Patra Energy Review 2
Patra Energy Review 2
Energy Review
MENUJU KETAHANAN ENERGI
NASIONAL
DIVISI KAJIAN ENERGI HMTM PATRA 2013/2014
Edisi #4
2
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
Kapabilitas Industri Hulu
Migas Indonesia
Siapa Penguasa Blok
Mahakam Selanjutnya?
Listrik dan Indonesia: Di
Ujung Tanduk atau Diambang
Kebangkitan?
CONTENTS
3
8
6
Aditya Prasetyo
12210021
Andy Rosman H.
12211032
Alris Alfharisi
12211014
Solusi Energi Indonesia:
Akankah Kita Terus Bergan-
tung Pada Minyak Bumi Dan
Gas Alam?
12
Aris Tristianto Wibowo
12210022
Gas Sebagai Sumber Energi
Pengganti Minyak
14
Isna Rasyad Hanief
12211021
Masih maukah kita menggu-
nakan BBM SUBSIDI?
17
Jody Aria Widjaya 1
2211034
Iklim Investasi Energi di
Indonesia. Meningkatkan
Nilai Jual dan Produktivitas
Sumber Daya Energi.
Pantaskah Sistem Kso Diter-
apkan?
19
22
Luthfan Nur Azhim
12211038
Aldia Syamsuduha
12210027
&
Temmy Surya Kurniawan
12210073
P
erlu diketahui bahwa dasar
pengelolaan migas di In-
donesia sebenarnya sudah
dirancang dengan ide Kon-
trak Production Sharing (PSC).
Ide Kontrak Bagi Hasil ini diinisi-
asi oleh Bung Karno, terinspirasi
dari pengelolaan pertanian di
Jawa. Kebanyakan petani adalah
bukan pemilik sawah dan mereka
mendapatkan penghasilannya
dari bagi hasil. Pengelolaan ada
ditangan pemiliknya. Pak Ibnu
Sutowo juga menyatakan bahwa
yang dibagi dari sistem PSC
adalah minyak/gas (hasilnya) dan
bukan uangnya. Intinya adalah
kita harus menjadi Tuan di rumah
kita sendiri. Itulah sebabnya
dalam Kontrak Production Shar-
ing Manajemen ada di tangan
pemerintah.
Dasar perbedaan utama yang
dapat dilihat dari konsesi dan
PSC adalah pada sistem audit
dan manajemen. Konsesi menya-
takan, manajemen ada di tangan
kontraktor, yang penting adalah
dia membayar pajak. Sistem audit
disini adalah post audit saja. Se-
dangkan pada PSC, manajemen
ada di tangan pemerintah. Setiap
kali kontraktor mau mengem-
bangkan lapangan dia harus
menyerahkan POD (Plan of Devel-
opment), WP&B (Work Program
and Budget) atau program kerja
dan pendanaan serta AFE (Au-
thorization for Expenditure) atau
otorisasi pengeluaran supaya
pengeluaran bisa dikontrol.
Sistem audit di sini adalah pre,
current, dan post audit.
Pemikiran Bung Karno ini memiliki
tujuan mengusahakan min-
yak kita sedapat mungkin oleh
kita sendiri. Kemudian bangsa
Indonesia dapat belajar cepat
tentang bagaimana mengelola
perusahaan minyak serta belajar
cepat untuk menguasai teknologi
dibidang perminyakan. Ide PSC
ini menjadi pelopor sistem kontrak
di berbaagai negara namun
sayang ide ini justru lebih berhasil
dilaksanakan oleh Petronas Ma-
laysia. Walaupun demikian, kita
cukup berbangga hati mempu-
nyai Medco dan perusahaan-pe-
rusahaan swasta nasional lainnya
yang dapat menyaingi perusa-
haan multinasional.
Pengelolaan Migas di Indonesia
dan Intensifikasi Produksi
Sebagai bagian dari visi pen-
gusahaan migas di Indonesia
adalah untuk memanfaatkan
migas untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (pasal 33
UUD 1945), maka dari itu termina-
si-terminasi kontrak sebaiknya
diprioritaskan untuk dikerjakan
perusahaan-perusahaan Nasion-
al (Pertamina, Swasta Nasional,
Perusahaan Daerah) atau paling
tidak saham Nasional lebih besar.
Pengusahaan migas sebagian
besar dilakukan oleh perusahaan
multinasional di banyak Negara
berkembang, termasuk Indonesia
berdasarkan suatu kontrak.
Sebelum melakukan peningkatan
produksi terlebih dahlu kita harus
mempertahankan stocknya. Stock
atau proven reserves (cadangan
terbukti) pada migas turun den-
gan produksi dan naik dengan
penemuan serta Improved Oil
Recovery (IOR). Cadangan yang
belum ditemukan berkurang
dengan adanya penemuan kare-
na cadangan tersebut menjadi
terbukti. Investasi meningkat jika
potensi mendapat keuntungan
meningkat. Keuntungan adalah
fungsi dari produksi, harga, biaya
dan pedapatan pemerintah.
Teknologi berpotensi menurunkan
Data Discovery, Produksi, serta Revenue dari minyak dan gas - SKK MIGAS
Kapabilitas Industri Hulu Migas
Indonesia
Oleh: Aditya Prasetyo (12210021)
3
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
biaya, sedangkan memelihara
lingkungan baik fisik maupun
sosial membutuhkan biaya.
Lesunya eksplorasi mengakibat-
kan sedikitnya penemuan cadan-
gan baru, secaraa berurutan
mengganggu dan menurunkan
produksi minyak kita. Di samp-
ing oleh tingginya countrys risk
untuk Indonesia, lesunya eksplor-
asi tersebut disebabkan oleh
diterapkannya Bea masuk, pajak
pertambahan nilai (PPN) impor
dan pajak penghasilan (PPh)
impor sejak diberlakukannya UU
No. 22 / 2001. Menurut Goldman
Sachs Riset Institute (GSRI) 2007,
Indonesia termasuk Negara yang
berkatagori very high risk. Resiko
tersebut ditentukan berdasarkan
korupsi, aturan hukum, stabilitas
politik, kualitas regulasi, dan
indeks pembangunan manusia.
Pemerintah perlu memberitahu
kontraktor bahwa kriteria utama
untuk perpanjangan kontrak
adalah memproduksikan lapan-
gan yang sudah ditemukan dan
melakukan kegiatan eksplorasi
di wilayah kerja yang sudah
produksi karena disamping itu
banyak kontraktor yang kurang
melakukan eksplorasi di wilayah
kerjanya yang sudah produksi,
akibatnya cadangan dan produk-
sinya cepat menurun. Solusi sing-
kat bisa dilakukan peningkatan
produksi dalam jangka pendek
dapat dilakukan dengan mem-
produksikan lapangan-lapangan
yang terlantar dengan meminta
kontraktor untuk melepaskannya
dan kemudian dioperasikan oleh
perusahaan terpilih yang berse-
dia memproduksikannya. Usaha
lain adalah meminta kontrak-
tor melakukan IOR, termasuk
Enhanced Oil Recovery (EOR),
seoptimal mungkin. Apabila dia
tidak bisa melakukannya sendiri,
maka dengan persetujuan pemer-
intah, dapat melakukan perfor-
mance based contract dengan
perusahaan jasa yang berniat
melakukan IOR tersebut, dengan
memberikan fee atau sebagian
produksi hanya apabila terjadi
penambahan produksi. Produksi
dapat ditingkatkan pula dengan
dipercepatnya pembebasan
tanah, ijin penggunaan lahan,
diperbaikinya sistem birokrasi
dan informasi serta kemitraan
(partnership) dengan investor
baik di Ditjen Migas maupun
BP Migas, koordinasi yang baik
antara instansi terkait, termasuk
pusat dan daerah.
Permasalahan gas adalah
iming-iming harga ekspor yang
cukup tinggi dan belum jelas-
nya insentif apabila gas terse-
but digunakan untuk domestik
dengan harga lebih rendah. Gas
lain yang bisa digunakan adalah
Coal Bed Methane (CBM) yaitu
gas methana yang ada dalam
lapisan-lapisan batubara dima-
na cadangannya cukup besar.
Indonesia perlu memberlakukan
penerimaan pemerintah yang leb-
ih rendah untuk CBM dibanding-
kan gas, karena biaya produksi
CBM lebih mahal dibanding gas.
Untuk pengembangan gas dan
CBM perlu dipertimbangkanharga
gas domestik yang menarik, misal
$ 6/MSCF. Perlu disadari bahwa $
6/MSCF gas hanya setara dengan
$ 36 /BOE minyak. Lapangan
gas medium dan kecil serta CBM
memerlukan media transporta-
si berupa pipa. Pembangunan
infrastruktur gas tersebut perlu
ditingkatkan.
Iklim dan Kemampuan Nasional
Bahwa tidak benar dikatakan
apabila prospek eksplorasi di
Indonesia rendah, karena di
Malaysia ditemukan prospek
Kikeh dilaut dalam dengan
cadangan 1 Milyar BOE (Barrel
of Oil Equivalent) sehingga laut
dalam di Indonesia terutama
selat Makasar menjadi perhatian
perusahaan-perusahaan raksasa.
Proyek-proyek raksasa LNG di
Australia yang sedang dikem-
bangkan adalah Evans Shoal,
Gorgon,Ichthys, Pluto, Browse
dan Bay Undan, sedangkan di
Indonesia hanya Tangguh. Ting-
ginya resiko di Indonesia menga-
kibatkan perusahaan-perusahaan
migas hanya berkonsentrasi pada
mempertahankan produksi lapa-
ngan-lapangan yang sudah ada,
akibatnya produksi turun.
PSC perlu dipertimbangkan
sistem bagi hasil yang fleksibel
dan tidak kaku, yang berbeda
untuk harga, penghasilan atau
perbandingan penghasilan
dan biaya yang berbeda untuk
pengembangan lapangan-lapan-
gan yang kurang ekonomis.
Kemudian terdapat keluhan dari
kontraktor mengenahi kelambatan
persetujuan POD dari BPMigas.
Lambatnya persetujuan tersebut
diakibatkan oleh evaluasi cadan-
gan lagi secara rinci sesudah
kontraktor meminta persetujuan
POD. Padahal cadangan tersebut
sudah disertifikasi. Persetujuan ini
bisa berlangsung berbulan-bulan,
bahkan melampaui satu tahun.
Akibatnya, apabila POD disetujui,
biaya sudah jauh meningkat dari
perkiraan sebelumnya, sehingga
Peta cekungan-cekungan yang berpotensi di Indonesia, terlihat bahwa banyak cekungan di Indo-
nesia timur belum memperlihatkan tanda-tanda produksi, dan dibutuhkan lebih banyak eksplorasi.
- SKK MIGAS
4
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
Jika dilihat dari seluruh fakta-fakta diatas sudah sepatutnya kita semua sadar, bahwa sudah bukan
zamannya kita menggunakan Premium atau BBM subsidi, secara kondisi kendaraan pun sudah san-
gat mendukung digunakannya BBM kelas Pertamax keatas. Jangan lagi kita mau dibutakan lagi oleh
kejayaan di masa lalu, sudah saatnya kita melangkah menggapai ketercapaian iklim yang lebih baik di
bidang energy. Karena dengan membantu memakai BBM non subsidi kita sudah membantu Negara
untuk :
Menghemat anggaran Neg-
ara dengan tidak memakai
anggaran subsidi BBM,
Mencintai lingkungan karena
lebih ramah lingkungan, dan
Menghemat energy karena
rasio pembakaran yang lebih
baik
Perbedaan Premium, Pertamax, dan Pertamax Plus - PT. Pertamina
18
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
I
ndonesia dikenal dengan
negara yang memiliki kekayaan
sumber daya alam, dahulu
orang-orang mengatakan bah-
wa Indonesia merupakan negara
yang kaya minyak bumi. Namun,
hal itu sudah tidak tepat untuk
dikatakan saat ini, negara kita tel-
ah berubah dari negara ekspotir
minyak menjadi negara importir
minyak bumi. Hal itu berdampak
kepada keputusan Indonesia
untuk keluar dari OPEC pada
tahun 2008. Kondisi negara kita
sekarang adalah berbekal pro-
duksi sebanyak 840.000 bopd
(barrel oil per day) dan kita hanya
memperoleh hasil bersih produksi
sebanyak 570.000 bopd yang
merupakan konsekuensi logis dari
sistem PSC (Producing Sharing
Contract). Dengan konsumsi
mencapai 1.400.000 juta bopd
tentunya membuat kita harus
melakukan impor dari luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan da-
lam negeri.
Meskipun hasil produksi
yang kenyataannya terus men-
galami penurunan, pendapatan
negara dari sektor migas tetap
memiliki andil yang cukup besar
untuk perekonomian negara.
Pada tahun 2012 sektor migas
berhasil menyumbangkan hingga
300 triliun rupiah atau sebanding
dengan 23% dari total Angga-
ran dan Belanja Negara (APBN)
2013.
Dari kenyataan tersebut, kita
harus menentukan langkah tepat
untuk tindakan kedepannya.
Terlebih lagi dengan adanya In-
struksi Presiden No. 2 Tahun 2012
tentang Peningkatan Produksi
Minyak Bumi. Sebenarnya potensi
migas Indonesia dapat dikatakan
valuable sebab masih terdapat
cadangan-cadangan yang belum
terungkap. Untuk membuktikan
berapa banyak jumlah cadangan
dan nilai ekonomisnya kita harus
melakukan eksplorasi dan kegia-
tan pemboran, hal itu tentunya
membutuhkan investasi yang
besar.
Investasi berkepanjangan
Hal yang disayangkan
adalah investasi terhadap sektor
hulu migas seperti eksplorasi dan
kegiatan pemboran di Indonesia
dirasa berat sebelah, faktanya
adalah hingga saat ini investasi
yang ada umumnya terdapat di
wilayah barat negara ini. Kondisi
lapangan-lapangan migas yang
ada di Indonesia sudah memasu-
ki fasa mature field, berarti sudah
tidak dapat diandalkan sebagai
backbone field untuk waktu yang
lama.
Pemerataan investasi
merupakan jalan yang harus
ditempuh untuk memenuhi usaha
ekstensifikasi, yaitu penambahan
wilayah kerja baru yang nantinya
ditindaklanjuti dengan penan-
datanganan Kontrak Kerja Sama
(KKS) oleh Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) yang terpilih.
Pasalnya, 95% kegiatan eksplor-
asi migas berada di wilayah barat
Indonesia membuat wilayah timur
Indonesia tidak begitu dilirik oleh
investor. Akan tetapi, potensi un-
tuk cadangan minyak dan gas di
wilayah timur bukan berarti tidak
bernilai profit. Hanya saja untuk
melakukan kegiatan eksplorasi
terdapat banyak tantangan dan
high risk, membuat investor harus
berpikir matang-matang ketika
ingin berinvestasi.
Tantangan yang harus dihadapi
diantaranya adalah mengenai
struktur geologi yang dapat
dikatakan tidak bersahabat sep-
erti wilayah barat Indonesia jika
ingin melakukan eksplorasi dan
eksploitasi migas. Aspek finan-
sial, teknologi dan operasional
harus direncanakan dengan baik
guna memperoleh hasil yang
maksimal. Terlebih lagi untuk
wilayah timur Indonesia, potensi
cadangan lebih banyak terdapat
di laut dalam (deepwater). Resiko
tidak memperoleh cadangan
yang komersil harus siap diterima
investor yang berdampak pada
Iklim Investasi Energi di Indonesia,
Meningkatkan Nilai Jual dan Produktivitas Sumber Daya Energi.
Perbedaan Premium, Pertamax, dan Pertamax Plus - skkmigas.go.id
Oleh: Luthfan Nur Azhim (12211038)
19
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
kerugian jutaan dolar. Sehingga
investasi di wilayah timur Indo-
nesia masih dianggap belum
aman, bahkan perbandingan
biaya investasi untuk di darat dan
laut bisa mencapai 1:10.
Kemudian mengenai birokrasi,
perizinan, dan regulasi yang
terkesan rumit serta banyak mem-
bentuk iklim investasi negara ini
menjadi tidak menarik. Berdasar-
kan data dari Unit Kerja Bidang
Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4), terdapat
69 jenis perizinan hulu migas,
284 proses perizinan, 600.000
lembar persyaratan perizinan dan
diterbitkan oleh 17 instansi den-
gan total izin sebanyak 5.000 izin
per tahunnya. Berbagai izin yang
harus diselesaikan seperti izin
pembebasan lahan, izin mendiri-
kan bangunan, izin penggunaan
air, izin lingkungan, izin mengenai
AMDAL dan perizinan lainnya dari
mulai daerah hingga terpusat.
Akibatnya ,Indonesia termasuk
negara yang iklim investasinya
paling buruk di kawasan Asia.
Hasil survey dari Global Petro-
leum Survey 2012 yang dilakukan
The Fraser Institute, lembaga
riset dari Kanada menempatkan
Indonesia pada posisis ke-127
dari 147 negara di dunia. Hasil
survey tersebut ternyata mengin-
dikasikan beberapa aspek yang
membuat negara ini tidak diminati
oleh para investor di antaranya
aspek aturan fiskal yang meliputi
pembayaran royalti, sistem bagi
hasil, dan biaya lisensi. Lalu,
sistem perpajakan, lingkungan,
kondisi sosial ekonomi, aturan
perburuhan, kualitas infrastruktur,
kualitas basis data geologi, stabil-
itas politik, keamanan, konsistensi
aturan pusat dan daerah. Terlebih
lagi yang memprihatinkan adalah
praktik korupsi, terutama terkait
perizinan yang semakin menam-
bah beban investor.
Berkontradiksi dengan hasil
survey tersebut, SKK Migas
berpendapat dalam Laporan Ta-
hunan 2012 bahwa berdasarkan
data peningkatan penerimaan
negara dari sektor migas menun-
jukkan tren peningkatan. Hal
tersebut menunjukkan return on
investment Indonesia masih dimi-
nati dan cukup kondusif. Karena
realisasi investasi kontraktor KKS
untuk tahap eksplorasi sebesar
US$16.1 miliar, lebih tinggi dari
tahun 2011. Nilai investasi terse-
but meliputi kegiatan eksplorasi
sebesar US$1.4 miliar, pengem-
bangan sumur sebesar US$3.3
miliar, kegiatan produksi sebesar
US$10.4 miliar dan kegiatan ad-
ministrasi sebesar US$1 miliar.
Mewujudkan iklim in-
vestasi kondusif.
Hasil peninjauan kondisi
investasi sektor migas Indone-
sia saat ini tentunya mendorong
pemerintah agar meningkatkan
kredibiltas dan stabilitas iklim
investasi kedepannya. Dari segi
nilai jual wilayah timur Indonesia,
tidak adil bila tetap bersikukuh
pada sistem PSC karena kondisi
wilayah barat dan timur Indonesia
jelas berbeda. Namun, bukan
berarti kita harus mengubah
secara utuh mengenai kontrak
yang telah dianut negara ini sejak
tahun 1960-an. Oleh sebab itu,
langkah yang diambil pemerintah
adalah mencanangkan penera-
pan insentif fiskal pada proyek
migas yang dinilai sulit. Insentif
diperlukan supaya investor lebih
giat dalam melakukan eksplorasi
dan pemboran, harapannya ada-
Investasi di beberapa negara - Fraser Institute Global Petroleum Survey 2012
20
PATRA ENERGI REVIEW - EDISI #4
lah produksi dalam negeri akan
meningkat sekaligus menambah
cadangan migas nasional.
Pandangan mengenai
pemberian insentif sebaikn-
ya juga diberikan saat terjadi
penurunan produksi (decline) dan
saat melakukan secondary recov-
ery seperti enhanced oil recovery
(EOR). Salah satu insentif yang
diberikan ketika terjadi penurunan
produksi adalah pengurangan
pajak bumi dan bangunan (PBB)
untuk wilayah kerja eksplorasi.
Pajak akan dibayarkan jika telah
terbukti memperoleh cadangan
dan berproduksi sehingga meraih
profit. Insentif tersebut idealnya
diberikan kepada semua KKKS,
baru ataupun lama, untuk men-
jaga eksistensi mereka di sektor
hulu migas.
Upaya perbaikan regula-
si migas tak kalah penting untuk
menarik investor agar menanam-
kan modal di negeri ini. Revisi UU
Migas No. 22 Tahun 2001 harus
dituntaskan secepatnya. Karena
efek terhadap tata kelola migas
Indonesia akan menjadi lebih
pasti dan jelas. Investor pastinya
menginginkan kepastian hukum
mengenai investasinya, serta
kedudukan hukum pengelola dan
kontrak migas terhadap institusi
dan perundang-undangan lainn-
ya.
Disamping itu, audit
mengenai perizinan perlu dilaku-
kan untuk mencari celah penyer-
dehanaan berbagai jenis perizin-
an. Tujuannya adalah perizinan
dikelompokkan sesuai jenisnya
atau dihilangkan sekaligus.
Rencananya perizinan tersebut
akan dipangkas hingga menjadi
delapan jenis perizinan. Delapan
jenis perizinan tersebut antara
lain izin kawasan hutan, izin pem-
bebasan lahan, izin dari pemerin-
tah provinsi, izin dari pemerintah
kabupaten, izin perpotongan
persinggungan lintas kereta api,
izin pembuangan limbah penge-
boran, peraturan dry docking
FSO/FPSO (Floating Production
Storage and Offloading) dan
penggunaan kapal asing.
Berdasarkan rencana
tersebut, sektor yang terkait sep-
erti Kementrian ESDM, Kemen-
trian Keuangan dan Kementrian
Kehutanan, Badan Pertahanan
Nasional, SKK Migas, guber-
nur, bupati dan walikota harus
bekerjasama. Ide yang ditawar-
kan adalah diterapkannya pola
Service Level Agreement (SLA),
secara teknis berbagai perizinan
yang biasanya disyaratkan pada
investor akan disatukan dalam
satu kelompok izin, kemudian
direkomendasikan dan tercantum
pada SLA tersebut. Hal itu harus
diterapkan sebagai langkah ak-
selerasi implementasi dari Inpres
No. 2 Tahun 2012, berisi instruksi
produksi minyak bumi paling se-
dikit 1,01 juta bopd di tahun 2014.
Maksimalkan sumber
daya alam untuk ketahanan ener-
gi
Meskipun dianggap sebagai titik
terang, kita harus tahu bahwa
semua hal itu tidak instan untuk
direalisasikan karena butuh waktu
berkoordinasi dengan sektor
terkait dan terkadang terbentur
oleh regulasi yang ada. Oleh
karena itu, kita harus ingat bahwa
dalam rangka memenuhi ketahan-
an energi, tidak tepat bila hanya
mengandalkan dari peningkatan
produksi minyak. Kita harus mulai
sadar bahwa Indonesia bukan
lagi negara yang kaya akan
minyak bumi, tetapi merupakan
negara yang kaya akan sumber
daya energi.
Berkaca pada keadaan saat ini,
arah kebijakan energi menge-
nai diversifikasi masih dirasa
jalan di tempat, karena sumber
energi lain yang baru terlihat
konkrit penggunaannya adalah
gas, disamping batu bara yang
memang sudah digunakan sejak
lama. Sumber energi lain seperti
geothermal, bahan bakar nabati
(BBN), biogas, coal bed methane
(CBM), biomass, air, angin, solar
energi bahkan nuklir masih dalam
proses perkembangan yang
lambat.
Saat melihat kenyataan tehambat-
nya diversifikasi energi, sejenak
muncul persepsi apakah sulitnya
diversifikasi merupakan dampak
dari kondisi iklim investasi negeri
ini yang sarat akan birokrasi
dan regulasi yang berlarut-larut.
Karena untuk melakukan investasi
pada panas bumi, bahan ba-
kar nabati (BBN) hingga nuklir
sekalipun ada aturan terkait dan
prosedur izin usahanya mas-
ing-masing.
Alangkah baiknya bila sembari
memperbaiki kondisi investasi
migas negeri ini, kita mulai ban-
gkitkan sumber daya alam yang
telah lama tertanam di Indonesia
untuk dimanfaatkan oleh neg-
erinya sendiri. Bukan hal yang
mustahil untuk Indonesia menca-
pai ketahanan energi seperti yang
diwacanakan pemerintah, apabila
pemerintah berani mengambil
sikap dan kita sebagai warga
negara mencoba mendukung
kebijakan tersebut. Sinergi antar
sektor industri dan pemerintah,
transparansi, dan prosedur yang
sehat bukan lagi hal yang harus
menjadi excuse untuk kemajuan
ketahanan energi bangsa ini.