Anda di halaman 1dari 81

JURNAL PERSPEKTIF ARSITEKTUR

Volume 7 / No. 1, Juli 2012




Yoga Restyanto, ST
Penataan Kembali Kawasan Ruang Terbuka Bawah Jembatan Kahayan
Menjadi Nyaman Sesuai Dengan Aturan

Ir. Hibnu Mardhani, MT; Candra Gunawan, ST
Penataan Kembali Kawasan Bersejarah Batu Banama

Lola Cassiophea, ST., M.Eng
Pasar Mingguan Di Lingkungan Permukiman
Jalan Putri Junjung Buih Kota Palangka Raya

Subrata Aditama, ST., MT; Eka Anggriani, ST
Analisis Pengendalian Biaya dan Waktu Menggunakan Metode Konsep Earned Value
(Studi Kasus Proyek Pembangunan Bundaran Seth Adjie)

Adelgrit Trisia
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja.

Yesser Priono, M.Sc
Pengembangan Kawasan Ekowisata Bukit Tangkiling Berbasis Masyarakat

Mochammad Ichsan, ST
Sistem Penunjang Keputusan Dengan Metode AHP dalam Menentukan
Penerima Surat Keterangan Miskin dari Kelurahan atau Kecamatan di Kota Palangka Raya

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


i ISSN 1907 - 8536


JURNAL PERSPEKTIF ARSITEKTUR


Volume 7 / No. 1, Juli 2012


Jurnal Perspektif Arsitektur merupakan media komunikasi keilmuan dan keprofesian bidang
arsitektur. Majalah ini diterbitkan atas kerjasama Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Palangka Raya (UNPAR) dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Tengah. Jurnal ini
terbit pada setiap bulan Juli dan Desember.
R E D A K S I

Penerbit
Publisher
: Jurusan Arsitektur UNPAR


Pelindung
Patron
: Dekan Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Pusat

Penanggung Jawab
Chairman
: Ketua Jurusan Arsitektur
Universitas Palangka Raya

Pemimpin Redaksi
Editor in Chif
: Yesser Priono, ST., M.Sc


Sekertaris
Secretary
: Giris Ngini, ST


Redaksi Pelaksana
Editorial Team
: Theresia Susi, ST., MT
Elis Sri Rahayu, ST., MT
Wijanarka, ST., MT

Dewan Redaksi
Editorial Board

: Dr. Indrawan Permana Kamis, ST., MA
Ir. Syahrozi, MT
Ir. Doddy Soedigdo, IAI
Ir. Hibnu Mardani, MT., IAI

Alamat Redaksi
Editors Address
: Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya
Jl. H Timang Kampus Tunjung Nyaho Unpar
Palangka Raya 73112
Telp / Fax (0536) 3226487
e-mail : jurnalperspektifarsitektur@gmail.com



Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur


ISSN 1907 - 8536 ii


JURNAL PERSPEKTIF ARSITEKTUR


Volume 7 / No. 1, Juli 2012

Daftar Isi

Redaksi i
Daftar Isi ii
Dari Redaksi iii


Nama Penulis Judul Hal
Yoga Restyanto, ST Penataan Kembali Kawasan Ruang Terbuka
Bawah Jembatan Kahayan Menjadi Nyaman
Sesuai Dengan Aturan

1 14
Ir. Hibnu Mardhani, MT
Candra Gunawan, ST
Penataan Kembali Kawasan Bersejarah Batu
Banama

15 24
Lola Cassiophea, ST., M.Eng

Pasar Mingguan Di Lingkungan Permukiman Jalan
Putri Junjung Buih Kota Palangka Raya

25 28
Subrata Aditama, ST., MT
Eka Anggriani, ST

Analisis Pengendalian Biaya dan Waktu
Menggunakan Metode Konsep Earned Value
(Studi Kasus Proyek Pembangunan Bundaran
Seth Adjie)

29 38
Adelgrit Trisia

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) Dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja.

39 50
Yesser Priono, M.Sc

Pengembangan Kawasan Ekowisata Bukit
Tangkiling Berbasis Masyarakat

51 67
Mochammad Ichsan, ST

Sistem Penunjang Keputusan Dengan Metode
AHP dalam Menentukan Penerima Surat
Keterangan Miskin dari Kelurahan atau Kecamatan
di Kota Palangka Raya

68 75


Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


iii ISSN 1907 - 8536


JURNAL PERSPEKTIF ARSITEKTUR


Volume 7 / No. 1, Juli 2012

Dari Redaksi

Tahun ajaran baru telah berjalan, terbitan kali ini agak tersendat dari target waktu terbit, namun
begitu Jurnal Perspektif Arsitektur tetap harus kami terbitkan, walaupun banyak waktu terbuang
namun pada edisi kali ini kami berusaha mengangkat beragam bahasan bagi pembaca.
Pada terbitan kali ini kami menyajikan beberapa tulisan dan beberapa penulis yang berkaitan
dengan ke arsitekturan dan kajiannya serta ilmu teknik sipil dan ilmu yang bersifat universal,
diantaranya adalah : Penataan Kembali Kawasan Ruang Terbuka Bawah Jembatan Kahayan
Menjadi Nyaman Sesuai Dengan Aturan oleh Yoga Restyanto; Penataan Kembali Kawasan
Bersejarah Batu Banama oleh Ir. Hibnu Mardhani, MT dan Candra Gunawan, ST; Pasar Mingguan
Di Lingkungan Permukiman Jalan Putri Junjung Buih Kota Palangka Raya oleh Lola Cassiophea,
ST., M.Eng; Analisis Pengendalian Biaya dan Waktu Menggunakan Metode Konsep Earned Value
(Studi Kasus Proyek Pembangunan Bundaran Seth Adjie)oleh Subrata Aditama, ST., MT dan Eka
Anggriani, ST; Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Pencegahan
Kecelakaan Kerja oleh Adelgrit Trisia; Pengembangan Kawasan Ekowisata Bukit Tangkiling
Berbasis Masyarakat oleh Yesser Priono, M.Sc; dan Sistem Penunjang Keputusan Dengan
Metode AHP dalam Menentukan Penerima Surat Keterangan Miskin dari Kelurahan atau
Kecamatan di Kota Palangka Raya oleh Mochammad Ichsan, ST.
Kami berharap apresiasi dari tulis ini dapat semakin beragam sehingga dapat menambah
khasanah pengetahuan kita dalam bidang arsitektur yang semakin maju dan tergali. Akhir kata,
kami berharap agar tulisan-tulisan ilmiah ini dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi semua
kalangan. Semoga isi dan makna tulisan dapat menambah keanekaragaman wawasan dan
pengetahuan.

REDAKSI
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 1


PENATAAN KEMBALI KAWASAN RUANG TERBUKA
BAWAH JEMBATAN KAHAYAN MENJADI NYAMAN
SESUAI DENGAN PERATURAN


Yoga Restyanto, ST
1



Abstrak
Ruang Terbuka Hijau di wilayah Kota Palangka Raya adalah meliputi Taman dan Jalur Hijau.
Salah satu Taman yang dikenal oleh masyarakat Kota Palangka Raya adalah Kawsan Taman
dibawah Jembatan Kahayan, dimana Kawasan tersebut setiap hari sangat ramai di kunjungi oleh
masyarakat Kota Palangka Raya. Namun yang sangat di sayangkan adalah ketidak-nyamanan
pengunjung yang berkunjung ke kawasan tersebut.
Ketidak-nyamanan ini dapat di lihat dari ketidak-teraturan dari kawasan tersebut terhadap para
pedagang kaki lima yang menempati kawasan tersebut. Selain itu kebersihan dari kawasan
tersebut yang tidak terjaga dengan baik, hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran dari para
pedagang dan pengunjung kawasan tersebut serta kurangnya pengawasan dari Pemerintah Kota
Palangka Raya.
Pentaan kembali di perlukan untuk kawasan ini sehingga dari segi kenyamanan dan kesesuaian
terhadap peraturan yang ada agar kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai ruang terbuka.

Kata Kunci : Penataan Kembali, Nyaman, Peraturan, Ruang Terbuka.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan sebuah kota yang
sedang berkembang. Secara fisik perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari jumlah
penduduknya yang bertambah dan semakin padat, bangunan semakin rapat dan wilayah
terbangun terutama permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya
fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi ( Branch, 1996 ).
Dampak yang timbul dari perkembangan suatu kota adalah kurangnya ruang terbuka bagi
masyarakat didalam lingkungannya, yang berfungsi sebagai wadah interaksi sosial dan juga ruang
terbuka hijau yang berfungsi ekologis.

Maksud dan Tujuan
Untuk menata dan mendapatkan kembali kawasan rang terbuka hijau yang nyaman khusunya
untuk Kawasan Taman Bawah Jembatan Kahayan sehingga menjadi salah satu kawasan hijau
kota yang nyaman untuk di kunjungi masyarakat kota.

Permasalahan
Bagaimana menata kembali ruang terbuka Kawasan Taman Bawah Jembatan Kahayan menjadi
tempat yang nyaman sesuai peraturan yang berlaku.

1
Staff Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


2 ISSN 1907 - 8536


Lingkup Pembahasan
Penelitian ini membahas mengenai konsep penataan kawasan taman bawah Jembatan Kahayan
berdasarkan aspek kenyamanan dan peraturan yang berlaku, serta menentkan area yang
ditetapkan sebagai kawasan taman bawah Jembatan Kahayan

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam
bentuk area/kawasan mapun dalam bentuk area memanjang jalur dimana dalam penggunannya
lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan ( Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.1 Tahun 2007 ).
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari
ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung
manfaat ekolgi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Peraturan Mendagri No.1 Tahun 2007 tentang RTHKP, yan
di maksud dengan Ruang Terbuka adalah :
- Ruang Terbuka pada dasarnya Tanpa Bangunan
- Diisi oleh tumbuhan dan tanaman
- Memiliki tanaman khas daerah
- Tempat rekreasi aktif, seperti olahraga dan permainan lain yang banyak memerlukan
pergerakan fisik
- Tempat rekreasi pasif, bersifat tenang dan relaksasi untuk stimulasi mental dan emosional.
- Sepadan sunai, guna memertahankaan kelestarian fungsi sungai
Klasifikasi Ruang terbuka hijau ( Rustam Hakim;Arsitektur Lansekap, 2002 ) :
- Ruang terbuka umum dan khusus
- Ruang terbuka dan lingkungan hidup
- Ruang terbuka ditinjau dari kegiatannya
- Ruang terbuka ditinjau dari segi bentuk
- Ruang terbuka ditinjau dari sifatnya.
Fungsi Ruang Terbuka ( Rustam Hakim;Arsitektur Lansekap, 2002 ) :
- Fungsi sosial
Fungsi sosial dari ruang terbuka hijau antara lain : tempat bermain olehraga, komunikasi sosial,
peralihan dan menunggu, untuk mendapatkan udara segar, sarana penghubung antara satu
tempat dengan tempat yang lain dan pembatas massa bangunan.
- Fungsi ekologis
Fungsi ekologis dari ruang terbuka antara lain : penyegaran udara untuk memperbaiki iklim
mikro, menyerap air hujan, pengendali bajir dan pengaturan tata air, memelihara ekosistem
tertentu dan perlindungan plasma nuftah dan sebagai pelembut arsitektur bangunan

Kawasan Terbuka Hijau Kota Palangka Raya
Kawasan terbuka hijau kota yang di rencakan diwilayah kawasan Kota Palangka Raya meliputi
taman dan jalur hijau dan berdsrkan Peraturan Daerah Kota Palngka Raya No. 14 Tahun 2003
tentang pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Rencana pemanfaatan kedua jenis kawasan terbuka
hijau kota tersebut adalah sebagai berikut :
- Mempertahankan keberadaan taman lingkungan/taman kota dan jalur hijau eksisting.
- Meneyediakan jalur hijau pada ruas-ruas jalan baru yang direncanakan ketersediannya. Jalur
hijau tersebut dapat berupa media jalan, pulau jalan, serta tumbuhan/pepohonan yang ditanam
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 3


di kiri kanan jalan. Perhitungan penyediaan jalur hijau ini tidak dapat dishitung berdasarakan
standar tertentu, karena luasnya kan meyesuaikan dengan desain bentuk jaringan jalan.
- Menyediakan taman kota yang dapat berfungsi juga sebagai lapangan olahraga skala
pelayanan kecamatan di pusat Kawasan Kota Palangka Raya. Rencana kebutuhan taman kota
ini ditentukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI 03-6981-2004 Tahun
2004, yaitu untuk 30.000 Jiwa penduduk membutuhkan 1 unit taman kota dengan luas areal
minimum 9.000 m
2
.
- Menyediakan taman skala kecamatan pada sub pusat kecamatan, yaitu di Kelurahan Pahandut
dan Kelurahan Palangka. Rencana kebutuhan taman skala kecamatan ini ditentukan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI 03-6981-2004, yaitu untuk 2.000 Jiwa
penduduk membutuhkan 1 unit taman dengan skala kecamatan dengan luas areal minimum
1.000 m
2
.
- Menyediakan taman lingkungan secara tersebar pada pusat-pusat lingkungan di setiap
kelurahan, terutama di kawasan pemukiman baru yang direncanakan. Secara kuantitatif
penyediaan taman lingkungan di Kawasan Kota Palangka Raya ditentukan berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. SNI 03-6981-2004, yaitu untuk 200 Jiwa penduduk
membutuhkan 1 unit taman dengan luas areal minimum 200 m
2
.


















Kenyamanan
Kenyamanan adalah segala sesatu yang memeperlihatkan penggunaan ruang secara harmonis,
baik dari segi bentu, tekstur, wrna, aroma, bunyi, suara, cahaya dan lainnya. Hubungan yang
harmonis dimaksud adalah keteraturan, dinamis dan keragaman yang sling mendukung tehadao
penciptaan ruang bagi manusia. Sehinggga mempunyai nilai keseluruhan yang mengandung
keindahan. ( J.O. Simond, landscape architecture, 1997 ).
Kenyamanan dapat pula dikatakan sebagai kenikmatan atau kepuasan manusia dalam
melaksanakan kegiatannya. ( Albert Rutlegde, Anatomy of park ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan antara lain :
a. Sirkulasi
- Sirkulasi Kendaraan
- Sirkulasi Manusia
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


4 ISSN 1907 - 8536


b. Iklim dan Kekuatan Alam
- Radiasi sinar matahari
- Angin
- Bising
- Aroma
- Bentuk
- Keamanan
- Kebersihan

TINJAUAN LOKASI
Kawasan ini berada di sekitar jalan S. Parman yaitu tepatnya berada di bawah jembatan kahayan,
dengan berorientasi kearah jalan S. Parman dan ke Sungai Kahayan dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Berbatasan deng Pertamina
- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Perumahan penduduk dan Monument
Peletakan Batu Pertama Pembangunan Kota Palangka Raya
- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan perumahan jalan S. Parman
- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Sungai Kahayan.














Lokasi penelitian memeliki luas 800 m2 dengan panjang lokasi 100 meter dan lebar 80 meter,
lokasi ini sudah terbangun dan sudah ada tetapi hanya berupa perkerasan yang berbentuk trap-
trap bertingkat dan pada bagian depannya terdapat tempat berjualan dan tempat parkir.













Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 5


1. Ciri ciri Alamiah
Ciri alamiah dari daerah sekitar tamn bawah Jembatan Kahayan yaitu berda di daerah aliran
Sungai Kahayan yang digunakan sebagai transportasi sungai bagi masyarakat Kalimantan,
topografi bersifat campuran pasir dan tanah liat.












2. Ciri ciri buatan
Ciri buatan dari daerah jembatan kahayan adalah Jembatan Kahayan, pedagang kaki lima,
tempat parkir.




























Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


6 ISSN 1907 - 8536


3. Potensi Tapak
Daerah sekitar Jembatan Kahayan sangat berpotensi dijadikan sebagai Kawasan Pusat
Rekreasi dan Taman Kota yang dapat digunakan sebagai tempat aktivitas masyarakat untuk
melepas kejenuhan dan berbagai macam kegiatan.












4. Masalah Dalam Tapak
Permasalahan yang terdapat dalam tapak :
- Penataan warung-warung pedagang makanan dan kaki lima yang belum tertata
- Area parkir yang masih kurang memadai baik daris segi luasan dan penataan
- Kawasan yang tidak terurus baik dari segi kebersihan maupun pengelolaannya




















PEMBAHASAN
Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2007 tentng RTHKP,
yang dimaksud dengan ruang terbuka adalah :
- Ruang terbuka pada dasarnya Tanpa Bangunan
- Diisi oleh tumbuhan dan tanaman ( vegetasi )
- Memiliki tanaman khas dearah
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 7


- Tempat rekreasi aktif, seperti olah raga dan permainan lain yang banyak memerlukan
pergerakan fisik
- Tempat rekreasi pasif, bersifat tenang dan relaksasi untuk stimulasi mental dan emosional
- Sepadan sungai, guna mempertahankan kelestarian fungsi sungai
- Memiliki pedestrian, area pejalan kaki

Tanpa Bangunan
Data :
Sesuai peraturan yang ada ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota yang bersifat terbuka
yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Pada lokasi tapak memng tidak ada digunakannya bangunan massif hanya tend-tenda terpal
sebagai tempat berjualan yang dapat dibongkar apabila selesai berjualan.

Diisi oleh Tanaman ( Vegetasi )
Data :
Tidak ada vegetasinya yang ditanam pada lokasi tapak yang ada. Hanya ada rrerumputan yang
ditanam pada area setengah lingkaran tengah site.

Memiliki Tanaman Khas Daerah
Data :
Tidak adanya vegetasi baik yang bersifat umum (banyak digunakan) ataupun yang khas daerah.

Tempat Rekreasi Aktif
Data :
Tidak adanya unsure dari rekreasi aktif yaitu berupa lapangan olah raga atau permainan lainnya
yang memerlukan pergerakan fisik.
Luasan lokasi yang terbatas sehingga perlu pemilihan jenis olah raga atau permainan yang
memungkinkan untuk dilakukan dalam site.
Keadaan lokasi yang berkontur.

Tempat Rekreasi Pasif
Data :
Dijadikan pengunjung sebagai tempat mengisi waktu senggang karena bentukan kawasan yang
memang didesain untuk tempat duduk-duduk.
Sebagai tempat duduk-duduk untuk tempat relaksasi dan ketenangan.
Tidak adanya tempat olah raga atau jenis permainan lain yang memerlukan pergerakan fisik.

Sepadan Sungai
Data :
Merupakan area yang berbatasan langsung dengan sungai.
Dipengaruhi oleh keadaan air sungai baik pada musim kemarau atau penghujan.
Bila musim penghujan keadaan air sampai pada persisi dipinggir perkerasan kawasan atau
beberapa meter dari pinggir perkerasan dan pada musim kemarau keadaan air berada jauh
beberapa meter dari kawasan tersebut sehingga tercipta daratan pada bagian depan site.



Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


8 ISSN 1907 - 8536


Memiliki Pedestrian atau Area Pejalan Kaki
Data :
Trotoar pejalan kaki hanya ada pada bagian depan kawasan.
Tidak ada akses pedestrian yang masuk kedalam kawasan.

Kenyamanan
Analisa ini sangat erat hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu
menjadikan tempat tersebut Nyaman.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan antara lain :
1. Sirkulasi
- Sirkulasi Kendaraan
- Sirkulasi manusia
2. Iklim dan kekuatan alam
- Radiasi sinar matahari
- Angin
- Curah Hujan
3. Bising
4. Aroma (bau-bauan)
5. Bentuk
6. Keamanan
7. Kebersihan
8. Keindahan

Sirkulasi Kendaraan
Data :
Arah masuk kedalam site melalui arah sebelah kanan yang langsung berhubungan dengan jalur
utama sirkulasi kendaraan dalam kota.
Arah keluar dalam site melalui arah sebelah kiri yang langsung berhubungan dengan jalur utama
sirkulasi kendaraan dalam kota.
Kedua jalur ini terpisah dengan jarak yang cukup jauh namun kadang-kadang ada dari pengunjung
yang menggunakan jalur masuk sebagai jalur keluar sehingga terjadi bentrokkan antara
pengunjung yang ingin masuk kedalam lokasi dan yang ingin keluar lokasi.
Didalam site jalur sirkulasi hanya terjadi satu arah sejajar parkir tetapi kadand-kadang dapat terjadi
seperti pada point diatas.
Tempat parkir yang menjadi satu dengan tempat berjualan makanan namun tidak tertata sehingga
sering terjadi penumpukan sirkulasi.

Sirkulasi Manusia
Data :
Sirkulasi manusia didalm site terbagi menjadi dua yaitu :
- Sirkulasi pengunjung, pengunjung masuk kedalam site melalui area parkir yang terkadang
terjadi penumpukan pengunjung karena area ini menjadi satu dengan tempat penjualan
makanan dan memasuki area sirkulasi site yang berupa perkerasan atau pedestrian dengan
arah yang bebas.
- Sirkulasi penjual makanan, sirkulasi ini terjadi tidak setiap saat dan hanya sesekali namun arah
pergerakannya kesegala arah dalam site.
- Tidak adanya jalur yang jelas antara jalur masuk dan keluar untuk pengunjung.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 9


Iklim dan Kekuatan Alam
Radiasi Sinar Matahari
Data :
Lokasi terletak di daerah tropis sehingga memiliki radiasi sinar matahari yang cukup terik
Terik matahari terasa menyengat pada daerah yang tidak terdapat perlindungan atau peneduh
Tidak adanya bangunan penenduh
Angin
Data :
Angin yang berhembus didalam site terlalau deras dan kadang-kadang menyejukan
Tidak ada tanaman pelindung untuk menghalangi aliran angin bila aliran angin tersebut dalam
keadaan kering
Curah hujan
Data :
Sesuai dengan keadaan alamnya sehingga memiliki cura hujan yang cukup banyak
Tidak adanya tempat berteduh bila terjadi hujan yang lebat
Tidak adanya saluran drainase yang baik

Aroma ( bau-bauan )
Data :
Aroma dan bau-bauan pada lokasi sering tidak sedap dikarenakan pengunjung dan pedagang
membuang sampah sembarangan
Tidak adanya tempat sampah yang berfungsi dengan baik di lokasi
Tidak adanya peran serta dari pemerintah untuk menjaga kebersihan lokasi
Bau-bauan juga disebabkan oleh drainase yang tidak baik

Bentuk
Data :
Site hanya bentuk perkeransa atau pedestrian yang diolah mengikuti kontur site tetapi ada
bentukan yang menyerupai amphiteater yang dibentuk dari susunan anak tangga yang berfungsi
sebagai sirkulasi dan tempat duduk
Dalam site tidak terdapat bangku atau tempat duduk yang berbentuk kursi ataupun lansekap
furniture lainnya serta tidak danya tanaman sebagai peneduh

Keamanan
Data :
Pada kawasan tida terdapat satuan keamanan yang berasal dari pihak yang berwenang sehingga
kurang dirasa aman dan mengurangi kenyamanan dari kawasan tersebut

Kebersihan
Data :
Sampah yang berserakan hampir disemua tempat didalam kawasan
Tidak adanya tempat sampah
Kurangnya perhatian dari pemerintah
Kurang pengertian dari pengunjung dan pedagang tentang kebersihan



Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


10 ISSN 1907 - 8536


REKOMENDASI DAN KESIMPULAN
Zonning
Penzonningan kawasn dibagi menjadi beberapa yaitu : Area Parkir, Area Penerima, Area
Pedagang dan Minuman, Area Rekreasi Aktif, Area Transisi, dan Area Rekreasi Pasif.






















Bentuk
Bentukan site mengalami perubahan terlebih pada penambahan luasan lahan. Hal ini di karena
pada bagain samping kanan dan kiri dibuat untuk pengelompokan dari aktifitas yang berbeda yaitu
pada samping kiri site sebagai tepat lapangan bola volly sebagai pemenuhan dari rekreasi aktif
dan pada samping kiri digunakan sebagai tempat berjualan pedagang makanan agar lebih tertata
dengan baik.















Keadaan Existing Keadaan Penataan ( zonning )
Bagian yang ditambah
sebagai area lapangan
bola volley dan tempat
pedagang
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 11


Sirkulasi Kendaraan
Srikulasi kendaraan hanya terjadi pda bagian
depan site yaitu dengan urutan masuk parkir
keluar. Sirkulasi yang digunakan adalah linier
dengan arah pencapaian yang mengarah
langsung ke suatu tempat masuk.









Sirkulasi Manusia
Sirkulasi manusia yaitu arah
sirkulasi pengunjung dari bagian
depan site area penerima dan
menyebar kesegala arah didalam
site dengan pola Linier. Sirkulasi
ini berupa kawasan itu sendiri
karena pengunjung dapar bergerak
bebas kesegala arah jika didalam
site pada bagian area penerima
terjadi pembagian antara sirkulasi
yang masuk ke dalam site dan
yang keluar site, hal ini berfungsi
agar tidak adanya penumpukan
dan bentrokan antara pengunjung
yang ingin masuk dan yang ingin
keluar site.

Vegetasi
Fungsi vegetasi dibagi dua macam yaitu sebagai penerima kedatangan pengunjung dan sebagai
penambah estetika kawasan. Vegetasi sebagai penerima kedatangan pengunjung diletakan pada
bagain depan site dengan mengikuti pola bentukan site sehingga berkesan mengarahkan dan
pada bagian tengah yang berbentuk setengah lingkaran dibuatkan taman dengan pelengkap
simbol dan air mancur.








Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


12 ISSN 1907 - 8536











Elemen Lansekap

Elemen pelengkap lansekap disini
adalah berupa elemen keras dan
elemen lembut. Elemen ini menjadi
kesatuan dalam desain yang
berhubungan dengan bentuk dan
vegetasi. Elemen keras berupa
perkerasan, bahan statis seperti
bangku taman dan lainnya dan
elemen lembut berupa tanaman air.


Perletakan disesuaikan dengan
fungsi area yang ada pada kawasan
itu seperti pada area rekreasi pasif
yang membutuhkan ketenangan
lebih banyak ditempatkan bangku-
bangku taman dan tanaman.








Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 13


Desain Keseluruhan













































Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


14 ISSN 1907 - 8536


Dari berbagai parameter yang telah di analisa dan didapat suatu konsep penataan yang
berdasarkan peraturan yang ada dan juga dari segi kenyamanan. Berikut adalah kesimpulan yang
dismpaikan berdasarkan analisa dan parameter yang digunakan :

Parameter yang digunakan sebagai bahan
analisa
Sebelum Penataan Sesudah Penataan
Berdasarkan Parameter Kepmendagri Nomor 1 Tahun 2007
a. Ruang terbuka pada dasarnya Tanpa
Bangunan
Sudah Terpenuhi Shelter
b. Diisi oleh tumbuhan dan tanaman (vegetasi) Tidak ada vegetasi
Vegetasi berupa
tanaman hias
c. Memiliki tanman khas daerah Tidak ada Ditanamai anggrek hitam
d. Tempat rekreasi aktif, seperti olahraga dan
permainan lain yang banyak memerlukan
pergerakan fisik
Tidak ada
Lapangan olahraga bola
volly
e. Tempat rekreasi pasif, bersifat tenang dan
relaksasi untuk stimulasi mental dan
emosional
Sudah, dari bentukan
kawasan
Penzoningan agar lebih
optimal lagi serta elemen
penunjangnya
f. Sepadan seungai, guna mempertahankan
kelestarian fungsi sungai
Tidak ada
Tongkat pembatasan
area pada bagian depan
kawasan
g. Memiliki pedestrian, area pejalan kaki

Ada, tapi hanya pada
bagian depan kawasan
Penambahan akses
pedestrian kedalam site


DAFTAR PUSTAKA

Ching, DK. 1999. Arsitektur, Bentuk Ruang dan Susunannya, Jakarta : Erlangga
Draf Laporan Akhir Review RDTRK Kota Palngka Raya Tahun 1999-2009
Rustam Hakim. 2002. Arsitektur Lansekap Prinsip-unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta : Bumi
Aksara
Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruag Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan
White Edward. 1987. Buku Sumber Konsep, Intermatra, Bandung








Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 15


PENATAAN KEMBALI KAWASAN
BERSEJARAH BATU BANAMA


Ir. Hibnu Mardhani, MT
1
; Candra Gunawan, ST
2



Abstrak
Membahas tentang Penataan Kembali Kawasan Bersejarah di tempat tertentu, tidak lepas dari
sejarah, dan keberadaan situs-situs atau peninggalan. Pembangunan dewasa ini mengalami
masalah penurunan kualitas bangunan kawasan bersejarah yang serius karena keterbatasan
penataan dan fasilitas padahal kawasan bersejarah dapat mengangkat citra suatu daerah baik sisi
Pariwisata, pembelajaran sejarah, tempat rekreasi alami, dan sebagainya. Ketidak perhatiannya
terhadap situs/kawasan bersejarah, yang seharusnya dilestarikan, dijaga dan terus dikembangkan,
dan dipublikasikan dapat menenggelamkan keberadaan situs, dan lambat laun keberadaan
kawasan tersebut akan hilang bahkan tidak ditahui lagi sejarah awal keberadaannya. Sumber
daya arkeologi atau benda cagar budaya beserta situsnya adalah sisa-sisa hasil budaya fisik
peninggalan nenek moyang yang masih dapat dilihat di muka bumi sampai saat ini. Sumber daya
arkeologi tersebut merupakan warisan budaya dan merupakan data yang sangat penting untuk
rekonstruksi sejarah serta mengetahui proses perubahan masa lalu. Scovil, Gordon dan Anderson
1977:5) dan diketahui selama ini Kalimantan Tengah.
Keberadaan kawasan bersejarah Batu Banama yang merupakan tempat yang disakralkan oleh
penduduk setempat dan merupakan tempat makam leluhur.
Tulisan ini mencoba untuk memberi masukan dalam penataan kawasan Bersejarah melalui
penataan bangunan baik mengarah pada pembangunan yang rekreatif, penciptaan ruang, dan
environment dan arah pengembangan kedepan merekomendasikan berbagai sasaran desain
penataan pembangunan sebagai daya tarik kawasan.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tinggi batu yang bagian bawahnya lancip seperti limas kapal itu, kira-kira 2 x tinggi orang dewasa,
dan panjangnya 10 meter. Dari jauh nyaris tak tampak karena ditumbuhi pepohonan dan semak-
semak, lengkap dengan akar-akar gantungnya. Namun kalau didekati, bentuknya yang seperti
kapal itu memang tampak menyolok. Mungkin dari situlah berkembang cerita rakyat dengan
berbagai versi, ada yang mengatakan bahwa sebuah batu yang berbentuk seperti perahu, konon
ceritanya batu ini adalah sebuah perahu yang berubah menjadi batu (basaluh) oleh yang Maha
kuasa karena terjadinya sebuah pali (pantangan) ceritanya hampir mirip dengan legenda
sangkuring.
Dan versi lain hampir sama hanya namanya yang berbeda batu itu dulunya bahtera si Tangkiling
ratusan atau ribuan tahun yang lalu, ketika desa itu masih terletak di pinggir laut. Dan memang,
pasir putih yang merupakan fundasi kota Palangkaraya sekarang dan struktur geologis bagian
selatan Kalimantan dulunya masih berujud laut ketika pedalaman Kal-Teng sudah berujud hutan.


1
Staff Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya
2
Staff Pengajar Tidak Tetap Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya / Biro Konsultan
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


16 ISSN 1907 - 8536


Keberadaannya menjadi suatu symbol tertentu yang mengepresikan karakteristik trans legenda
budaya setempat.
Berdasarkan Analisa rancangan Pelestarian Arkeologis yang di dalamnya juga memuat Analisis
Nilai penting, Analisis SWOT, dan Analisis Pemanfaatannya, dapat disimpulkan bahwa
sumberdaya arkeologi Kawasan Batu Banama memiliki potensi cukup tinggi untuk dikembangkan,
dan selanjutnya dimanfaatkan bagi kepentingan pelestarian kawasan sendiri, maupun untuk tujuan
pengembangan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta
pengembangan objek sebagai daya tarik wisata di kota Palangka Raya pada Khususnya dan
Kalimantan Tengah pada umumnya.

PENATAAN
Penataan adalah kegiatan mengatur dan menata dalam suatu susunan yang sistematis dengan
memperhatikan kegunaan, bentuk dan sifat.
penataan kembali: kegiatan mengatur dan menata kembali yang dulunya kurang diperhatikan dan
optimal menjadi jauh lebih baik. Baik dari sisi zoning/letak fungsi ruang, hingga pemanfaatannya.
berbagai kegiatan kesenian tradisional diadakan dalam rangka - kebudayaan lama tujuan secara
umum dalam tulisan ini yaitu mewujudkan kota Palangka Raya sebagai tujuan wisata dan
mengangkat budaya setempat dengan keterpaduan sarana prasarana dan mendorong peran serta
seluruh stakeholder dan pemerintah.

Visi Penataan dan Pengembangan
Kawasan Bersejarah Banama selain sebagai lokasi/daerah tujuan wisata, sebagai sumberdaya
arkeologi dan warisan budaya masa lalu wajib dilestarikan. Di dalam pengertian Lestari dan
Pelestarian memuat keseluruhan upaya mulai dari perlindungan, pengembangan, sampai
pemanfaatan.
Misi Penataan dan Pengembangan
a. Mengkaji keberadaan baik sejarah, tipologi bangunan maupun perkembangan sekarang dan
yang akan datang.
b. Mengidentifikasi bangunan bersejarah melalui konservasi
c. Melindungi bangunan baik secara fisik dan hukum
d. Mengembangkan dan memanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek, menengah sampai
jangka panjang
Tujuan Penataan dan Pengembangan
a. Memberikan pengetahuan akan keberadaan suatu situs bersejarah di Kalimantan Tengah
dengan menggali nilai sejarah melalui kawasan bersejarah.
b. Mengembangkan Potensi, peran dan kapasitas Kawasan bersarajan Batu Banama sehingga
mampu berperan secara optimal baik bagi pengembangan kebudayaan, pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan, serta pengembangan sebagai objek dan daya tarik wisata di
Palangka Raya
c. Meningkatkan fungsi kawasan sebagai salah satu titik simpul yang penting dalam
menumbuhkan jaringan kegiatan pariwisata di Kalimantan Tengah
Lingkup dan Target Penataan dan Pengembangan
a. Fisik
Kajian Jalan dan Pedestrian dalam Kawasan
Penataan Fasilitas Pendukung
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 17


Fasilitas pendukungan berupa keberadaan infrastruktur yang memadai dan mendukung
untuk tujuan kunjungan.
b. Non Fisik
Nilai historis dan arkeologi
Pengembangan produk / atraksi
Pengembangan basis data dan informasi
Pengembangan pemasaraan dan pengembangan SDM
Pengembangan Kelembagaan dan koordinasi
Sedang target yang diharapkan; terciptanya produk kunjungan berupa kegiatan budaya, kegiatan
bermuatan ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan kegiatan berwisata.

Permasalahan
1. Bagaimana Penataan/ dan Program yang diangkat untuk menarik wisatawan terhadap
kawasan ini ?

IDENTIFIKASI KAWASAN BERSEJARAH BATU BANAMA
Sejarah
Tinggi batu yang bagian bawahnya lancip seperti limas kapal itu, kira-kira 2 x tinggi orang dewasa,
dan panjangnya 10 meter. Dari jauh nyaris tak tampak karena ditumbuhi pepohonan dan semak-
semak, lengkap dengan akar-akar gantungnya. Namun kalau didekati, bentuknya yang seperti
kapal itu memang tampak menyolok. Mungkin dari situlah berkembang cerita rakyat dengan
berbagai versi, ada yang mengatakan bahwa sebuah batu yang berbentuk seperti perahu, konon
ceritanya batu ini adalah sebuah perahu yang berubah menjadi batu (basaluh) oleh yang Maha
kuasa karena terjadinya sebuah pali (pantangan) ceritanya hampir mirip dengan legenda
sangkuring.
Dan versi lain hampir sama hanya namanya yang berbeda batu itu dulunya bahtera si Tangkiling
ratusan atau ribuan tahun yang lalu, ketika desa itu masih terletak di pinggir laut. Dan memang,
pasir putih yang merupakan fundasi kota Palangkaraya sekarang dan struktur geologis bagian
selatan Kalimantan dulunya masih berujud laut ketika pedalaman Kal-Teng sudah berujud hutan.
Namun pada tulisan ini bukan asal usul yang diangkat tapi bagaimana kawasan bersejarah ini
menjadi kawasan yang lebih optimal dan berdaya guna lebih banyak menarik wisatawan untuk
berkunjung

Pola Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat di kawasan ini bermata pencaharian sebagai petani, (karet, kerajian,
pendulang batu).

Letak Bangunan (Orientasi Bangunan)
Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana ini sangat strategis berada di atas bukit








Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


18 ISSN 1907 - 8536












A. Bentuk Site dan Fungsi Ruang
Betukan site berupa linear ke bagian-bagian fungsi ruang.






















PROGRAM-PROGRAM PENATAAN
Program-program pengembangan disusun berdasarkan kerangka pengembangan yang telah
dirumuskan. Program-program ini nantinya merupakan agenda kegiatan kawasan Batu Banama
dan lingkungannya. Diharapkan program-program ini mampu menjadi daya tarik kunjungan ke
Kawasan Batu Banama. Program-program tersebut :
1. Program Penataan Jalan dan Pedestrian Lingkungan
2. Program Penataan Fasilitas
3. Program Pengembangan Wisata
a. Program Pengembangan Fisik : Perlindungan bangunan secara Hukum dan Fisik,
Infrastruktur pendukung produk kegiatan, serta penataan lingkungan alami
b. Program pengembangan nonfisik : Pengembangan Produk/ Atraksi
c. Program Pendukung Pengembangan: Pengembagnan basis data informasi, pemasaran,
SDM, dan kelembagaan.
Batu Banama
Souvenir
Rg. Tunggu/Taman
Batu Banama
Parkir Motor
Parkir Roda 4
Taman Pedestrian
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 19


Strategi Pengembangan
a. Pengembangan Penataan Kawasan dengan melengkapi fasilitas berupa Gazebo santai tidak
hanya terbatas di dalam lingkup pagar kompleks kawasan, melainkan perlu meluas ke areal di
sekitar kawasan cagar sekitarnya dengan memperhatikan konsep Arsitektur Etnik setempat.
Dimana fungsi sebagai tempat peristirahatan umum, tempat makan dan minum.

























Bentukan yang diangkat merupakan Desain Arsitektur Khas Kalimantan Tengah dengan
menampilkan ukuran dan bergaya Modern - Tradisional. Bentukan panggung dengan empat
tiang kaki bulat.
b. Bahan Cetakan berisi agenda kegiatan, tiket bermakna khas, kendaraan, bahan bawaan, dan
cinderamata umum
c. Infrastruktur sebagai pendukung keberadaan kegiatan dalam kawasan, berupa : lampu taman,
penerangan jalan, km/wc umum, bak sampah, dll.









Tampak Depan
Tampak Samping
Tampak Perspektif
GAZEBO
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


20 ISSN 1907 - 8536


d. Pembenahan tempat parkir, tempat peristirahatan umum, saat menunggu keluarga untuk
berkumpul. Taman disebelah Parkir Roda Empat yang ada sebagai ruang terbuka, sebagai
ruang tunggu, ruang beraktifitas olah raga dan sebagainya. Dan sebagai ruang istirahat saat
menunggu kelurga yang belum turun dari bukit.
















e. Taman Pedestrian dalam kawasan















f. Menyediakan fasilitas (asesoris) sebagai bagian dari daya tarik
Berupa Bangunan Kios penjual asesoris dan atau minuman dan makanan.








Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 21


Dengan adanya fasiitas kios dappat menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke
kawasan ini.
g. Agenda Kegiatan:
Kegiatan Budaya, kegiatan bermuatan ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan kegiatan wisata.
Dapat berupa pementasan sanggar tari, kesenian, dan ajang kontes kesenian lainnya.
Realisasinya dapat berupa ruang pementasan atau panggung.
h. Pengembangan SDM :
Tour agency, tour operator, tour guide, tourist information service, tourist services, dan public
services
i. Derajat kenyamanan sebagai bagian daya tarik kunjungan :
Privasi pengunjung, menikmati keindahan dan suasana lingkungan, kenyamanan dan kegiatan
j. Aturan sebagai kelengkapan informasi : Agenda tahunan, bulanan, mingguan, jenis dan
jaringan atraksi, hak dan kebajiban pengunjung. (Dinas Kebudayaan 2004).

ARAHAN PROGRAM PENGEMBANGAN
A. Program Pengembangan Fisik
No. Sub Program Lokasi & Objek Aktivitas Tujuan dan lain-lain
1 Perlindungan
Hukum bangunan
Kompleks Keraton
Kuning Bangunan
Utama
Usulan penetapan
BCB dengan batas
zonasinya (untuk
bangunan), melalui
pendaftaran dan
pengusulan sesuai
prosedur yang
berlaku
Bertujuan untuk
menjamin
perlindungan
terhadap status dan
eksistensi bangunan
dari ancaman
perubahan yang
tidak sesuai UU yang
berlaku, untuk
kepentingan
pelestarian
2 Perlindungan Fisik
Bangunan
Kompleks Keraton
Kuning
Bangunan Utama
Bangunan lainnya
Melakukan
kegiatan
pemeliharaan,
konservasi, dan
pemugaran
sesuai dengan
kaidah-kaidah
pelerstarian
bangunan
Melakukan
kegiatan
inventarisir
benda-benda
peninggalan
Untuk menjaga
kondisi
keterawatan
bangunan dari
pengaruh
lingkungan
Perawatan
bangunan
dengan
mengeawatkan
dan
penanggulangan
kerusakan
Mempertahankan
keaslian dan
kekuatan
bangunan


Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


22 ISSN 1907 - 8536


3 Infrastuktur
pendukung
Kawasan kegiatan
Kompleks Keraton
Kuning
Pembuatan,
Perbaikaan dan
pembenahan sarana
prasaranan kegiatan
kunjungan
Pedestrian
Tempat parkir
Tempat istirahat
Tempat makan
dan minum
Souvenir
Sarana
penerangan
Sarana
komunikasi
Sarana penitipan
barang
Sarana
memperoleh dan
memberikan
informasi
4 Penataan
Lingkungan Alami
Kompleks Keraton
Kuning
Pembenahan dan
penataan vegetasi
sesuai karakter
bangunan sebagai
bangunan tropis
Pemilihan vegetasi
dan menatanya
sesuai dengan
konsep filosofi
bangunan

B. Program Pengembangan Non Fisik : Pengembangan Produk/ Atraksi
No. Program Lokasi & Objek Kegiatan Aktivitas Lain-lain
1 Pengembangan
Kebudayaan
a. Ruang
Pementasan
Pergelaran
Seni
Budaya
terpilih

Menampilkan
Grup/ Kelompok
Seni Terpilih
Baik Yang
Berkonsep
Tradisonal
Maupun
Modern/Kontem
porer Untuk
Penampilan
Secara Berkala,
Meliputi :
Pergelaran Seni
Tari Dan Teater
Pergelaran Seni
Musik
Pameran Seni
Kerajinan, seni
lukis, seni
pahat, adat, dan
tradisi
Masuk dalam
agenda
kegiatan seni
budaya
(mingguan,
bulanan,
tahunan)
Kegiatan
budaya ini
dapat
dipadukan
dengan
kegiatan
wisata
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 23


2 Pengembangan
Ilmu
Pengetahuan
dan Pendidikan
b. Batu Banama Persentasi
Batu Banama
dan
lingkungannya
3berdasarkan
sejarah dan
hirarkinya
Penayangan
video/audiovisu
al tentang
potensi, peran,
& kapasitas
Bukit Batu
Banama
beserta
lingkungannya,
baik makro
maupun mikro
Untuk
kepentingan
kegiatan
wisata studi
dan kegiatan
pemasaran
Kegiatan
dalam
program ini
dapat
dipadukan
dengan
kegiatan
budaya dan
kegiatan
wisata

C. Program Pendukung Pengembangan
No. Program Sub Program Program Aksi
1 Pengembangan
basis data dan
informasi
Pengembangan Pendataan
potensi Batu Banama dan
lingkungannya
Bertujuan untuk menjamin perlindungan
terhadap status dan eksistensi
bangunan dari ancaman perubahan
yang tidak sesuai UU yang berlaku,
untuk kepentingan pelestarian
2 Perlindungan Fisik
Bangunan
Kompleks Batu Banama
Batu banama
Ruang Sajen
Puri-puri
Untuk menjaga kondisi keterawatan
bangunan dari pengaruh lingkungan
Perawatan bangunan dengan
mengeawatkan dan
penanggulangan kerusakan
Mempertahankan keaslian dan
kekuatan bangunan
Menginentarisir dan mengupulkan
kembali barang-barang peninggalan
keraton yang ada maupun yang
telah hilang
3 Infrastuktur
pendukung
produk kegiatan
Kompleks Batu Banama Pedestian
Tempat parkir
Tempat istirahat
Tempat makan dan minum
Souvenir
Sarana penerangan
Sarana komunikasi
Sarana penitipan barang
Sarana memperoleh dan
memberikan informasi

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


24 ISSN 1907 - 8536


4 Penataan
Lingkungan Alami
Kompleks Batu Banama Pemilihan vegetasi dan menatanya
sesuai dengan konsep filosofi
bangunan. Di sepanajang jalan menuju
Batu Banama


DAFTAR PUSTAKA

Asdra, Lucia Rudwiartiini.

Arya Ronald, Kekayaan dan Kelenturan Arsitektur, November 2008.

Budiarjo, Eko. Kota Berkelanjutan. Alumni. Bandung. 1992

Hakim, Rustam. Unsur Perancangan dalam Arsitektur Landskap, Bumi Aksara. Jakarta, 1993

Hadi, Dwita dan Bakti Setiawan. Perancangan Kota Ekologi. Direktorat Jenderal Pendididkan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 1999.

Laurie, Micheael. Pengantar Kepada Arsitektur Petamanan. Intermatra. Bandung. 1990

Pranowo, M. Bambang. Dkk. Stereo Tipe, Etnis, Asimiliasi dan Interaksi Sosial. Pustaka Grafika.
Jakarta.

Pratiwo, Pemendang Pluralisme Sebuah Kota, Paper dipresentasikan pada Seminar Ikatan Arsitek
Indonesia di Jawa Tengah, 1 Agustus 1998.





















Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 25


PASAR MINGGUAN DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN
JALAN PUTRI JUNJUNG BUIH KOTA PALANGKA RAYA

Lola Cassiophea, ST., M.Eng
1


Abstrak
Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi tempat hiburan dan perbelajaan. Akan
tetapi tempat hiburan dan perbelanjaan di kota palangkaraya tidak begitu banyak yang bisa
dikunjungi. Masyarakat kota palangkaraya lebih memilih untuk tinggal dirumah pada akhir pekan,
kalaupun berpergian hanya yang berada di dekat rumah saja. Salah satu pasar di area
pemukiman yang ramai dikunjungi adalah pasar mingguan di jalan putri junjung buih
palangakaraya. Pasar ini hanya beraktivitas satu kali dalam satu minggu yaitu pada sabtu sore
menjelang magrib.Tulisan ini bertujuan untuk melihat peran dan nilai-nilai yang terkandung pada
pasar mingguan. Bahasan dilakukan dengan mengkaji pasar mingguan area pemukiman jalan
Putri Junjung Buih Kota Palangkaraya. Dibalik tampilan wadah yang kurang menguntungkan,
pasar mingguan menyimpan banyak nilai-nilai positif. Keterbukaan, kebersamaan, kesetaraan dan
keperdulian menjadi ciri pasar tradisional yang penting dalam membangun lingkungan hidup yang
nyaman dan manusiawi. Selain sebagai ajang transaksi penjual pembeli, pasar mingguan
berperanan dalam menjalin interaksi dan komuniasi para pelakunya. Membangun toleransi dan
fleksibel dalam pemakaian dan bentukan keruangannya.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli dalam urusan transaksi. Pada
pasar tradisional tawar menawar mencari kesesuaian menjadi warna dan ciri dari pasar. Namun
dalam perkembangannya sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dalam jumlah dan
keragaman kegiatan pasar ini tidak lagi hanya periodik melainkan menerus setiap hari. Pada pasar
tradisional kegiatan utama bukan pada transaksinya, melainkan pada interaksi sosialnya
(Setioko, 2010, hal 104-115). Pasar menurut Wiryomartono sangat penting keberadaannya
dalam pertumbuhan kota. Pasar merupakan bagian hilir dari perkembangan kota atau kota
merupakan bagian hulu dari kota. Pasar merupakan awal dari berdirinya sebuah kota (1995, 13).
Untuk itu semua pasar perlu moderat agar semua dapat berjalan dengan lancar. Pasar harus
memudahkan dalam urusan dan aturan serta menganggap semuanya dalam posisi yang sama
dan sederajat. Pasar dalam skala besar menjadi simpul dari kebudayaan karena semua orang dari
bermacam bangsa, suku, kedudukan, pekerjaan datang pada satu tempat untuk bertemu dan
berhubungan langsung tanpa banyak penghalang. Dimana kebudayaan yang dibawa satu orang
dapat ditularkan ke orang lain tanpa pemaksaan dan menjadi bawaan lain selain mata dagangan.
Pasar menjadi tempat dimana akulturasi berjalan saling mengisi. Pasar tradisional menurut
Geertz bukan sekedar pranata ekonomi, namun terlebih lagi adalah menyangkut sosial
budaya. Menyangkut seluruh kegiatan pengolahan dan penjajaan secara kecil-kecilan. Menurut
geertz pasar tradisional mempunyai tiga karakteristik, yakni : arus barang dan jasa menurut pola
tertentu; mekanisme ekonomi untuk mengatur dan memeliharanya; sistem sosial budaya
dimana mekanisme tersebut tertanam (Geertz, 1977: 31). Bagi Geertz pasar pasar tradisional
merupakan perwujudan sistem sosial dan budaya masyarakat . Di kota-kota besar pembangunan

1
Dosen Jurusan Teknik Bangunan FKIP Universitas Palangka Raya
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


26 ISSN 1907 - 8536


lingkungan permukiman banyak dilakukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan rumah
tinggal. Sayang sekali pembangunan permukiman seringkali tidak diimbangi dengan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan fasilitas publik dan fasilitas sosialnya. Pasar sebagai salah satu fasilitas
sosial sekaligus fasilitas publik jarang sekali dibangun pada skala lingkungan. Pada skala ini
kegiatan perekonomian kemudian diserahkan pada masyarakat sendiri. Pasar lingkungan yang
timbul kemudian lebih merupakan fenomena alami yang timbul karena kebutuhan masyarakat
setempat dibanding fasilitas yang telah direncanakan
dengan matang. Bahkan untuk tempat kegiatan inipun tidak tersedia, sehingga pasar seringkali
menempati ruang-ruang marginal atau yang bukan peruntukannya. Namun keberadaan pasar
lingkungan ini benar-benar dibutuhkan serta berperan dalam banyak aspek kehidupan
bermasyarakat di lingkungan tersebut. Pentingnya keberadaan pasar dibalik kesederhanaan
bentuk serta settingnya mengantar pada pertanyaan bagaimanakah bentuk dan kegiatan pasar
di permukiaman dan bagaimana perannya dalam peri kehidupan masyarakat di
lingkungan tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana bentuk setting pasar lingkungan serta aktifitas yang
terjadi pada wadahnya serta mencoba mengambil makna dari kegiatan dan setting yang diamati.
Pengamatan dilakukan pada pasar lingkungan yang berada pada areal perumahan.

Pasar Mingguan Di Jalan Putri Junjung Buih Palangkaraya
Pasar mingguan di jalan putri junjung buih menempati perempatan di tengah areal permukiman
tersebut. Yakni pada sebuah gang di jalan putri junjung buih. Para pedagang pasar
memanfaatkan tepi jalan antara selokan dan badan jalan sebagai tempat usahanya. Pasar ini
mulai beroperasi dari jam setengah enam sore sampai jam delapan malam. Pedagangnya sendiri
baru datang kira-kira jam lima sore dan berakhir kira-kira jam sembilan malam ketika
mereka membongkar lapak dan kemudian membersihkan tempat tersebut dari semua
sampah sehingga kembali bersih seperti semula. Jumlah pedagang yang berjualan lebih kurang
30 orang. Jumlah ini tidak tetap setiap minggunya, namun mereka rupanya sudah mempunyai
tempat yang tetap. Macam dagangan yang diperjual belikan juga sangat bervariasi. Beberapa
pedagang yang cukup besar antara lain pedagang pakaian, pedagang macam-macam jajanan,
pedagang aksesoris, pedagang buah serta pedagang lauk pauk dan sayuran, tempat jualan
pedagang ini tidak terlalu besar serta mempunyai pelanggan yang cukup banyak. Pedagang yang
lain adalah pedagang kaset, serta pedagang kelontong. Pedagang-pedagang tadi merupakan
pedagang tetap yang hampir setiap hari menggelar dagangannya. Selain pedagang tetap
tersebut juga terdapat pedagang yang datang hanya sekali-sekali seperti penjual mainan anak
dengan sepeda, penjual leker, penjual bunga serta penjual perabot plastik yang
menggunakan mobil bak terbuka. Tukang odong-odong dipinggir jalan di depan gang juga menjadi
tempat yang selalu ramai. Penjual jasa ini menjadi jujugan anak-anak yang ikut belanja ibu atau
pembantu rumah tangganya. Pedagang-pedagang ada yang berasal dari perumahan diarea
pemukiman junjung buih sendiri seperti penjual masakan, penjual jajanan kering, dari warga
kampung di sekitar perumahan seperti penjual sayuran, penjual buah, penjual gethuk atau dari
tempat yang lebih jauh lagi seperti penjual kaset bajakan. Cara pedagang menggelar dagangan
juga bermacam-macam. Ada yang menggelar dagangan langsung di atas alas terpal seperti
pedagang sayuran. Dengan meja atau kotak dasaran seperti penjual masakan dan buah. Ada
yang menggunakan sepeda seperti penjual mainan terdapat di tepi badan jalan terutama pada
jalan gang dipinggir selokan atau pangaringan sehingga tidak mengganggu penghuni rumah
yang ada di didalam gang. Kalaupun terpaksa ada di depan rumah, penjual harus seijin pemilik
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 27


rumah dan tidak menutup akses ke dalam rumah. Ada semacam toleransi antara pedagang
dengan penghuni rumah yang ada di daerah tersebut. Pedagang tidak memakai tempat tersebut
sepanjang malam, melainkan hanya sore sampai menjelang jam 8 malam saja. Tempat pun harus
bersih seperti semula ketika pedagang selesai berjualan. Para penjual berasal dari beberapa
tempat yang berbeda. Beberapa penjual masakan merupakan penghuni perumahan itu sendiri
yang memanfaatkan pasar untuk berwiraswasta. Bahkan satu penjual masakan di jalan
putri junjung buih memanfaatkan tempat di muka rumahnya sendiri untuk berjualan masakan,
kebetulan rumahnya terletak tidak jauh dari perempatan tersebut. Penjual buah, penjual sayuran
merupakan penghuni perkampungan di sekitar perumahan tersebut. Penjual bersepeda
atau berkendaraan berasal dari tempat yang lebih jauh, mereka bukan penghuni tetap, melainkan
berkeliling mencari pasar-pasar lingkungan yang ramai.

BAHASAN
Terdapat dua aspek yang menarik pada pasar mingguan yakni aspek fisik keruangan pasar yang
terwujud sebagai wadah dari kegiatan yang ada serta nilai-nilai yang terkandung dibalik aktifitas
yang terjadi.

Ruang Pada Pasar
Dari pola gelaran pasar tersebut bentuk setting jualan kemudian dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yakni: gelaran yang moveble yakni pada gelaran menggunakan kendaraan, baik sepeda, motor,
maupun mobil. Pola movebel macam ini memungkinkan pedagang untuk setiap kali berpindah
dengan mudah dari satu tempat ke tempat yang lain. Gelaran menetap bila bentuk gelaran
mengharuskan pedagang untuk diam di satu tempat. Pola ini akan terdiri dari gelaran kecil,
dimana barang yang digelar tidak perlu dibongkar dari wadahnya sehingga dapat dibawa maupun
diletakkan dengan cepat, seperti bakulan, angkringan. Pedagang dengan gelaran kecil
memungkinkan untuk berkeliling walaupun dengan jarak jangkau yang lebih terbatas. Gelaran luas
akan memerlukan waktu untuk menata maupun pada saat mengepaknya. Pedagang gelaran luas
cenderung menetap pada satu tempat dan membuat tempat yang relatif lebih permanen
dibandingkan pedagang gelaran yang lain. Namun bagaimanapun setting dagangan
menunjukkan bahwa tempat berjualan tersebut mudah untuk dibongkar pasang setiap harinya.
Apa yang mengatur setting tersebut adalah kesepakatan serta tenggang rasa. Kesepakatan antara
penjual, pembeli dan pemilik lahan atau masyaraka setempat. Tenggang rasa bahwa selain
banyak keuntungan yang di dapatkan dengan adanya kegiatan pasar tersebut, juga terdapat
resiko-resiko yang harus ditanggung bersama.

Pasar Sebagai Media Kekerabatan
Keberadaan pasar lingkungan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi masyarakat saja
melainkan berkaitan pula dengan aspek sosial bahkan kebudayaan. Pasar lingkungan di jalan putri
junjung buih menjadi tempat berkumpul dan bertemunya penghuni perumahan dengan masyarakat
di sekitar lingkungan perumahan tersebut. Jarak pelayanan pasar lingkungan adalah sebatas
jarak capai dari rumah penghuni tiap sore dengan berjalan kaki, sehingga tidak akan melebihi
panjang 300 meter. Jarak yang lebih jauh mungkin ditempuh oleh penjual dari lingkungan sekitar
serta yang lebih jauh lagi dari para penjual yang menggunakan kendaraan. Pasar lingkungan
di jalan putri junjung buih menjadi tujuan belanja mingguan penghuni. Pasar sebagai tempat
bertemunya penghuni perumahan dengan masyarakat di sekitarnya memberikan hubungan saling
menguntungkan antara di permukiman tersebut. Pada pasar lingkungan ini kebutuhan-
kebutuhan hidup masyarakat perumahan dapat terpenuhi tanpa harus pusat perbelanjaan.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


28 ISSN 1907 - 8536


Sementara bagi masyarakat perkampungan kebutuhan-kebutuhan masyarakat perumahan
merupakan peluang usaha perdagangan maupun jasa yang dapat meningkatkan peri kehidupan
mereka. Dengan adanya hubungan saling menguntungkan tersebut kesenjangan antara
masyarakat perumahan dan perkampungan akan luruh dan menjadi satu ikatan sosial dan spasial
yang kuat. Percampuran kebudayaan dalam skala kecil akan terjadi pada pasar tersebut.
Penghuni perumahan sebagai masyarakat pendatang adalah masyarakat heterogen dengan asal
suku, pekerjaan, pendidikan dan agama yang berbeda-beda berinteraksi dengan kehidupan
agraris masyarakat pedesaan yang relatif homogen. Kepentingan ekonomi menjadi media untuk
saling mengenal dan memahami kondisi masing-masing. Melalui perbincangan sambil lalu disela-
sela serunya tawar menawar antara penjual dan pembeli, masyarakat perkampungan mengenal
siapa pelanggannya, darimana berasal agama serta taraf perekonomiannya. Bahkan dialek
bahasa asalpun bertukar dalam pergaulan tersebut. Kesetaraan dalam interaksi di pasar
mendorong keterbukaan dan saling pengertian diantara warga perkampungan dengan warga
perumahan.

PENUTUP
Pada pasar lingkungan aktifitas lebih penting dari wadah resmi pasar tersebut. Setting pasar lebih
perperan daripada bentuknya. Mobilisasi dan fleksibilitas pasar cukup besar. Pasar terselenggara
karena hubungan saling menguntungkan antara masyarakat perkampungan dan masyarakat
perumahan. Interaksi di pasar mendorong percampuran kebudayaan kebudayaan yang dibawa
pelaku (penjual dan pembeli) sehingga menimbulkan pemahaman dan saling pengertian. Pasar
lingkungan memberikan peluang interaksi dalam kesetaraan dan keterbukaan, menghilangkan
kesenjangan.

DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Cliffort, 1977, Penjaja dan Raja, Gramedia, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.

Setioko, Bambang, 2010, Integrasi Ruang Perkotaan di Kelurahan Meteseh, PDTAP Undip,
Semarang, Disertasi, tidak dipublikasikan.

Wiryomartono, Bagoes, 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, Gramedia,
Jakarta.

Sardjono, Agung Budi, 2011, Pasar di Lingkungan Pemukiman, modul vol 11. Universitas
Diponegoro. Semarang.









Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 29


ANALISIS PENGENDALIAN BIAYA DAN WAKTU
MENGGUNAKAN METODE KONSEP EARNED VALUE
(STUDI KASUS PROYEK PEMBANGUNAN BUNDARAN SETH ADJIE)


Subrata Aditama K.A. Uda, ST., MT
1
; Eka Anggriani, ST
2


Abstrak
Pelaksanaan kegiatan proyek konstruksi merupakan rangkaian mekanisme kegiatan yang
kompleks. Oleh karena itu dilakukan analisis pengendalian tentang biaya dan waktu pelaksanaan
berdasarkan kinerja proyek agar diketahui prakiraan biaya dan waktu kegiatan proyek yang sesuai
dengan perencanaan yang telah ditetapkan dalam dokumen kontrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prakiraan total biaya dan waktu dalam menyelesaikan
proyek dengan menggunakan metode Konsep Earned Value. Suatu metode pengendalian
pelaksanaan pekerjaan yang dapat mengungkapkan atau mendeteksi penyimpangan yang terjadi
sedini mungkin. Ada tiga parameter dasar yang digunakan dalam metode ini yaitu ACWP/ Actual
Cost of Work Performed (Biaya Aktual Pekerjaan), BCWP/ Budgeted Cost of Work Performed
(Biaya Pengeluaran Pada saat Pelaporan), BCWS/ Budgeted Cost of Work Scheduled (Biaya
Pengeluaran Menurut Perencanaan). Dengan menggunakan ketiga parameter yang diperoleh
pada saat pelaporan tersebut, maka dapat diketahui prakiraan total biaya dan waktu penyelesaian
proyek
Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode Konsep Earned Value dari setiap pelaporan dari
bulan ke-1 hingga bulan ke-5 diperoleh bahwa prestasi pekerjaan proyek dapat dikatakan baik, hal
ini terlihat dari nilai Varian Biaya (CV) dan Varian Jadwal (SV) yang selalu bernilai positif serta nilai
Indeks Kinerja Biaya (CPI) dan Indeks Kinerja Jadwal (SPI) yang selalu bernilai satu atau lebih
dari satu, parameter ini menunjukkan bahwa biaya aktual proyek lebih kecil dari anggaran dan
waktu penyelesaian pekerjaan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan.

Kata Kunci : Pengendalian, Konsep Earned Value, ACWP, BCWP, BCWS, Kinerja Proyek.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perencanaan pengendalian biaya dan waktu merupakan bagian dari manajemen proyek
konstruksi secara keseluruhan. Selain penilaian dari segi kualitas, prestasi suatu proyek dapat
pula dinilai dari segi biaya dan waktu. Biaya yang telah dikeluarkan dan waktu yang digunakan
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan harus diukur terus-menerus penyimpangannya terhadap
rencana.
Pelaksanaan kegiatan proyek dalam hal ini proyek konstruksi merupakan rangkaian mekanisme
kegiatan atau pekerjaan yang rumit dan saling tergantung satu sama lainnya. Selain itu, sifat
pekerjaannya sangat terurai, terbagi-bagi, terpisah-pisah sesuai dengan karakteristik dan profesi
pekerjaannya. Pada kenyataanya, tidak pernah dijumpai suatu proyek yang semua kegiatannya
berjalan sesuai dengan perencanaan dasar (berupa anggaran, jadwal, penetapan standar mutu,
organisasi pelaksana, pengisian personil, serta urutan langkah pelaksanaan pekerjaan), terutama

1
Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Palangka Raya
2
Tenaga Sipil pada Biro Kontraktor
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


30 ISSN 1907 - 8536


bagi proyek besar dan kompleks. Hal ini disebabkan antara lain pada waktu menyusun
perencanaan sebagian besar didasarkan atas asumsi keadaan yang akan datang.
Dalam kegiatan proyek diperlukan sistem pengendalian yang dilengkapi dengan metode yang
dapat segera memberikan petunjuk atau mengungkapkan adanya penyimpangan. Mengidentifikasi
penyimpangan berarti menganalisa data-data pelaporan pelaksanaan kegiatan pada waktu
tertentu dan membandingkannya dengan yang telah direncanakan. Untuk itu diperlukan metode
pengendalian yang tepat, agar dapat mengungkapkan penyimpangan sedini mungkin. Metode
yang dimaksud misalnya Konsep Earned Value.
Konsep Earned Value merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengelolaan proyek,
khususnya pengendalian biaya dan waktu. Metode Konsep Earned Value ini dapat bermanfaat
untuk meningkatkan efektifitas dalam pemantauan dan pengendalian kegiatan proyek. Oleh
karena itu, maka topik yang diambil untuk penelitian tugas akhir ini yaitu mengenai analisis proyek
pembangunan Bundaran Seth Adjie Kota Palangka Raya khususnya analisis biaya dan waktu
dengan menggunakan Konsep Earned Value.

Rumusan Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana hasil analisis biaya dan waktu dengan menggunakan metode Konsep Earned
Value berdasarkan hasil kinerja kegiatan proyek?
2. Bagaimana prakiraan biaya dan waktu penyelesaian proyek dengan menggunakan metode
Konsep Earned Value?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hasil analisis biaya dan waktu dengan menggunakan metode Konsep Earned
Value.
2. Mengetahui prakiraan total biaya dan waktu dalam penyelesaian proyek.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait sehingga diharapkan proyek dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam dokumen kontrak, terutama
mengenai anggaran dan waktu pelaksanaan proyek.
2. Sebagai tambahan pengetahuan mengenai pengendalian biaya dan waktu khususnya dengan
metode Konsep Earned Value.

DASAR TEORI

Konsep Earned Value atau konsep nilai hasil merupakan salah satu metode yang digunakan
dalam pengelolaan proyek yang mengintegrasikan biaya dan waktu. Konsep ini menghitung
besarnya biaya yang menurut anggaran sesuai dengan pekerjaan yang telah diselesaikan.

Persamaan umumnya adalah :

Nilai Hasil = (% Penyelesaian) x ( Anggaran)

Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 31


Metode ini banyak digunakan selain karena dapat memantau dan mengendalikan biaya dan waktu
juga mampu menunjukkan kinerja dari kegiatan yang dilaksanakan, metode ini juga dapat
dikembangkan untuk membuat prakiraan atau proyeksi keadaan masa depan proyek.
Prakiraan ini dibuat berdasarkan asumsi bahwa kecenderungan yang ada dan terungkap pada
saat pelaporan terus berlangsung. Keterangan semacam ini, yaitu memberitahukan proyeksi masa
depan hasil penyelenggaraan proyek, merupakan masukan yang sangat berguna bagi pengelola
maupun pemilik proyek karena dengan demikian dapat disusun langkah-langkah yang perlu
dihadapi. (Subrata,2005)
Menurut Ervianto (2004), ada tiga parameter dasar yang menjadi acuan dalam menganalisa
kinerja dari proyek berdasarkan konsep Earned Value adalah:
a) BCWS ( Budgeted Cost For Work Schedule)
BCWS merupakan anggaran biaya yang telah direncanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan
proyek. Untuk setiap periode yang diinginkan, anggaran biaya pada jadwal pekerjaan dihitung
dengan menjumlahkan seluruh anggaran paket pekerjaan.
b) BCWP (Budgeted Cost For Work Performance)
BCWP atau Earned Value adalah anggaran biaya dari seluruh aktual pekerjaan yang sudah
dilaksanakan sepanjang periode konstruksi. Biaya ini dapat dihitung pada masing-masing
periode atau pada jumlah kumulatifnya.
c) ACWP (Actual Cost For Work Performance)
ACWP adalah biaya aktual yang dikeluarkan untuk penyelesaian pekerjaan pada periode
waktu yang bersangkutan. Biaya aktual didapat dari laporan-laporan pada periode tertentu.

Varian Biaya dan Varian Jadwal
Varian biaya (cost variant) adalah penyimpangan antara biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk
pekerjaan yang telah dilaksanakan dengan biaya yang telah dikeluarkan. Bila varian biaya bernilai
positif berarti proyek mengalami keuntungan disebut cost underrun, bernilai negatif berarti proyek
mengalami kerugian disebut cost overrun, sedangkan nol menunjukkan pekerjaan terlaksana
sesuai dengan biaya. (Siagian, 2005)
Varian biaya dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini :
CV = BCWP - ACWP (Soeharto,1995)
Varian jadwal (Scheduled Variant) adalah penyimpangan biaya yang seharusnya dikeluarkan
untuk pekerjaan yang telah dilaksanakan dengan anggaran yang telah ditetapkan untuk
menyelesaikan pekerjaan. Varian jadwal bernilai positif berarti pelaksanaan lebih cepat dari
rencana, bernilai negatif berarti pelaksanaan mengalami keterlambatan, sedangkan nol
menunjukkan pelaksanaan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. (Siagian,2005)
Varian jadwal dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini :
SV = BCWP BCWS (Soeharto,1995)

Tabel Analisis Varian Terpadu
Varian Jadwal
SV = BCWP - BCWS
Varian Biaya
CV = BCWP ACWP
Keterangan
Positif Positif
Pekerjaan terlaksana lebih cepat dari jadwal,
dengan biaya pengeluaran lebih kecil dari
anggaran
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


32 ISSN 1907 - 8536


Nol Positif
Pekerjaan terlaksana tepat sesuai jadwal,
dengan biaya pengeluaran lebih kecil dari
anggaran
Positif Nol
Pekerjaan terlaksana dengan biaya sesuai
anggaran dan pelaksanaan pekerjaan lebih
cepat dari jadwal
Nol Nol
Pekerjaan terlaksana tepat sesuai jadwal,
dan biaya pengeluaran sesuai dengan
anggaran
Negatif Negatif
Pekerjaan terlaksana terlambat dari jadwal,
dengan biaya pengeluaran lebih besar dari
anggaran
Nol Negatif
Pekerjaan terlaksana tepat sesuai jadwal,
dengan biaya pengeluaran lebih besar dari
anggaran
Negatif Nol
Pekerjaan terlaksana terlambat dari jadwal,
dengan biaya pengeluaran sesuai dengan
anggaran
Positif Negatif
Pekerjaan terlaksan lebih cepat dari jadwal,
dengan biaya pengeluaran lebih besar dari
anggaran
(Sumber : Soeharto,1995)

METODE PELAKSANAAN
Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Sekunder
Data sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari informasi yang telah dihimpun baik
dari lokasi dilaksanakannya penelitian, maupun data arsip perusahaan yang menyangkut
objek penelitian. Data yang diperoleh di lapangan adalah laporan keuangan proyek, rencana
kerja berupa kurva S, laporan presentase penyelesaian fisik proyek pada setiap pelaporan.
2. Studi Kepustakaan
Studi pustaka memberikan referensi mengenai masalah yang akan dipecahkan sekaligus
memberikan metode pemecahan masalah yang dijadikan objek. Referensi mengenai
pengendalian biaya, dan waktu proyek, digunakan metode Konsep Earned Value sebagai
metode penyelesaian masalah penelitian.
Pengolahan Data dan Pembahasan
Pengolahan data atau analisis dengan menggunakan metode Konsep Earned Value, sehingga
dapat diketahui apakah waktu dan biaya pelaksanaan kegiatan selama pelaporan sesuai standar
yang direncanakan. Kemudian hasil perhitungan tersebut akan dibahas dalam pembahasan.
Analisis dan pembahasan pada penelian ini dijelaskan secara umum, sebagai berikut :
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 33


1. Analisis data antara lain prestasi yang direncanakan dengan prestasi realisasi selama bulan
pelaporan, waktu rencana kegiatan, nilai kontrak serta biaya aktual tiap bulan pelaporan
sebagai variabel yang perlu dipersiapkan sebelum dilakukan pembahasan.
2. Berdasarkan nilai kontrak, prestasi rencana, dan prestasi realisasi kumulatif, dilakukan
perhitungan nilai hasil (BCWP) pada tiap waktu pelaporan. Penelitian ini menggunakan
data pelaporan dalam periode bulanan.
3. Dari nilai anggaran yang direncanakan (BCWS) dan nilai biaya aktual (ACWP), serta nilai
hasil (BCWP) maka didapat nilai varian biaya (CV) dan varian jadwal (SP) terpadu pada tiap
bulan pelaporan
4. Menentukan nilai indeks kinerja biaya (CPI) dan indeks kinerja jadwal (SPI) pada tiap waktu
pelaporan.
5. Berdasarkan nilai indeks kinerja biaya dan jadwal, serta analisis yang diperoleh pada saat
pelaporan maka dapat dibuat prakiraan biaya dan jadwal penyelesaian proyek.
6. Dilakukan tinjauan perkembangan proyek selama bulan pelaporan berdasarkan analisis yang
dilakukan untuk kemudian dilakukan kontrol kondisi akhir proyek (pelaporan bulan ke-5).

ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Konsep Earned Value ( Konsep Nilai Hasil )
Pada proyek pembangunan Bundaran Seth Adjie Kota Palangka Raya, nilai kontrak sebesar Rp.
442.750.000,00 dengan lama pekerjaan 150 hari kalender. Data pelaporan prestasi dan biaya
disajikan dalam periode bulanan. Untuk melihat prestasi pekerjaan keseluruhan proyek diambil
data selama 5 periode pelaporan. Data anggaran didapat dari jumlah persentase bobot pekerjaan
yang harus dicapai dikalikan dengan rencana anggaran biaya proyek.
Berdasarkan fakta kondisi di lapangan maka terjadi pekerjaan tambah kurang untuk kegiatan
pekerjaan selanjutnya. Namun hal ini tidak berpengaruh terhadap total biaya dan waktu yang
direncanakan. Sebagai contoh pekerjaan drainase galian tanah biasa yang mengalami kurang
bobot dari 144 m
3
menjadi 126,44 m
3
, serta kelebihannya dialihkan kepekerjaan tambahan, dapat
dilihat pada lampiran laporan kemajuan bulan ketiga dan bulan selanjutnya.

Perhitungan Nilai Hasil
Kegiatan pekerjaan pada bulan ke-1 adalah pekerjaan pendahuluan yang terdiri dari pekerjaan
pembersihan lahan, pembuatan bangsal, pembuatan papan nama proyek, serta pengukuran dan
pasang bouwplank. Adapun total persentase prestasi kegiatan pekerjaan dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut :
Penyelesaian Fisik Proyek saat Pelaporan Bulan 1
Uraian Prestasi (%)
Prestasi Rencana
Kumulatif Bulan I
Prestasi Realisasi
Kumulatif Bulan I
1,516
1,516
(Sumber: Laporan Bulanan CV. Widya Wacana)

Prestasi Rencana Kumulatif Bulan 1 = 1,516
BCWS = Nilai Kontrak x % Prestasi
= Rp. 442.750.000,00 x 1,516 %
= Rp. 6.712.090,00

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


34 ISSN 1907 - 8536


Prestasi Realisasi Kumulatif Bulan1 = 1,516
BCWP = Nilai Kontrak x % Prestasi
= Rp. 442.750.000,00 x 1,516 %
= Rp. 6.712.090,00
Dari hasil perhitungan nilai hasil atau BCWP sebesar Rp. 6.712.090,00 sama dengan nilai
anggaran atau BCWS. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan kegiatan bulan kesatu telah selesai
dilaksanakan sesuai jadwal yang direncanakan. Untuk bulan selanjudnya dihitung dengan cara
yang sama.

Perhitungan Varians Biaya dan Jadwal Terpadu
Varians biaya (CV) dan jadwal (SV) terpadu didapat dengan rumus:
CV = BCWP ACWP
SV = BCWP BCWS
Perhitungan varians biaya dan jadwal terpadu bulan ke-1 dapat dilihat pada Tabel berikut :
Nilai Hasil Pelaporan Bulan 1
Data Nilai
Anggaran (BCWS)
Nilai Hasil (BCWP)
Rp. 6.712.090,00
Rp. 6.712.090,00
(Sumber: Hasil Perhitungan)

Biaya pengeluaran
ACWP = Rp. 6.208.300,00 (biaya actual)

Varian Biaya (CV) = BCWP - ACWP
= Rp. 6.712.090,00 - Rp. 6.208.300,00
= Rp. 503.790,00

Varian Jadwal (SV) = BCWP - BCWS
= Rp. 6.712.090,00 - Rp. 6.712.090,00
= Rp. 0

Perhitungan varian biaya dan jadwal terpadu di atas menunjukkan bahwa pekerjaan terlaksana
tepat sesuai jadwal, dengan biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran. Untuk bulan selanjudnya
dihitung dengan cara yang sama.

Perhitungan Indeks Kinerja Biaya dan Jadwal
Untuk menghitung besarnya indeks kinerja biaya dan indeks kinerja jadwal, digunakan rumus :
Indeks Kinerja Biaya (CPI) =
ACWP
BCWP

Indeks Kinerja Jadwal (SPI) =
BCWS
BCWP


Perhitungan indeks kinerja biaya dan jadwal bulan ke-1 dapat dilihat sebagai berikut :
CPI =
ACWP
BCWP

Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 35


=
00 , 300 . 208 . 6 . Rp
00 , 090 . 712 . 6 . Rp

= 1,081

SPI =
BCWS
BCWP

=
00 , 090 . 712 . 6 . Rp
00 , 090 . 712 . 6 . Rp

= 1
Perhitungan indeks kinerja biaya (CPI) dan indeks kinerja jadwal (SPI) di atas menunjukkan bahwa
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran dan pelaksanaan kegiatan proyek bulan ke-1 telah
selesai dilaksanakan sesuai jadwal. Untuk bulan selanjudnya dihitung dengan cara yang sama.

Proyeksi Biaya dan Jadwal Penyelesaian
Berdasarkan hasil analisis indikator yang diperoleh pada saat pelaporan, maka dapat dibuat
prakiraan biaya dan jadwal penyelesaian proyek dimana nantinya akan memberikan petunjuk
tentang prakiraan total biaya sampai dengan akhir proyek (BEAC) dan petunjuk tentang prakiraan
total waktu sampai dengan akhir proyek (SEAC).

Aspek Biaya Bulan ke-1
Anggaran keseluruhan = Nilai Kontrak
= Rp. 442.750.000,00

Anggaran untuk pekerjaan tersisa :
= Nilai Kontrak BCWP
= Rp. 442.750.000,00 Rp. 6.712.090,00
= Rp. 436.037.910,00

Prakiraan Biaya Pekerjaan Tersisa dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BETC =
CPI
BCWP Kontrak Nilai


=
081 , 1
00 6.712.090, . Rp 00 , 000 . 750 . 442 . Rp

= Rp. 403.365.319,00

Prakiraan Total Biaya sampai Akhir Proyek dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BEAC = BETC + ACWP
BEAC = Rp. 403.365.319,-+Rp. 6.208.300,-
BEAC = Rp. 409.573.619,00

Berdasarkan proyeksi biaya bulan ke-1 perhitungan prakiraan total biaya sampai akhir proyek
diperoleh Rp. 409.573.619,- , hal ini berarti bahwa total biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari
anggaran (nilai kontrak).

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


36 ISSN 1907 - 8536


2. Aspek Waktu Bulan ke-1
Waktu rencana = 150 hari
Waktu Pelaporan = tgl. 26 s/d 30 April
= 5 hari
Waktu pekerjaan tersisa :
= Rencana Waktu Pelaporan
= 150 5 = 145 hari

Prakiraan Waktu Pekerjaan Tersisa dihitung dengan rumus sebagai berikut :
SETC =
SPI
Pelaporan Waktu ncana Re
=
1
hari 5 hari 150

= 145 hari
Perkiraan Total Waktu sampai Akhir Proyek dihitung dengan rumus sebagai berikut :
SEAC = SETC + Waktu Pelaporan
= 145 hari + 5 hari
= 150 hari
Berdasarkan proyeksi jadwal bulan ke-1 perhitungan prakiraan total waktu sampai akhir proyek
diperoleh 150 hari kalender, hal ini berarti bahwa total waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan proyek sama dengan jadwal (150 hari kalender).

Tinjauan Perkembangan Proyek Selama Bulan Pelaporan
Dalam Tabel berikut akan disajikan hasil perhitungan BCWP, BCWS dan ACWP selama
pelaporan bulan 1, 2, 3, 4 dan 5 sehingga diperoleh nilai CV, SV, CPI, SPI, BEAC dan SEAC.
Hasil Perhitungan Perkembangan Proyek Selama Bulan Pelaporan
Keterangan Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4 Bulan 5
BCWP (Rp) 6.712.090 192.799.915 339.571.540 378.716.640 442.750.000
ACWP (Rp) 6.208.300 139.430.900 274.919.400 342.874.000 409.544.100
BCWS (Rp) 6.712.090 183.134.683 308.264.688 364.489.510 366.787.383
CV (Rp) 503.790 53.369.015 64.652.140 35.836.640 33.205.900
SV (Rp) 0 9.665.232 31.306.852 14.221.130 75.962.617
CPI 1,081 1,383 1,235 1,039 1,081
SPI 1 1,053 1,102 1,039 1,207
BEAC (Rp) 409.573.619 320.161.258 358.464.712 400.822.742 409.544.100
SEAC (Rp) 150 145 143 149 149
(Sumber : Hasil Perhitungan)

Kondisi Proyek Berdasarkan Nilai CV dan SV
Pelaporan
Varians
Biaya
(CV)
Varians
Jadwal
(SV)
Keterangan
Bulan ke-1 Positif Nol
Pekerjaan terlaksana tepat sesuai jadwal, dengan
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran
Bulan ke-2 Positif Positif
Pekerjaan terlaksana lebih cepat dari jadwal, dengan
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran.
Bulan ke-3 Positif Positif
Pekerjaan terlaksana lebih cepat dari jadwal, dengan
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 37


Bulan ke-4 Positif Positif
Pekerjaan terlaksana lebih cepat dari jadwal, dengan
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran.
Bulan ke-5 Positif Positif
Pekerjaan terlaksana lebih cepat dari jadwal, dengan
biaya pengeluaran lebih kecil dari anggaran.
(Sumber : Hasil Perhitungan)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada bulan ke-1 indeks kinerja jadwal (SPI) = 1, artinya
pelaksanaan kegiatan telah selesai dilaksanakan sesuai jadwal yang direncanakan dan indeks
kinerja biaya (CPI) > 1, artinya bahwa pengeluaran lebih kecil dari anggaran (proyek
mendapatkan keuntungan). Pada bulan ke-2 sampai bulan ke-5 indeks kinerja jadwal (SPI) dan
indeks kinerja biaya (CPI) bernilai > 1, berarti bahwa pelaksanaan pekerjaan lebih cepat dari
jadwal rencana dan pengeluaran lebih kecil dari anggaran (proyek mendapatkan keuntungan).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data pada proyek pembangunan Bundaran Seth Adjie Kota Palangka
Raya, maka diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil analisis kinerja kegiatan proyek untuk bulan ke-1 diperoleh nilai indeks
kinerja biaya (CPI) > 1 dan indeks kinerja waktu (SPI) = 1, menunjukkan bahwa biaya
pengeluaran lebih kecil dari anggaran dan waktu penyelesaian proyek lebih cepat dari jadwal
yang direncanakan. Sedangkan untuk bulan ke-2 sampai bulan ke-4 nilai indeks kinerja biaya
(CPI) > 1 dan indeks kinerja jadwal (SPI) > 1, menunjukkan bahwa biaya pengeluaran lebih
kecil dari anggaran pelaksanaan proyek, serta jangka waktu penyelesaian proyek lebih cepat
dari jadwal yang direncanakan.
2. Hasil kontrol pelaksanaan proyek baik dalam hal biaya maupun waktu penyelesaian proyek
sesuai dengan hasil analisis metode Konsep earned value pada pelaporan bulan ke-5 (akhir
proyek) didapat prakiraan total waktu (SEAC) selama 149 hari kalender dan prakiraan total
biaya (BEAC) sebesar Rp. 409.544.100,00. Sehingga dapat disimpulkan proyek mempunyai
prestasi baik, pelaksanaan proyek selesai lebih cepat dari jadwal rencana dan biaya lebih
kecil dari anggaran.

SARAN
1. Pengawasan pada setiap pekerjaan produktivitas tenaga kerja perlu lebih ditingkatkan agar
dapat dicapai hasil yang maksimal.
2. Dengan melakukan analisis Earned Value (nilai hasil) maka pihak pelaksana proyek dapat
memprakirakan total biaya dan waktu penyelesaian proyek. Sehingga waktu dan biaya
pelaksanaan kegiatan selama pelaporan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam
dokumen kontrak.











Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


38 ISSN 1907 - 8536


DAFTAR PUSTAKA

Ervianto, Wulfram (2004), Teori Aplikasi Manajemen Proyek Konstruksi, Penerbit ANDI,
Yogyakarta
Mujahid A., Yusri, (2004), Teori Akhir : Teknik Pengukuran Prestasi Kerja untuk Pengendalian
Dengan Metode Varian dan Konsep Nilai Hasil pada Proyek Rehab Ruas Jalan Semaras
Sekarambut Kabupaten Kotabaru, Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Banjarbaru
Siagian, S.J. (2005), Tugas Akhir : Analisa Pengendalian Biaya, Waktu dan Kinerja Pembangunan
Gedung Kantor PT. Jamsostek Cabang Palangka Raya Dengan Menggunakan Metode
Konsep Nilai Hasil(Earned Value Concept), Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya
Soeharto, Imam, (1992), Manajemen Proyek Industri (Persiapan, Pelaksanaan, Pengelolaan),
Penerbit Erlangga, Jakarta
Soeharto, Imam, (1995), Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional Jilid 1, Penerbit
Erlangga, Jakarta
Subrata, T. (2005), Tugas Akhir : Pengendalian Biaya Pada Tahap Pelaksanaan Untuk
Meningkatkan Kinerja Biaya Akhir Proyek (Studi Kasus Pembangunan MIN Model Pahandut
Seluas 533 m
2
), Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya


























Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 39


MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
DALAM PENCEGAHAN KECELAKAAN KERJA

Adelgrit Trisia
1


Abstrak
Umumnya di semua tempat kerja selalu terdapat sumber bahaya yang dapat mengancam
keselamatan maupun kesehatan tenaga kerja. Hampir tak ada tempat kerja yang sama sekali
bebas dari sumber bahaya. Potensi bahaya di tempat kerja dapat ditemukan mulai dari bahan
baku, proses kerja, produk dan limbah (cair, padat dan gas) yang dihasilkan. Dengan adanya
penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat membantu dalam menangani
permasalahan tersebut. Oleh karena itu keberadaan K3 berupaya untuk menjamin keselamatan
dan kesehatan pekerja serta lingkungan hidup agar terwujud nuansa kerja yang aman, sehat dan
selamat. Akan tetapi, semua itu tidak terlepas dari keikutsertaan atau partisipasi baik seluruh
pekerja maupun pihak manajemen perusahaan.

Kata Kunci : keselamatan dan kesehatan kerja (k3), konstruksi bangunan, pencegahan

PENDAHULUAN
Secara historis, keselamatan kerja telah banyak diperhatikan sejak zaman dahulu. Hammurabi,
raja Babilonia pada tahun 2040 SM telah membuat dan memberlakukan suatu peraturan
bangunan yang dikenal sebagai The Code of Hammurabi. Beberapa pasal dalam peraturan
tersebut antara lain: (a) apabila seseorang membuat bangunan dan bangunan tersebut runtuh
sehingga menimbulkan korbanjiwa maka pembuat bangunan tersebut harus dihukum mati dan (b)
apabila bangunan yang dibuat runtuh dan menimbulkan kerusakan pada hak milik orang lain maka
pembuat bangunan harus mengganti semua kerusakan yang ditimbulkannya.

Sedangkan di Indonesia, keselamatan kerja sudah diadakan sejak zaman penjajahan Belanda,
namun sasarannya lebih banyak ke hasil kerja dan alat-alat kerja dibanding memperhatikan
pekerjanya. Program itu lebih dikenal dengan kerja paksa. Setelah merdeka, perhatian tentang
keselamatan dan kesehatan serta kesejahteraan pekerja mulai banyak diperhatikan terbukti dari
peraturan-peraturan dan undang-undang yang dihasilkan. Bersumber dari pasal 27 ayat 2 UUD
1945, terbit beberapa UU dan kemudian PP dan Keputusan Menteri, yang antara lain sebagai
berikut. UU Kerja tahun 1951, UU Kecelakaan tahun 1951, PP tentang istirahat bagi pekerja tahun
1954, UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Per Menaker No. 01/1980 tentang K3 pada Konstruksi Bangunan, SKB Men PU
dan Menaker No. 174/Men/1986 104/kpts/1986 tentang Keselamatan & Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi, Keputusan MenPU No. 195/kpts/1989 tentang K3 pada tempat
konstruksi di lingkungan PU, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja., Surat Edaran Menteri PU Nomor:
03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 2005.
Dengan demikian mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah
terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya serta penyakit
yang dapat ditimbulkan dari kondisi kerja. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang
dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai
tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.13 Tahun 2003 tentang

1
Staff Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


40 ISSN 1907 - 8536


ketenagakerjaan. Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja tersebut diatur dalam pasal
86 UU No.13 Tahun 2003 :

1. Setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja
b. moral dan kesusilaan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama
2. Untuk melindungi keselamatan pekerja / buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
Selain tentang K3 ternyata UU juga menjelaskan tentang pelaksanaan SMK3 yang berupa
paksaan diatur dalam pasal 87 :

1. setiap perusahaan wajib menerapkan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
2. ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

ISI
Kecelakaan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan Di Tempat Kerja
Jenis kecelakaan pada beberapa bidang industri
3
Manufaktur
(termasuk elektronik,
produksi metal dan lain-lain)

1. terjepit, terlindas
2. teriris, terpotong
3. jatuh terpeleset
4. tindakan yg tidak benar
5. tertabrak
6. berkontak dengan bahan yang berbahaya
7. terjatuh, terguling
8. kejatuhan barang dari atas
9. terkena benturan keras
10. terkena barang yang runtuh, roboh
Elektronik (manufaktur) 1. teriris, terpotong
2. terlindas, tertabrak
3. berkontak dengan bahan kimia
4. kebocoran gas
5. Menurunnya daya pendengaran,daya penglihatan
Petrokimia (minyak dan produksi batu
bara, produksi karet, produksi karet,
produksi plastik)
1. terjepit, terlindas
2. teriris, terpotong, tergores
3. jatuh terpelest
4. tindakan yang tidak benar
5. tertabrak
6. terkena benturan keras
Konstruksi 1. jatuh terpeleset
2. kejatuhan barang dari atas
3. terinjak
4. terkena barang yang runtuh, roboh
5. berkontak dengan suhu panas, suhu dingin
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 41


6. terjatuh, terguling
7. terjepit, terlindas
8. tertabrak
9. tindakan yang tidak benar
10. terkena benturan keras
Produksi alat transportasi bidang
reparasi
1. terjepit, terlindas
2. tertusuk, terpotong, tergores
3. terkena ledakan

Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja
Melindungi kesehatan tenaga kerja, meningkatkan efisiensi kerja, mencegah terjadinya
kecelakaan kerja dan penyakit.
Arah keselamatan dan kesehatan kerja
1. Mengantisipasi keberadaan faktor penyebab bahaya dan melakukan pencegahan
sebelumnya.
2. Memahami jenis-jenis bahaya yang ada di tempat kerja
3. Mengevaluasi tingkat bahaya di tempat kerja
4. Mengendalikan terjadinya bahaya atau komplikasi.
Faktor penyebab berbahaya yang sering ditemui
1. Bahaya jenis kimia: terhirup atau terjadinya kontak antara kulit dengan cairan metal, cairan
non-metal, hidrokarbon dan abu, gas, uap steam, asap dan embun yang beracun.
2. Bahaya jenis fisika: lingkungan yang bertemperatur panas dingin, lingkungan yang beradiasi
pengion dan non pengion, bising, vibrasi dan tekanan udara yang tidak normal.
3. Bahaya yang mengancam manusia dikarenakan jenis proyek: pencahayaan dan penerangan
yang kurang, bahaya dari pengangkutan, dan bahaya yg ditimbulkan oleh peralatan.
Cara pengendalian ancaman bahaya kesehatan kerja
1. Pengendalian teknik: mengganti prosedur kerja, menutup mengisolasi bahan berbahaya,
menggunakan otomatisasi pekerjaan, menggunakan cara kerja basah dan ventilasi
pergantian udara.
2. Pengendalian administrasi: mengurangi waktu pajanan, menyusun peraturan keselamatan
dan kesehatan, memakai alat pelindung, memasang tanda tanda peringatan, membuat
daftar data bahan-bahan yang aman, melakukan pelatihan sistem penangganan darurat.
3. Pemantauan kesehatan : melakukan pemeriksaan kesehatan.

Penyebab Kecelakaan Kerja
Menurut H. W. Heinrich, penyebab kecelakaan kerja yang sering ditemui adalah perilaku yang
tidak aman sebesar 88%, kondisi lingkungan yang tidak aman sebesar 10%, atau kedua hal
tersebut di atas terjadi secara bersamaan. Oleh karena itu, pelaksanaan diklat keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja dapat mencegah perilaku yang tidak aman dan memperbaiki kondisi
lingkungan yang tidak aman.

Tujuan pelatihan K3
Agar tenaga kerja memiliki pengetahuan dan kemampuan mencegah kecelakaan kerja,
mengembangkan konsep dan kebiasaan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja,
memahami ancaman bahaya yang ada di tempat kerja dan menggunakan langkah pencegahan
kecelakaan kerja

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


42 ISSN 1907 - 8536


Pencegahan kecelakaan kerja
Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, sebelumnya harus dimulai dari pengenalan bahaya
di tempat kerja, estimasi, tiga langkah pengendalian, dalam pengenalan bahaya perlu adanya
konfirmasi keberadaan bahaya di tempat kerja, memutuskan pengaruh bahaya; dalam
mengestimasi bahaya perlu diketahui adanya tenaga kerja di bawah ancaman bahaya pajanan
atau kemungkinan pajanan, konfirmasi apakah kadar pajanan sesuai dengan peraturan,
memahami pengendalian perlengkapan atau apakah langkah manajemen sesuai persyaratan;
dalam pengendalian bahaya perlu dilakukan pengendalian sumber bahaya, dari pengendalian jalur
bahaya, dari pengendalian tambahan terhadap tenaga kerja pajanan, menetapkan prosedur
pengamanan.
Keamanan dan kesehatan tenaga kerja
Berdasarkan Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pemilik usaha harus
memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja yang diperlukan di tempat kerja. Selain
peralatan keselamatan dan kesehatan di area kerja, juga ada peralatan perorangan. Pada saat
perusahaan merekrut pekerja, harus memberikan pendidikan dan pelatihan keselamatan,
kesehatan dan pencegahan kecelakaan, termasuk langkah-langkah keselamatan kerja, bahaya
yang mungkin dihadapi, hal-hal yang perlu diperhatikan, jalan keselamatan, pertolongan darurat,
pemadam kebakaran, dan lain-lain serta menjaga keselamatan kerja dan kesehatan fisik dan
psikis.

Menurut Veithzal Rivai (2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut

1. Mengurangi timbulnya penyakit.
Pada umumnya perusahaan sulit mengembangkan strategi untuk mengurangi timbulnya
penyakit-penyakit, karena hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik dengan penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering kabur. Padahal, penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan jauh lebih merugikan, baik bagi perusahaan maupun pekerja.
2. Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja.
Mewajibkan perusahaan untuk setidak-tidaknya melakukan pemeriksaan terhadap kadar
bahan kimia yang terdapat dalam lingkungan pekerjaan dan menyimpan catatan mengenai
informasi yang terinci tersebut. Catatan ini juga harus mencantumkan informasi tentang
penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan jarak yang aman dan pengaruh berbahaya
bahan-bahan tersebut.
3. Memantau kontak langsung.
Pendekatan yang pertama dalam mengendalikan penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan adalah dengan membebaskan tempat kerja dari bahan-bahan kimia atau
racun. Satu pendekatan alternatifnya adalah dengan memantau dan membatasi kontak
langsung terhadap zat-zat berbahaya.
4. Penyaringan genetik.
Penyaringan genetik adalah pendekatan untuk mengendalikan penyakit-penyakit yang paling
ekstrem, sehingga sangat kontroversial. Dengan menggunakan uji genetik untuk menyaring
individu-individu yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu, perusahaan dapat
mengurangi kemungkinan untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalah-masalah yang
terkait dengan hal itu. Penyakit kerja adalah kondisi abnormal atau penyakit yang disebabkan
oleh kerentanan terhadap faktor lingkungan yang terkait dengan pekerjaan. Hal ini meliputi
penyakit akut dan kronis yang disebakan oleh pernafasan, penyerapan, pencernaan, atau
kontak langsung dengan bahan kimia beracun atau pengantar yang berbahaya (Dessler,
2007). Masalah kesehatan karyawan sangat beragam dan kadang tidak tampak. Penyakit ini
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 43


dapat berkisar mulai dari penyakit ringan seperti flu, hingga penyakit yang serius yang
berkaitan dengan pekerjaannya.
(Malthis dan Jackson, 2002). Schuler dan Jackson (1999) menjelaskan bahwa dalam jangka
panjang, bahaya-bahaya di lingkungan tempat kerja dikaitkan dengan kanker kelenjar tiroid, hati,
paru-paru, otak dan ginjal; penyakit paru-paru putih, cokelat, dan hitam; leukimia; bronkitis;
emphysema dan lymphoma; anemia plastik dan kerusakan sistem saraf pusat; dan kelainan-
kelainan reproduksi (misal kemandulan, kerusakan genetik, keguguran dan cacat pada waktu
lahir).
Menurut Bennet Silalahi (1995) perusahaan mengenal dua kategori penyakit yang diderita tenaga
kerja, yaitu:

1. Penyakit umum
Merupakan penyakit yang mungkin dapat diderita oleh semua orang, dan hal ini adalah
tanggung jawab semua anggota masyarakat, karena itu harus melakukan pemeriksaan
sebelum masuk kerja.
2. Penyakit akibat kerja
Dapat timbul setelah karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya. Faktor
penyebab bisa terjadi dari golongan fisik, golongan kimia, golongan biologis, golongan
fisiologis dan golongan psikologis. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
suatu sistem yang dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di
tempat kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan penyakit di tempat kerja
dengan mematuhi/ taat pada hukum dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja, yang
tercermin pada perubahan sikap menuju keselamatan di tempat kerja (Rijuna Dewi, 2006).
Menurut Rizky Argama (2006), program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu
sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan
(preventif) timbulnya kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja dalam lingkungan
kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit
kerja akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Dessler (1992)
mengatakan bahwa program keselamatan dan kesehatan kerja diselenggarakan karena tiga
alasan pokok, yaitu:
1. Moral. Para pengusaha menyelenggarakan upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit
kerja pertama sekali semata-mata atas dasar kemanusiaan. Mereka melakukan hal itu
untuk memperingan penderitaan karyawan dan keluarganya yang mengalami
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2. Hukum. Dewasa ini, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
ikhwal keselamatan dan kesehatan kerja, dan hukuman terhadap pihak-pihak yang
melanggar ditetapkan cukup berat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan itu,
perusahaan dapat dikenakan denda, dan para supervisor dapat ditahan apabila ternyata
bertanggungjawab atas kecelakaan dan penyakit fatal.
3. Ekonomi. Adanya alasan ekonomi karena biaya yang dipikul perusahaan dapat jadi
cukup tinggi sekalipun kecelakaan dan penyakit yang terjadi kecil saja. Asuransi
kompensasi karyawan ditujukan untuk member ganti rugi kepada pegawai yang
mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Schuler dan Jackson (1999) mengatakan, apabila perusahaan dapat melaksanakan program
keselamatan dan kesehatan kerja dengan baik, maka perusahaan akan dapat memperoleh
manfaat sebagai berikut:

1. Meningkatkan produktivitas karena menurunnya jumlah hari kerja yang hilang.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


44 ISSN 1907 - 8536


2. Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih komitmen.
3. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah karena
menurunnya pengajuan klaim.
5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari partisipasi dan ras
kepemilikan.
6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatkan citra perusahaan.
7. Perusahaan dapat meningkatkan keuntungannya secara substansial.

Menurut Robiana Modjo (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja di
perusahaan antara lain:

1. Pengurangan Absentisme. Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan
kesehatan kerja secara serius, akan dapat menekan angka risiko kecelakaan dan penyakit
kerja dalam tempat kerja, sehingga karyawan yang tidak masuk karena alasan cedera dan
sakit akibat kerja pun juga semakin berkurang.
2. Pengurangan Biaya Klaim Kesehatan. Karyawan yang bekerja pada perusahaan yang benar-
benar memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja karyawannya kemungkinan untuk
mengalami cedera atau sakit akibat kerja adalah kecil, sehingga makin kecil pula
kemungkinan klaim pengobatan/ kesehatan dari mereka.
3. Pengurangan Turnover Pekerja. Perusahaan yang menerapkan program K3 mengirim pesan
yang jelas pada pekerja bahwa manajemen menghargai dan memperhatikan kesejahteraan
mereka, sehingga menyebabkan para pekerja menjadi merasa lebih bahagia dan tidak ingin
keluar dari pekerjaannya.
4. Peningkatan Produktivitas.

Malthis dan Jackson (2002) menyebutkan, manfaat program keselamatan dan kesehatan kerja
yang terkelola dengan baik adalah:

1. Penurunan biaya premi asuransi,
2. Menghemat biaya litigasi,
3. Lebih sedikitnya uang yang dibayarkan kepada pekerja untuk waktu kerja mereka yang
hilang,
4. Biaya yang lebih rendah untuk melatih pekerja baru.
5. Menurunnya lembur,
6. Meningkatnya produktivitas.

Berdasarkan Undang-Undang no.1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1, syarat keselamatan kerja yang juga
menjadi tujuan pemerintah membuat aturan K3 adalah :
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian
kejadian lain yang berbahaya.
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,
debu,kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 45


h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun
psychis,peracunan, infeksi dan penularan.
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik.
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya.
n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang.
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang.
q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Pedoman Praktis Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Bidang Kontruksi

1. Alat Pelindung Diri (APD)
GUNAKAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

Penutup Kepala/Helm
Kacamata Pelindung
Masker
Identitas (ID)
Baju Lengan Panjang
Sarung Tangan
Sabuk Keselamatan
Sepatu Keselamatan



















Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


46 ISSN 1907 - 8536


2. Daerah Terbatas















3. Evakuasi Kendaraan















4. Darurat P3K














Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 47


5. Rambu dan Pekerjaan Galian















6. Pekerjaan Struktur, Perancah dan tangga















7. Penggunaan Bahan Beracun dan Berbahaya














Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


48 ISSN 1907 - 8536


8. Pekerjaan Listrik















9. Penggunaan Alat Angkut















10. Pekerjaan Pengelasan














Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 49


11. Pekerjaan Rangka Atap















12. Pemasangan Kaca















13. Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan Kerja














Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


50 ISSN 1907 - 8536




KESIMPULAN
Penyebab kecelakaan kerja yang sering ditemui adalah perilaku yang tidak aman sebesar 88%,
kondisi lingkungan yang tidak aman sebesar 10%, atau kedua hal tersebut di atas terjadi secara
bersamaan Dengan demikian mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam
mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya serta
penyakit yang dapat ditimbulkan dari kondisi kerja. Sejalan dengan itu, perkembangan
pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-
pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan. Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja tersebut
diatur dalam pasal 86 UU No.13 Tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA

Endroyo B. Peranan Manajemen K3 Dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja Konstruksi. Jurusan
Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (UNNES).

Materi Pelajaran Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Tenaga Kerja Asing - Bidang Konstruksi

Kusuma I J. Pelaksanaan Program Keselamatan Dan Kesehatankerja Karyawan Pt. Bitratex
Industries Semarang

Suparno. Kajian Pemilihan Jenis Bahan Perancah Beton Pada Pembangunan Gedung Bertingkat.
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang

ILO. Pedoman Praktis Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Bidang Kontruksi. Kantor Perburuhan
Internasional, 2005














Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 51


PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA
BUKIT TANGKILING BERBASIS MASYARAKAT

Yesser Priono, M.Sc
1


Abstrak
Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling merupakan salah satu destinasi pariwisata yang menjadi
daya tarik wisata di kota Palangka Raya Kalimantan Tengah dengan konsep ekowisatanya.
Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling dalam konstelasi produk wisata Kalimantan
Tengah memegang peranan penting yang sangat signifikan karena merupakan pintu gerbang
pariwisata di kota Palangka Raya Kalimantan Tengah. Kawasan taman wisata alam Bukit
Tangkiling merupakan salah satu obyek unggulan kategori ekowisata di Kalimantan Tengah
karena merupakan kawasan konservasi yang dilindungi.
Konsep yang memanfaatkan kecenderungan pasar back to nature ini merupakan usaha
pelestarian keanekaragaman hayati dengan menciptakan kerja sama yang erat antara masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan yang perlu dilindungi dengan industri pariwisata.
Dalam mengembangkan ekowisata di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Yang perlu mendapat
perhatian dalam mengembangkan pariwisata yang berbasis masyarakat berdasarkan konsep
ekowisata adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan ketrampilan masyarakat lokal di
sekitar kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling.

Kata Kunci : Bukit Tangkiling, Ekowisata, Berbasis Masyarakat.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu pengelolaan hutan yang diyakini baik oleh para pakar pembangunan maupun
konservasi mampu memberikan manfaat ekonomi, budaya dan sosial secara berkelanjutan adalah
pengembangan eco-tourism. Ecotourism adalah salah satu mekanisme pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Ecotourism merupakan usaha untuk melestarikan
kawasan yang perlu dilindungi dengan memberikan peluang ekonomi kepada masyarakat yang
ada disekitarnya.
Konsep yang memanfaatkan kecenderungan pasar back to nature ini merupakan usaha
pelestarian keanekaragaman hayati dengan menciptakan kerja sama yang erat antara masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan yang perlu dilindungi dengan industri pariwisata. Ecotourism
adalah gabungan antara konservasi dan pariwisata di mana pendapatan yang diperoleh dari
pariwisata seharusnya dikembalikan kepada kawasan yang perlu dilindungi untuk perlindungan
dan pelestarian keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.
Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling dalam konstelasi produk wisata Kalimantan
Tengah memegang peranan penting yang sangat signifikan karena merupakan pintu gerbang
pariwisata di kota Palangka Raya Kalimantan Tengah. Kawasan taman wisata alam Bukit
Tangkiling merupakan salah sato obyek unggulan kategori ekowisata di Kalimantan Tengah
karena merupakan kawasan konservasi yang dilindungi. Oleh karena itu daya tarik wisata Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling perlu dijaga karakter maupun kualitas obyek wisata, sehingga benar-
benar mampu mewakili kekhasan produk ekowisata di Palangka Raya pada khususnya dan
Kalimantan Tengah pada umumnya.

1
Staff Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


52 ISSN 1907 - 8536


Dalam kaitan inilah, upaya-upaya pengembangan produk dan konservasi kawasan ekowisata
diperlukan agar daya tarik Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling dan sekitarnya dapat
dikembangkan lagi. Hal tersebut sangat penting agar pengembangan kawasan-kawasan lain di
sekitarnya mampu memberikan manfaat dalam pengembangan wilayah maupun peningkatan
kesejahteraan dan perekonomian masyarakat setempat.

TINJAUAN TEORI
Definisi Ekowisata
Rumusan Ekowisata pertama kali dikemukan oleh dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain
pada tahun 1987 yaitu sebagai berikut :
"Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed
or uncontaminated natural areas with the specific objectives of studying, admiring, and enjoying
the scenery and its wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations (both
past and present) found in the areas."
"Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih
belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi
dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi
budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini."
Kemudian pada awal tahun 1990 disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES)
yaitu sebagai berikut:
"Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved the environment and improves
the welfare of local people."
"Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan
menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Westren dalam Fandeli (1998) mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan bertanggungjawab ke
wilayahwilayah alami yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat.
Fennell (1999) mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk berkelanjutan berbasis sumber daya
alam pariwisata yang berfokus terutama pada mengalami dan belajar tentang alam, dan yang
berhasil etis dampak rendah, non-konsumtif dan berorientasi lokal (kontrol, manfaat dan
keuntungan dan skala).

Prinsip Pengembangan Ekowisata
Secara konsepsual, ekowisata merupakan suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan
yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberi manfaat ekonomi
kepada masyarakat setempat.
Secara konseptual ekowisata menekankan pada prinsip dasar sebagai berikut yang terintergrasi :
1. Prinsip konservasi
Pengembangan ekowisata harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkontribusi
untuk memperbaiki sumber daya alam. Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen
terhdap pelestarian lingkungan alam dan budaya, melaksanakan kaidah-kaidah usaha yang
bertanggung jawab dan ekonomi berkelanjutan.
a. Prinsip Konservasi Alam
Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian alam serta
pembangunan harus mengikuti kaidah ekologis.
Kriteria Konservasi Alam antara lain :
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 53


1. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan, melalui
permintakatan (zonasi).
2. Mengelola jumlah pengunjung, sarana dan fasilitas sesuai dengan daya dukung
lingkungan daerah tujuan.
3. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku terhadap lingkungan alam dan
budaya.
4. Memanfaatkan sumber daya secara lestari dalam penyelenggaraan kegiatan
ekowisata.
5. Meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan, dan bersifat ramah lingkungan.
6. Mengelola usaha secara sehat.
b. Prinsip Konservasi Budaya
Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat
setempat. Criteria Konservasi Budaya antara lain :
1. Menerapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha
ekowisata.
2. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak lainnya (multi stakeholders dalam
penyusunan kode etik wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata.
3. Melakukan pendekatan, meminta saran-saran dan mencari masukan dari
tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai
langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata.
4. Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-aspek sosial budaya masyarakat
setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan
ekowisata.
2. Prinsip partisipasi masyarakat
Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat
serta peka dan menghormati nilai-nilai social budaya dan tradisi keagamaan yang dianut
masyarakat setempat di sekitar kawasan.
Kriteria :
a. Melakukan penelitian dan perencanaan terpadu dalam pengembangan ekowisata.
b. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat dalam proses
perencanaan dan pengelolaan ekowisata.
c. Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan
ekowisata.
d. Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk bias menerima atau menolak
pengembangan ekowisata.
e. Menginformasikan secara jelas dan benar konsep dan tujuan pengembangan ekowisata.
f. Membuka kesempatan untuk melakukan dialog dengan seluruh pihak yang terlibat (multi-
stakeholders) dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.
g. Membentuk kerjasama dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan
pencegahan terhadap dilanggarnya peraturan yang berlaku.
3. Prinsip ekonomi
Pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat
dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa
daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang berimbang (balance
development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak.
Pengembangan Ekowisata juga harus mampu memberikan manfaat yang optimal kepada
masyarakat setempat dan berkelanjutan.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


54 ISSN 1907 - 8536


Kriteria :
a. Membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk membuka usaha ekowisata
dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif.
b. Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan usaha ekowisata untuk
kesejahteraan penduduk setempat.
c. Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalm bidang-bidang yang berkaitan dan
menunjang pengembangan ekowisata.
d. Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.
e. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
4. Prinsip edukasi
Pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap atau
perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap
pelestarian lingkungan. Pengembangan ekowisata juga harus meningkatkan kesadaran dan
apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, serta memberikan nilai
tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat dan para pihak yang terkait.
Kriteria :
Pengembangan dan produk ekowisata harus :
a. Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata.
b. Memanfaatkan dan mengoptimalkan pengetahuan tradisional berbasis pelestarian alam
dan budaya serta nilai-nilai yang dikandung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
sebagai nilai tambah.
c. Mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari produk ekowisata.
d. Memberikan pengalaman yang berkualitas dan bernilai bagi pengunjung.
e. Dikemas ke dalam bentuk dan teknik penyampaian yang komunikatif dan inovatif.
5. Prinsip wisata
Pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan pengalaman kepada
pengunjung untuk memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. Selain itu
pengembangan ekowisata juga harus mampu menciptakan rasa aman, nyaman dan
memberikan kepuasan serta menambah pengalaman bagi pengunjung.
Kriteria :
a. Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata.
b. Membuat Standar Prosedur Operasi (SPO) untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan.
c. Menyediakan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan pengunjung, kondisi
setempat dan mengoptimalkan kandungan material lokal.
d. Memprioritaskan kebersihan dan kesehatan dalam segala bentuk pelayanan, baik
fasilitas maupun jasa.
e. Memberikan kemudahan pelayanan jasa dan informasi yang benar.
f. Memprioritaskan keramahan dalam setiap pelayanan.
J. Stphen, Page dan Dowling K. Ross (2000) meringkas konsep dasar ekowisata menjadi
lima prinsip inti. Mereka termasuk yang berbasis alam, berkelanjutan secara ekologis,
lingkungan edukatif, dan lokal wisatawan bermanfaat dan menghasilkan kepuasan.
a) Nature based (Berbasis alam)
Pengembangan ekowisata ecotourism didasarkan pada lingkungan alam dengan focus
pada lingkungan biologi, fisik dan budaya.
b) Ecologically sustainable (Berkelanjutan secara ekologis)
Ecotourism dapat memberikan acuan terhadap pariwisata secara keseluruhan dan
dapat membuat ekologi yang berkesinambungan.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 55


c) Environmentally educative (Pendidikan Lingkungan)
Pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan atau perilaku
seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap
pelestarian lingkungan.
d) Locally beneficial (Manfaat bagi Masyarakat Lokal)
Pengembangan ecotourism harus dapat menciptakan keuntungan yang nyata bagi
masyarakat sekitar. Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan
persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai social budaya
dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.
e) Generates tourist satisfaction (Menghasilkan kepuasan wisatawan)
Pengembangan ekowisata harus mampu memberikan kepuasan pengalaman kepada
pengunjung untuk memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

Selama lima prinsip diatas, dalam penerapan pengembangan ekowisata, juga diharuskan bagi
para pengelola dan pengembang untuk memperhatikan aspek legalitas di tingkat lokal, regional,
nasional dan internasional, serta mengembangkan pola kemitraan antar pihak.
1. Aspek Legalitas
Memperhatikan perjanjian, peraturan, perundang-undangan khususnya di tingkat lokal,
regional dan nasional, maupun internasional.
Kriteria memperhatikan :
a. Peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat setempat maupun peraturan adat.
b. Peraturan-peraturan tentang tata ruang di tingkat daerah, propinsi dan nasional.
c. Peraturan-peraturan/undang-undang kepariwisataan yang berlaku di tingkat
Daerah, Propinsi dan Nasional.
d. GBHN Pariwisata
e. Peraturan-peraturan/undang-undang lingkungan hidup dan konservasi sumber
daya alam.
f. Dokumen-dokumen internasional yang mengikat (Agenda 21, Habitat Agenda,
Sustainable Tourism, dsb).
g. Sanksi atas pelanggaran dan secara konsekuen melaksanakannya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

2. Kemitraan
Konsep ekowisata pada dasarnya mendorong adanya kerjasama antara pihak yang
berkepentingan. Oleh karena itu pola-pola kemitraan antara pemerintah, swasta, LSM
dan masyarakat perlu terus ditingkatkan. Kerjasama yang lebih sinergi, adaftif antara
pelaku ekowisata merupakan hal yang esensial untuk mendorong keberhasilan
pengembangan ekowisata di Indonesia.


PROFIL TAMAN WISATA ALAM BUKIT TANGKILING
Letak Geografis
Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang
terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah. Secara administrasi pemerintahan Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling berada di Wilayah Desa Tangkiling dan Desa Banturung, Kecamatan Bukit Batu,
Kotamadya Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara geografis Taman Wisata Alam
Bukit Tangkiling terletak antara 11330 - 11345 BT sampai dengan 0145 - 0200 LS.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


56 ISSN 1907 - 8536





























Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
RI nomor ; 046/Kpts/Um/1/1977 pada tanggal 25 Januari 1997 dengan luas 533 Ha.

Topografi
Keadaan topografi Kawasan Bukit Tangkiling bervariasi mulai dari dataran rendah yang landai,
bergelombang hingga berbukit dengan kelerengan yang sangat curam/terjal sekitar 2% - 45%,
dengan ketinggian tempat 25 170 meter dari permukaan laut.
Pada masing-masing kondisi topografi memiliki kekhasan penutupan lahan mulai dati tipe hutan
rawa, hutan hujan tropika dataran rendah, padang rumput dan hutan hujan tropika perbukitan.
Berdasarkan kenampakan vegetasinya merupakan hutan sekunder dan sebagian hutan tanaman.
Dengan kondisi bentang alam yang demikian, kedua kawasan tersebut terlihat berbeda secara
menyolok dibandingkan dengan bentang alam di sekitar Kota Palanga Raya yang umumnya
berupa hamparan pasir kuarsa maupun lahan gambut dengan vegetasi belukar rawa. Terdapat 5
(lima) bukit dalam kawasan ini yaitu : Bukit Tangkiling, Bukit Baranahu, Bukit Liau, Bukit Buhis,
dan Bukit Batu/Tunggal.

Tanah dan Geologi
Jenis tanah didominasi tanah litosol-podsolik berwarna coklat kekuning-kuningan yang termasuk
jarang ditemui di sekitar Kota Palangka Raya dan sebagian lainnya berupa tanah berpasir kuarsa.
Secara geologi kawasan ini di deskripsikan tersusun atas Batuan Kwarter dan Meosen Atas.
Gambar 1. Peta Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling
Sumber : Masterplan Pariwisata Kota Palangka Raya
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 57


Atraksi
Objek wisata ini dinilai memiliki daya tarik tersendiri karena menyimpan banyak spicies flora dan
fauna. Sebagian besar Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling termasuk tipe ekosistem hutan hujan
tropika dataran rendah / hutan rawa. Jenis tumbuhan hutan hujan tropika dataran rendah seperti :
Pelawan (Tristania obovata), Meranti (Shorea sp), Tengkawang (Shorea spp), Geronggang
(Cratoxylon arborescens) dan lain-lain. Jenis satwa yang berada di Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling antara lain : Buaya sapit (Tomistoma schlenegelli), Burung Tekukur (Streptillia
chinensis), Burung Cucak rowo (Pycnonotus zeylanicus) dan lain-lain.
Kawasan Taman Wisata Alam Tangkiling merupakan kawasan tangkapan air (catchment area),
walaupun tidak terdapat sungai di kawasan ini, namun secara hidrologis keberadaan kawasan ini
sangat mempengaruhi proses ketersediaan air bagi di daerah di sekitarnya. Selain itu secara
orografis diketahui bahwa kawasan ini memiliki peluang hujan yang cukup tinggi dibandingkan
wilayah-wilayah lain di Kota Palangka Raya.
Kawasan TWA Bukit Tangkiling memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah. Dilihat
dari dominansi jenis penyusun, sudah terjadi perubahan secara ekologi pada kawasan ini, dimana
telah terjadi invasi jenis eksotik (Accacia mangium) untuk beberapa daerah yang relatif terbuka.
Beberapa obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling ini sampai saat ini walaupun belum terdapat pengelolaan wisata alam yang intensif,
kenyataannya hampir setiap hari kawasan ini dikunjungi oleh orang untuk tujuan berwisata.
Beberapa atraksi menarik yang terdapat di dalam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling
antara lain :
Batu Banama
Batu Banama merupakan salah satu situs budaya yang mempunyai nilai sejarah yang
menjadi daya tarik wisata pada kawasan Bukit Tangkiling.
Obyek wisata ini terletak sekitar 35 Km dari pusat Palangka Raya, dengan waktu tempuh kira-
kira 50 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.













Obyek wisata Batu Banama ini menawarkan panorama alam yang indah juga di kategorikan
sebagai wisata budaya, karena pada areal lokasi Cagar Alam Batu Banama ini terdapat Ritus
Kaharingan, Pura Agung Sali Paseban/Satya Dharma. Cagar Alam Batu Banama merupakan
suatu cagar budaya yang di keramatkan oleh masyarakat setempat karena memiliki nilai
nistoris. Di sekitar Cagar Budaya Alam Batu Banama juga terdapat Pasah Patahu (Tempat
Sesajen) yang merupakan budaya dari masyarakat lokal sendiri yang menganut kepercayaan
yaitu agama Kaharingan dari masyarakat Dayak itu sendiri.

Gambar 2. Batu Banama
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


58 ISSN 1907 - 8536














Pendakian dan Panjat Tebing
Dengan panorama alam yang sangat menarik dari atas Bukit Tangkiling, maka kegiatan
pendakian di bukit ini juga merupakan salah satu daya tarik wisata pada kawasan Bukit
Tangkiling. Selain itu untuk wisatawan yang menyukai olahraga yang memiliki tantangan
tinggi dan memicu andrenalin, dapat melakukan kegiatan panjat tebing sambil menikmati
pemandangan alam yang ada di sekitar Bukit Tangkiling.











Wisata Alam Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah
Dalam kawasan ini dijumpai beberapa jenis asli flora hutan hujan tropika dataran rendah.
Kondisi ini akan menjadi obyek wisata minat khusus yang menarik bagi para pengunjung
yang interest terhadap bidang ekologi. Selain dapat dilihat struktur hutan hujan tropika
dataran rendah, juga dapat diamati proses ekologi yang terjadi sebagai akibat perubahan
habitat dan sistem kompetasi antara tumbuhan yang hidup di dalamnya. Wisata alam dalam
hutan hujan tropika dataran rendah ini juga dapat dijumpai beberapa jenis satwa seperti kera
ekor panjang dan beberapa jenis burung.










Gambar 3. Pasah Patahu (Tempat Sesajen)
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Gambar 4. Mendaki Bukit Tangkiling
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Gambar 5. Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 59


Pengamatan Aktivitas Satwa
Kebereradaan beberapa jenis satwa yang merupakan hasil tangkapan dan penyerahan dari
masyarakat, di tempatkan di dalam kawasan ini menjadi salah satu atraksi yang menarik bagi
pengunjung/wisatawan. Secara langsung wisatawan dapat berinteraksi dengan satwa-satwa
yang ada di kawasan ini. Beberapa jenis satwa yang pernah dijumpai di kawasan ini antara
lain : Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Musang (Paradoxurus hermaproditus),
Burung Tekukur (Streptopetia chinensis), Cucak Rowo (Pycononotus zeylanicus) dan lain-
lain.












Penangkaran Buaya
Di dalam Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling ini juga terdapat atraksi jenis satwa berupa
penangkaran buaya. Terdapat 6 (enam) buaya yang di pelihara di kawasan ini yang termasuk
ke dalam jenis buaya sapit yang merupakan hasil buruan dari masyarakat. Keberadaan satwa
ini merupakan upaya pelestarian agar tidak punah, dan aktifitas buaya merupakan atraksi
yang cukup menarik bagi para pengunjung yang ingin melihat lebih dekat keberadaan satwa
ini.













Pentas Budaya
Pada kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling terdapat panggung pertunjukkan yang
biasanya di fungsikan sebagai tempat pertunjukkan kesenian dan budaya daerah. Di satu sisi
kegiatan ini merupakan upaya melestarikan budaya dan kesenian daerah, sedangkan di sisi
lain kegiatan ini juga merupakan salah satu atraksi yang menjadi daya tarik wisata pada
kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling hanya saja pertunjukan budaya diadakan pada
Gambar 6. Pengamatan Aktivitas Satwa
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Gambar 7. Penangkaran Buaya
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


60 ISSN 1907 - 8536


event-event tertentu. Selama peneliti mengadakan penelitian di Desa Tangkiling, tidak secara
langsung dapat melihat pertunjukkan pentas budaya yang dilakukan.












Fasilitas Pendukung
Daerah ini merupakan kumpulan perbukitan dengan 8 puncak dan memiliki pemandangan yang
cukup indah. Di lokasi ini terdapat Guest House Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah. Selain itu
juga terdapat area pembibitan berbagai jenis kayu hutan seperti tengkawang, dan ulin. Taman
Alam Bukit Tangkiling juga dilengkapi dengan beberapa sarana pendukung wisata, diantaranya
shelter, play ground, jalan setapak, dan sarana parkir.



















Aksesibilitas
Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling berjarak sekitar 34 Km dari Pusat Kota Palangka Raya,
dengan waktu tempuh kira kira 45 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun
roda empat, dengan melewati jalan aspal dan untuk mencapai ke puncak bukit dengan melewati
jalan setapak.
Desa Tangkiling Kecamatan Bukit Batu Provinsi Kalimantan Tengah dari aspek aksesibilitas
mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi karena melalui jalur arteri utama pada jalan Cilik
Riwut dari Kota Palangka Raya menuju Kasongan dan Sampit.
Gambar 8. Pertunjukan Budaya
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Gambar 9. Fasilitas Pendukung
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 61














Pasar Ekowisata Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling
Untuk pasar wisata di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling masih didominasi oleh
wisatawan nusantara dibandingkan dengan wisatawan mancanegara, itu pun wisatawan lokal
yang mengunjungi objek wisata Taman Alam Bukit Tangkiling yang frekuensi kunjungan yang
besar terjadi pada hari libur dan akhir pekan.
Yang menjadi permasalahan dalam pasar ekowisata Taman wisata alam Bukit Tangkiling adalah
masih terbatasnya sistem informasi dan teknologi dalam hal pemasaran dan promosi, baik di
tingkat regional, nasional maupun internasional.

PEMBAHASAN
Isu-isu yang melekat pada kawasan ekowisata Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling apabila di
kaitkan dengan prinsip-prinsip dalam ekowisata meliputi :
Isu Konservasi Lingkungan dan Budaya
Konservasi di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah menjadi isu yang
cukup penting dan memerlukan pengatasan. Isu ini erat dikaitkan dengan masalah ekonomi antara
lain :
a. Masalah kepemilikan tanah dari kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Disatu sisi
kawasan TWA Bukit Tangkiling merupakan suatu kawasan konservasi sumber daya alam,
disisi lain merupakan kepemilikan tanah oleh masyarakat lokal yang berasal dari tradisi turun
temurun.
b. Kurangnya kesadaran dari masyarakat lokal dalam upaya konservasi sumber daya alam. Hal
ini dilihat dari aktifitas sosial masyarakat yang masih melihat potensi Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dengan adanya
aktivitas penambangan batu telah berlangsung cukup lama pada kawasan ekowisata Bukit
Tangkiling.
c. Kurangnya kesiapan masyarakat menuju pengembangan kepariwisataan. Pengembangan
kepariwisataan pada suatu kawasan tidak dapat lepas dari peran serta masyarakat lokal dalam
pengembangannya, oleh karena itu kesiapan dan kesadaran masyarakat dalam menyambut
makin majunya kondisi kepariwisataan di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling harus
segera dilakukan.
d. Potensi adat dan budaya sebagi obyek dan daya tarik wisata bagi wisatawan. Atraksi adat dan
budaya seperti pertunjukan budaya dan kesenian tradisional masyarakat lo\kal merupakan
potensi yang dapat dikembangkan untuk memperkaya atraksi wisata yang ada selain dari
wisata alam yang selama ini mulai dikembangkan di kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling.
Gambar 10. Akses Menuju KawasanTaman Alam Bukit Tangkiling
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010

Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


62 ISSN 1907 - 8536


e. Belum adanya pengendalian terhadap pembangunan fisik pada kawasan wisata Taman Alam
Bukit Tangkiling yang dapat mengikis kelestarian lingkungan.

Isu Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling masih terbatas
pada hubungan ekonomi tanpa ikatan yang jelas.
Peran serta masyarakat lokal pada kawasan wisata Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling hanya
sebatas dalam penjualan makanan dan minuman. Hubungan kemitraan dengan industri pariwisata
setempat belum terjalin. Bentuk kerjasama dengan masyarakat setempat untuk melakukan
pengawasan dan pencegahan dalam mengendalikan lingkungan dan pelanggaran aturan juga
belum berlaku.
Dalam rangka mengembangkan dan mengelola produk, masyarakat membutuhkan skill/keahlian,
keterampilan, manajemen dan pengetahuan tentang perilaku, kebutuhan dan keinginan para
wisatawan. Saat ini, ada kebutuhan dalam peningkatan keterampilan manajemen dan
pengetahuan masyarakat setempat.
Masyarakat harus menyadari bahwa mereka mempunyai potensi perlu pendampingan sehingga
masyarakat dapat membantu dalam menyikapi pasar. Masyarakat belum melakukan kerjasama
dengan pihak Pemerintah dalam mengembangkan Desa Wisata Tangkiling. Masyarakat hanya
terfokus pada sumber daya alam yang dimiliki sebagai sumber pendapatan/penghasilan.

Isu Ekonomi
Isu ekonomi pada kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling dengan adanya kesenjangan
kesejahteraan masyarakat dengan potensi pariwisata. Potensi pariwisata pada kawasan Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling tidak mampu ditangkap sebagai peluang oleh masyarakat lokal.
Dengan adanya potensi pariwisata dapat memberikan peluang kepada masyarakat lokal dalam
memperoleh tambahan ataupun peningkatan pendapatan diperoleh melalui menjual cenderamata,
menyediakan jasa angkutan dan sebagainya.

Isu Edukasi
Secara umum kondisi atraksi di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kecamatan Bukit Batu
Provinsi Kalimantan Tengah di nilai cukup menarik, hanya saja potensi produk yang dimiliki belum
dikembangkan secara optimal agar dapat menjadi daya tarik wisata Desa Tangkiling. Hanya saya
atraksi wisata yang diberikan masih kurang melibatkan wisatawan secara aktif berinteraksi dengan
alam dan masyarakat desa serta memberikan unsur edukasi untuk kualitas pengalaman
kunjungan. Pemanfaatan dan optimalisasi pengetahuan tradisional yang berbasis pelestarian alam
dan budaya serta nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari belum dapat
tersampaikan kepada wisatawan.

Isu Wisata
Image Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling sangat kuat dalam mengangkat produk pariwisata
Kalimantan Tengah, karena Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling merupakan salah satu obyek
ekowisata andalan di kota Palangka Raya. Isu-isu cukup banyak dalam pengembangan kawasan
ekowisata Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling antara lain :
- Keindahan alam tidak diimbangi dengan upaya menjaga lingkungan dengan terlihatnya
keadaan kurangnya kebersihan dan fasilitas persampahan.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 63


- Minimnya fasilitas pendukung kepariwisataan seperti pusat informasi, fasilitas akomodasi
penginapan , fasilitas makan dan minum dan pusat cederamata yang masih belum
dikembangkan.
- Belum adanya diversifikasi atraksi pada kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling
Kalimantan Tengah dalam memberikan kualitas pengalaman kunjungan pada wisatawan.

Evaluasi Pengembangan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling
Dalam Prinsip-Prinsip Ekowisata
I. Prinsip Konservasi
Prinsip Konservasi Alam
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan
tujuan, melalui permintakatan (zonasi).

2 Mengelola jumlah pengunjung, sarana dan fasilitas sesuai
dengan daya dukung lingkungan daerah tujuan.

3 Meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku terhadap
lingkungan alam dan budaya.

4 Memanfaatkan sumber daya secara lestari dalam
penyelenggaraan kegiatan ekowisata.

5 Meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan, dan bersifat
ramah lingkungan.

6 Mengelola usaha secara sehat.
Prinsip Konservasi Budaya
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Menerapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan
pelaku usaha ekowisata.

2 Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak lainnya (multi
stakeholders dalam penyusunan kode etik wisatawan, pengelola
dan pelaku usaha ekowisata.

3 Melakukan pendekatan, meminta saran-saran dan mencari
masukan dari tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat
paling awal sebelum memulai langkah-langkah dalam proses
pengembangan ekowisata.

4 Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-aspek sosial
budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam
proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.


II. Prinsip Partisipasi Masyarakat
Prinsip Partisipasi Masyarakat
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Melakukan penelitian dan perencanaan terpadu dalam
pengembangan ekowisata.


Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


64 ISSN 1907 - 8536


2 Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat
dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

3 Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk
pengembangan ekowisata.

4 Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk bisa menerima
atau menolak pengembangan ekowisata.

5 Menginformasikan secara jelas dan benar konsep dan tujuan
pengembangan ekowisata.

6 Membuka kesempatan untuk melakukan dialog dengan seluruh
pihak yang terlibat (multi-stakeholders) dalam proses
perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

7 Membentuk kerjasama dengan masyarakat setempat untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap
dilanggarnya peraturan yang berlaku.


III. Prinsip Ekonomi
Prinsip Ekonomi
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk
membuka usaha ekowisata dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi
kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif.

2 Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan usaha
ekowisata untuk kesejahteraan penduduk setempat.

3 Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalm bidang-
bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan
ekowisata.

4 Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-
rendahnya.

5 Meningkatkan pendapatan masyarakat.

IV. Prinsip Edukasi
Prinsip Edukasi
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya
tarik wisata.

2 Memanfaatkan dan mengoptimalkan pengetahuan tradisional
berbasis pelestarian alam dan budaya serta nilai-nilai yang
dikandung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai nilai
tambah.

3 Mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari
produk ekowisata.

4 Memberikan pengalaman yang berkualitas dan bernilai bagi
pengunjung.


Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 65


5 Dikemas ke dalam bentuk dan teknik penyampaian yang
komunikatif dan inovatif.


V. Prinsip Wisata
Prinsip Wisata
No Aspek
Kondidi Existing
Tinggi Sedang Rendah
1 Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya
tarik wisata.

2 Membuat Standar Prosedur Operasi (SPO) untuk pelaksanaan
kegiatan di lapangan.

3 Menyediakan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan
pengunjung, kondisi setempat dan mengoptimalkan kandungan
material lokal.

4 Memprioritaskan kebersihan dan kesehatan dalam segala bentuk
pelayanan, baik fasilitas maupun jasa.

5 Memberikan kemudahan pelayanan jasa dan informasi yang
benar.

6 Memprioritaskan keramahan dalam setiap pelayanan.

REKOMENDASI
Dalam mengembangkan ekowisata di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Yang perlu mendapat
perhatian dalam mengembangkan pariwisata yang berbasis masyarakat berdasarkan konsep
ekowisata adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan ketrampilan masyarakat lokal di
sekitar kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Hal ini terkait dengan relatif rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat lokal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini perlu
dilakukan melalui pelatihanpelatihan secara berkala bagi masyarakat lokal.
Selain itu masyarakat perlu mendapat kemudahan dalam mengakses usahausaha untuk
meningkatkan potensi yang dimiliki. Selama ini masyarakat local relatif sulit untuk mengakses
sumbersumber pembiayaan atau lembagalembaga keuangan untuk menambah modal ekonomi
mereka.
Kemudahan permodalan ini dapat dilakukan dengan kerjasama atau melalui sistem kemitraan
dengan pihakpihak terkait.

Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi ini meliputi beberapa aspek, yaitu :
1) Aspek Pengembangan Produk
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dalam rangka meningkatkan kualitas
produk Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling antara lain :
a. Atraksi dan fasilitas pada obyek wisata yang diharapkan akan lebih menunjang kualitas
pengalaman dan kenyamanan wisatawan selama berada di lokasi obyek wisata Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling seperti pengembangan pertunjukkan budaya (even
budaya), pengembangan fasilitas penjualan cenderamata/souvenir sebagai kenang-
kenangan yang dapat memberikan kesan kepada wisatawan.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


66 ISSN 1907 - 8536


b. Dalam upaya konservasi budaya, oleh karena itu dalam pengembangan fasilitas
pendukung kepariwisataan Bukit Tangkiling dengan karakteristik arsitektur lokal dan
bahan fisik fasilitas yang ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan alam.
c. Meningkatkan kemudahan dalam (aksesibilitas) pencapaian ke Desa Tangkiling. Hal ini
dapat dilakukan dengan pembuatan trayek angkutan umum ke Desa Tangkiling
Kecamatan Bukit Batu Kalimantan Tengah dan perbaikan penambahan sign and
posting.
d. Meningkatkan komunikasi dan informasi terhadap pasar melalui berbagai media serta
melakukan kerjasama dengan pihak pelaku industry (agen perjalanan) untuk
mengembangkan obyek melalui paket-paket wisata.
e. Peningkatan peran serta dan komitmen pemerintah terhadap pariwisata yang
diwujudkan melalui kebijakan penciptaan iklim berinvestasi yang kondusif di bidang
pariwisata.

2) Aspek Pengelolaan Lingkungan.
Aspek pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan assessment awal
terlebih dahulu sebelum dilakukan langkah-langkah lebih lanjut dalam upaya konservasinya.
Kebijakan dalam pengembangan kawasan wisata alam Bukit Tangkiling yang harus
mencerminkan aspek lingkungan alam, keunikan, keindahan lingkungan dan adat istiadat
masyarakat setempat.
Upaya pengelolaan lingkungan juga dimulai dengan sosialisasi sadar wisata kepada
masyarakat dalam konservasi terhadap potensi kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Tangkiling. Kemudian upaya perlindungan lingkungan melalui upaya untuk meningkatkan
kepedulian wisatawan terhadap lingkungan melalui menjaga kebersihan dengan tidak
membuang sampah pada kawasan TWA Bukit Tangkiling, tidak merusak keanekaragaman
flora dan fauna pada kawasan dan pembatasan pengembangan fasilitas yang berlebihan
pada kawasan wisata alam Bukit Tangkiling.

3) Aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pengadaan pelatihan manajemen dan ketrampilan secara berkala.
a) Pelatihan yang berkaitan dengan pemahaman ekowisata. Pelatihan dilakukan agar
seluruh pihak yang berkepentingan dalam kepariwisataan mempunyai pemahaman
yang sama mengenai ekowisata sehingga akan berpengaruh positif terhadap
pengembangan kegiatan ekowisata yang berbasis masyarakat di kawasan Taman
Wisata Alam Bukit Tangkiling.
b) Pelatihan yang berkaitan dengan pemahaman tentang sumber daya alam dan
lingkungan serta pengelolaan lingkungan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling agar
kelestariannya dapat tetap terjaga.
c) Pelatihan dan ketrampilan yang berkaitan dengan pengelolaan bisnis ekowisata di
Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, meliputi :
Pelatihan pengetahuan kepariwisataan.
Pengembangan dan pengelolaan obyek wisata.
Pelatihan guiding wisatawan.
Pengetahuan dan pengembangan bisnis/kewirausahaan.
Pelatihan manajemen pemasaran.
Pelatihan manajemen kualitas dan pengemasan produksi (packaging).
Pelatihan teknis pelayanan wisata.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 67


Pengembangan sistem kemitraan (partnership).
a) Bentuk kemitraan dilakukan dalam bentuk :
Pemberian bantuan modal bagi masyarakat Kota Batu
Bantuan promosi dan penjualan secara cuma cuma
Penumbuhan sense of business dan manajemen melalui
persyaratan dan pengenalan iklim persaingan
Pembukaan akses pasar
Pelatihan pengembangan bisnis/kewirausahaan
b) Pihak/instansi yang terkait yaitu lembaga keuangan dan perbankan, pengusaha dan
masyarakat lokal di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling.
4) Aspek Pemasaran
Kebijakan dalam aspek pemasaran antara lain
Pengembangan sistem dan akses pemasaran dan promosi
Kegiatan promosi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung ke
berbagai saluran distribusi pariwisata terutama pada travel agent, tour operator dan
perhotelan, seperti : pengadaan event dan pameran khusus secara berkala seperti festival
keanekaragaman flora dan fauna, pameran tanaman khas Kalimantan.

DAFTAR PUSTAKA
Boyd, S. and Butler, R., 1996, Managing Ecotourism : An Opportunity Spectrum Approach,
Tourism Management, 17:557-66.
Dowling, R.K., 1997, Plans for the Development of Regional Ecotourism : Theory and Practice,
Irwin Publishers, Sydney.
Dowling, R.K. and Page, S.J., 2002, Ecotourism, Prenctice Hall, London.
Eagles, P. and Higgins, B., 1998, Ecotourism Market and Industry Structure, Ecotourism : a Guide
for Planners and Managers, Vol.2, The Ecotourism Society, Vermont.
Fandeli, C., 1999, Pengembangan Kepariwisataan Alam : Prospek dan Problematikanya, Seminar
dalam rangka memperingati Hari Bumi, Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Fennel, David A.,1999, Ecotourism : An Introduction, Routledge, London and New York.
Gunn, Clare, A., Tourism Planing, (1994) 2
nd
Ed., Taylor and Francis, USA
Holden,A. and Kealy,H., 1996, A Profile of UK Outbound Environmentally Friendly Tour
Operators,Tourism Management, 17:60-4.
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach,
Van Nostrand Reinhold, New York.
Lindberg, K., 1991, Policies for Maximising Nature Tourisms Ecological and Economic Benefits,
World Resources Institute, Washington DC.
Mowforth, M., 1993, Ecotourism : Terminology and Definitions, Occasional Paper Series,
University of Plymouth.
Wight, P., 1993, Ecotourism : Ethical or Eco-sell, Journal of Tourism Research, 31:3-9.
Wood, M.E., 2002, Ecotourism : Principles, Practices & Policies for Sustainability, UNEP.
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


68 ISSN 1907 - 8536


SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN DENGAN METODE AHP DALAM
MENENTUKAN PENERIMA SURAT KETERANGAN MISKIN DARI
KELURAHAN ATAU KECAMATAN
DI KOTA PALANGKARAYA

Mochammad Ichsan, ST

Abstract
Probability Theory (fuzzy set) plays an important role to resolve the uncertainty resolution. One form is the
application of Decision Support Systems (DSS) is a system that can assist a person in making accurate
decisions and targeted. Many problems can be solved by using the DSS, one of which is the determination
of election poor Certificate Recipients. There are several methods that can be used in building a DSS such
as Analytical Hierarchy Process (AHP).
AHP is the most widely used method to solve problems that are multicriteria, such as the determination of
the DSS recipients Election poor Certificate. This study uses AHP method to determine the selection of
poor Certificate Recipients. In determining Receiver Certificate poor, there are some criteria on which to
base decisions such as employment status is not fixed, low income, and the number of families is too
much.
Productivity job means if the business is carried on productive or not, the views of the business, type of
business, and the monthly income to help finance poor families receiving the Certificate. Conditions were a
little income and the number of families that too many families are considered poor enabling. The end
result of this research is the result of a family priority criteria, which are sorted from the highest to the
lowest, so the district or village may publish this letter to see the results of that analysis.

Keyword : AHP, DSS, receiver, Poor Certificate

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada akhir abad ke-19 hingga akhir abad ke-20 teori probabilitas memegang peranan penting
untuk menyelesaikan masalah ketidakpastian. Teori himpunan fuzzy merupakan kerangka
matematis yang digunakan untuk merepresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan,
ketidaktepatan, kekurangan informasi dan kebenaran parsial (Tettanzi,2001) informasi yang
sudah sedemikian pesat. Tidak hanya perangkat komputernya saja yang berkembang pesat,
Salah satu Teori himpunan fuzzy yang cukup berkembang saat ini adalah metode sistem
pengambilan keputusan (Decisions Support System). Dalam teknologi informasi, sistem
pengambilan keputusan merupakan cabang ilmu yang letaknya diantara sistem informasi dan
sistem cerdas.
Sistem pengambilan keputusan juga membutuhkan teknologi informasi, hal ini dikarenakan
adanya era globalisasi, yang menuntut semua para pengambil keputusaan untuk bergerak cepat
dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan. Dengan mengacu kepada solusi yang diberikan
oleh metode AHP (Analytical Hierarcy Process) dalam membantu membuat keputusan, seorang
decision maker dapat mengambil keputusan tentang pemilihan supplier secara objektif
berdasarkan multi kriteria yang ditetapkan.
Metode AHP adalah metode pengambilan keputusan yang multi kriteria, Dalam penentuan
Penerima Surat Keterangan Miskin, ada beberapa kriteria yang menjadi dasar pengambilan
keputusan antara lain status pekerjaan tidak tetap, penghasilan rendah, dan jumlah keluarga yang
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 69


terlalu banyak. Dengan melihat adanya kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk mengambil
keputusan, maka akan sangat cocok untuk menggunakan metode AHP dengan multikriteria.

Batasan dan Perumusan Masalah
Keterbatasan dalam jumlah penerima dalam penentuan yang paling berhak menerima surat
keterangan miskin adalah kendala dalam penelitian ini. Adapun permasalahan yang timbul ini
disebabkan seseorang menemui berbagai kesulitan dalam mengambil keputusan dalam pemilihan
kriteria diantaranya adalah kesulitan dalam kriteria dalam pemilihan Penerima Surat Keterangan
Miskin yaitu : Penerima Surat Keterangan Miskinnya memiliki kriteria yang mengikuti syarat yang
telah ditentukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah memberi pengetahuan tentang arti dari metode AHP dan untuk
membuat keputusan yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam mengambil keputusan
yang terbaik untuk mencapai hasil yang maksimal.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara umum memiliki kontribusi terhadap masalah yang sering dihadapi yaitu:
1. Menyumbang suatu model pengambil keputusan yang dapat digunakan dalam penerbitan surat
keterangan miskin.
2. Meminimalisasi penyalahgunaan surat keterangan miskin yang diterbitkan oleh kelurahan atau
kecamatan yang biasanya digunakan untuk mendapatkan bea siswa atau bantuan pemerintah
agar dana-dana terserbut benar-benar diterima oleh orang yang berhak menerima.

METODE
Pengertian Metode AHP
Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini adalah
sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks
dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan
memecahkan persoalan tersebut ke dalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini
dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang
pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel
yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada
situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan
menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai
pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas.
Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada
berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang
cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan
yang telah dibuat. (Saaty, 1993).
Proses hierarki adalah suatu model yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau
kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara
membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya.
Ada dua alasan utama untuk menyatakan suatu tindakan akan lebih baik dibanding tindakan lain.
Alasan yang pertama adalah pengaruh-pengaruh tindakan tersebut kadang-kadang tidak dapat
dibandingkan karena sutu ukuran atau bidang yang berbeda dan kedua, menyatakan bahwa
pengaruh tindakan tersebut kadang-kadang saling bentrok, artinya perbaikan pengaruh tindakan
Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


70 ISSN 1907 - 8536


tersebut yang satu dapat dicapai dengan pemburukan lainnya. Kedua alasan tersebut akan
menyulitkan dalam membuat ekuivalensi antar pengaruh sehingga diperlukan suatu skala luwes
yang disebut prioritas.

Prinsip Dasar dan Aksioma AHP
AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu :
a. Dekomposisi
Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara
hierarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai khusus. Dalam bentuk yang paling
sederhana struktur akan dibandingkan tujuan, kriteria dan level alternatif. Tiap himpunan
alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail, mencakup lebih
banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu
elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen
tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki
perbedaan yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang
baru.
b. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgments).
Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada
dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan
skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika
dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.
c. Sintesa Prioritas.
Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria
bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang
dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang
kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai
dengan kriterianya.

AHP didasarkan atas 3 aksioma utama yaitu :
a. Aksioma Resiprokal
Aksioma ini menyatakan jika PC (EA,EB) adalah sebuah perbandingan berpasangan antara
elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan
berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC (EB,EA)= 1/ PC
(EA,EB). Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=1/5 A.
b. Aksioma Homogenitas
Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan tidak berbeda terlalu jauh. Jika
perbedaan terlalu besar, hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang tinggi. Ketika
hirarki dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar elemen tersebut tidak
menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan inkonsistensi tinggi.
c. Aksioma Ketergantungan
Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen
level di bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki

Kelebihan dan Kekurangan dalam Metode AHP
a. Kelebihan
1. Struktur yang berhierarki sebagai konskwensi dari kriteria yang dipilih sampai pada sub-sub
kriteria yang paling dalam.
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 71


2. Memperhitungkan validitas sampai batas toleransi inkonsentrasi sebagai kriteria dan
alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.
Metode pairwise comparison AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah
yang diteliti multi obyek dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari tiap
elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan model yang komperehensif. Pembuat
keputusan menetukan pilihan atas pasangan perbandingan yang sederhana, membengun
semua prioritas untuk urutan alternatif. Pairwaise comparison AHP mwenggunakan data
yang ada bersifat kualitatif berdasarkan pada persepsi, pengalaman, intuisi sehigga dirasakan
dan diamati, namun kelengkapan data numerik tidak menunjang untuk memodelkan secara
kuantitatif.

b. Kelemahan
1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya.
Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas
sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian
yang keliru.
2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistic sehingga
tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.

Tahapan Dalam Metode AHP
a. Langkah-langkah AHP
Langkah langkah dan proses Analisis Hierarki Proses (AHP) adalah sebagai berikut
1. Memdefinisikan permasalahan dan penentuan tujuan. Jika AHP digunakan untuk memilih
alternatif atau menyusun prioriras alternatif, pada tahap ini dilakukan pengembangan
alternatif.
2. Menyusun masalah kedalam hierarki sehingga permasalahan yang kompleks dapat ditinjau
dari sisi yang detail dan terukur.
3. Penyusunan prioritas untuk tiap elemen masalah pada hierarki. Proses ini menghasilkan
bobot atau kontribusi elemen terhadap pencapaian tujuan sehingga elemen dengan bobot
tertinggi memiliki prioritas penanganan. Prioritas dihasilkan dari suatu matriks perbandingan
berpasangan antara seluruh elemen pada tingkat hierarki yang sama.
4. Melakukan pengujian konsitensi terhadap perbandingan antar elemen yang didapatan pada
tiap tingkat hierarki.
Sedangkan langkah-langkah pairwise comparison AHP adalah
1. Pengambilan data dari obyek yang diteliti.
2. Menghitung data dari bobot perbandingan berpasangan responden dengan metode
pairwise comparison AHP berdasar hasil kuisioner.
3. Menghitung rata-rata rasio konsistensi dari masing-masing responden.
4. Pengolahan dengan metode pairwise comparison AHP.
5. Setelah dilakukan pengolahan tersebut, maka dapat disimpulkan adanya konsitensi
dengan tidak, bila data tidak konsisten maka diulangi lagi dengan pengambilan data
seperti semula, namun bila sebaliknya maka digolongkan data terbobot yang selanjutnya
dapat dicari nilai beta (b).


Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


72 ISSN 1907 - 8536


PEMBAHASAN
Kasus
Penentuan dari beberapa orang yang mengajukan permohonan untuk menerima Surat Keterangan
Miskin. dalam pemilihan Penerima Surat Keterangan Miskin yang nantinya akan disalurkan yaitu :
Penerima Surat Keterangan Miskinnya memiliki Penghasilan yang kurang, pekerjaan tidak tetap
dan Jumlah keluarga keluarga yang terlalu banyak.

Penyelesaian
a. Tahap pertama
Menentukan botot dari masing masing kriteria.
Penghasilan lebih penting 2 kali dari pada pekerjaan tidak tetap
Penghasilan lebih penting 3 kali dari pada Jumlah keluarga
pekerjaan tidak tetap lebih penting 1.5 kali dari pada Jumlah keluarga

Pair Comparation Matrix
Kriteria Penghasilan pekerjaan tidak tetap Jumlah keluarga Priority Vector
Penghasilan 1 2 3 0,5455
pekerjaan tidak tetap 0,5 1 1,5 0,2727
Jumlah keluarga 0,333 0,667 1 0,1818
Jumlah 1,833 3,667 5,5 1,0000
Pricipal Eigen Value (lmax) 3,00
Consistency Index (CI) 0
Consistency Ratio (CR) 0,0%

Dari gambar diatas, Priority Vector (kolom paling kanan) menunjukan bobot dari masing-masing
kriteria, jadi dalam hal ini Penghasilan merupakan bobot tertinggi/terpenting, disusul pekerjaan
tidak tetap dan yang terakhir adalah Jumlah keluarga.
Cara membuat tabel seperti di atas
1. Untuk perbandingan antara masing masing kriteria berasal dari bobot yang telah di
berikan pertama kali.
2. Sedangkan untuk Baris jumlah, merupakan hasil penjumalahan vertikal dari masing
masing kriteria.
3. Untuk Priority Vector di dapat dari hasil penjumlahan dari semua sel disebelah Kirinya
(pada baris yang sama) setelah terlebih dahulu dibagi dengan Jumlah yang ada
dibawahnya, kemudian hasil penjumlahan tersebut dibagi dengan angka 3.
4. Untuk mencari Principal Eigen Value (lmax)
Rumusnya adalah menjumlahkan hasil perkalian antara sel pada baris jumlah dan sel
pada kolom Priority Vector.
5. Menghitung Consistency Index (CI) dengan rumus
CI = (lmax-n)/(n-1)
6. Sedangkan untuk menghitung nilai CR
7. Menggunakan rumuas CR = CI/RI , nilai RI didapat dari

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 5,8 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 73


Jadi untuk n=3, RI=0.58.
Jika hasil perhitungan CR lebih kecil atau sama dengan 10% , ketidak konsistenan masih bisa
diterima, sebaliknya jika lebih besar dari 10%, tidak bisa diterima.

b. Tahap Kedua
Petugas memberikan penilaian ( disebut sebagai pair-wire comparation)
Penghasilan lebih penting 2 kali dari pada pekerjaan tidak tetap
Penghasilan lebih penting 3 kali dari pada Jumlah keluarga
pekerjaan tidak tetap lebih penting 1.5 kali dari pada Jumlah keluarga


Si A 4 kali lebih Mapan daripada Si B
Si A 3 kali lebih Mapan dari pada Si C
Si B 1/2 kali lebih Mapan dari pada Si C


Si A 1/3 kali lebih Banyak Penghasilannya daripada Si B
Si A 1/4 kali lebih Banyak Penghasilannya dari pada Si C
Si B 1/2 kali lebih Banyak Penghasilannya dari pada Si C


Berdasarkan penilaian tersebut maka dapat di buat tabel (disebut Pair-wire comparation matrix)

Mapan (Pekerjaan) Si A Si B Si C Priority Vector
Si A 1 4 3 0,6233
Si B 0,25 1 0,5 0,1373
Si C 0,333 2 1 0,2394
Jumlah 1,583 7 4,5 1,0000
Pricipal Eigen Value (lmax) 3,025
Consistency Index (CI) 0,01
Consistency Ratio (CR) 2,2%


Penghasilan Si A Si B Si C Priority Vector
Si A 1 0,333 0,25 0,1226
Si B 3 1 0,5 0,3202
Si C 4 2 1 0,5572
Jumlah 8 3,333 1,75 1,0000
Pricipal Eigen Value (lmax) 3,023
Consistency Index (CI) 0,01
Consistency Ratio (CR) 2,0%


Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7 / No.1, Juli 2012


74 ISSN 1907 - 8536


Penghasilan Si A Si B Si C Priority Vector
Si A 1,00 0,010 0,10 0,0090
Si B 100,00 1,00 10,0 0,9009
Si C 10,00 0,100 1,0 0,0901
Jumlah 111,00 1,11 11,10 1,0000
Pricipal Eigen Value (lmax) 3
Consistency Index (CI) 0
Consistency Ratio (CR) 0,0%

c. Tahap ketiga
Setelah mendapatkan bobot untuk ketiga kriteria dan skor untuk masing-masing kriteria bagi
ketiga kandidat pilihan, maka langkah terakhir adalah menghitung total skor untuk ketiga
kandidat tersebut. Untuk itu perlu merangkum semua hasil penilaian tersebut dalam bentuk
tabel yang disebut Overall composite weight, seperti berikut.

Overall composit weight weight Si A Si B Si C
Mapan/Pekerjaan 0,5455 0,6233 0,1373 0,2394
Penghasilan 0,2727 0,1226 0,3202 0,5572
Jumlah Keluarga 0,1818 0,0090 0,9009 0,0901
Composit Weight 0,3751 0,3260 0,2989

Cara membuat Overall Composit weight adalah:
1. Kolom Weight diambil dari kolom Priority Vektor dalam matrix Kriteria.
2. Ketiga kolom lainnya (A, B dan C) diambil dari kolom Priority Vector ketiga matrix
Mapan/Pekerjaan, Penghasilan dan Jumlah Keluarga.
3. Baris Composite Weight diperoleh dari jumlah hasil perkalian sel diatasnya dengan
weight.
Berdasarkan table di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa yang memiliki skor paling
tinggi adalah Si A yaitu 0,3751 , sedangkan disusul Si B dengan skor 0,3260 dan yang terakhir
adalah Si C dengan skor 0,2989. Akhirnya Si C adalah orang yang paling berhak untuk
menerima Surat Keterangan Miskin karena memiliki skor paling rendah.


KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa metode ini mampu untuk menghasilkan suatu keputusan
yang tepat. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan ketika pengambilan keputusan seperti kesalahan
dalam menentukan siapa yang berhak menerima surat keterangan miskin dapat berkurang.

SARAN
Berdasarkan temuan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka beberapa saran yang dapat
dijadikan rekomendasi antara lain:
1. Penambahan kriteria yang digunakan dalam pengembangan lebih lanjut.
2. Perlu pengembangan kebentuk komputerisasi untuk memudahkan para pengambil keputusan
dalam penerapan metode nantinya.

Volume 7 / No.1, Juli 2012 Jurnal Perspektif Arsitektur
ISSN 1907 - 8536 75


DAFTAR PUSTAKA

Kusumadewi, S., Hartati, S., Harjoko, A.., & Wardoyo, R. (2006). Fuzzy Multi-Attribute Decision
Making (Fuzzy MADM). Yogyakarta:Graha Ilmu.
Maleong. Lexy J. (1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Penyusun. Tim, (2010). Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Saintekom, Palangkaraya : STMIK
Palangka Raya.
http://haniif.wordpress.com/2007/08/01/23-tinjauan-pustaka-sistem-pendukung-keputusan-spk/
http://bangded.blogspot.com/2011/04/penerapan-metode-ahp.html
http://blog.uad.ac.id/sulisworo/2009/04/16/analisis-hierarki-proses/
http://piithaselaludisinii.blogspot.com/2011/04/macam-macam-metode-sistem-penunjang.html

Anda mungkin juga menyukai