Anda di halaman 1dari 11

STATUS KONTAMINAN PADA SAYURAN DAN UPAYA

PENGENDALIANNYA DI INDONESIA
1)
Christina Winarti dan Miskiyah
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762
e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id
Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 227-237
1)
Bagian dari naskah yang diterbitkan pada Jurnal
Hortikultura Volume 19 Nomor 1, Tahun 2009,
hlm. 101-111.
Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal
31 Juli 2007 di Bogor.
PENDAHULUAN
Sayuran merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang banyak mengandung
vitamin dan mineral, serta berpotensi
sebagai sumber pendapatan petani dan
devisa negara. Konsumsi sayuran dari
tahun ke tahun cenderung meningkat
sampai 26%. Hal tersebut antara lain terkait
dengan makin meningkatnya kepedulian
konsumen terhadap mutu produk dan ke-
sehatan tubuh.
Sampai saat ini, aspek mutu dan ke-
amanan pangan masih menjadi salah satu
masalah utama dalam produksi dan pe-
masaran sayuran. Mutu sayuran yang ti-
dak konsisten dengan tingkat kontaminan
yang cukup tinggi ditengarai dapat me-
rugikan perdagangan komoditas tersebut
di pasar regional maupun internasional.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh
sebagian pengekspor dan produsen ma-
kanan adalah terjadinya kasus penahanan
otomatis (automatic detention) terhadap
produk pangan asal Indonesia. Kasus pe-
nahanan ini terjadi setiap tahun sehingga
dapat menurunkan devisa. Pada bulan
April 2005 terjadi 39 kasus penolakan
produk makanan asal Indonesia oleh FAO
karena mengandung berbagai bahan ber-
bahaya yang dilarang dipergunakan. Ka-
sus tersebut meningkat dibandingkan de-
ngan bulan Januari 2005 dengan 15 produk
yang ditolak, Februari 2005 sebanyak 29
produk, dan Maret 2005 meningkat menjadi
31 produk (Media Indonesia 2005). Kasus
penolakan produk pangan dari Indonesia
terutama (80%) karena kotor, dan persen-
tase tersebut relatif tetap dari tahun ke ta-
hun. Kasus penolakan terhadap sayuran
dari Indonesia oleh beberapa negara me-
nunjukkan bahwa penanganan keamanan
pangan di Indonesia masih belum optimal.
Minimnya penerapan teknologi pro-
duksi dan penanganan pascapanen sayur-
an mengakibatkan mutu yang tidak kon-
sisten. Masalah tersebut masih ditambah
dengan penggunaan pupuk dan pestisida
yang berlebihan sehingga produk sayuran
Indonesia memiliki jaminan keamanan
pangan yang rendah dan tingkat kontami-
nasi yang tinggi. Jenis kontaminan yang
menjadi perhatian utama saat ini adalah
mikroba, logam berat, dan residu pestisida.
Dalam memproduksi sayuran, petani
menghadapi masalah serangan hama dan
penyakit yang sering menyebabkan gagal
panen. Salah satu cara untuk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan meng-
gunakan pestisida kimia. Penggunaan
pestisida yang berlebihan menjadi sumber
pencemaran pada bahan pangan, air, dan
lingkungan hidup. Akibatnya, residu yang
ditinggalkan secara langsung maupun
tidak langsung sampai ke tubuh manusia.
Upaya meningkatkan keamanan pa-
ngan produk pertanian, khususnya sayur-
an, telah dilakukan antara lain melalui
program pengendalian hama terpadu
(PHT). Pada PHT, produksi pertanian tidak
hanya mempertimbangkan tingkat produksi
yang tinggi, tetapi juga keberlanjutan pro-
duksi, kelestarian lingkungan, dan keaman-
an pangan. Sayangnya, sejauh ini upaya
tersebut belum mampu memecahkan berba-
gai persoalan keamanan pangan karena
adanya praktek produksi yang menyim-
pang dari anjuran.
Munculnya beberapa kasus keracunan
makanan dan penyakit karena mengon-
sumsi buah-buahan atau sayuran segar
maupun olahan mengindikasikan adanya
kontaminan (pestisida, mikroba, logam
berat) dalam bahan pangan tersebut.
World Health Organization (WHO) men-
definisikan penyakit asal pangan (food-
born disease) sebagai penyakit yang
umumnya bersifat infeksi atau racun yang
disebabkan oleh senyawa yang masuk ke
dalam tubuh melalui makanan yang
dikonsumsi. Menurut data FDA Amerika
Serikat, penyakit asal pangan yang dise-
babkan oleh kontaminasi mikroba me-
nempati urutan pertama di atas racun alami,
residu pestisida, dan bahan tambahan pa-
ngan.
Hasil penelitian Munarso et al. (2004,
2005) menunjukkan bahwa kandungan
kontaminan logam berat pada sayuran
bervariasi, termasuk logam berat timbal
(Pb). Sementara itu, hasil pengujian kan-
dungan residu pestisida memperlihatkan
bahwa secara kualitatif sayuran terdeteksi
mengandung residu pestisida, namun se-
cara kuantitatif kandungan tersebut masih
di bawah ambang batas yang diizinkan.
Tulisan ini menyajikan kajian dan hasil
penelitian mengenai kontaminan pada sa-
yuran dan upaya pengendaliannya. Diha-
rapkan tulisan ini dapat memberikan in-
formasi mengenai status kontaminan pada
sayuran dan upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegahnya sehingga keamanan
dan mutu sayuran makin meningkat.
KONTAMINAN MIKROBA
PADA SAYURAN
Beberapa jenis sayuran yang biasa dikon-
sumsi segar berpotensi merugikan ke-
sehatan karena rentan terkontaminasi mik-
roba. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya kontaminasi mikroba pada sayuran
segar yang diambil di tingkat petani mau-
pun pedagang (Isyanti 2001). Demikian pu-
la hasil penelitian Susilawati (2002) menun-
jukkan adanya kandungan Salmonella
pada sayuran segar di tingkat petani dan
pedagang di Bogor.
Di Amerika Serikat, patogen yang
menjadi perhatian utama pada buah dan
sayuran adalah Salmonella, Shigella,
Entamoeba histolytica, dan Ascaris spp.
Kontaminasi mikroba pada sayuran bisa
berasal dari penyemprotan atau pengairan
dengan air yang terkontaminasi Salmo-
nella dan pemupukan dengan kotoran
hewan, sehingga pada sayuran seperti
selada ditemukan Salmonella (Lund et al.
2000). Menurut Sapers (2001), kontaminasi
mikroba patogen pada produk pertanian
terjadi pada beberapa titik, mulai dari tahap
produksi, panen, pengepakan, pengolah-
an, distribusi hingga pemasaran.
Marriot (1999) melaporkan bahwa Sal-
monella dapat tumbuh dan memproduksi
endotoksin yang dapat menyebabkan
penyakit. Salmonellosis merupakan infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella. Jumlah
bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
bergantung pada jenis Salmonella dan ke-
adaan kesehatan seseorang. Jumlah bak-
teri 10
5
-10
10
dapat menyebabkan infeksi.
Salmonellosis ditandai dengan sakit perut,
mual dan diare, kadang disertai demam
ringan dan sakit kepala. Salmonellosis tim-
bul 8-72 jam setelah mengonsumsi ma-
kanan yang terkontaminasi.
Beberapa strain Escherichia coli dapat
menimbulkan penyakit pada manusia dan
hewan dengan memproduksi enterotoksin
dan menimbulkan gejala menyerupai ko-
lera, menyerang sel-sel epitelium saluran
usus dengan melakukan adhesi dan ko-
lonisasi pada saluran usus halus serta me-
ngeluarkan enterotoksin. Bakteri E. coli
patogen dapat menimbulkan sindrom
klinis, yaitu gastroenteritis akut pada anak-
anak dan infeksi pada saluran pencernaan.
Kontaminasi bakteri ini biasanya berasal
dari air yang digunakan untuk mencuci
bahan makanan yang akan dikonsumsi
maupun peralatan yang digunakan dalam
proses pengolahan. E. coli merupakan
bakteri yang sensitif terhadap panas. Oleh
karena itu, untuk mencegah pertumbuhan
bakteri tersebut pada makanan, sebaiknya
makanan disimpan pada suhu rendah (Su-
pardi dan Sukamto 1999).
International Commision on Micro-
biological Specification for Foods
(ICMSF) (1996) merekomendasikan, sa-
yuran yang akan dikonsumsi mentah me-
ngandung E. coli kurang dari 10
3
CFU/g,
Salmonella harus tidak ada dalam 25 g
sampel, dan tiga dari lima sampel yang di-
analisis boleh mengandung total mikroba
10
5
-10
6
CFU/g. Sementara itu, Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
(1989) mensyaratkan sayuran yang dikon-
sumsi maksimum mengandung E. coli 10
2
CFU/g dan tidak mengandung Salmo-
nella.
KASUS KERACUNAN KARENA
KONSUMSI SAYURAN
Kasus keracunan karena mengonsumsi
buah dan sayuran yang terkontaminasi
bakteri patogen, terutama E. coli, Listeria
monocytogenes dan Salmonella cende-
rung meningkat (Tauxe et al. 1997; Singh
et al. 2002). Beberapa kasus penyakit di
beberapa negara yang disebabkan kon-
sumsi sayuran segar seperti selada, lobak,
dan kecambah disajikan pada Tabel 1.
Di Indonesia, kasus keracunan pangan
cukup sering terjadi dan cenderung me-
ningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2003 dilaporkan bahwa dari 18 kasus yang
tercatat, 83,3% diduga karena bakteri pa-
togen, sedangkan pada tahun 2004 seba-
nyak 60% dari 41 kasus, dan pada tahun
2005, dari 53 kasus 72,2% karena bakteri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu
mikrobiologis pada jajanan umumnya sa-
ngat rendah. Beberapa makanan jajanan
seperti gado-gado, ketoprak, dan tauge go-
reng mengandung bakteri koliform antara
1 x 10
4
sel sampai 1,7 x 10
4
sel/g dan koliform
fekal antara 3,6 x 10 sel sampai 5,0 x 10
3
sel/
g, selain mengandung Salmonella, Shi-
gella, dan Staphylococcus.
HASIL PENELITIAN KONTAMINAN
PADA SAYURAN
Hasil penelitian tingkat kontaminasi mikro-
ba, logam berat, dan residu pestisida pada
sayuran di beberapa sentra produksi di
Jawa oleh Munarso et al. (2004, 2005) di-
sajikan pada Tabel 2-4. Pengambilan con-
Tabel 2. Jumlah mikroba pada beberapa jenis sayuran segar.
Sayuran
Jumlah mikroba (sel/g) di tingkat
Petani Pasar BMR
1)
Kubis 1,4 x 10
7
- 3,1 x 10
7
4,3 x 10
5
- 4,6 x 10
7
0 - 10
3
Tomat 5,4 x 10
4
- 1,7 x 10
6
3,3 x 10
4
- 2,5 x 10
7
0 - 10
3
Wortel 1,8 x 10
5
- 4,2 x 10
6
6,1 x 10
5
- 5,7 x 10
7
0 - 10
3
Cabai merah 5, 7 x 10
5
5,4 x 10
5
- 2,2 x 10
7
0 - 10
3
Bawang merah 8,4 x 10
6
- 7,1 x 10
7
3,7 x 10
6
- 4,7 x 10
7
0 - 10
3
Selada 3,6 x 10
4
- 2,8 x 10
6
2,1 x 10
6
- 2,1 x 10
7
0 - 10
3
Sumber: Munarso et al. (2004, 2005);
1)
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1989)
Tabel 1. Beberapa kasus keracunan karena konsumsi sayuran di beberapa negara, 1992-2001.
Tahun Jenis patogen Komoditas
Jumlah
Lokasi
kasus
1992 Salmonella enteritidis Selada 12 Vermont
E. coli Wortel
1993 E. coli Wortel 47 Rhode Island, AS
1993 E. coli Selada 121 New Hampshire, AS
1995 Campylobacter jejuni Selada 23 Ontario, Kanada
1995 E. coli Selada 14 Oklahoma, AS
1996 E. coli Selada 49 Dua negara bagian di AS
1996 E. coli Selada 61 Connecticut, Illinois,
New York
1996 E. coli Selada (daun merah) 27 Chicago
1996 E. coli Selada 11 Ohio
1996 E. coli Kecambah lobak 6.000 Jepang
1997 E. coli Kecambah lobak 126 Jepang
1997 Cyclospora Selada 29 Florida
1998 Shigella sonnei Selada 160 Minnesota
1999 E. coli Selada 47 Ohio, Indiana
1999 E. coli Kubis 27 Indiana
1999 E. coli Kubis 19 Ohio
1999 Salmonella Kecambah 26 California
2000 Salmonella enteritidis Kecambah kacang 25 Belanda
2000 Samonella enteritidis Kecambah 45 California
2001 Salmonella enteritidis Kecambah 84 Alberta, B.C,
Saskatchewan
Sumber: OMAFRA (2002)
toh dilakukan secara acak terstruktur,
selanjutnya sampel dianalisis di Laborato-
rium Balai Besar Penelitian dan Pengem-
bangan Pascapanen Pertanian di Bogor.
Kandungan mikroba pada sayuran segar
umumnya masih sangat tinggi, yaitu 10
6
-
10
7
sel/g sampel pada penanganan di
tingkat petani dan pasar tradisional. Jumlah
ini melebihi ketentuan yang dipersyarat-
kan, yaitu 10
3
sel/g sampel. Tingkat kon-
taminan mikroba pada sayuran segar di
tingkat petani cukup tinggi, yaitu untuk
kubis 2,6 x 10
6
sel sampai 8,0 x 10
7
sel/g,
tomat 2,0 x 10
5
sel sampai 2,6 x 10
6
sel/g,
dan wortel 1,8 x 10
6
sel sampai 1,2 x 10
8
sel/
g. Pada selada, kandungan mikroba ber-
kisar antara 3,63 x 10
4
sel sampai 2,09 x 10
7
sel/g, pada cabai merah 5,04 x 10
5
sel sampai
2,19 x 10
7
sel/g, dan bawang merah 4,77 x
10
6
sampai 7,1 x 10
7
sel/g. Dari ketiga jenis
sayuran tersebut, beberapa sampel yang
diuji positif mengandung E. coli. Ambang
batas jumlah mikroba dalam pangan adalah
10
3
sel/g. Berdasarkan SNI 7388: 2009
tentang batas cemaran mikroba dalam
pangan, batas kandungan E.coli pada
sayuran adalah < 3/g sampel dan Salmo-
nella sp. negatif untuk 25 g sampel (BSN
2009b).
Hasil penelitian tingkat kontaminasi
logam berat sangat bervariasi, bergantung
jenis kontaminannya. Kandungan logam
berat besi (Fe) pada semua jenis sayuran
secara umum melebihi ambang batas mak-
simum residu (BMR) yang direkomen-
dasikan. Demikian pula kandungan logam
berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada
beberapa sayuran melebihi ambang batas,
walaupun ada yang tidak terdeteksi, se-
perti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat kontaminasi logam berat pada beberapa jenis sayuran segar.
Sayuran dan jenis logam Kadar (ppm) BMR (ppm)
(SNI 7387: 2009)
1)
Kubis
Fe 3,99 -5,99 5, 0
Pb 0,175 -0,830 0, 5
Cd 0,005 -0,200 0, 2
Tomat
Fe 3,985 -4,874 5, 0
Pb 0,050 -0,166 0, 5
Cd 0,004 -0,166 0, 2
Wortel
Fe 1,594 -7,518 5, 0
Pb 0,10 -0,21 0, 5
Cd 0,005 -0,019 0, 2
Cabai merah
Fe 15,98 -17,06 5, 0
Pb ttd 0, 5
Cd ttd 0, 2
Bawang merah
Fe 8,29 -8,32 5, 0
Pb ttd 0, 5
Cd ttd 0, 2
Selada
Fe 6,71 -6,89 5, 0
Pb ttd 0, 5
Cd ttd 0, 2
Sumber: Munarso et al. (2004, 2005);
1)
BSN (2009a)
Tabel 4. Residu pestisida pada beberapa jenis sayuran.
Jenis sayuran dan residu pestisida Kadar (ppm) BMR (ppm) (SNI 7313:2008)
1)
Kubis
Endosulfan (organoklorin) 0, 00006 - 0, 0074 1,00
Metidation (organofosfat) 0, 0005 - 0, 0018 0,10
Klorpirifos (organofosfat) 0, 0004 - 0, 0053 0,05
Tomat
Metidation (organofosfat) 0, 0037 - 0, 0085 0,10
Profenofos (organofosfat) 0, 0014 - 0, 0079 2,00
Karbofuran (karbamat) 0, 0014 - 0, 0047 0,10
Wortel
Endosulfan (organoklorin) 0, 0011 - 0, 0106 2,00
Metidation (organofosfat) ttd - 0, 0041 0,10
Klorpirifos (organofosfat) 0, 0013 - 0,005 0,50
Karbofuran (karbamat) ttd - 0, 0027 0,50
Cabai merah
Dieldrin (organoklorin) 0, 0018 - 0, 0070 0,10
Heptaklor (organoklorin) ttd - 0, 0011 0,02
Endosulfan (organoklorin) 0, 0022 - 0, 0047 2,00
Klorpirifos (organofosfat) 0, 0016 - 0, 0041 0,50
Malation (organofosfat) ttd - 0, 0006 3,00
Profenofos (organofosfat) 0, 0008 - 0, 0046 2,00
Bawang merah
Aldrin (organoklorin) 0, 0007 - 0, 0028 0,10
Dieldrin (organoklorin) ttd - 0, 0008 0,10
Heptaklor ep (organoklorin) 0, 0020 - 0, 0021 0,20
Endosulfan (organoklorin) 0, 0012 - 0, 0027 1,00
Klorpirifos (organofosfat) 0, 0004 - 0, 0022 0,05
Profenofos (organofosfat) ttd - 0, 0021 0,05
Karbofuran (karbamat) ttd - 0, 0004 0,10
Selada
Aldrin (organoklorin) 0, 0014 - 0, 0106 0,10
Dieldrin (organoklorin) ttd - 0, 0013 0,05
Heptaklor ep (organoklorin) 0, 0035 - 0, 0039 0,05
Endosulfan (organoklorin) 0, 0012 - 0, 0045 1,00
Klorpirifos (organofosfat) 0, 0004 - 0, 0050 0,10
Profenofos (organoofosfat) 0, 0007 - 0, 0023 1,00
Sumber: Munarso et al (2004, 2005);
1)
BSN (2008)
Penggunaan pestisida pada tanaman
sayuran di dataran tinggi tergolong sangat
intensif, baik jenis, komposisi, takaran,
waktu, maupun interval pemakaian. Hal ini
terutama disebabkan kondisi iklim yang
sejuk dengan kelembapan dan curah hu-
jan yang tinggi sehingga sangat baik
untuk perkembangbiakan hama dan
penyakit tanaman. Penggunaan insektisida
pada tanaman pangan, termasuk sayuran
selama 25 tahun terakhir meningkat 20 kali.
Meskipun PHT telah diterapkan, pada
prakteknya masih banyak petani yang
menggunakan pestisida secara berlebihan.
Pestisida yang terdapat pada tanaman da-
pat terserap hasil panen berupa residu
yang dapat terkonsumsi oleh konsumen.
Residu pestisida dapat berasal dari pesti-
sida yang terpapar langsung pada produk
atau terserap dari dalam tanah, terutama
pada tanaman yang dipanen umbinya.
Residu pestisida adalah zat tertentu
yang terkandung dalam produk pertanian
bahan pangan atau pakan hewan, baik se-
bagai akibat langsung maupun tidak lang-
sung dari penggunaan pestisida. Residu
pestisida menimbulkan efek yang bersifat
tidak langsung terhadap manusia, namun
dalam jangka panjang menyebabkan gang-
guan kesehatan antara lain gangguan pada
syaraf dan metabolisme enzim. Tabel 4
menyajikan hasil pengujian kadar residu
pestisida pada beberapa jenis sayuran dan
batas maksimum yang diizinkan. Data pada
tabel tersebut menunjukkan hampir semua
sampel yang diuji positif mengandung
residu pestisida walaupun kadarnya di
bawah ambang batas yang diizinkan.
Sekitar 200 jenis pestisida untuk
pertanian yang beredar di Indonesia telah
terdaftar dan diizinkan oleh pemerintah,
antara lain pestisida golongan organo-
fosfat. Pestisida golongan ini banyak
digunakan petani karena mudah larut
dalam air dan mudah terhidrolisis menjadi
senyawa yang pada kadar tertentu tidak
beracun dibandingkan dengan pestisida
golongan lain. Berdasarkan Kepmentan
No. 473/Kpts./TP.270/619/1996, 28 jenis
bahan aktif pestisida dilarang untuk
diedarkan dan digunakan, seperti asetat,
azinfosmetil, diazinon, diklorfos, endo-
sulfan, fention, kuinalfos, dan triklorfos.
Namun, residu pestisida yang dilarang ter-
sebut masih terdeteksi pada sayuran yang
dibudidayakan petani. Hasil deteksi ter-
hadap residu pestisida pada sayuran me-
nunjukkan, meskipun secara kualitatif be-
berapa senyawa bahan aktif pestisida da-
pat terdeteksi, secara kuantitatif kandung-
an senyawa tersebut masih berada di ba-
wah ambang batas yang diizinkan (Mu-
narso et al. 2009).
UPAYA PENGENDALIAN
KONTAMINAN PADA SAYURAN
Pengendalian kontaminan pada sayuran
segar diperlukan untuk mengurangi residu
kontaminan tersebut. Beberapa cara yang
dapat dilakukan adalah: (1) pencucian
menggunakan air mendidih, air mengalir,
larutan sabun, maupun ozon terlarut; (2)
pembersihan, pengupasan, dan pemotong-
an bagian akar maupun kulit terluar; (3)
pencelupan dalam air panas atau pemblan-
siran; dan (4) penggunaan sanitizer.
Sanitizer sering digunakan untuk me-
ngendalikan kontaminan pada sayuran dan
buah-buahan. Beberapa jenis sanitizer
yang sering digunakan adalah klorin dan
hidrogen peroksida. Penelitian tentang
aplikasi sanitizer pada sayuran telah dila-
kukan di Indonesia, namun pada skala
laboratorium yaitu pada selada (Marlis
2004) dan tauge (Wulandari 2004). Pemi-
lihan jenis sanitizer didasarkan pada
kemudahan dalam penggunaan dan nilai
ekonomi sanitizer yang digunakan. Kom-
binasi larutan klorin dalam bentuk natrium
hipoklorit (NaOCl) dan asam asetat mampu
mematikan mikroba patogen karena
suasana asam akan memacu pembentukan
asam hipoklorit dari natrium hipoklorit yang
merupakan agens bakterisidal yang lebih
tinggi dibanding ion-ion klorida (Cl
2
dan
OCl
-
).
Menurut Marriot (1999), sanitizer ada-
lah suatu bahan yang dapat mengurangi
kontaminan mikroba yang sedang tumbuh
hingga 99,9%. Efektivitas sanitizer, teru-
tama sanitizer kimia, dipengaruhi oleh
faktor fisik-kimia seperti waktu kontak,
suhu, konsentrasi, pH, kebersihan per-
alatan, kesadahan air, dan serangan bakteri.
Beberapa jenis sanitizer yang sudah dike-
nal adalah senyawa fenol dan fenolik,
alkohol, halogen, logam berat, zat warna,
detergen, senyawa amonium quarterner,
asam, dan alkali. Sanitizer dapat diapli-
kasikan dengan cara sirkulasi, perendaman,
penggunaan sikat, fogging (pembentukan
kabut), dan penyemprotan (Jenie 1988).
Klorin mampu menyebabkan reaksi
mematikan pada membran sel dan dapat
memengaruhi DNA. Natrium hipoklorit
bereaksi dengan DNA sel hidup, menye-
babkan mutasi akibat reaksi oksidasi basa
purin dan pirimidin. Bakteri vegetatif
umumnya lebih terpengaruh oleh sifat in-
aktivasi klorin daripada mikroba yang mem-
bentuk spora.
Hasil penelitian Munarso et al. (2005)
menunjukkan bahwa formula sanitizer hasil
penelitian yang dapat diterapkan di tingkat
petani adalah kombinasi asam asetat 2%
dan natrium hipoklorit 100 ppm dengan
waktu kontak 4 menit. Kombinasi ini mem-
berikan efektivitas yang tinggi terhadap
inaktivasi mikroba patogen. Kombinasi
asam asetat 2,75%, natrium hipoklorit 77
ppm dengan waktu kontak 3,5 menit menu-
runkan residu pestisida hingga 3,32%.
Evaluasi penerapan sanitizer pada kelom-
pok tani menunjukkan tingkat inaktivasi
rata-rata 5,59 log CFU/g dan pengurangan
residu pestisida rata-rata 24,61%.
Hasil penelitian aplikasi sanitizer pada
terminal agribisnis yang dilakukan oleh
Winarti et al. (2007) menunjukkan bahwa
formula sanitizer dengan kombinasi natrium
hipoklorit 100 ppm dan asam asetat 2%
dengan lama perendaman 4 menit mem-
berikan efektivitas yang cukup tinggi
terhadap mikroba, tetapi menyebabkan
pencoklatan terutama pada wortel dan
selada. Modifikasi formula dengan menu-
runkan konsentrasi asam asetat menjadi
1% dan 0,5% masih efektif terhadap
mikroba dengan sifak fisik dan organo-
leptik sayuran yang baik. Jumlah total
mikroba dan E. coli pada sayuran yang
direndam dengan sanitizer turun di bawah
ambang batas yang diizinkan untuk produk
pangan yang dikonsumsi mentah. Demi-
kian pula kadar residu klorin berada di ba-
wah BMR klorin untuk air minum. Total
mikroba dan E. coli pada tomat, wortel, dan
selada yang diberi sanitizer tidak berbeda
di antara ketiga konsentrasi asam asetat.
Hasil pengamatan setelah penyimpanan
menunjukkan perubahan warna, penurun-
an tingkat kekerasan dan kadar vitamin C
pada tomat dan kadar beta-karoten pada
wortel. Secara organoleptik, sayuran yang
diberi sanitizer dapat diterima dengan nilai
4-5 (agak suka sampai suka).
Metode lain untuk mengendalikan kon-
taminan pada sayuran adalah aplikasi
ozon. Menurut Sugiharto (2007), ozon me-
rupakan zat aktif yang jika bereaksi dapat
mematikan bakteri. Ozon adalah bentuk la-
in dari oksigen; perbedaannya terletak pa-
da jumlah molekul O. Oksigen mengandung
dua molekul O (O
2
), sedangkan ozon me-
ngandung tiga molekul O (O
3
). Teknologi
ozon yang sudah berkembang adalah ste-
rilisasi dengan menggunakan air berozon.
Teknologi ozon telah diuji coba untuk
mengawetkan tomat di Balai Penelitian
Tanaman Sayuran di Lembang, dengan
cara penyemprotan. Sampel tomat yang
diteliti berasal dari lima mata rantai pe-
masaran, yaitu petani, pengumpul, grosir,
pasar tradisional, dan pasar swalayan.
Konsentrasi larutan ozon yang digunakan
adalah 1 mg/l, 1,5 mg/l, 2 mg/l, dan kontrol
(tanpa larutan ozon). Hasil penelitian me-
nunjukkan, kualitas fisik, kimia, dan orga-
noleptik tomat yang dicuci dengan air ber-
ozon lebih baik dibandingkan tanpa per-
lakuan (kontrol). Pencucian menggunakan
larutan ozon menurunkan residu pestisida
dan logam berat. Tomat yang disemprot
dengan larutan ozon lebih bersih dan awet
hingga 3 minggu. Penggunaan ozon diang-
gap aman karena tidak meninggalkan re-
sidu pada produk.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Beberapa sayuran seperti kubis, tomat,
wortel, cabai merah, bawang merah, dan
selada yang berasal dari petani mau-
pun yang ada di pasaran mengandung
mikroba di atas ambang batas yang
direkomendasikan Kementerian Perta-
nian. Hal ini memengaruhi pula kan-
dungan mikroba pada makanan yang
menggunakan sayuran segar, seperti
gado-gado, ketoprak, dan tauge goreng.
Jenis mikroba yang banyak ditemui
adalah bakteri koliform, koliform fekal,
E.coli, Salmonella, Shigella, dan
Staphylococcus.
2. Tingkat kontaminasi logam berat pada
sayuran bervariasi, bergantung pada
jenis logam dan sayuran. Kandungan
logam berat Fe pada semua jenis sayur-
an yang diamati umumnya melebihi
BMR. Kandungan logam berat Pb dan
Cd yang melebihi BMR ditemukan pada
kubis, tomat, dan wortel, sedangkan pa-
da cabai merah, bawang merah, dan
selada tidak terdeteksi.
3. Pada umumnya sayuran yang diamati
mengandung residu pestisida di bawah
BMR.
4. Formula sanitizer dengan kombinasi
asam asetat 2% dan natrium hipoklorit
100 ppm dengan waktu kontak 4 menit
memberikan efektivitas yang tinggi ter-
hadap inaktivasi mikroba patogen.
Implikasi Kebijakan
1. Kontaminasi mikroba patogen, logam
berat, dan residu pestisida pada sa-
yuran terjadi karena petani, pengumpul,
distributor, dan pedagang belum mene-
rapkan standar prosedur operasi secara
benar. Oleh karena itu, Good Agri-
cultural Practices (GAP) dan Good
Handling Pratices (GHP) harus dite-
rapkan pada rantai pemasaran sayuran.
2. Perlunya dilakukan revitalisasi termi-
nal agribisnis di sentra produksi sayur-
an agar dapat berfungsi sebagai pasar
produk sayuran bermutu dan memu-
dahkan pengawasannya.
3. Menyusun dan melengkapi SNI untuk
komoditas sayuran dengan memper-
hatikan faktor keamanan pangan dan
tuntutan perdagangan bebas sehingga
komoditas sayuran Indonesia mampu
bersaing di pasar domestik maupun
ekspor.
4. Perlunya sosialisasi yang intensif me-
ngenai kontaminan yang berbahaya
bagi kesehatan, ambang batas yang
direkomendasi, serta standar mutu ber-
bagai sayuran.
5. Diperlukan adanya kepastian hukum
yang mengikat semua pihak, khusus-
nya yang berkaitan dengan perda-
gangan produk pertanian. Keamanan
produk pertanian belum menjadi perha-
tian utama saat ini karena belum ada
aturan dan sanksi yang tegas terhadap
kasus keracunan.
6. Mempermudah mekanisme klaim kon-
sumen kepada produsen dan adanya
kepastian hukum bagi produsen yang
tidak melaksanakan persyaratan mutu.
DAFTAR PUSTAKA
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2008.
SNI 7313: Batas Maksimum Residu
Pestisida pada Hasil Pertanian. BSN,
Jakarta. 147 hlm.
BSN (Badan Standardisasi Nasional).
2009a. SIN 7387: Batas Maksimum
Cemaran Logam Berat dalam Pangan.
BSN, Jakarta. 25 hlm.
BSN (Badan Standardisasi Nasional).
2009b. SIN 7388: Batas Cemaran Mikro-
ba dalam Pangan. BSN, Jakarta. 37 hlm.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. 1989. Keputusan Ditjen
POM RI No. 03725/B/SK/VII/1990
tentang Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dalam Makanan. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makan-
an, Jakarta.
ICMSF (International Commision on
Microbiological Specification for
Foods). 1996. Microorganisms in Food.
2. Sampling for Microbiological Ana-
lysis Principles and Specific Aplica-
tions. 2
nd
Edition. Chapman and Hall,
Glasgow.
Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sa-
yuran Lalap dari Pasar Tradisional di
Daerah Bogor dan Pengaruh Pasca-
panen Minimal untuk Menjamin Ke-
amanannya. Skripsi, Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri
Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor.
Lund, B.M., T.C. Baird-Parker, and G.W.
Gould. 2000. The Microbial Safety and
Quality of Food. Vol. II. Aspen Publ.
Inc., Gathesburg, Maryland.
Marriot, N.G. 1999. Principle of Food Sani-
tation. 4
th
Edition. Aspen Publ. Inc.,
Gather-sburg, Maryland.
Marlis, A. 2004. Efektivitas Hidrogen Pe-
roksida dan Asam Asetat untuk Inak-
tivasi Salmonella pada Selada Segar.
Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Media Indonesia. 2005. 39 Produk Ma-
kanan Indonesia Ditolak di AS. Media
Indonesia 12 Mei 2005: 4.
Munarso, S.J., Misgiyarta, R. Nurjanah,
Murtiningsih, E. Mulyono, Suismono,
Syaifullah, D. Amiyarsi, S. Nugraha,
dan S.I. Kailaku. 2004. Penelitian
Perilaku Kontaminan pada Komoditas
Sayuran. Laporan Akhir. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pasca-
panen Pertanian, Bogor.
Munarso, S.J., Misgiyarta, Syaifullah,
Murtiningsih, Miskiyah, W. Haliza,
Suismono, E. Mulyono, S. Nugraha, D.
Amiyarsi, R. Nurjanah, Widaningrum,
P. Yuwono, S.I. Kailaku, dan A. Bu-
diyanto. 2005. Identifikasi Kontaminan
dan Perbaikan Mutu Sayuran. Laporan
Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pe-
ngembangan Pasacapanen Pertanian,
Bogor.
Munarso, S.J., Miskiyah, dan Wisnubroto.
2009. Studi kandungan residu pestisi-
da pada kubis, tomat dan wortel di Ma-
lang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pene-
litian Pascapanen Pertanian 5(1):27-32.
OMAFRA (Ontario Ministry of Agricul-
ture Food and Rural Affairs). 2002.
Selected foodborn outbreaks traced to
fresh produces and juices. In Food
Safety Risk Assessment Foods of Plant
Origin. Appendix A. OMAFRA Food
Inspection Branch.
Sapers, G.M. 2001. Efficacy of washing and
sanitizing methods for disinfection of
fresh fruit and vegetable products.
Food Technol. Biotechnol. 39(4): 305-
311.
Singh, N., R.K. Singh, A.K. Bhunta, and
R.L. Stroshine. 2002. Effect of ino-
culation and washing methods on the
efficacy of different sanitizers against
Escherichia coli O157:87 on lettuce.
Food Microbiol. 29: 1983-1993.
Sugiharto, A.T. 2007. Teknologi ozon alter-
natif pengawetan makanan yang aman.
Trubus 4 Juli 2007.
Supardi, I. dan M. Sukamto. 1999. Mikro-
biologi dalam Pengolahan dan Keaman-
an Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Susilawati, A. 2002. Keamanan Mikro-
biologi dan Survei Lapangan Sayuran
di Tingkat Petani dan Pasar Tradisional
di Daerah Bogor. Skripsi Fakultas Tek-
nologi Pertanian Institut Pertanian Bo-
gor.
Tauxe, R., H. Kruse, C. Hedberg, M. Potter,
J. Madden, and K. Wachsmuth. 1997.
Microbial hazards and emerging issues
associated with produce. A preliminary
report to the National Advisory Com-
mittee on Mocrobiological Criteria for
Foods. J. Food Prot. 11: 1400-1408.
Winarti, C., Abubakar, Misgiyarta, dan R.
Nurdjannah. 2007. Penelitian Formulasi
dan Aplikasi Sanitiser pada Sayuran
untuk Mengurangi Kontaminan Mikro-
ba. Laporan Akhir. Balai Besar Pene-
litian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian, Bogor.
Wulandari, D.S. 2004. Efektivitas Hidrogen
Peroksida dan Asam Asetat sebagai Sa-
nitiser dalam Menginaktivasi Salmo-
nella pada Tauge Segar. Skripsi Fa-
kultas Teknologi Pertanian Institut Per-
tanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai