Anda di halaman 1dari 3

Pengantar

Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mumin dan meninggal dalam
keadaan mumin.
Selain memperhatikan al-Quran, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh
memperhatikan perkembangan periwayatan hadis.
Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat
hadis disampaikan.
) (
Ingatlah, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. (HR. Ibn Majah).

II. Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang
memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau
menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwyah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima
hadis.
Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini
muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan
saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu
muncul pemalsuan hadis.

III. Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti :
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan
permasalahan pada Al-Quran. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain
: Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-
Riwyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan , atau kata yang sejenisnya.
2. Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
Mencari hadis dari perawi lain.
Meminta kesaksian selain periwayat.

IV. Cara Meriwayatkan Hadis
Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal
meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar.
Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi
isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan
sedikitpun.
Masa Tabiin

I. Hadis pada Masa Tabiin
Tabiin adalah mereka yang bertemu dengan sahabat nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam
keadaan beriman.
Wilayah kekuasaan Islam sudah meluas. Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan Spanyol. Hingga beberapa
sahabat hijrah ke wilayah tersebut demi mengemban tugas.
Pada masa ini hingga akhir abad pertama, banyak di antara tabiin yang menentang penulisan hadis. Di
antaranya: Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (72 H), Ibrahim bin Yazid al-Taimi (92 H), Jabir bin Zaid (93
H) dan Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (96 H). Larangan penulisan tersebut karena :
Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadis sehingga tercampur.
Larangan tersebut hanya pribadi, sementara murid-muridnya dibiarkan mencatat.

II. Metode Tabiin dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw.
1. Menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat.
2. Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit.
3. Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari perawi lain.
4. Melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.

III. Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani
Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah
Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Selain itu khalifah juga memerintah Ibn Hazm dan
Ibn Syihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadis Nabi SAW.
Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya :
Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

IV. Motif Umar bin Abdul Aziz
1. Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum dibukukan.
2. Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang dibuat orang-orang
untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.
3. Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Quran dan hadis, keduanya sudah bisa
dibedakan. Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam.
4. Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam medan perang.
V. Kodifikasi Hadis Pada abad kedua
Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan
tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan maqthu, dan antara hadis yang shahih,
hasan dan dla'if.
Kitab Hadis yang masyhur :
1. Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadis yang terkandung
dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.
2. Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".
3. Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah,
menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain.

VI. Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga
Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabiin.
Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3
macam kitab hadis, yaitu :
1. Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)
2. Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
3. Al-Darimi) - berisi hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.
4. Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi
berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadis untuk
bahan perbandingan.

Anda mungkin juga menyukai