Kota Pekanbaru lahir sebelum masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia. Pada waktu itu baru berupa dusun yang bernama : DUSUN PAYUNG SEKAKI yang terletak di tepi Sungai Siak (diseberang pelabuhan yang ada sekarang). Kemudian di zaman kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah (wafat 1791), dusun ini berkembang dan pusatnya berpindah keseberang (ke selatan) sekitar pasar bawah yang kemudian bernama SENAPELAN. Selanjutnya berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Limah Puluh, Tanah Datar, dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi PEKANBARU. Penggantian nama ini terjadi di masa Pemerintahan Sultan Mohammad Ali Muazan Syah (1684-1801). Pada waktu penjajahan Belanda, berdasarkan Besluit Van Her Inlanche Zelf Bestuur Van Siak N0.1 Tahun 1919 Pekanbaru menjadi tempat kedudukan controluer (PHB) Pemerintah Belanda. Sewaktu pendudukan Jepang, Pekanbaru menjadi GUN yang dipakai oleh GUN CHO dan tempat kedudukan Riau SYUTJOUKANG akhirnya di zaman pemerintahan Republik Indonesia berubah status menjadi: 1. Hemente Pekanbaru dan merupakan ibukota Keresidenan Riau berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatera di Medan No. 103 tanggal 1 mei Tahun 1946. 2. Kota kecil berdasarkan Undang-Undang N0. 8 Tahun 1956. 3. Kotapraja berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957. 4. Kotamadya berdasarkan Undang-Undang N0. 5 tahun 1974. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1987 tanggal 7 September 1987 Daerah Kota Pekanbaru diperluas dari 62,96 km 2 menjadi 446,50 Km 2 , terdiri dari 8 Kecamatan dan 45 Kelurahan / Desa. Dari hasil pengukuran/pematokan di lapangan oleh BPN Tk.I Riau maka ditetapkan luas wilayah Kota Pekanbaru adalah 632,26 Km 2 . Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan menyebabkan meningkatnya kegiatan penduduk disegala bidang yang pada akhirnya meningkatkan pula tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas dan utilitas perkotaan serta kebutuhan lainnya. Untuk lebih terciptanya tertib pemerintahan dan pembinaan wilayah yang cukup luas, maka dibentuklah Kelurahan/Desa baru dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Nomor 55 tahun 1999 tanggal 21 Oktober 1999 menjadi 50 Kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 3 tahun 2003 tentang Pembentukan Kecamatan, jumlah kecamatan dimekarkan dari 8 kecamatan menjadi 12 kecamatan. Demikian pula dengan kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 tahun 2003 tentang Pembentukan Kelurahan, dimekarkan dari 50 kelurahan menjadi 58 kelurahan. Sebagai Ibukota Propinsi Riau, Kota Pekanbaru berkembang begitu pesat baik sebagai pusat pemerintahan provinsi, maupun sebagai pusat pendidikan, perdagangan dan jasa, dan lainnya. Di sektor pembangunan baik dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun dari sektor pembangunan lainnya cenderung terjadi peningkatan. APBD Tahun 2007 sebesar Rp. 1,030 Triliun, Tahun 2008 sebesar Rp. 1,206 Trilian dan tahun 2009 sebesar Rp. 1,234 Triliun. Pendapatan Asli Daerah (PAD), Tahun 2006 sebesar Rp. 102 milyar, tahun 2007 sebesar Rp. 150,05 milyar ,tahun 2008 sebesar Rp. 154.07 milyar. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi tahun 2006 sebesar 10,15 %, tahun 2007 sebesar 10,05 % dab tahun 2008 sebesar 9,05 %. Indikator pendapatan dan perekonomian ini menunjukkan Kota Pekanbaru memiliki prospek yang cukup baik dalam bidang investasi. 2. VISI DAN MISI KOTA PEKANBARU Visi pembangunan daerah Kota Pekanbaru adalah Terwujudnya Kota Pekanbaru sebagai pusat perdagangan dan jasa, pendidikan, serta pusat kebudayaan Melayu, menuju masyarakat sejahtera yang berlandaskan iman dan taqwa. Misi Kota Pekanbaru 1. Mewujudkan penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik 2. Meningkatkan infrastruktur perkotaan, sistim transportasi yang memadai dan kualitas lingkungan kota serta penataan ruang yang terintegrasi. 3. Meningkatkan perekonomian rakyat dengan dukungan fasilitas yang memadai dan iklim usaha yang kondusif serta penanganan penyandang masalah kesejahteraal sosial. 4. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelayanan pendidikan umum dan agama yang berkualitas dan terjangkau, pengembangan kehidupan beragama dan budaya melayu. 5. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat kota serta meningkatnya pemahaman masyarakat tentang lingkungan sehat dan perilaku sehat 3. PENDUDUK DAN KEMAJEMUKAN MASYARAKAT Jumlah penduduk Kota Pekanbaru tahun 2009 adalah 834.378 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 3,20 persen. Pertumbuhan penduduk dimaksud lebih disebabkan oleh faktor migrasi dari pada faktor kelahiran Sebagai sebuah kota besar menuju kota metropolitan pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi tersebut membawa dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan kota Pekanbaru. Dampak negatif yang menonjol diantaranya tingkat pengangguran, pemukiman kumuh, gelandangan dan pengemis dan gejolak sosial kemasyarakatan lainnya. Kemajemukan masyarakat juga terdapat di Pekanbaru. Menurut sensus yang dilakukan, persentase etnis yang ada di Pekanbaru terdiri dari Melayu (26,1%), Jawa (15,1%), Minang (37,7%), Batak (10,8%), Banjar (0,2%), Bugis (0,2%), Sunda (1,0%), dan suku-suku lainnya (8,8%). Persentase ini dilihat dalam Gambar 1. berikut ini :
Gambar 1. Kemajemukan suku bangsa di Pekanbaru Kemajemukan juga tergambar dari perbedaan agama. Islam (90,0%), Kristen (4,2%), Katolik (2,3%), Hindu (0,3%), dan Budha (3,1%). Kemajemukan masyarakat memiliki dua potensial yang berbeda. Di satu sisi, ia merupakan kekuatan karena merupakan perpaduan dari berbagai macam latar belakang budaya dan keunggulan yang saling mengisi, di sisi yang lain, perbedaan tersebut berpeluang pula terhadap timbulnya perpecahan dan perselisihan. Sampai sejauh ini di Pekanbaru tidak terdapat konflik besar di dalam masyarakat yang berawal dari masalah etnis ataupun agama. Di sinilah peran pemerintah daerah, penegak hukum, tokoh masyarakat dan agama dituntut untuk memberikan bimbingan dan pemahaman pada masyarakat dalam bertoleransi dan memperkukuh persatuan. Kemajemukan etnis yang ada di Kota Pekanbaru juga didukung oleh paguyuban-paguyuban masing-masing etnis yang dapat membantu pemerintah Kota Pekanbaru dalam menjaga keharmonisan masyarakat sekaligus membantu program pembangunan dimasa yang akan datang. Dalam bidang keagamaan juga telah dibentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Pekanbaru dibawah naungan Departemen Agama Provinsi Riau. B. BUDAYA MELAYU DAN KEWIRAUSAHAAN Bangsa Indonesia yang terdiri dari sekian banyak suku, memiliki keankeragaman yang tidak terkira. Keanekaragaman budaya tersebut meliputi bahasa, adat istiadat, ekspresi seni, serta berbagai aspek kehidupan yang lain, seperti tata cara dalam berpakaian. Berbagai jenis ragam budaya ditemukan di seluruh nusantara yang memiliki makna dan simbol tertentu, bahkan kadang-kadang mengandung unsur magis. Peran wirausaha dalam pembangunan yakni; mengurangi beban pengangguran melalui pembukaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, sebagai katalisator pembangunan melalui usaha produksi, distribusi dan perdagangan, meningkatkan ketahanan nasional karena dapat mengurangi ketergantungan pada bangsa asing, mampu meningkatkan produktivitas, menjadi bangsa yang mandiri, mampu menggerakkan potensi diri dana keterampilan dan lain-lain. Wiraswasta (Sansekerta) sering dikaitkan dengan Saudagar : wira; manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan/pendekar kemajuan dan memiliki keunggulan watak (Suparman, S.) Beberapa ciri wirausaha yakni : berprilaku disiplin, jujur, tekun dan santun; mengambil risiko dengan penuh perhitungan; memiliki daya kreasi, motivasi dan imajinasi; hidup efisien dan tidak tidak boros; mampu memotivasi orang lain untuk saling bekerjasama; mampu menganalisis kesempatandan melihat peluang-peluang untuk pengembagna usaha. Meredith menjelaskan ciri- ciri wirausaha yakni; percaya diri, berorientasi tugas dan hasil, pengambil risiko, kepemimpinan, keorisinilan dan berorientasi kemasa depan. Sebagai salah satu wilayah yang memiliki kerajaan tua, Melayu Riau menyimpan kekayaan seni yang tinggi. Unsur terpenting dari pakaian tradisional Melayu adalah kain songket. Sebagaimana umumnya kain tradisional Indonesia, songket berupa kain yang ditenun. Ciri khas songket terletak pada corak biasanya yang dibuat dari benang emas dan perak. Corak hiasan songket beraneka ragam, masing-masing memiliki makna dan falsafah yang tinggi, serta tata cara penempatan tertentu. Demikian pula dengan makanan khas tradisional Melayu begitu banyak ragamnya yang disajikan baik untuk acara-acara tertentu maupun penganan yang dapat dibeli di pasar. Kewirausahaan dalam budaya Melayu merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat. Kebiasaan berdagang dan berjual beli tidak hanya dilakukan Raja atau Sultan tetapi juga oleh masyarakat. Pada masanya Sultan berdagang ke Singapore, Johor dan Semenanjung Melaka dengan membawa hasil alam termasuk hasil produksi masyarakat hingga keberbagai mancanegara. Kebiasaan berdagang dan berjual beli telah lama tertanam dalam masyarakat Melayu, terutama dilakukan di daerah pesisir dan sungai yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat. Bahkan diawali melalui perdagangan barter sampai dengan perdagangan dengan menggunakan mata uang. Nilai-nilai kewirausahaan ditunjukkan oleh sang pemimpin terhadap rakyatnya, artinya masyarakat tidak hanya menanam, berproduksi dan menghasilkan sesuatu tetapi lebih dari itu harus mampu menjual hingga sampai kengeri orang lain. Falsafah inilah yang melandasi bahwa orang Melayu itu pandai berdagang, melaut dan berlayar hingga sampai ke Madagaskar. Bakat dan mental kewirausahaan dalam masyarakat Melayu telah ada sejak dahulu hingga sekarang ini sehingga disebut sebagai bangsa Peniaga, artinya sudah ada bakat dan mental kewirausahaan yang tertanam, sehingga kalau adanya ungkapan yang mengatakan bangsa Melayu itu Pemalas, sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh pemimpin orang Melayu sejak dahulu. Kini orang Melayu mulai bangkit seiring kemajuan di era globalisasi sekarang ini, tidak hanya berproduksi tetapi sudah banyak menjadi Peniaga Yang Handal dalam pengembangan budaya Melayu. Sebagai masyarakat yang relegius dan agamis, nilai-nilai kewirausahaan yang terkandung didalamnya bersendikan norma dan aturan dalam ketentuan agama. Wirausaha adalah profesi terhormat, yang dinyatakan dalam hadist. Pertama; Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW; pekerjaan apakah yang paling baik ya Rasulullah ? Rasulullah menjawab : Seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih (HR. Al Bazzar). Kedua; pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama Nabi, orang shadiqin dan para syuhada (HR.Tirmidzi dan Hakim). Nilai-nilai kewirausahaan orang Melayu sangat dilandasi oleh; keyakinan dalam berusaha karena berusaha itu adalah ibadah, kejujuran sebagai modal dasar untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain, mewarisi dan mengembangkan nilai-nilai tradisional dan kultural dari orang tua, tidak menggantungkan hidup pada orang lain, artinya menumbuhkan semangat kemandirian dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, mengikuti anjuran agama dan pemimpin, dan banyak lagi nilai-nilai sosial yang terkandung didalam falsafah orang Melayu dalam berdagang dan berniaga. C. PERAN DEKRANASDA KOTA PEKANBARU Dibawah kepemimpinan Hj. Evi Mairoza Herman, sebagai Ketua Tim Penggerak PKK dan Dekranasda Kota Pekanbaru, Istri Walikota Pekanbaru sejak tahun 2001 telah memulai untuk merintis dan mengembangkan budaya Melayu baik mengangkat kembali tenunan, seni budaya, makanan tradisional orang Melayu yang telah lama ditinggalkan masyarakat. Padahal budaya Melayu memiliki khazanah yang cukup tinggi yang telah berkembang berabad-abad yang lalu sejak zaman kerajaan Melayu. Terobosan dan rintisan ini memberikan nilai positif terhadap pengembangan budaya Melayu dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penggalian nilai- nilai budaya lama, pada hakekatnya memiliki arti dan nilai strategis untuk menjaga eksistensi budaya Melayu dalam nuansa budaya nasional. Upaya dan terobosan yang telah dilakukan nampaknya sudah mulai membuahkan hasil, nilai seni budaya Melayu baik; tenun songket, seni tari dan suara, seni ukir, dan makanan khas tradisional sudah mulai dikenal oleh masyarakat lagi. Nilai-nilai budaya yang selama ini terpendam, mulai dibangkitkan kembali melalui berbagai program dan kegiatan terutama dilakukan oleh Dekranas Kota Pekanbaru. Berbagai kegiatan baik berupa sosialisasi, penyuluhan, pelatihan dan kursus merupakan bagian penting dari bangkitnya nilai budaya Melayu dalam arus budaya global yang melanda dunia saat ini. Nilai budaya yang cukup lama dan bernilai tinggi, tidak menyurutkan Deksranas Kota Pekanbaru menyerah begitu saja memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita Hj. Evi Mairoza Herman beserta jajarannya bertungkus lumus dari waktu ke waktu memberikan inspirasi kepada masyarakat, yang didalamnya juga terkandung nilai-nilai ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabatnya sebagai penduduk Kota Pekanbaru yang masih menjunjung nilai-nilai budaya. Berkat kegigihan dan perjuangan Hj. Evi Mairoza Herman akhirnya membuahkan hasil, tenun songket sudah mulai diperhitungkan dan dipakai dalam acara-acara resmi, acara perkawinan, iven-iven tertentu melalui berbagai pameran, bazaar, dan peragaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan prestasi telah ditorehkan dengan mendapatkan Rekor MURI yakni Songket Terpanjang 45 Meter oleh Museum Rekor Indonesia. Prestasi membanggakan juga ditorehkan dengan mendapatkan Upakarti dari Presiden RI di Istana Negara pada tanggal 28 Desember 2009. Ini merupakan bukti bahwa budaya Melayu sudah mendapat tempat dihati masyarakat Nusantara melaui berbagai prestasi yang didapatkan. D. TENUN MELAYU RIAU Pakaian Di dalam Budaya Melayu Masyarakat Melayu dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan kazhanah kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan Melayu adalah tenunan, yang sudah berkembang dengan pesat sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan pakaian dan keperluan yang lain. Berbagai corak (motif) dan ragi (desain) tenunan dikembangkan seiring dengan aneka fungsi pakaian. Dalam masyarakat Melayu pakaian tidak semata-mata berfungsi untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin. Lebih dari itu, pakaian berfungsi untuk menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa. Sesuai dengan fungsi tersebut, pakaian menjadi tak hanya bernilai pragmatis, tetapi lebih-lebih haruslah bernilai relegius, adat dan kultural, etis dan estetis. Itulah sebabnya, dalam Budaya Melayu dikenal ungkapan antara lain; pantang memakai memandai-mandai. Dengan demikian pakaian dan hal-hal yang berkaitan dengan pakaian tidak boleh dikenakan secara sembarangan, tetapi harus mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh adat. Sejarah perkembangan tenunan Melayu Riau berjalan seiring dengan kebesaran dan kajayaan kerajaan Melayu pada masa lampau. Semasa kerajaan Melayu bernama Kerajaan Johor-Riau dan Riau-Johor, sebagai kelanjutan Kerajaan Melayu Melaka yang jauh ke tangan Portugis padaa 1511, budaya bertenun ini sudah tumbuh subur. D Idaik Lingga, dalam simpanan Said Abdul Hamid, masih dijumpai berjenis-jenis kain yang tinggi mutunya. Kain tertua dalam koleksi pribadi masyarakat adalah kain bercual kepala dua benang emas, yang dibuat abad ke 17. Jadi kain tersebut dibuat ketika kerajaan Melayu masih bernama Johor-Riau atau Riau-Johor, yakni sebelum bernama Lingga-Riau atau Riau-Lingga. Tenunan lama yang masih dijumpai khususnya di Daik Lingga, dapat dilihat pada data berikut : 1700 Kain Telepuk 1850 Tenun Kain Tengarun 1850 Kain Asam kelat 1857 Kain Sutra Mentah 1865 Kain Empat Sekarap 1900 Kain Telepok Bertabur Bunga Benang Emas 1900 Tenunan Kain Batik Lasam 1900 Kain Bugis Tidak Diketahui Tahun Pembuatannya Kain Berantai Selain tenunan dalam bentuk kain (sarung) di Daik Lingga, juga masih terdapat tenunan yang dibuat untuk berbagai keperluan. Berikut diperikan tenunan tersebut : 1755 Kain Tudung 1790 Tenunan Baju Jubah Pengantin 1857 Tampuk Songkok Kaligrafi 1879 Tampuk Bantak Seraga Tidak Diketahui Tahun Pembuatannya Kain Tudung Untuk Berkhatam Tidak Diketahui Tahun Pembuatannya Tenunan Baju Gransut Tidak Diketahui Tahun Pembuatannya Seluar Dalam Perempuan Sampai saat ini terdapat sebanyak 37 unit usaha bidang tenun baik yang menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) maupun Gedongan. Setaip unit usah sekurangnya mempekerjakan minimal 2 orang hingga 30 orang. Usaha tenun ini berkembang sejalan meningkatnya permintaan dan kesadaran masyarakat menjunjung nilai-nilai tradsional Melayu, bahkan lebih dari itu tenun dipakai dalam acara-acara resmi E. MAKANAN TRADISIONAL Banyak sekali jenis makanan tradisional yang telah dibuat oleh masyarakat Melayu terdahulu, baik yang masih diketahui maupun tidak. Hampir tidak ditemukan resep-resep untuk pembuatan penganan tradisional Melayu. Hal ini ini hanya dilakukan secara turun temurun yang telah berumur berabad-abad. Berbagai hidangan dan makanan tradisional yang bernilai tinggi karena diolah dengan cara yang sangat hygienes, tanpa menggunakan bahan pengawet, penyedap, pewarna dan sebagainya. Hampir semua penganan menggunakan bahan-bahan alami sehingga penganan ini layak untuk dikonsumsi dan tidak mengganggu kesehatan. Beberapa penganan tradisional kini telah menghiasi outlet diberbagai supermarket, minimarket dan toko-toko khusus makanan tradisional, toko-toko yang tersebar diseluruh Kota Pekanbaru dan bahkan hingga ke beberapa daerah dalam propinsi Riau, juga telah dibuka outlet Mega Rasa di Bandara Soekarno Hatta, Bandara Hang Nadim, Bandara Sultan Syarif Qasim II, di pelabuhan dan lain-lainnya sebagai oleh-oleh khas daerah. Makanan tradisional ini yang sangat populer diantaranya; Lempuk Durian dengan berbagai merek dan ukuran, Bolu Kemojo, Kue Bangkit, dan seterusnya. Bolu Kemojo yang dikembangkan di Kelurahan Kampung Bandar- Kecamatan Senapelan, dibuat dengan cara tradisional dan bahan alami hingga tahan selama 1 minggu tanpa bahan pengawet. Makanan ini sering ditampilkan dalam Bazar Makanan Tradisional baik lokal, nasional bahkan internasional. Demikian pula dengan Lempuk Durian yang sudah dikemas dalam ukuran yang menarik, termasuk Kue Bangkit dengan berbagai aneka rasa telah dibuat oleh pengusaha kecil yang jumlahnya tersebar diberbagai kecamatan dalam wilayah Kota Pekanbaru. Masih banyak jenis makanan lain yang dijual, namun tiga jenis yang penulis ungkapkan memiliki pasar yang cukup luas. F. KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU Pemerintah Kota Pekanbaru, sebagaimana telah dicantumkan dalam Visi- Misi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Pekanbaru adalah mengembangkan ekonomi berbasis kerakyatan sebagai perwujudan dalam mengangkat ekonomi masyarakat lapis bawah. Perwujudan ini dijabarkan dalam program dan kegiatan di berbagai dinas terkait, seperti; Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Sosial dan Pemakaman, Dinas Pertanian, Dinas Tenaga Kerja, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana. Keseluruhan instansi ini menjabarkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) setiap tahun baik dalam bentuk bantuan, pendidikan dan latihan, sosialisasi dan penyuluhan maupun pengikutsertaan dalam berbagai iven daerah dan nasional dan bentuk pembinaan lanjutan lainnnya. Disamping itu juga pemerintah Kota Pekanbaru, juga menghimbau kepada pengusaha skala besar dalam hal pembiayaan dengan memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN/BUMS/BUMD, pemasaran hasil produksi dan pembinaan kualitas produksi. Dengan kebijakan yang telah dilakukan banyak tumbuh pengusaha kecil dalam bidang pertenunan, makanan tradisional dan kerajinan rakyat dalam menghadapi persaingan pasar yang ketat terutama produk-produksi luar negeri dari negara tetangga. G. PENUTUP Pengembangan budaya Melayu kini telah memasuki tahap yang menggembirakan karena dari segala aspek kehidupan masyarakat, budaya Melayu telah diterima sebagai budaya lokal dan nasional yang sudah menjadi tuan dinegerinya sendiri. Peran Dekranasda dan Pemerintah Kota Pekanbaru sangat strategis dalam mengembangkan Budaya Melayu sebagai bagian penting dalam pembangunan Kota Pekanbaru, karena telah dicantumkan dalam dokumen perencanaan sebagai bagian penting dan tak terpisahkan. Demikian dengan penggalian nilai-nilai budaya dalam berbagai aspek kehidupan dapat memberikan nilai tambah, disamping mempertahankan eksistensi nilai budaya juga memberikan aspek ekonomis yang dapat mensejahterakan masyarakat. Pekanbaru, 16 Januari 2010
Referensi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pekanbaru, Laporan Tahunan 2009, Pekanbaru. Herman, Evi Mairoza, 2008, Gentakin (Gerakan Cinta Keluarga Miskin)-Perwujudan Ahlak Mulia, Pikiran-Tindakan, dan Terobosan, Meilfa Media Publishing, Jakarta. Malik, Abdul, 2003, Tenas Effendy, Hasan Junus dab Auzar Taher, Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau, Penerbit Adicita, Yogyakarta. Meredith, Geoffrey G., Robert E. Nelson, Philip A. Neck, Kewirausahaan, Teori dan Prakek, 1989, Seri Manajemen No. 07, Penerbit PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Zimmerer, Thomas W. Dan Norman M. Scarborough, 2002, Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil, Penerbit Prenhallindo, Jakarta. Zulkarnain, 2001, Membangun Ekonomi Rakyat, Persepsi Tentang Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi Di Riau, Penerbit UNRI Press, Pekanbaru. Zulkarnain, 2003, Membangun Ekonomi Rakyat, Persepsi tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Penerbit Adicita, Jogjakarta. Zulkarnain, 2006, Kewirausahaan Strategi Pemberdayaan UKM dan Penduduk Miskin, Penerbit Adicita, Yogyakarta.