2.Fisiologi Nasal
Fungsi hidung ialah untuk jalan nafas, alat pengukur kondisi udara, penyaring
udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
refleks nasal.

6

1. Sebagai jalan nafas pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu ke
atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akanmelalui nares anterior dan
sebagian lain akan kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan
aliran udara.
2. Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan
caramengatur kelembapan udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.Mengatur
suhu fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat 10
berlangsung secara optimal.Dengan demikian, suhu udara kurang lebih 37 derajat
celcius.
3. Sebagai penyaring dan pelindung berguna untuk membersihkan udara
inspirasi dari debu dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.
Debu dan silia akan lengket pada palut lendir dan partikel besar dikeluarkan melalui
refleks bersin. 4. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau bisa mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik nafas dengan kuat.

7

4.Resonansi suara oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara.
Sumbatan di hidung menyebabkan resonansi suara berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau. Hidung membantu proses pembentukan kata- kata. Kata
dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Mukosa hidung merupakan reseptor
refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan (
Grevers, 2006,Syarifuddin,1997 )
3. PATOLOGI OS NASAL
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang biasanya disebabkan oleh
adanya kekerasan yang timbul secara mendadak.
A. Klasifikasi fraktu,
1. Fraktur dahan patah (greenstick fracture ) biasanya terjadi pada anak anak,
tulang patah dibawah lapisan poriesteum yang elstis dan tebal Periosteum
adalah lapisan membran fibrosa tebal yang meliputi hampir seluruh
permukaan tulang
2. Fissura fraktur adalah patah tulang yang tidak disertai perubahan letak yang
berarti.
3. Fraktur yang lengkap ( Coplite fraktur ) adalah patah tulang yang disertai
dengan terpisahnya bagian bagian tulang.
4. Commuited fraktur adalah patah tulang yang menjadi beberapa fragmen.

8

5. Fraktur tekanan (strees fracture) adalah kekerasan tulang kerena kelemahan
terjadi susudah berulangulang ada tekanan berlebihan yang tidak lazim
Ada beberapa jenis yang ada hubungnnya antara ujung tulang yang mengalami
fraktur dengan jaringan jaringan disekitarnya yaitu :
1. Fraktur tertutup disebut juga fraktur simplex dimana patah tulang tidak
mempunyai hubungan dengan udara terbuka.
2. Fraktur terbuka adalah : 1. kulit terobek dari dalam karena fragmen tuang
yang menembs kulit 2. Karena kekerasan yang langsung dari luar
3. Fraktur komlikata adalah disini persendian, syaraf, pembuluh darahatau organ
fisviscera juga ikut terkena. Fraktur seperti ini dapat juga berbentuk fraktur
tertutup ataupun fraktur terbuka.
4. Fraktur patologis adalah karena adanya penyakit local pada tulang sehingga
benturan yang ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat menyebabkan
fraktur.
Fraktur dari jenis apapun dapat mengalami perubahan letak Fragmen proximal tetap
pada posisi semula, sedangkan fragmen distal berpindah tempat. Pengembalian
fragmen distal ketempat semula dilakukan dengan reposisi , dalam hal ini ( paling
ideal ) adalah kembalinya fragmen tersebut menurut posisi anatomisnya. Fragmen
distal dapat berpindah kesamping lateral atau medial, atau dapat pula berada diatas
(menumpangi ) fragmen proximal sehingga terjadi pendekatan. Perubahan bentuk lain

9

yang sering terjadi pada tempat fraktur adalah angulasi dan atau endorotasi atau
exorotasi.
B.Gambaran klinis fraktur
1. Riwayat trauma.
2. Nyeri, pembengkakan dan nyeri tekan pada daerah fraktur.
3. Perubahan bentuk.
4. Hilangnya fungsi anggota badan dan persendian persendian yang terdekat.
5. Gerakan gerakan yang abnormal
6. Krepitasi
C.Menentukan adanya fraktur
Foto sinar X daerah fraktur, yang diambil dalam beberapa bidang pandangan,
sangatlah penting. (Foto foto harus dapat menunjukkan pula persendian persendian
yang terletak di proximal dan distal dari tempat fraktur ). Pemeriksaan fisik yang
seksama ungkin akan menunjukkan perlunya pemeriksaan radioogi yang lebih
lengkap karena luka/ cidera yang memaksa penderita memeriksakan diri mungkin
akan menarik perhatian sepenuhnya , sehingga mengaburkan adanya fraktur atau
dislokasi ditempat lain. Foto biasanya diambil dari bidang antero posterior dan bidang
lateral, akan tetapi beberapa fraktur tertentu ( misalnya pada scapula, vertebra
cervikalis ) mungkin hanya dapat dilihat difo sinat x yang diambil secara miring
(oblique).(Bernard, 1978 )

10

D. Fraktur Nasal
Adalahmingkin fraktur pada tulang nasal saja, tetapi biasanya ada fraktur yang
terkait dengan prosesus frontalis maksila yang bersambung dengan tulang nasal pada
pisisi lateralnya, karena itu pernyataannya adalah kompleks nasal.Sptum nasi kadang
kadang septum kartilagi juga terlibat, hanya tergeser ari alurnya pada vomer, tetapi
pada cidera yang berat lamina perpendikularis dan lamina kribrosa tulang etmoidalis
ikut fraktur, pada keadaan ini dapat ada renorea cairan serebrospinal.
Pergeseran tergantung pada kekuatan fraktur dan secara klinis ada dua jenis
fraktur fraktur pokok :
1. Tulang nasal dan fragmen yang terkait dari prosessus frontalis maksila
tergeser kesatu sisi oleh suatu gaya penggeser lateral
2. Tulang tulang nasal terdorong ee dalam dan fragmen fragmen yang terkait
dari prosessus frontalis maksila terenggang keluar dengan gaya yang
dikenakan langsung pada jembatan hidung. ( Hugh A.F. Dudlry, 1985 )
Tindakan kekerasan langsung pada hidung sering menyebabkan fraktur pada
lengkungan hidung, biasanya cidera dapat dilihat secara klinis segera setelah kejadian
dari adanya distorsi dari bentuk normal, meskiun tanda ini segera hilang akibat
pembengkakan jaringan lunaknya,
Cidera pada bagian lain dari muka harus disingkirkan, yaitu fraktur kompleks
zigomatikomaksilaris yang menyartainya dapat mengganggu terbukanya rahang dan

11

gangguan pada merapatnya gigi geligi, diplopia dan anastesi kulit yang
disyarafi.Inferiorbitalis.Cidera ini selalu disertai pembengkakan yang cepat jaringan
lunak pipi, perdarahan subkonjungtiva biasanya terlihat jelas, palpasi yang cermat
pada tulang tulang dipinggir orbita dapat menemukan derajat deformitas yang khas.(
Jensen, 1992 )
Untuk menegakkan diagnose suatu fraktur atau keperluan pengobatan ,
pemeriksaan radioloi tidak selalu diperlukan , tetapi sering dilakukan untuk keperluan
medikolegal, reduksi secara bedah pada fraktur lengkungan hidung diperlukan hanya
jika didapati deformitas. Sering dijumpai kesukaran untuk menentukan deviasi dari
bentuk normal sampai pembengkakan jaringan lunak pulih yang membutuhkan 5-7
hari. Karena tulang hidung akan tersambung kuat dalam waktu 3 minggu setelah
trauma , perlu atau tidaknya pengobatan harus ditentukan sesudah seminggu dan jika
perlu reduksi dengan anastesi umum harus sudah direncanakan pada seminggu
berikutnya, fraktur pada zigoma dan maxilla akan tersambung kuat jauh lebih cepat
yakni dalam bebera hari. Bila tedapat kecurigaan fraktur zigomatikomaksilaris, pasiae
harus segera dirujuk kepada dokter ahli bedah fasiomaksilaris
Cidera pada hidung hidung sering sering menyebabkan defleksi septum nasi
yang disertai obstruksi hidung. Jarang keadaan ini dapat dikoreksi secara memuaskan
pada waktu mereduksi fraktur hidung, dan paling baik defleksi diterapi dengan
reseksi submukosa beberapa bulan kemudian.

12

Hematoma septum dapat timbul setelah terjadi trauma pada hidung. Ini
menyebabkan obstruksi total pada hidung dan mudah ditandai dengan adanya
pembengkakan pada kedua sisi septum pandangan depan, perlu pengobatan segera
menghindari terbentuknya abses septum yang dapat mengakibatkan terjadinya
nekrosis pada struktur tulang rawan yang diikuti eloh kolaps dan deformitas yang
tidak bagus dilihat, bekuan darah harus dikeluarkan
C. PROSEDUR PEMERIKSAAN OS NASAL
1.Persiapan Pemeriksaan Tulang Hidung
Persiapan pada pemeriksaan tulang hidung dibagi menjadi dua macam yaitu :
A. Persiapan Pasien
Dalam pemeriksaan radiografi tulang hidung tidak memerlukan persiapan khusus,
cuma membebaskan semua logam, plastik dan semua objek lain dipindahkan dari
kepala (Bontrager, 2001).
B. Persiapan alat dan bahan
Pesawat sinar-X siap pakai dengan bucky table
Kaset yang dilengkapi screen ukuran 18 x 24 cm
Marker R / L
Prosesing film
Film occlusal ukuran 6x7 cm (Ballinger 1995).

13

A. Proyeksi Lateral
Pasien semi prone diatas meja pemeriksaan dengan kepala dan kaki diatur
dalam posisi yang nyaman.
Tempelkan bagian lateral dari kepala pada meja pemeriksaan, pastikan objek
yang diperiksa masuk pada kaset.
Posisikan tulang hidung di tengah kaset, pastikan kepala dalam posisi true
lateral serta untuk kenyamanan posisikan tubuh dalam posisi oblik. Bila perlu
letakkan soft bag di bawah dagu, pastikan MSP (Mid Sagital Plane) paralel
dengan meja pemeriksaan. Interpupilary line tegak lurus dengan
memposisikan infra orbita meatal line tegak lurus di depan kaset.
Arah sinar tegak lurus terhadap kaset.
Titik bidik inchi (1,25 cm) di bawah nasion.
Jarak focus ke film 100 cm, eksposi saat diam.
Kriteria : tampak bayangan dengan struktur soft tissue, tampak sutura
nasofrontal dan tampak anterior nasal spine






14

( Gambar II. 3 posisi pasien proyeksi lateral ) ( Gambar II.4 hasil radiograf )
( bontrager 2001 ) ( bontrager 2001 )

B. Proyeksi Parietoacanthial (Metode Waters)
Pasien prone diatas meja pemeriksaan dengan kepala dan kaki diatur dalam
posisi yang nyaman. Ekstensikan kepala, posisikan dagu dan hidung
menempel pada meja pemeriksaan.
Posisikan kepala sampai lips-meatal line (LML) tegak lurus, orbito meatal
line (OML) membentuk sudut 55 dengan image reseptor. Posisikan Mid
sagital Plane (MSP) tegak lurus pada pertengahan grid atau meja pemeriksaan,
pastikan tidak ada rotasi atau kemiringan dari kepala.
Arah sinar tegak lurus dipusatkan keluar pada acantion.
Jarak focus ke film 100 cm. kolimasikan 1 inchi (2,5 cm) pada tulang wajah.
Kriteria : proyeksi parietoacanthial (waters method) dapat menampakkan
bony nasal septum, tulang petrom.





15

( Gambar II. 5 metode waters ) ( Gambar II . 6 hasil radograf )
( bontrager 2001 ) ( bontrager 2001 )
C. Proyeksi Superoinferior Tangential (Axial)
Posisi pasien duduk tegak diatas kursi dan bersandar di atas meja pemeriksaan
atau tidur prone diatas meja pemeriksaan. Letakkan dagu diatas kaset dan atur
sudut kaset yang tepat di bawah dagu.
Pastikan kaset tegak lurus dengan Glabella Alveolar Line (GAL). Mid Sagital
Plane (MSP) kepala tegak lurus terhadap arah sinar dan garis tengah kaset.
Arah sinar dipusatkan pada hidung dan sudutkan dengan tepat agar paralel
dengan Glabella Alveolar Line (GAL). Titik bidik menuju glabela menuju
gigi atas bagian depan.
Jarak fokus ke film 100 cm.
Kriteria : tampak tulang nasal bagian tengah dan distal dalam posisi tangensial
(tampak sedikit superposisi dengan glabela atau alveolar ridge) dan tampak
soft tissue hidung.




16


( Gambar II.7 superior inferior tangensial ) (Gambar II. 8 hasil raiograf )
( bontrager 2001 ) ( bontrager 2001 )
D. Proyeksi Lateral Dengan Film Occlusal
Penderita semi prone diatas meja pemeriksaan dengan tangan dan kaki diatur
dalam posisi yang nyaman. Kepala penderita diatur sehingga Mid Sagital
Plane kepala paralel terhadap meja pemeriksaan dan interpupilary line tegak
lurus terhadap meja pemeriksaan.
Mengatur film occlusal diatas spon diletakkan di sudut bawah supra orbital.
Sudut-sudut film dibuat tidak tajam, sehingga dapat diletakkan tanpa
mengganggu kenyamanan penderita. Sudut pinggir film diletakkan pada sisi
hidung pada inner canthus dan tekan bagian atas film sehingga paralel
terhadap Mid Sagital Plane (MSP) kepala.
Arah sinar vertikal tegak lurus kaset dengan titik bidik pada pada 0,25 inchi
atau 1,9 cm dari distal nasion menuju tengah film, jarak focus ke film 90 cm
dan eksposi saat penderita diam.
Kriteria : tampak gambaran lateral tulang hidung dan jaringan lunak tanpa ada
rotasi, tampak spina nasalis anterior dan sutura fronto hidung.

17


( Gambar II .9 posisi lateral dengan film oclusal ) (Gambar II .9 hasil radiograf )
( Merrill s vol 2 , 1999 ) ( Merril s vol 2 , 1999 )









18

Anda mungkin juga menyukai

  • Panduan Sipenmaru Jalur Mandiri
    Panduan Sipenmaru Jalur Mandiri
    Dokumen7 halaman
    Panduan Sipenmaru Jalur Mandiri
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Gigi
    Gigi
    Dokumen1 halaman
    Gigi
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Sulteng LPJ
    Sulteng LPJ
    Dokumen38 halaman
    Sulteng LPJ
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Gigi 2
    Gigi 2
    Dokumen1 halaman
    Gigi 2
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • NASKAH
    NASKAH
    Dokumen3 halaman
    NASKAH
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Resume Singkat DGJ
    Resume Singkat DGJ
    Dokumen3 halaman
    Resume Singkat DGJ
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Tukak Lambung
    Tukak Lambung
    Dokumen3 halaman
    Tukak Lambung
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Askep CA Paru
    Askep CA Paru
    Dokumen32 halaman
    Askep CA Paru
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Abstrak 2
    Abstrak 2
    Dokumen13 halaman
    Abstrak 2
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat
  • Tugas Ayu
    Tugas Ayu
    Dokumen1 halaman
    Tugas Ayu
    nurulramadhani
    Belum ada peringkat