Anda di halaman 1dari 4

#1. Jangan nyalakan lampunya, Ayah.

Di tengah kegelapan kamar mandi ayah berdiri membelakangiku, menghadap cermin. Dengan gemetar
kuperhatikan kesunyian di sekitarku.
Ayah, jangan nyalakan lampunya. Kataku dalam hati.
Ayah tetap meraih sakelar lampu di dekatnya.
Kumohon ayah, jangan. Ada sesuatu yang buruk di cermin itu. Ucapku, kali ini nyaris berbisik.
Keringat dingin menyususuri pelipisku saat ayah menekan sakelar itu.
Tuh kan, sekarang ayah bisa melihat pisau ku.

#2. Novelis
Apakah menjadi novelis horror itu mudah? Tentu saja.
Kau bisa mendapatkan semua yang dibutuhkan dari sekitarnya. Mulai dari ide hingga detail cerita dapat
dengan mudah diperoleh dari dunia nyata.
Seperti saat editorku meminta cerita tentang pembunuhan sepasang kekasih, kuselesaikan dalam satu
bulan. Saat ia meminta cerita tentang anak kecil yang menjadi korban kebrutalan penculiknya, aku
menyelesaikannya kurang dari dua bulan.
Saat ia meminta cerita tentang seseorang yang bunuh diri di apartemennya di akhir cerita, aku terdiam.
Jadi, apakah menjadi novelis horror itu mudah? Hmm, kurasa aku harus memikirkannya lagi.

#3. Monster
Kusandarkan tangan pada jendela kamarku, melamun memandangi bangunan tua di pinggiran desa.
Teringat olehku cerita konyol orang-orang di desa ini tentang monster tanpa nama yang hidup di sana.
Konon monster itu gemar menarik perhatian anak kecil untuk bermain ke rumahnya dan saat malam
tiba, ia akan memakan anak itu. Sang monster kemudian akan mengambil wujud anak itu dan hidup
sebagai si anak yang telah ia makan. Konyol? Itu belum seberapa.
Hal yang paling konyol adalah
Kevin! Makan malam sudah siap! Terdengar suara teriakan ibu dari dapur.
Yang paling konyol adalah cara mengenali si monster.
Kevin? suara ibu kini terdengar dari dalam kamarku.
Mereka bilang sang monster tak pernah bisa mengingat nama anak yang ia makan itu. Haha. Konyol
bukan?
Kevin? Kevin?

#4. Diary
30/03/2014 :
Aku dan Ibu tinggal di tempat baru kami, sebuah kamar di lantai delapan sebuah apartemen. Ibu tak
pernah memberi tahu alasan kenapa kami pindah, tapi kurasa karena ayah.
31/03/2014 :
Terdengar suara ribut dari ruang depan. Suara ibu yang berteriak histeris bersahutan dengan suara
makian ayah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibanting tertutup diiringi isak tangis ibu.
01/04/2014 :
Aku terbangun di tengah malam. Entah sejak kapan ayah berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka,
dengan sebilah pisau berwarna kemerahan di tangannya. Aku takut dan melarikan diri lewat jendela.
02/04/2014 :
Hmm Apa lagi yang harus kutulis?. Ah ya, kurasa aku akan mengunjungi ayah.

#5. Tetesan
Dengan masih kelelahan aku duduk di atas sofa dan menyalakan TV tua itu. Untuk entah keberapa
kalinya berita di televisi menayangkan berita tentang pembunuh berantai yang masih berkeliaran, yang
selalu menguras darah para korbannya sebelum dibuang.
Membosankan. Gerutuku sambil mengganti saluran. Saat itulah ada sesuatu yang menetes dari plafon
rumahku.
Ah, sial Geramku. Harusnya kuselesaikan dulu pekerjaanku

#6. Telepon
Ada sebuah urban legend yang terkenal akhir-akhir ini di daerahku. Konon katanya, jika seseorang
menerima telepon di tengah malam dan mendapati seseorang meminta tolong dari ujung telepon
dengan suaranya sendiri, orang itu akan mati mengenaskan dalam lima menit. Hah.
Seperti urban legend lainnya, siaran berita tengah malam yang kutonton bersama ibu saat ini juga
mengupas kisah horror picisan itu. Aku dan ibu hanya tertawa geli.
Hingga tiba-tiba telepon berdering.
Meski sedikit terkejut, ibu dengan santai menghampiri telepon.
Halo, siapa ini? Tanya ibu.
Tak lama berselang ibu menurunkan telepon itu dari telinganya. Wajahnya terlihat pucat pasi. Aku tidak
percaya dengan urban legend, tapi mungkinkah
Ibu, apakah itu suara meminta tolong? tanyaku setengah berbisik dari sofa.
Ibu mengangguk.
Dengan suara ibu?
Ia menggeleng.
Ibu kemudian mengalihkan wajah pucatnya padaku. Kedua matanya menatapku penuh kengerian.
Oh, tidak ucapku.

#7. Maniak
Nah, di sana ada kertas dan pulpen. Setidaknya aku bisa menceritakan apa yang kualami di sini. Mulai
kuputar ulang peristiwa yang dimulai kemarin sore itu di dalam kepalaku.
Sore itu aku berjalan jalan di pinggiran desaku, dekat bangunan tua yang selalu dijauhi penduduk.
Mereka bilang ada seorang maniak yang mengerikan di sana, yang gemar memutilasi siapapun yang
mendekati tempat tinggalnya. Aku tak percaya.
Entah bagaimana caranya, pagi ini terbangun di dalam kerangkeng ini. Di bawah cahaya lampu yang
menggantung rendah, dapat kulihat sesosok pria besar tengah memotong-motong sesuatu yang terlihat
seperti tangan manusia. Saat kupicingkan mata, samar-samar kukenali wajah pria itu. Ia adalah pak
Tomi, salah satu pemilik tanah terluas di desa ini.
Nah, di sana ada kertas dan pulpen. Setidaknya aku harus menceritakan semua itu.
Kucoba meraih kertas dan pulpen yang tergeletak di dekat kerangkeng, namun aku tak dapat meraihnya.
Tunggu. Apakah aku melupakan sesuatu?

#8. Sandra
Sandra, gadis berusia 24 tahun itu menyeka keringatnya lagi. Bercak berwarna kemerahan dari sarung
tangan plastik yang ia kenakan tertinggal di keningnya. Sandra tak mempedulikan itu. Segenap
perhatiannya terfokus pada potongan-potongan tubuh lelaki di hadapannya.
Satu potong lagi, gumamnya seraya kembali mengarahkan gergajinya ke arah leher sang mayat.
Sandra kemudian mengubur bagian dada ke dalam lubang yang telah ia siapkan tak jauh dari sana.
Ia lalu menuju hutan, menggali sebuah lubang yang cukup dalam untuk menanam bagian kepala mayat
dan kemudian menutupinya dengan sebuah batu besar.
Terakhir, ia lemparkan kantong plastik berisi potongan tangan, potongan kaki, jas hujan, serta sarung
tangan plastiknya ke dalam sungai yang mengalir deras di pinggir hutan. Tak lupa ia bersihkan percikan
darah yang memenuhi wajahnya.
Dengan puas Sandra lalu kembali ke dalam mobil, mengendarainya pulang sambil bersenandung kecil.
Sesekali ia melirik kaca spion samping dan tengah, memastikan tak ada yang mengikutinya.
Aku aman. Aku aman Bisiknya pada dirinya sendiri.
Seandainya saja ia tahu aku mengikutinya pulang.

Anda mungkin juga menyukai