Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL I
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT










Asisten:
Siti

Disusun oleh :
Kelompok 2
Golongan III
Kelas C

1. Hasrika Treeten P. (FA/08572) ()
2. Maria Christiana D. (FA/08575) ()
3. Alexander Andika (FA/08584) ()
4. Budi Octasari (FA/08587) ()





Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
2012



PRAKTIKUM I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

I. Tujuan percobaan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap
kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

II. Dasar teori
Obat merupakan setiap zat kimia (alami maupun sintetik) selain makanan yang memiliki pengaruh
terhadap atau dapat menimbulkan efek pada organisme hidup, baik efek psikologis maupun biokimiawi.
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi,
distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kerja suatu obat
merupakan hasil dari banyak proses dan umumnya didasari suatu rangkaian yang terdiri dari:
1. Fase Farmasetik
Fase farmasetik meliputi hancurnya obat dan melarutnya bahan obat dimana mayoritas yang
digunakan adalah bentuk sediaan padat. Oleh karena itu fase ini banyak dipengaruhi oleh sifat-
sifat galenik obat. (Mutschler: 1991)
2. Fase Farmakokinetik
Fase ini termasuk bagian dari proses invasi dan eliminasi. Proses invasi adalah proses-proses
yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat dalam organisme. Sedankan proses
eliminasi adalah proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam tubuh. (Mutschler:
1991)
Proses farmakokinetik obat meliputi:
a. Absorpsi
Merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan
kecepatan proses tersebut. Jumlah obat dalam persen yang mencapai sirkulasi sistemik dalam
bentuk aktif disebut bioavailibilitas. Pada pemberian secara per oral,obat akan mengalami
first pass metabolism. Akibatnya obat tersebut memiliki bioavailibilitas yang rendah
walaupun proses absorpsinya hampir sempurna. Jadi bioavailibilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
b. Distribusi
Setelah diabsorpsi, maka obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Distribusi obat dibedakan menjadi 2 fase berdasarkan penyebarannya dalam tubuh. Fase
pertama terjadi setelah penyerapan yaitu ke dalam organ seperti jantung, hati, ginjal, dan
otak. Kemudian menuju jaringan lain yang lebih luas.
c. Metabolisme (biotransformasi)
Merupakan proses perubahan struktur kimia obat di dalam tubuh dengan katalis enzim.
Molekul obat akan diubah menjadi bentuk yang tidak aktif dan lebih polar sehingga lebih
mudah larut dalam air dan sukar larut dalam lemak. Dengan demikian obat mudah
dieksresikan melalui ginjal.
d. Eksresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ eksresi dalam bentuk hasil metabolisme
atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan organ eksresi yang terpenting, selain melalui
ginjal eksresi juga dapat terjadi melalui air liur, keringat, ASI, dan sebagainya.
Fase farmakokinetik juga meliputi bioavailabilitas, yaitu:
Rute pemberian
Jalur pemberian dapat mempengaruhi absorpsi obat dan yang menentukan adalah:
a. Luas permukaan absorpsi
b. Banyaknya barier yang harus dilewati
c. Banyaknya obat yang terdegradasi
d. Jumlah ikatan yang depot
Rute pemberian meliputi:
1. Enteral
Merupakan cara pemberian obat melalui saluran pencernaan, umumnya obat ditujukan untuk efek
secara sistemik. Contoh pemberian obat secara enteral yaitu:
a. Peroral
Merupakan cara pemberian obat melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian yang
paling umum karena mudah, aman, mudah, murah, dan tidak perlu teknik medik khusus.
Namun Bioavailibilitas nya sangat rendah. Beberapa jenis obat dapat rusak oleh adanya
enzim pencernaan. Cara peroral juga tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak sadar
(koma). Absorpsi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ionisasi, kecepatan aliran
darah, bentuk sediaan, serta pengaruh integritas fungsional saluran cerna. Bagi bentuk obat
yang sangat padat, absorpsi juga dipengaruhi oleh kecepatan disintegrasi dan disolusi.
Kecepatan absorpsi obat melalui oral tergantung ketersediaan obat terhadap cairan
biologis yang disebut ketersediaan hayati. Ketersediaan hayati adalah persentase obat yang
diabsorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek
terapeutiknya.( Moh. Anief., 2002)
Bentuk sediaan obat oral dapat juga dibuat agar mempunyai efek pengobatan
yang lama. Bila obat itu sedikit larut maka efek pengobatan secara dosis tunggal dapat
diperpanjang dan bentuk sediaan obat itu sendiri dapat dimodifikasi agar efeknya dapat
diperpanjang. Tiga tipe bentuk sediaan obat oral yang berefek lama
a. Sustained release
b. Repeat action
c. Prolonged action
Perbedaan ketiga tipe ini adalah dalam pelepasan zat aktif dan absorpsinya
a. Tipe Sustained release ialah kadar terapi obat diperoleh dengan kecepatan yang sama
seperti pada dosis tunggal dan selanjutnya dijaga kadar obat dalam darah supaya
tetap untuk periode yang sama
b. Tipe Prolonged action ialah kadar terapi obat dapat diperoleh lebih rendah
disbanding yang diperoleh dengan bentuk sediaan dosis tunggal biasa, selanjutnya
tambahan kadar obat diatur dengan ketersediaan obat untuk absorpsi, bila obat di
dalam badan mengalami metabolisme atau diekskresi. Kadar obat dalam darah awal
yang tinggi tidak boleh dipelihara seperti pada tipe Sustained release
c. Tipe Repeat action memberi pengobatan seperti pada dosis tunggal pada waktu
digunakan dan dosis tunggal yang lain pada waktu berikutnya.
(Moh. Anief., 2002)
b. Sublingual
Merupakan cara pemberian obat melalui mukosa mulut. Keuntungannya absorpsi lebih cepat
daripada peroral, karena pada mukosa mulut banyak terdapat banyak pembuluh darah.
Namun cara pemberian ini tidak bisa digunakan untuk obat obat yang rasanya tidak enak
sehingga jenis obat yang dapat diberikan secara sublingual sangat terbatas.

c. Perrektal
Biasanya cara pemberian ini dilakukan pada penderita muntah muntah, tidak sadar, dan
pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas pertamanya sebesar 59%. Namun, cara
pemberian melalui rektal dapat mengiritasi mukosa rektum, absorpsinya tidak sempurna, dan
tidak teratur.
2. Parenteral
Cara pemberian ini tidak memasukkan obat ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Pemberian
secara parenteral dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Intravaskuler
Merupakan cara pemberian obat yang aplikasinya adalah pembuluh darah. Mencakup intra
vena dan intra cardiac. Intravena tidak mengalami proses absorpsi karena semua obat masuk
sirkulasi sitemik, bioavalibilitasnya 100% serta kadarnya akurat. Sayangnya, efek toksik
mudah terjadi dan tidak dapat ditarik kembali jika ada kesalahan dosis, serta perlu teknik
medik khusus. Intra cardiac merupakan cara pemberian yang langsung dimasukkan ke dalam
pembuluh darah cardiac.

b. Ekstravaskuler
Merupakan pemberian obat yang aplikasinya di luar pembuluh darah. Ada 3 macam, yaitu:
Intraperitonial, yaitu menginjeksikan obat pada rongga perut tanpa terkena usus atau hati
karena dapat mengakibatkan kematian. Di dalam rongga perut ini, obat diabsorpsi secara
cepat karena pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan demikian
absorpsi lebih cepat dibandingkan dengan peroral dan intramuskular. Obat yang
diberikan dengan cara ini akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan
dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik
# Keuntungan :
1. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan
dengan pemberian peroral
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau
muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam kondisi darurat
# Kerugian :
1. Tidak dapat dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adhesi
terlalu besar

Intramuscular
Kelarutan dalam air menentukan kecepatan absorbsi dimana absorbsi di deltoid atau
vastas lateralis lebih cepat daripada gluteus maximus dan biasanya bagi obat yang berupa
larutan minyak atau suspensi diabsorbsi sangat lambat dan konstan. Selain itu, cara ini
diberikan apabila obat terlalu iritatif jika diberikan secara subcutan.
# Keuntungan :
1. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan
dengan pemberian peroral
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif,
atau muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam kondisi darurat
# Kerugian :
1. Obat-obatan dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan
diabsorpsi sangat lambat
2. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik misalnya digoksin,
fenitoin, dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga
absorpsinya akan berjalan dengan lambat, tidak teratur, dan tidak
lengkap

Subcutan
Pemberian dengan cara menginjeksikan obat ke bawah jaringan kulit pada tengkuk
mencit. Cara pemberian ini dapat menghindari first pass effect di usus dan lambung.
Daerah subcutan mempunyai suplai darah yang baik dari kapiler dan pembuluh limfa.
# Keuntungan :
1. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan dengan pemberian
peroral
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau muntah-muntah
3 Sangat berguna dalam kondisi darurat
# Kerugian:
1. Hanya untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan
2. Absorpsi biasanya lambat

Selain dipengaruhi oleh cara pemberian, absorbsi obat juga dipengaruhi oleh:
1. Faktor kimia fisika
a. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin bertambah luas permukaan kontak sehingga absorbsi
obat akan lebih besar dan memudahkan obat diabsorbsi.
b. Kecepatan disolusi
Kecepatan terlepasnya bentuk zat aktif dari sediaannya. Semakin cepat zat aktif terlepas dari
bentuk sediaannya, akan semakin cepat absorbsinya.
c. Ionisasi
Obat dalam bentuk ion akan lebih mudah larut dalam air, sedangkan obat dalam bentuk
molekul akan lebih mudah larut dalam lemak. Dengan demikian, obat dalam bentuk tidak
terionkan akan lebih mudah terabsorbsi.
2. Faktor fisiologis
a. Luas permukaan absorbsi
b. Kecepatan aliran darah
c. Pengosongan lambung
d. Motilitas usus

III. Cara percobaan
1. Bahan dan alat
Bahan:
- Natrium thiopental
- 4 mencit
Alat:
- Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
- Jarum berujung tumpul untuk peroral
- Sarung tangan
- Stopwatch

2. Cara kerja
Setiap kelompok memperoleh 4 ekor mencit

Timbang masing-masing mencit dan catat

Hitung volum Natrium thiopental yang akan diberikan dengan dosis 65 mg/Kg berat badan

Berikan Natrium thiopental pada hewan uji dengan cara pemberian oral, subkutan, inta muscular,
dan intra peritoneal

Amati dan catat waktu onset dan durasi

Bandingkan hasil pengamatan dengan cara perberian yang lain menggunakan ANOVA dengan pola
searah, taraf kepercayaan 95%





IV. Hasil percobaan
a. Data percobaan
Jalur
pemberian
kelompok
Onset Durasi
waktu rerata Waktu Rerata
Peroral
I -
-
- -
II - -
III - -
IV - -
Intramuscular
I -
-
- -
II - -
III - -
IV - -
Intra peritoneal
I 113
-
-532
II 160 4470
III 163 201
IV - -
subkutan
I 1065
-
796
-
II 986 670
III 895 340
IV - -


Berat badan mencit:
I = 24,5 g
II = 24 g
III = 22,5 g
IV = 25,5 g

Stok obat: 10 ml
b. Perhitungan dosis


()



1. Berat badan : 24,5 gr
( )



= 0,15925 ml
2. Berat badan: 24 gram
( )



= 0,156 ml
3. Berat badan: 22,5 gram
( )



= 0,14625 ml
4. Berat badan: 25,5 gram
( )



= 0,16575 ml

V. Pembahasan
Tujuan praktikum pada kali ini adalah untuk mengenal, mempraktekkan, dan
membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan data
farmakologi dengan analisis ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% sebagai tolok ukurnya.
Pada praktikum kali ini pengaruh cara pemberian obat diselidiki melalui perbandingan waktu
onset dan durasi pada masing-masing cara pemberian obat.
Onset adalah waktu yang dibutuhkan dari mulai pemberian sampai terjadinya efek.
Sedangkan durasi adalah waktu ketika obat mulai berefek sampai obat tidak menimbulkan efek.
Hewan uji yang digunakan adalah 4 ekor mencit. Penggunaan mencit didasarkan pada
analog system faal mencit dengan sistem faal manusia (Mus musculus), menurut buku
Laboratory Animals an Introduction for New Experimental halaman 79. Selain itu harga mencit
tergolong murah dibandingkan dengan harga hewan uji lainnya. Sebelum diberi perlakuan lebih
lanjut, mencit ditimbang terlebih dahulu, untuk mengetahui berat badan masing-masing mencit.
Data berat badan ini digunakan dalam perhitungan volume pemberian obat terhadap masing-
masing mencit, karena semua bentuk sediaan larutan yang akan diberikan memiliki volume
maksimal untuk setiap cara pemberian. Semakin panjang rute penggunaan suatu obat, maka
semakin kecil konsentrasi obat yang mencapai sel target, sehingga volume yang diberkan juga
berbeda. Masing-masing mencit yang telah ditimbang diberi nomor untuk memudahkan dalam
pembedaan cara pemberian.
Pada penimbangan mencit harus diingat bahwa perlu mengurangkan dengan berat wadah.
Dari hasil penimbangan bobot keempat mencit yaitu 24,5 gram; 24 gram; 22,5 gram; dan 25,5
gram.
Obat yang digunakan pada percobaan ini adalah sodium penthotal (Natrium thiopental)
atau secara singkat disebut thiopental. Nama kimianya 5-etil-5-(1metilbutil)-2-thiobarbituric acid
sodium. Zat aktif yang terkandung dalam penthotal adalah natrium thiopental 500mg dalam
1gram/ampul serbuk untuk injeksi. Awal kerjanya cepat, kurang lebih 0,5 menit dengan masa
kerja 10-30 menit. Waktu paruhnya kurang lebih 11,5 jam
Pemerian : Natrium thiopental untuk injeksi adalah campuran steril thiopental natrium dan
natrium karbonat anhidrat sebagai dapar. Mengandung tidak kurang dari 93,0%
dan tidak lebih dari 107,0% C
11
H
17
N
2
NaO
2
S dari jumlah yang tertera pada etiket.
pH antara 10,2 11,2. (Farmakope Indonesia IV,1995)
Indikasi : sebagai obat anestesi tunggal (umum) untuk prosedur bedah yang singkat
(preposisi fraktur, jahit luka, dilatasi serviks), untuk induksi sebelum pemberian
obat anestesi lain, sedasi pada analgesi regional, untuk mengatasi kejang-kejang
eklapsia atau epilepsi, untuk narko analisa dan narko sintesa pada kelainan
psikiatrik (ilmu kejiwaan)
Kontra indikasi : status asmatikus (suatu serangan asma yang akut, parah, dan berlangsung
lama), porfilia, hipotensi atau syok berat, anemia (penurunan di bawah jumlah
normal eritrosit, hemoglobin, atau sel darah merah), disfungsi hepar (kelainan
fungsi hati), penyakit kardiovaskuler hebat, meningginya tekanan intra carnial,
asma, myastemia gravis (lemah otot)
(Kapita Selekta Dispensing I)
Efek samping : depresi pernafasan, depresi otot jantung, artemis jantung, batuk,
bronkospasmus, laringospasmus
Natrium thiopental adalah turunan golongan barbiturat. Efek terapi pada natrium
thiopental adalah efek sedatif-hipnotik. Sedatif adalah keadaan terjadinya penurunan kepekaan
terhadap rangsangan dari luar karena adanya penekanan sistem saraf pusat yang berakibat
terjadinya penurunan respon. Dalam dosis besar, sedatif berefek sebagai hipnotik, yaitu
menyebabkan tidur pulas. Dosis yang lebih tinggi lagi akan menyebabkan anestesi. Sedatif
digunakan untuk menekan rasa cemas yang diakibatkan ketegangan emosi dan tekanan kronik
yang disebabkan faktor sosiologis untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk mengontrol
kejang, dan untuk menunjang efek anestesi sistemik tanpa mempengaruhi fungsi motorik dan
mental. Hipnotik adalah efek depresan non selektif yang bekerja pada sistem saraf pusat dan
menginduksi terjadinya tidur. Sedatif-hipnotik diberikan secara oral. Efek samping golongan ini
pada umumnya mengantuk dan perasaan tidak enak sewaktu bangun. Sedatif mengadakan
potensiasi dengan obat analgesik dan obat penekan saraf pusat lainnya. Mekanisme kerja
golongan sedatif-hipnotik dengan mempengaruhi fungsi pengaktifan retikula, rangsangan pusat
tidur, dan menghambat fungsi pusat arousal.
Kelebihan dosis dapat menyebabkan koma dan kematian karena terjadi penekanan pusat
medula yang vital di otak. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan toleransi dan
ketergantungan fisik.
Dosis obat yang diberikan pada percobaan ini adalah 65 mg/kg BB. Untuk menghitung
volume yang akan diberikan dihitung dengan rumus = BB dalam kg x (dosis thiopental/stock).
Cara pemberian obat pada praktikum ini adalah cara per oral, sub kutan, intra muscular
dan intra peritonial. Pemberian per oral di berikan melalui mulut dengan jarum ujung tumpul.
Pengunaan jarum ujung tumpul bertujuan agar tidak melukai organ tertentu ketika dimasukkan
ke saluran cerna mencit. Obat harus diberikan dengan hati hati agar tidak masuk ke saluran
pernapasan, karena obat yang masuk ke saluran pernapasan akan mengakibatkan kematian
mencit karena terjadi hambatan pernapasan. Obat yang berada pada spuit injeksi dikeluarkan
perlahan lahan ketika jarum memasuki kerongkongan. Tanda bahwa jarum telah masuk
kerongkongan adalah lancarnya jarum injeksi dimasukkan ke dalam rongga mulut, tidak
tertahan, hingga mencit tampak seperti akan menjulurkan lidahnya keluar.
Pemberian injeksi sub kutan dimasukkan sampai dibawah kulit pada tengkuk hewan uji
dengan jarum injeksi. terlebih dahulu kulit pada bagian tersebut diangkat dengan tangan dan
penyuntikan diusahakan jangan sampai tembus ke sisi lain dari tengkuk.
Pada pemberian intra muscular disuntikkan ke dalam otot pada daerah gluteus maximus.
Sebelum obat diinjeksikan, bagian paha mencit diraba terlebih dahulu untuk menemukan letak
otot paha mencit yang ditandai dengan adanya semacam tonjolan melintang yang terasa sedikit
kenyal.
Sedangkan pada pemberian intra peritonial disuntikkan ke dalam rongga perut. Perlu
kehati-hatian ketika memberikan injeksi intra peritonial yaitu jangan sampai masuk ke dalam
usus. Untuk memastikan jarum telah masuk ke dalam rongga perut maka jarum diputar sedikit
hingga dirasakan ada rongga yang dimasuki jarum kemudian obat diinjeksikan.
Secara teori perbedaan rute pemberian obat hanya mempengaruhi onset obat tanpa
mempengaruhi durasi. Durasi obat dipengaruhi oleh:
1. Jenis obat
Tiopental merupakan obat sedatif hipnotik yang memiliki durasi yang pendek. Durasinya
yang pendek terjadi karena mekanisme kerjanya berdasarkan prinsip difusi. Ketika
konsentrasi obat pada pembuluh darah otak tinggi maka obat akan berdifusi masuk ke dalam
cairan otak. Bila kesetimbangan sudah dilewati, maka obat akan berdifusi kembali masuk
kembali ke aliran darah sehingga efek obat pun berakhir.
2. Biotransformasi obat
Kondisi fisiologis dari mencit mempengaruhi biotransformasi obat. Normal tidaknya
hepar mencit mempengaruhi biotransformasi obat. Setelah diabsorbsi, obat masuk ke dalam
cairan tubuh dan didistribusikan ke organ- organ dan jaringan- jaringan seperti otot, lemak,
jantung, dan hati. Sebelum mencapai reseptor, obat harus melalui bermacam-macam
membran, pengikatan oleh protein plasma, penyimpanan dalam depot jaringan, dan
mengalami metabolisme.
Rute pemberian mempengaruhi kecepatan absorbsi obat ke dalam system sirkulasi. Hal
ini karena cara pemberian obat akan mempengaruhi jalur obat di dalam tubuh. Selanjutnya
berpengaruh pada kecepatan absorbsi obat. Misalnya, dari jalur ini akan diketahui berapa banyak
membran yang harus dilalui obat karena semakin banyak membran yang harus dilalui maka
jumlah yang akan diabsorbsi akan semakin sedikit. Dapat pula diketahui luas permukaan
absorbsi, semakin luas permukaan absorbsi, semakin banyak obat yang dapat diabsorbsi.
Kebanyakan obat per oral diabsorbsi dari saluran cerna masuk ke dalam hati sebelum disebarkan
ke dalam sirkulasi umum sehingga efikasinya terbatas.
Berdasarkan hasil pengamatan, hewan uji yang mengalami efek dari obat tersebut adalah
mencit yang mengalami pemberian secara intra-peritonial dan subkutan. Sedangkan pada mencit
dengan pemberian per-oral dan intra-muscular tidak terlihat mengalami efek dari obat tersebut.
Hal tersebut mungkin disebabkan oleh proses adsorbsi dalam tubuh mencit yang tidak berjalan
dengan lancar atau mungkin disebabkan keadaan internal mencit itu sendiri. Namun sesuai
dengan teori, bahwa efek paling cepat adalah pemberian secara intra-peritonial. Karena hanya
diperoleh 2 data sehingga analisis yang dilakukan tidak menggunakan mentode ANOVA tetapi
menggunakan uji T-test.
Group Statistics
Cara_Pemberian N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
On_Set i.p
3 145.33 28.042 16.190
s.c
3 982.00 85.071 49.116
Durasi i.p
3 1735.67 2373.640 1370.422
s.c
3 602.00 235.482 135.956

Independent Samples Test

Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower
On_Set Equal
variances
assumed
1.747 .257 -16.178 4 .000 -836.667 51.715 -980.251 -693.083
Equal
variances not
assumed
-16.178 2.430 .002 -836.667 51.715 -1025.422 -647.911
Durasi Equal
variances
assumed
12.358 .025 .823 4 .457 1133.667 1377.149 -2689.912 4957.245
Equal
variances not
assumed
.823 2.039 .495 1133.667 1377.149 -4683.462 6950.795

Berdasarkan hasil tabel diatas, dapat dilihat pada sig (2-tailed) onset kurang dari 0,05
sehingga memiliki perbedaan yang signifikan. Sedangkan pada nilai sig(2-tailed) durasi lebih
dari 0,05 sehinnga memiliki perbedaan yang tidak signifikan.
Dapat dilihat pada praktikum ini bahwa pemberian intra-peritonial memiliki efek yang
lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian sub-kutan.

VI. Kesimpulan
1. Cara pemberian obat mempengaruhi proses absorpsi yang pada akhirnya mempengaruhi
onset, sedangkan durasi tidak berpengaruh.
2. Berdasarkan hasil praktikum, waktu onset pemberian intra-peritonial lebih cepat daripada
pemberian subkutan.
3. Perbedaan cara pemberian menunjukkan perbedaan yang siginifikan pada waktu onset,
sedangkan pada waktu durasi tidak mengalami perbedaan secara signifikan.
4. Na-thiopental merupakan obat golongan barbiturate yang memberikan efek sedatif-
hipnotik

VII. Daftar pustaka
1. Anief, Moh. 2002. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
2. Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
4. Anonim. 2007. Kapita Selekta Dispensing I. Yogyakarta: Laboratorium MFFM Fakultas
Farmasi UGM.



Mengetahui, Yogyakarta, 11 Oktober 2005
Asisten Praktikum Praktikan
1. Hasrika Treeten P. (FA/08572)
2. Maria Christiana D. (FA/08575)
3. Alexander Andika (FA/08584)
4. Budi Octasari (FA/08587)

Anda mungkin juga menyukai