Anda di halaman 1dari 33

TUANKU IMAM BONJOL

Lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di
Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda
dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973.
A. Nama dan Gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada
tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu).
Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.
[3]
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
B. Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum
ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
Lahir 1772
Bonjol
Meninggal 6 November 1864
Minahasa
Kebangsaan Minangkabau
Agama Islam
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).
[4]
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen
James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena
"diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri.
[5]
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
[5]

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)
[6]
yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten
MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi
juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche
Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan
Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura).
Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan
dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan
Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada
serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka
juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
C. Penangkapan & Pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,
dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba
di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan
ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut.
D. Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,
[7]
sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan,
nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6
November 2001.
PATTIMURA









Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 meninggal
di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan
Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis,
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah
beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam
sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api
Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram
Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah
bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini
dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku
disebut Kasimiliali.
A. Istilah Kapitan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda.
Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran abdul gafur, leluhur bangsa ini, dari sudut
sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap
sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit
dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan
alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki
seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila
ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah
Julukan Pattimura
Lahir 08 Juni 1783
Haria, Saparua, Maluku, Hindia Belanda
Meninggal 16 Desember 1817 (umur 34)
New Victoria, Ambon, Maluku, Hindia Belanda
Pengabdian Maluku Britiania
Dinas/cabang Angkatan Darat Kerajaan
Pangkat Sersan Mayor
Perang Perang Pattimura
Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia (diterima 6 November 1973)
pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-
temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
B. Perjuangan
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris.
[3]
Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al
Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.
[4]
mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat
London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku
maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk
memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan
[5]
Kedatangan kembali kolonial Belanda
pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi
politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura
[4]
Maka pada
waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-
tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena
berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil
mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat,
mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.
Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate
dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu
dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang
menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,
pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau
Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat
ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817
di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pahlawan Nasional Indonesia.


SULTAN AGUNG

Masa
kekuasaan
1613 1645
Pendahulu Adipati Martapura
Pengganti Amangkurat I
Pasangan Ratu Kulon putri Kesultanan
Cirebon
Ratu Wetan putri Adipati Batang
Wangsa Dinasti Mataram
Ayah Panembahan Hanyakrawati
Ibu Ratu Mas Adi Dyah Banawati

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu
Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul),
Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada
tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di
Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
A. Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran
Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu
Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya
dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian
masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri
utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas
Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati
Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi
Amangkurat I).
B. Gelar yang dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma"
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia
mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan
Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga
Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar
tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari
pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan
populer, yaitu "Sultan Agung".
C. Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari.
Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram,
namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna
grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih
senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung
Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana
baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati
pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang
Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga
berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616
di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada
tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
D. Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai
Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk
menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru
Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang
semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena
yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai
pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan
karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada
pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang
bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan
Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
E. Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat
perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di
berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu
Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang
sangat mahal.
F. Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618
Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun
demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum
ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah
ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk
memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang
Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
G. Menyerbu Batavia
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat
pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu
oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut
ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati
Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja
(cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng
Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi
kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo
untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC
menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan
pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua
dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan
serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang
dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung
dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera
melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah
tersebut.
H. Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba
menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan
VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat
itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak
untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas
pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon
yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri
Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan
menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang
ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik
sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun
1636.
I. Akhir kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung,
putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan
Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri
Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan
Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten
telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan
adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan
Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat
itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun
di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung
dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti
Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor
pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender
Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman.
Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram.
Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra
Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang
harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu
sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat.
Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya
hanya dikenal di Jawa Tengah.
J. Wafatnya Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia
juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar
Amangkurat I.

SULTAN HASANUDDIN







Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan
nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan
Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin
saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya
Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.

Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa
ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni
sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di
wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
[1]

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan
Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin
mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia.
Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit.
Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni
berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669.
Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12
Juni 1670.

CUT NYAK DHIEN








Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 Sumedang,
Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga
bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan
perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak
yang diberi nama Cut Gambang.
[1]
Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku
Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun,
sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.
[2][3]
Ia
akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan
dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak
Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Lahir 1848
Lampadang, Kesultanan Aceh
Meninggal 6 November 1908 (berusia 59
60)
Sumedang, Hindia Belanda
Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia
Agama Islam
Pasangan Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Anak Cut Gambang
DEWI SARTIKA

Lahir 4 Desember 1884
Cicalengka, Bandung, Jawa
Barat
Meninggal 11 September 1947 (umur 62)
Tasikmalaya, Jawa Barat,
Indonesia
Dikenal karena Pahlawan Nasional; Perintis
pendidikan wanita
Pasangan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata


Raden Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 meninggal di Tasikmalaya, 11
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui
sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden
Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh
pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan
pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya
dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di
sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan
bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-
anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata)
yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa
semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya,
Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang
sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan
khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa
meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari
pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah
klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.
[rujukan?]
Suami dari Dewi Sartika
memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang
saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka
Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang :
Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan
pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa
sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten
(setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama
sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat,
semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik
Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Dwi". Atas jasanya
dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga
tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang
Anyar, Kabupaten Bandung.


MARTHA CHRISTINA TIAHAHU









A. Profil
Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 meninggal di
Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa
Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata
melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu,
seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang
Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu
seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara
kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan
masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen
terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan
rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia
tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau
Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia
bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-
negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda
kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw Ullath jasirah Tenggara Pulau
Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang
rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus
mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum
mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun
ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan
diasingkan ke Pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818.
Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Lahir 4 Januari 1800
Abubu, Nusa Laut, Maluku, Hindia
Belanda
Meninggal 2 Januari 1818 (umur 17)
Laut Banda, Maluku, Indonesia
Monumen patung di Ambon, Maluku; patung
di Abubu
Pekerjaan Gerilyawan
Tahun aktif 1817
Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia
B. Perjuangan
Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari 1800
merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika
mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama
Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua.
Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke
Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan
mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.
Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-
namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng
Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.
Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin
berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw.
Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari
Nusalaut.
Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke
Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang
prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban
berjatuhan di kedua belah pihak.
Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di
tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan
bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.
Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele
menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi
berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di
kepala.
Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan
Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum
perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan
pertempuran.
Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher
Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal
Eversten.
Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap
pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan
lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah
habis.
Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali
melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan,
seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok
habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan
dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara
bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.
Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda,
Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan
Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.
Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan
Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang
Ayah.
Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan
ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.
Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke
Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi
ayahnya.
Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat
eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk
dan tinggal bersama guru Soselissa.
Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran
seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina
Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa
untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.
Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan.
Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina
Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun
1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan
Nasional

SULTAN AGENG TIRTAYASA DARI BANTEN





Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran
Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau
Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan
Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak
di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin
banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli
perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan
menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di
bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-
sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf
sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut
campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat
Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji
dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

KARTINI










Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 meninggal di Rembang, Jawa
Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu
Kartini
[1]
adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.
[2]
Ia merupakan
putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara
segera setelah Kartini lahir.
[2]
Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
[2]

Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang
guru agama di Telukawur, Jepara.
[2]
Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga
Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana
Kerajaan Majapahit.
[2]
Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18,
nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
[2]

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah
bangsawan tinggi
[3]
, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung Raja Madura.
[2]
Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung,
Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati
dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama
yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
[2]
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah
seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah
di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Lahir
21 April 1879
Jepara, Jawa Tengah, Hindia
Belanda
Meninggal
17 September 1904 (umur 25)
Rembang, Jawa Tengah, Hindia
Belanda
Nama lain Raden Ayu Kartini
Dikenal karena Emansipasi wanita
Agama Islam
Pasangan
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat
kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang
rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia
juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di
antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya
dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan
penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu
karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi
wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara
buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta
karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya
Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang,
atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25
tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh
keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.


KI HADJAR DEWANTARA









Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar
Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki
Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun
[1]
; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia
dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian
dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
[2]

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959)
A. Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-
1
Masa jabatan
2 September 1945 14 November 1945
Presiden Soekarno
Didahului oleh Tidak ada, jabatan baru
Digantikan oleh Todung Sutan Gunung Mulia
Informasi pribadi
Lahir
2 Mei 1889
Yogyakarta, masa Hindia Belanda
Meninggal
26 April 1959 (umur 69)
Yogyakarta, Indonesia
Agama Islam
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat
antikolonial.
B. Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada
waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
C. Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi
kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom
KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel
ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan
jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu
saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena
gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang
menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan
diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD
dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24
tahun.
D. Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia,
Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi
yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam
studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel
dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya
sendiri.
E. Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922:
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia
genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi
Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam
dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
F. Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan
hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305
tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya
Brata.
PANGERAN DIPONEGORO











Pangeran Dipanegara, juga sering dieja Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785
meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah
seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin
Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang
tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di
desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat.
Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang
sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di
Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan
Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.


Pasangan Kedhaton
Ratnaningsih
Ratnaningrum
Anak
17 putra dan 5 putri
Nama lahir
Mustahar / Antawirya
Wangsa Hamengkubuwana
Ayah Hamengkubuwana III
Ibu R.A. Mangkarawati
Lahir 11 November 1785
Kesultanan Yogyakarta
Meninggal 8 Januari 1855 (umur 69)
Makassar, Hindia Belanda
Dikubur Makassar, Indonesia
PANGERAN ANTASARI










Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, meninggal di Bayan Begok, Hindia-
Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah
Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima
dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
[15]

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan
dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan
akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck
di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap
dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai
tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.

Masa
kekuasaan
14 Maret 1862 - 11 Oktober
1862
Pendahulu Sultan Hidayatullah Khalilullah
Pengganti Sultan Muhammad Seman
Pasangan Ratu Antasari
Nyai Fatimah
Wangsa Dinasti Banjarmasin
Ayah Pangeran Masud bin Pangeran
Amir
Ibu Gusti Khadijah binti Sultan
Sulaiman
I GUSTI KETUT JELANTIK







BIODATA
Nama : I GUSTI KETUT JELANTIK
Jabatan : Patih Agung/Wakil Raja
Putera dari : I Gusti Nyoman Jelantik Raya
Pendidikan : Pendidikan Tradisional dalam Lingkungan Keluarga
Diriobatkan : Pada tahun 1828 sebagai Patih di Kerajaan Buleleng
Meninggal : Tahun 1849
RIWAYAT PERJUANGAN
Keberanian dan keperwiraannya menentang penjajahan Belanda diawali dengan sikap dan
tindakannya yang menolak tuntutan Belanda agar mengganti kerugian atas kapal-kapal yang
dirampas dan mengakui kedaulatan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini terbukti pada perundingan
antara Belanda yang dipimpin oleh JPT Mayor Komisaris Pemerintah Belanda dengan Raja
Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.
Atas tuntutan itu Patih Jelantik sangat marah, sambil memukul dada dengan kepalan tangan
mengatakan: Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tetapi harus
diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya masih hidup Kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda. Ucapan Patih Jelantik yang gagah berani itu mengandung makna
kepahlawanan dan kolonialisme.
Pada tanggal 12 Mei 1845, Belanda mencari cara lain yaitu dengan perantaran Raja Klungkung
untuk menyelesaikan masalah perampasan perahu dagang yang terdampar di Pantai Sangit. Dalam
pertemuan tersebut Belanda menuntut agar Buleleng menghapuskan hak Tawan Karang Yaitu
hak dari Raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai Wilayah Kerajaannya ) dan
mengakui kedaulatan Belanda atas Kerajan Buleleng. Dalam kesempatan itu I Gusti Ketut Jelantik
memberikan reaksi yang keras, sambil menghunus keris lalu menusuk kertas perjanjian dan
mencerca orang Belanda: Hai kau si mata putih (utusan Belanda) yang biadab, sampaikan pesanku
kepada pimpinanmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit (Bali Utara).
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana kebesaran dan keberanian Patih I Gusti Ketut Jelantik dalam
mempertahankan sikap, setia pada ucapan dan perbuatan, tekad yang kuat menentang penjajah
Belanda.
Pada tanggal 27 Juni 1846 pihak Belanda mengadakan perlawanan terhadap pasukan Bali dan
pertempuran tersebut berlangsung sangat seru yang berakhir dengan jatuhnya Buleleng ke tangan
Belanda pada tanggal 29 1846. Raja Buleleng dan Patihnya I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Desa
Jagaraga untuk menyusun kekuatan.
Dalam mempertahankan desa (benteng) Jagaraga Patih Jelantik giat memperkuat pasukannya, dan
mendapat dukungan dari kerajaan lainnya seperti Karang Asem, Klungkung, Badung dan Mengwi.
Patut kita catat disini bahwa Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik adalah orang yang ahli dalam
strategis perang seperti benteng Jagaraga dibuat dengan gelar Supit Urang selain itu ia juga
disegani oleh raja-raja di Bali karena keberanian dan tekad bajanya menentang penjajah Belanda.
Pada tanggal 6 sampai dengan 8 Juni 1848 pihak Belanda mengirim expedisi yang kedua dengan
mendaratkan pasukannya di Sangsit. Perlawanan dari pasukan Bali dipimpin oleh Patih Agung I
Gusti Ketut Jelantik. Ia memberi komando dari Benteng Jagaraga yang merupakan benteng paling
kuat dari empat benteng lainnya. Dari pihak Belanda dipimpin oleh Jenderal Van der Wijck, tetapi
pasukan darat Belanda tidak berhasil mendesak pasukan Bali, karena itu iamemerintahkan
pasukannya mundur ke panati. Di pihak Bali hanya satu benteng saja yang jatuh ke tangan Belanda
yaitu benteng disebelah timur Sansit dekat Bungkulan.
Kekalahan Belanda ini menambah kepercayaan raja-raja Bali akan kekuatan dan kepemimpinan
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Keberhasilan laskar Patih Jelantik sangat mengagetkan orang-
orang Belanda sehingga menggegerkan Parlemen Belanda.
Kemenanagan laskar Buleleng menyebabkan pihak Belanda mengirimkan expedisinya yang ketika
pada tanggal 31 Maret 1849 di bawah pimpinan Jenderal Michiels. Mereka melancarkan tembakan-
tembakan meriam dari atas kapal, mereka bergerak menuju Singaraja pada tanggal 2 April 1849.
Raja Karangasem dan Raja Buleleng mengirim utusannya untuk menyerahan surat tetapi gagal.
Kemudian pada tanggal 7 April 1849 Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Patih I
Gusti Ketut Jelantik bersama 10-12 ribu orang prajurit berhadapan dengan tentara Belanda yang
dipimpin oleh Jenderal Michiels. Pihak Belanda tetap menuntut agar Raja Buleleng mengakui
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dan membongkar semua benteng yang ada di Jagaraga.
Tuntutan Belanda tidak dilaksanakan oleh Patih Jelantik, maka terjadilah perang dan akhirnya
benteng Jagaraga jatuh ketangan Belanda pada tanggal 16 April 1849.
Dari pihak Bali pasukannya terdesak mundur sampai ke pegunungan Batur Kintamani, selanjutnya
terus ke Karangasem mencari bantuan.
Kemudian Karangasem diserang oleh pasukan Belanda yang didatangkan dari Lombok. Pasukan
Belanda terus menyerang sampai kepegunungan Bale Punduk, akhirnya Patih Jelantik gugur.


SISINGAMANGARAJA XII










Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada
umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang
melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya
ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.
[1]

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu
Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876
menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga
disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba
bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam
mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau
menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan
Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi
lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang
berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan
hingga puluhan tahun.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan
para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi
sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil
Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai
penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan
[rujukan?]
. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja
Memerintah 18761907 M
Pendahulu Sisingamangaraja XI
-
Nama lengkap
Ompu Pulobatu
Ayah Sisingamangaraja XI
Lahir 18 Februari 1845
Bakara
Meninggal 17 Juni 1907
Dairi
Dikubur Soposurung, Balige
XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan
ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat
pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara
dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan
terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk
bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-
Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara
gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga
Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya
[rujukan?]
.
Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda
antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.
[




TEUKU UMAR














Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan
Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia melawan
Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.
A. Perang Aceh
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-
pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya
sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar
sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh
[3]
.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.
Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak
Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta
Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878
dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama
melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
B. Taktik Penyerahan Diri
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda.
Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan
pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud
Lahir
1854
Meulaboh, Kesultanan Aceh
Meninggal
1899 (berusia 4445)
Meulaboh, Kesultanan Aceh
Suami/istri
Cut Nyak Sofiah
Cut Meuligou/Nyak Malighai
Cut Nyak Dhien
Anak
Dari Cut Meuligou:
Teuku Sapeh
Teuku Raja Sulaiman
Cut Mariyam
Cut Sjak
Cut Teungoh
Teuku Bidin
Dari Cut Nyak Dhien
Cut Gambang
[1]

Profesi Uleebalang
Agama Islam
memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar
kemudian masuk dinas militer[4].
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal
tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar
diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas
keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120
orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya,
dikabulkan.
C. Insiden Kapal Nicero
Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja
Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial
Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut
telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan yang
berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya
kembali. Namun ia sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak
sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal
"Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya.
Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang
ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak
itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga
menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya[
D. Melanjutkan Perlawanan
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali
perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan
Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan
tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.
2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal "Hok
Canton" yang dinahkodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen, dengan maksud
menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya,
menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu, dan
diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala
Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras
Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah seorang
Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya
sudah dikepung.
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen
ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar sudah siap, dan
memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika
berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan
awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal[6].
Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII
Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran.
Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.
E. Penyerahan Diri Kembali
Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak bisa
bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku
Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali kepada Belanda.
September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja
bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan
pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland.
Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar
suka menghindar apabila terjadi percekcokan[7].
Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap
pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi
setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang
memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh
selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-
pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku Mat Amin).
Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para
Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadiri para
pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh
dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya.
Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda
untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda
secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan[8].
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa
pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000
dollar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur
Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari
Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua
senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. maka pada tanggal 26 April
1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar
Gubernemen Hindia Belanda.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh
komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu
oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh
dipegang oleh satu komando.
Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh
kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898,
Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka
lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.
F. Gugur
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai
kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup
kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama
pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van
Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran
itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar
berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan
telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk
meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan
perlawanan pejuang Aceh
G. Penghargaan
Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah
Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga
diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL
dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi
nama berdasarkan namanya.

Anda mungkin juga menyukai