Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN
A. Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan
menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang
yang lain dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan
menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat
tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik
pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga
barang, menjadi milik penjual.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

.

Artinya:
Dari Abi Said al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas saling meridhai. (H.R. Ibnu
Maajah).
Ide teks hadits: Membeli sesuatu untuk dihadiahkan kepada orang lain
dijelaskan dalam hadits shokhih dalam kitab sunnah Ibnu Majah dalam bab
Tijaroh no. 2196 seperti yang tertera dibawah ini:



(IBNUMAJAH - 2196) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Al
Jurairi dari Abu Nadlrah dari Jabir bin Abdullah ia berkata, "Ketika aku
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam satu peperangan, beliau
bertanya kepadaku: "Apakah kamu bersedia menjual alat penyiram ini
dengan satu dinar, dan Allah akan mengampunimu?" Aku menjawab,
"Wahai Rasulullah, alat itu akan menjadi milikmu jika aku telah sampai
Madinah." Beliau bersabda: "Apakah kamu bersedia menjualnya dengan
dua dinar, dan Allah akan mengampunimu?" Jabir berkata, "Beliau terus
saja menambah harga satu dinar demi satu dinar, dan di setiap penambahan
satu dinar beliau mengatakan: 'Dan Allah akan mengampunimu', hingga
mencapai dua puluh dinar. Ketika aku sampai Madinah, aku mengambil
kepala alat penyiram dan membawanya menemui Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau lalu bersabda: "Wahai Bilal, beri dia dua puluh dinar dari
harta rampasan perang." Kemudian beliau bersabda lagi: "Ambillah alat
penyiram itu, dan bawalah kepada keluargamu."

Dijelaskan dalam hadits Shohih dalam bab sunnah Ahmad dalam bab Baqi
Musnad Al Mukassirin no. 14495.



(AHMAD - 14495) : Telah bercerita kepada kami Ya'qub telah bercerita
kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ishaq telah bercerita kepadaku
Wahb bin Kaisan dari Jabir bin Abdullah berkata; saya keluar bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada Perang Dzaturriqo' dengan
mengendarai unta yang sangat lemah. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam kembali, maka rombongan mulai pergi dan saya berada di
belakang sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyusulku. Lalu
beliau bertanya, "Kenapa Wahai Jabir?" Saya menjawab, 'Wahai Rasulullah
untanya melambat, tolong hentikanlah dia.' Lalu Rasulullah
menghentikannya dan bersabda: "Berikan tongkat di tanganmu itu" Atau
bersabda: "Potongkan tongkat dari pohon kepadaku". Lalu saya lakukan apa
yang beliau perintahkan, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memukulkannya dengan beberapa pukulan kemudian bersabda: "Naiklah".
Saya menaikinya lalu berjalan. Demi yang telah mengutusnya dengan Al
Haq beliau telah menjadikan unta ini berjalan. Lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berbincang-bincang kepadaku, lalu bersabda: "Maukah kau
jual untamu ini wahai Jabir". 'Tidak Wahai Rasulullah, saya berikan saja
kepada anda.' Beliau bersabda: "Tidak, juallah kepadaku". 'Tawarkan
harganya padaku', Beliau bersabda: "Sebagaimana yang saya katakan saya
menawar dengan satu dirham". Saya menjawab, tidak. Lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menjual dengan cara ghoban kepadaku, beliau
bersabda: "Dengan dua dirham". 'Tidak' aku menyanggah. Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tetap menaikkan kepadaku sampai pada harga
satu Uqiyah. Saya berkata; ya saya rela. Beliau bertanya, kamu rela, saya
menjawab, ya. Ini untuk anda. Beliau bersabda: "Ya, setuju". Lalu beliau
bersabda: "Kepadaku Wahai Jabir, apakah kamu telah menikah baru-bari
ini?" Saya menjawab, ya Wahai Rasulullah. Beliau bertanya, gadis atau
janda. Maka saya menjawab, janda. Beliau bersabda: "Kenapa tidak gadis
saja. Kamu bisa bermain-main dengannya dan dia bisa bermain-main
denganmu." Saya, Wahai Rasulullah sesungguhnya bapakku, meninggal
pada Perang Uhud dan meninggalkan tujuh anak perempuan lalu saya
menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi mereka dan mendidiknya.
(Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) menjawab, ya benar jika Alloh
menghendaki. (Jabir bin Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; jika kami
telah sampai di daerah Shiror (sebuah sumur lama yang terletak tiga mil dari
Madinah) kami menyuruh agar unta disembelih. Lalu kami bermalam di
tempat itu, (seorang wanita) mendengar kami, lalu dia mengibaskan bantal
bantalnya. (Jabir bin Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; demi Alloh
kami tidak memilik bantal. Beliau bersabda: "Itu akan terjadi, jika kau telah
datang maka kerjakan amalan yang baik." (Jabir bin Abdullah
radliyallahu'anhuma) berkata; tatkala kami sampai di Shiror maka
Rasulullah menyuruh kami untuk menyembelih unta, lalu kami menginap di
sana pada hari tersebut. Tatkala sore hari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam masuk dan kami juga masuk. (Jabir bin Abdullah
radliyallahu'anhuma) berkata; lalu saya kabarkan kepada seorang wanita
hadis yang terjadi dan apa yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku.
Maka wanita itu berkata; kamu harus mendengar dan taat. (Jabir bin
Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; tatkala pada pagi hari saya
menuntun unta lalu saya membawanya sampai saya di depan rumah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu saya duduk ke masjid yang
dekat dengan tempat itu. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar
dan melihat unta, dan bertanya apa itu? Mereka menjawab, Wahai
Rasulullah ini adalah unta yang dibawa Jabir. Beliau bertanya, di mana
Jabir? Lalu saya dipanggil. Beliau bersabda: "Kesini, Wahai anak
saudaraku, ambilah untamu ini adalah milikmu. (Jabir bin Abdullah
radliyallahu'anhuma) berkata; lalu beliau memanggil Bilal dan berkata;
pergilah, ajak Jabir dan beri dia satu Uqiyah. Lalu saya pergi dengannya,
lalu dia memberikan satu Uqiyah dan menambahinya sedikit. (Jabir bin
Abdullah radliyallahu'anhuma) berkata; demi Alloh barang itu telah
berkembang. Kami melihat di tempatnya di rumah kami sampai kami
terkena musibah dan sebagaiman yang dialami orang-orang yaitu pada
peristiwa Al Haram.

dijelaskan dalam hadits shohih dalam kitab Shohih Muslim dalam bab Musaqoh
no 2997.



(MUSLIM - 2997) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Ayahku telah
menceritakan kepada kami Zakaria dari 'Amir telah menceritakan kepadaku
Jabir bin Abdullah, bahwa saat itu dia sedang dalam perjalanan dengan
mengendarai unta miliknya, ternyata hewan tunggannya telah kelelahan dan
hampir tidak bisa berjalan. Jabir melanjutkan, "Kemudian Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menjumpaiku, beliau mendo'akan dan memukul untaku,
sehingga untaku berjalan dengan cepat seperti biasa." Beliau bersabda:
"Juallah untamu kepadaku dengan beberapa uqiyah." Saya menjawab,
"Tidak." Beliau bersabda lagi: "Juallah kepadaku dengan beberapa uqiyah."
Kemudian saya menjualnya dengan beberapa uqiyah dan saya
mengecualikan muatannya untuk keluargaku, setelah saya tiba, lalu saya
menemui beliau dengan membawa unta. Kemudian beliau membayarnya
dengan tunai, dan setelah menerima uangnya saya kembali pulang.
Kemudian beliau mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku, utusan itu
berkata, "Apakah kamu mengira kedatanganku ini untuk menawarkan harga
yang lebih rendah dari itu untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan
uang dirhammu, ia telah menjadi hakmu." Telah menceritakan kepada kami
Ali bin Khasyram telah mengabarkan kepada kami Isa -yaitu Ibnu Yunus-
dari Zakaria dari 'Amir telah menceritakan kepadaku Jabir bin Abdullah
seperti hadits Ibnu Numair."


Dalam hadits-hadits diatas, Rasulullah SAW telah menyampaikan dan
memberikan contoh bagaimana sebuah jual beli itu berlaku. Dan Beliau
menekankan perbedaannya dengan hadiah, dan sedekah. Bagaimana beliau
memilih sebuah transaksi dengan menekankan keridhaan dari kedua belah pihak
(pembeli dan penjual).

B. Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kelalaian atau kecurangan si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab.
Ayat-ayat al-Quran yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi
mudharabah adalah,


Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran.
(Qs. Al Muzammil: 20)
Yang menjadi argumen dari surah Al-Muzammil: 20 adalah adanya kata
yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu
perjalanan usaha. Mudharib sebagai enterpreneur adalah sebagian orang-orang
yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia dari Allah SWT dari
keuntungan investasinya.
Al-Hadits
Hadits-hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi
mudharabah adalah:
:



Diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwasannya Sayyidina Abbas jikalau
memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan
agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau mebeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi
peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut kepada rasulullah saw. Dan
Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Thabrani)
:


Dari Shahih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)

C. Ijarah



21.1/2100. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Burdah berkata, telah
mengabarkan kepada saya kakekku Abu Burdah dari Bapaknya Abu Musa
Al Anshariy radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Bendahara yang terpercaya yang menunaikan tugas yang
diembannya dengan baik adalah terhitung salah satu Al Mutashaddiqin
(orang yang bersedekah) .




21.2/2101. Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan
kepada kami Yahya dari Qurrah bin Khalid berkata, telah menceritakan
kepada saya Humaid bin Hilal telah menceritakan kepada kami Abu Burdah
dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata; Aku menghadap menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersama dua orang suku Al Asyariyyin, aku
bertanya: Apa yang harus aku lakukan bila keduanya mengharapkan
pekerjaan? Beliau bersabda: Sekali-kali jangan atau janganlah engkau
memperkerjakan dalam urusan kita ini orang yang berambisi
menginginkannya.


21.3/2102. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al
Makkiy telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya dari kakeknya
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia
mengembalakan kambing. Para sahabat bertanya: Termasuk engkau juga?
Maka Beliau menjawab: Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah
beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk Makkah.
D. Rahn
Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Dikatakan
dalam bahasa Arab:
(

) apabila tidak mengalir dan kata (

) bermakna nikmat yang


tidak putus. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar
firman Allah:


Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
diperbuatnya, (QS. 74:38) kata Rahienah bermakna tertahan.
Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu
tetap ditempatnya.
Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa dan Nun adalah asal kata yang
menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini
adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.
Adapun definisi Rahn dalam istilah Syariat, dijelaskan para ulama dengan
ungkapan:
Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan
tersebut ketika tidak mampu melunasinya
Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut)
dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang
yang berhutang.
memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan
hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu
melunasinya.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang
dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut
atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu
melunasinya.
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan
dasar Al Quran, Sunnah dan ijma kaum muslimin.
Dalil Al Quran adalah firman Allah:


Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. 2:283).

Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan dalam perjalanan namun tetap
menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim,
karena kata dalam perjalanan dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang
biasa membutuhkan sistem ini.
Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian
sebagaimana dikisahkan umul mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau:


Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang
yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya.
(HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini
dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam
keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang
melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan
Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya
perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:


Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan
susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan
wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no.
2512). Wallahu Alam.Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu
Hajar dan Muhammad Al Amien Al Singqithi.

Anda mungkin juga menyukai