Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010
Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Robert Sinto, Ginova Nainggolan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak: Acute kidney injury (AKI) merupakan terminologi baru yang digunakan sebagai pengganti gagal ginjal akut. AKI merupakan sebuah sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens dengan angka mortalitas yang masih cukup tinggi. Perubahan tersebut disertai dengan pengajuan kriteria diagnosis yang terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi AKI lebih dini sehingga dapat diupayakan perbaikan prognosis pasien. Saat ini, diagnosis AKI ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE/ AKIN. Berdasarkan sumber masalahnya , AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama, yaitu prarenal, renal dan pascarenal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI. Penatalaksanaan AKI harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau secara bedah yaitu mengganti ginjal. Kata kunci: Acute kidney injury, pendekatan klinis, tata laksana 81 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 Acute Kidney Injury: Clinical Approach and Management Robert Sinto, Ginova Nainggolan Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta Abstract: Acute kidney injury (AKI) is a terminology that substitute the previously known acute renal failure. AKI is a syndrome that shows increasing incidence rate in the last 15 years with relatively high mortality rate. This new terminology is follows the proposition of more sensitive diagnosis criteria in order to detect AKI earlier, thus improve patients prognosis. Today, AKI is diagnosed based on RIFLE/AKIN criteria and this should include determin the etiology, stage and complications of AKI. According to the etiology, AKI is classified into 3 major categories: prarenal, renal and pascarenal. Comprehensive management includes management of etiology, prevention further declining of renal function, fluid, nutrition therapy and complications management, and this can be done either with conservative method or renal replacement therapy. Keywords: Acute kidney injury, clinical approach, management Pendahuluan Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. 1 Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%. Insidens di negara berkembang, khususnya di kom- unitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi or- gan selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif. 1-3 Definisi dan Kriteria Diagnosis Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. 4 Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus- takaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien. 5,6 Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana 82 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam- barkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1. 5,7 Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 8 Kate- Peningkatan Penurunan LFG Kriteria UO gori kadar Cr serum Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >6 jam Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >12 jam Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, atau >4 mg/dL >24 jam atau dengan kenaikan anuria >12 jam akut > 0,5 mg/dL Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas. 8 Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN meng- upayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan. 6,7 Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE. 8 Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005. 8 Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO 1 >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam, >0,3 mg/dL >6 jam 2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, > 12 jam 3 >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/dL <0,3 mL/kg/jam, dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam Klasifikasi Etiologi Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. 4,9 Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi) 4,10 AKI Prarenal I. Hipovolemia - Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus - Kehilangan darah - Kehilangan cairan ke luar tubuh Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar) II. Penurunan curah jantung - Penyebab miokard: infark, kardiomiopati - Penyebab perikard: tamponade - Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal - Aritmia - Penyebab katup jantung III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik - Penurunan resistensi vaskular perifer Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) - Vasokonstriksi ginjal Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B - Hipoperfusi ginjal lokal Stenosis a.renalis, hipertensi maligna IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal - Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras) - Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen - Penggunaan penyekat ACE, ARB - Stenosis a. renalis V. Sindrom hiperviskositas - Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia 83 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana AKI Renal/intrinsik I. Obstruksi renovaskular - Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi) II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal - Glomerulonefritis, vaskulitis III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) - Iskemia (serupa AKI prarenal) - Toksin - Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemo- lisis, asam urat, oksalat, mieloma) IV. Nefritis interstitial - Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bak- teri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik V. Obstruksi dan deposisi intratubular - Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida VI. Rejeksi alograf ginjal AKI Pascarenal I. Obstruksi ureter - Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal II. Obstruksi leher kandung kemih - Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana- san, darah III. Obstruksi uretra - Striktur, katup kongenital, fimosis Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen- teritis akut (masing-masing 3%). 11 Pendekatan Diagnosis Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. 4,9 Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi. Pemeriksaan Klinis Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig- mata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. 4,9,12 AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover- tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom. 4,9,12 Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial. 4,13 Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4). Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi) 4,12,13 Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal Urinalisis Silinder hialin Abnormal Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010 Osmolalitas urin (mmol/kgH 2 0) >500 ~300 Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40) Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1 Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35 Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20 Rasio urea urin/urea plasma >8 <3 84 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vaso- konstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FE Na = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FE Urea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FE Na . Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FE Na dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%. 13 Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pasca- berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. 4,13 Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glome- rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain. 4 Peranan Penanda Biologis Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria di- agnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain (1) sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomeru- lus atau tubulus); (3) tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat ditangkap oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpe- ngaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita. Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kid- ney injury molecule [KIM]-1, Na + /H + exchanger isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, -1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG). 14,16 Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST- , dan -GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda bio- logis. 14,16 Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia. 9 Tata Laksana Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti- mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. 4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum. 18 Terapi Nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5). Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat- obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na + /K + -ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa 85 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI (Dimodifikasi) 12,19 Katabolisme Variabel Ri ngan Sedang Berat Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS, klinis obat infeksi MODS Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering Rute pemberian Oral Enteral +/- pa- Enteral +/- pa- nutrisi renteral renteral Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg 25-30 kkal/kg 25-30 kkal/kg BB/hari BB/hari BB/hari Sumber energi Glukosa 3-5 g/ Glukosa 3-5 g/ Glukosa3-5 g/kg kgBB/hari kgBB/hari BB/hari Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2 kgBB/hari kgBB/hari Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/ 0,8-1,2 g/kgBB/ 1,0-1,5 g/kgBB/ hari hari hari Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral Glukosa 50-70% Glukosa 50-70% Lemak 10-20% Lemak 10-20% AA 6,5-10% AA 6,5-10% Mikronutrien Mikronutrien Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78). 20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: 17,21 1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. 2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 17,21 Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu- naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien. 22,23 Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na + /K + -ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. 17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI. 25 Tata Laksana Komplikasi Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema 86 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis. 26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi. Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI 4 Komplikasi Tata laksana Kelebihan cairan Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari) intravaskular Penggunaan diuretik Hiponatremia Batasi cairan (<1 L/hari) Hindari pemberian infus cairan hipotonik Hiperkalemia Batasi asupan K(<40 mmol/hari) Hindari suplemen K dan diuretik hemat K Beri resin potassium-binding ion exchange Beri Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit Asidosis metabolik Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari) Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar se- rum bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri >7,2) Hiperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari) Beri pengikat fosfat Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc) Hiperurisemia Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL Pencegahan Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya me- muaskan, maka pencegahan sangat penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada pencegahan umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia lanjut dan seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI. 14,19,27 Kesimpulan Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan penu- runan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana komplikasi. Daftar Pustaka 1. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5. 2. Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.27-40. 3. Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail- ure, 1988 to 2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50. 4. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrisons principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53. 5. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas- sification: time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178- 87. 6. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31. 7. Roesli R. Kriteria RIFLE cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24. 8. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant. 2008;23:1569-74. 9. Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.41-66. 10. Abuelo JG. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J Med. 2007;357:797-805. 11. Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):12-17. 12. Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p.585-9. 13. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004;114:5-14. 14. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861. 15. Biesen WV, Vanholder R, Lameire N. Defining acute renal fail- ure: RIFLE and Beyond. Clin J Am Soc Nephrol. 2006;1:13149. 16. Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury: perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481- 490. 17. Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.79-96. 18. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8 th Jakarta nephrol- ogy & hypertension course and symposium on hypertension. 87 Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9. 19. Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute tubular necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863. 20. Ho KM, Sheridan DJ. Meta-analysis of frusemide to prevent or treat acute renal failure. BMJ. 2006;333(7565):420. 21. Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8 th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10. 22. Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD, Warnock D, et al. Evaluation and initial management of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3: 962-7. 23. Sjabani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8 th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22. 24. Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8 th Jakarta nephrol- ogy & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17. 25. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol. 2000;16:175. 26. Bellomo R, Ronco C. Indications and criteria for initiating renal replacement therapy in the intensive care unit. Kidney Int. 1998; 53(66):S106-9. 27. OLeary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically ill:There are no magic bullets-just high quality intensive care. Br Med J. 2001;322:1437-9. ZN Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana 88 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010