Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika menyebut Poso, hal yang terlintas dalam pikiran kita pertama
kali adalah memori konflik antar komunitas yang berkepanjangan. Kekerasan,
pembantaian dan peristiwa berdarah yang begitu mencekam seakan sudah
melekat dalam persepsi orang mengenai Poso. Sungguh menyedihkan identitas
yang disandang Poso. Padahal, panorama alam di Poso sangatlah indah seperti
Danau Poso, Tentena. Namun, kini sudah ternodai oleh hawa nafsu manusia
yang haus akan darah, sehingga mereka tega menjadikan saudara sendiri
sebagai mangsa.
Sebenarnya konflik komunal sudah sejak lama terjadi di negeri tercinta
ini baik pada masa pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan RI. Hal itu
terjadi karena Indonesia merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari
berbagai suku-bangsa, ras, bahasa, kebudayaan, dan agama. Jauh sebelum
konflik Poso bergulir, terjadi konflik antar suku di Kalimantan Barat sejak
tahun 1950-an. Kemudian di masa Orde Baru terjadi Tragedi Sampit di
Kalimantan Tengah. Selain itu, konflik pun merambah di daerah Jawa seperti,
di Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, dan Madura.
Kerusuhan Poso terjadi pada tahun 1998 mengguncang bangsa
Indonesia. Banyak pertanyaan yang menggelitik muncul mengenai latar
belakang kasus tersebut. Apakah kerusuhan Poso dipicu oleh sentimen
keagamaan sebagai satu-satunya faktor seperti diklaim berbagai kalangan
ataukah terdapat faktor lain yang melanggengkan konflik di wilayah tersebut?

1.2. Rumusan Masalah
Ada berbagai permasalahan yang dapat dirumuskan dari konflik Poso yakni
sebagai berikut:
1. Apakah konflik Poso dilatarbelakangi oleh kecemburuan dan kesenjangan
sosial penduduk asli terhadap penduduk pendatang atau lebih tepatnya
disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi?
2

2. Apakah konflik tersebut lebih disebabkan oleh faktor politik, baik politik
daerah maupun pusat?
3. Apakah isu sentimen agama sengaja dihembuskan oleh oknum-oknum
yang berkonflik dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dari kasus
tersebut?

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan penulis mengambil tema Konflik Poso
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mencoba menganalisa konflik Poso yang sudah dilupakan oleh
pemerintah. Padahal, kasus tersebut melibatkan banyak pihak yang harus
bertanggung jawab.
b. Mencoba mengkaji gejala yang muncul dalam masyarakat beragama,
yakni kasus Poso, dengan berbagai pendekatan.



3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sekilas Tentang Konflik Poso
Konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama semakin meningkat pada
era reformasi pada tahun 1998. Hal itu dalam tinjauan psikologis merupakan
hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari ketidakadilan dalam proses
politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak daerah
yang tidak menikmati hasil pembangunan rakyat karena sistem yang
sentralistik yang terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta.
Hal itulah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh
isu-isu yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dari
keberlangsungan konflik. Terlebih lagi isu-isu yang bergulir sengaja
bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar. Isu tersebut dijadikan
senjata untuk menyulut konflik karena ampuh menyentuh lubuk sanubari
masyarakat menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang,
dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur
jauh lebih sering karena kawasan Indonesia Timur terdiri dari 547 suku,
sedangkan Indonesia bagian Barat sebanyak 109 suku.

2.2. Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang
memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU
dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13
kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami
231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang
hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian
yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan
vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan),
fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta
tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
4

Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga
memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat
warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso
yang menggunakan bahasa Baree dalam komunikasi, mengikat kekerabatan
mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat). Jadi, sangat
kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa
berseteru sengit.

2.3. Penyebab Konflik Poso
Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni
pemuda mabuk, sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada
konflik keagamaan. Isu agama menjadi salah satu pendorong munculnya
tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang dikotak-kotakkan berdasarkan
basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan representasi dari
kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale,
Parigi, dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah terdapat di
daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.
Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-
peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat
terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin
memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan tahun
1997, kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal
belum ada kesiapan sosial dari daerah-daerah yang sudah lama
termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit, Maluku, termasuk
di Poso.
Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat
mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut
Ketua Umum Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso,
H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan kembali
mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan
5

secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan
politik pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan
daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.
Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku
Pamona) ke etnis pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses
rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeresan
lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) juga
merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki relasi
karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan
akan berimplikasi pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk
pendatang pada akhirnya yang menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.

2.4. Tahap-Tahap Kerusuhan
2.4.1. Kerusuhan Tahap I
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim
kampanye enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat
untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah
hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama,
terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jumat, 25 Desember 1998
bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta
miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih
berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan
mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area
masjid.
Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang
pengurus masjid yang mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan,
dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut terjadi
ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga Muslim di
Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke
sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok.
6

Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan
percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso
bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka
juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib.
Kembali ditinjau dari psikologis massa, permasalahan semakin rumit
karena pemerintah daerah tidak menanggapi secara serius. Akhirnya
masyarakat mengambil tindakan sendiri sehingga situasi semakin
menegang. Hal itu dikarenakan massa mulai melakukan tindakan
destruktif.
Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman
Parimo hendak menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan
mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal,
konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik
dengan senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang
beredar selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama.
Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang
berdasarkan sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi
juga sesama Muslim di luar daerah mereka. Setelah didengungkannya
konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu
dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang
seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya. Entah,
apakah itu benar-benar motif sesungguhnya dari kerusuhan tahap pertama
ini?
Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa begitu
mudah menuai konflik. Padahal, sebelumnya mereka hidup berdampingan
penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya tragedi tersebut, rasa saling
percaya yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan karena
kecurigaan Muslim terhadap umat Kristiani, mereka menggunakan kata-
kata sandi yakni, Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso yang berarti
akan ada penyerangan kaum Nasrani ke Poso, Dalam kajian sosiologis,
7

kondisi demikian sebetulnya mencerminkan adanya sebuah realitas dari
psikologi sosial yang tegang.
2.4.2. Kerusuhan Tahap II
Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan
kerusuhan jilid kedua berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17
April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama memanggul
senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di
jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti,
panah, parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena
mengindikasikan semangat yang membara untuk melanjutkan konflik.
Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat
melerai perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.
Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut
sengaja diperpanjang karena demi membela kesucian agama? Ataukah
karena dendam yang dipupuk, hingga mereka tak kuasa memuntahkannya
dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan
tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik
berupa makanan, obat-obatan, bahkan senjata.
Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang
temannya. Tepatnya pada tanggal 22 Mei 200, sekitar pukul dua dini hari,
kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso
Kota bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-
musuh yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut
dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai
pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan
bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun,
mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis
menghabisi nyawa musuhnya.
2.4.3. Kerusuhan Tahap III
Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan
pengorganisasian yang intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat
8

Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama dan kedua. Upaya
tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan
Muslim. Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat
Muslim masih lengah. Tak disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang
kelompok Muslim dari lima penjuru kota Poso.
Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat
kelompok Muslim semakin terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah
karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu dikarenakan
jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan
kayu gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang
itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa.
Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-
bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso
Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa
kecamatan di Poso Pesisir.
Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu
dijatuhkan vonis mati. Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351
juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan, Tibo menyampaikan
surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang
sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi
pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya
Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah
Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat
sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng,
menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain
itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki
Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada
akhirnya, keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di
kalangan masyarakat.
Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana
sangat bergantung pada kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk
9

menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan
keamanan. Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian
kasus Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan
kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus
Tibo merupakan contoh di mana pemerintah menggunakan kacamata kuda
dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting dalam
kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas
terjadinya konflik Poso.
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik,
akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu
tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah
Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan
penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi
Malino tanggal 20 Desember 2001.
Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok Islam dan Kristen
yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk berdamai
dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh
pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani
perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi dibacakan
Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut,
kedua pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung
pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga
keamanan.
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan
keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua
pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu
sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
10

6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap
warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara
damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya
yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan
berlangsung.
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana
ekonomi secara menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip
saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui
baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan
ketentuan lainnya.
Tapi, deklarasi itu tampaknya memang bukanlah lampu aladin yang
sanggup menyulap Poso dalam damai. Poso yang lepas dari teror dan
kekerasan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, deklarasi itu seperti
mengalami proses deregulasi. Dihancurkan sendi-sendinya dan konflik
kembali mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan pada Jumat, 10
Maret 2006 pukul 07.45 Wita ledakan bom terjadi lagi, kini di kompleks
Pura Agung Jagadnata, Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara,
Sulawesi tengah. Komando Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso yang
sudah beberapa waktu lalu dibentuk tak bisa melakukan antisipasi dini
sehingga bom tetap meletus.
Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar
pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian
Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama
Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar
akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar
Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Dari sinilah
terlihat adanya pergeseran isu konflik, dari agama menuju konflik antara
aparat dengan warga.
11

2.5. ANALISA DAN SOLUSI PENYELESAIAN
Situasi yang tergambar dari konflik Poso sungguh mengerikan. Banyak
rumah-rumah yang terbakar karena terjadi pembumihangusan. Selain itu,
mayat-mayat bergelimangan darah menjadi pemandangan yang biasa.
Ditambah lagi, setiap detik warga saling bertikai. Aksi teror bom memburu
waktu dan senjata otomatis menjamur di kalangan sipil. Tapi, di lain sisi
terdapat banyak warga yang mengungsi tak mendapat akses bantuan.
Pertanyaannya, apakah persoalan di Poso begitu misterius sehingga kekerasan
demi kekerasan tidak teratasi?
Bila dikaji lewat pendekatan sosiologis dan fenomenologis, konflik yang
terjadi di Poso berhembus seiring merebaknya ketidakadilan lokal. Hal
tersebut berpangkal pada kebijakan pemerintahan pusat yang sentralistik dan
diskriminatif. Ketidakadilan yang sudah mendarah daging diamini oleh
masyarakat lokal yang menyusupkannya pada isu SARA (suku, ras, agama,
dan antar kelompok). Pada akhirnya, rasa ketidakadilan yang terus dipupuk
oleh warga tumbuh dengan subur. Sehingga, motif etnis dan agama menjadi
lahan empuk terciptanya konflik yang bermuara pada konflik agama.
Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem antarkomunitas,
sesungguhnya keliru. Hal itu dikarenakan tragedi tersebut merupakan
akumulasi kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, birokrasi
sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari kemarahan
korban, eksploitasi terhadap doktrin agama, hingga eksploitasi atas hal itu
untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang terjadi.
Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana konflik di Poso dapat
diilustrasikan dengan mengentalnya identitas sosial dengan fenomena in-group
dan out-group. Kedua fenomena tersebut berkenaan dengan persepsi mereka
terhadap kelompok lain, serta eksistensi dan teritori. Atas dasar itu, muncullah
oknum-oknum yang berencana menciptakan kerusuhan dengan membentuk
sentimen yang ada di masyarakat.
Ditambah lagi sempat adanya ulur waktu yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan terhadap penyelesaian konflik Poso. Aparat fokus mengejar
12

teroris dan koruptor. Namun, untuk teroris, yang dikejar adalah masyarakat
Muslim seperti kami. Selama ini kami merasa ada upaya sengaja memelihara
konflik. Masyarakat serta tokoh Muslim dan Kristen sebenarnya sudah
membentuk forum bersama, tetapi setelah itu masih saja ada teror muncul,
ujar Adnan Arsal.
Setelah Deklarasi Malino, banyak pihak yang berpikir keras untuk
mengupayakan penyelesaian konflik Poso. Akan tetapi, perlu diperhatikan
masalah krusial yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu, apabila perdamaian
hanya pada tataran konsep. Pertama, banyak bermunculan komplain dari
warga karena adanya diskriminasi penanganan konflik Poso. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap proses hukum di negeri ini berpotensi menyulut konflik
lagi.
Kedua, dalam upaya penyelesaian konflik, pemerintah mengabaikan
aspek sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka yang tinggal di pengungsian
kehilangan rasa aman. Ditambah lagi hak milik para pengungsi yang jatuh
kepada pihak lain. Selain itu dalam wilayah ekonomi, mereka bisa tersulut
emosinya karena alokasi dana telah dikorupsi oleh aparat birokrat. Sementara
itu, mekanisme jual beli maupun pemanfaatan hasil pertanian tidak dinikmati
sepenuhnya oleh mereka. Konflik juga menyebabkan perekonomian lumpuh
sehingga pengangguran merajalela. Aspek sosial dan ekonomi perlu
dieprhatikan secara serius oleh pemerintah karena sama pentingnya dengan
aspek keamanan.
Ketiga, penyelesaian masalah korupsi yang tak kunjung usai. Walaupun
Inpres No. 14/2005 sudah mengungkap korupsi yang dilakukan oleh dua
mantan pejabat Sulawesi Tengah. Akan tetapi, korupsi dana bantuan
pengungsi merajalela tanpa tersentuh hukum. Hal itu dikarenakan korupsi
melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para pejabat. Bahkan teror
disinyalir sebagai upaya melanggengkan praktik korupsi. Selain itu, sebagai
pertimbangan untuk mencegah konflik Poso adalah dengan menerapkan
prinsip persatuan geneologis yang masih kuat dan persatuan atas dasar
kepentingan.
13

Abd Moqsith Ghazali menyatakan dalam artikel Poso bahwa sejumlah
analisa beredar di lingkungan masyarakat. Salah satunya, tentang adanya
pihak-pihak tertentu yang ingin memelihara kekerasan di sana. Jika itu
motifnya, maka alangkah jahatnya pihak yang telah menjadikan saudaranya
sebagai tumbal untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka lebih
mementingkan kekuasaan politik dan ekonomi ekonomi-finansial di atas
timbunan darah orang-orang yang tak berdosa.
David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan penelitian atas berbagai
konflik horizontal yang terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga. Menurutnya,
ada dua elemen kuat yang menjadi pemicu terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertama adalah elemen identitas, yaitu mobilisasi orang dalam kelompok-
kelompok identitas komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa,
dan lainnya. Kedua adalah elemen distribusi, yakni cara untuk membagi
sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat.
Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada konflik Poso.
Konflik yang terjadi Poso berakar dari distribusi baik ekonomi, social dan
politik yang tidak adil berkenaan dengan perbedaan identitas. Maka ketika
terjadi gesekan-gesekan sosial sudah representatif untuk menyulut konflik
yang massif dan berkepanjangan. Konflik Poso sangat dipengaruhi oleh isu
indetitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Adanya perbuatan dari
kelompok etnis/agama tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan
kelompok identitas lainnya. Selain itu, penguasaan lapangan kerja yang
berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya konflik.
Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan pendistribusian
sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan
seterusnya. Hal tersebut menciptakan kesempatan bagi para oportunis untuk
memperpanjang konflik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi dan belum
terbiasa dengan keterbukaan. Sehingga hal tersebut menjadi faktor penunggu
yang potensial terhadap munculnya konflik.
Selain pada tataran horizontal, terdapat juga konflik pada level vertikal.
Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni pihak eksekutif, legislatif,
14

judikatif dan Hankam terlambat dalam koordinasi dan penghimpunan berbagai
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencegah konflik semakin meluas.
Langkah aparat yang melakukan kekerasan justru semakin memperkeruh
suasana sehingga konflik makin berkepanjangan.
Bila dilihat dari sisi politis, terlihat adanya unsur kesengajaan untuk
memperpanjang konflik dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan
reformasi. Mereka menyebarkan informasi untuk mempengaruhi opini publik.
Isu yang dihembuskan adalah Orde Baru merupakan era yang lebih baik
daripada Reformasi. Sebagai bukti yang mereka tunjukkan, ketika Orde Baru,
Indonesia begitu tentram dan berdaulat. Namun, ketika kekuasaan Status Quo
runtuh, negeri ini bergejolak. Mereka sengaja menciptakan konflik dimana-
mana dengan memprovokasi rakyat, termasuk konflik di Poso. Masyarakat
dibenturkan dengan isu etnis dan agama yang sangat sensitif sehingga mudah
menyulut konflik. Oleh karena itu, tesis mereka bahwa pemerintahan Orde
Baru lebih baik daripada Era Reformasi yang kacau balau, diamini oleh rakyat
Indonesia.
Di sisi lain, nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini
merupakan bagian dari skenario konspirasi besar pihak asing untuk
menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas
ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat dari yel-
yel yang dieluk-elukkan tidak hanya di Poso, akan tetapi di wilayah konflik
seperti Ambon dan Ternate. Mereka meneriakkan Hidup Amerika! Hidup
Australia! Hidup Belanda!
Ada beberapa hal berkenaan dengan faktor-faktor yang melanggengkan
Kerusuhan Poso. Pertama, berkaitan dengan peran aparat Negara, Polri, dan
TNI. Terdapat dua kubu penafsiran. Kubu pertama mengatakan militer,
setidaknya ikut bermain dalam konflik berdarah di Poso dan juga di tempat
konflik lainnya. Menurut Dedy Askary, dari Lembaga Pengembangan Studi
Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu, keterlibatan aparat
keamanan disebabkan tiga hal yakni, mental aparat, rantai komando, dan
konflik internal di kalangan mereka. Kubu kedua berpendapat bahwa aparat
15

keamanan gagal karena keterbatasan personel dan sumber daya. Pendapat ini
paling sering dikemukakan perwira militer dan polisi. Tapi kedua kubu
minimal mengakui ketidakmampuan aparat membuat segala upaya
perdamaian berujung kegagalan.
Polri dan TNI berkepentingan dengan konflik ini dengan beberapa
argumen. Pertama, akibat konflik dan kerusuhan, masyarakat menjadi trauma
dan ketakutan. Pada saat itu masyarakat akan membutuhkan kehadiran aparat
Negara. Dalam soal ini, konflik yang terjadi cenderung diawetkan untuk dapat
memulihkan citra baik kepada Polri dan TNI. Kedua, konflik yang menahun
telah mendatangkan biaya pengamanan tersendiri. Pengerahan pasukan
memerlukan biaya. Dengan demikian konflik memiliki benefit impact tertentu.
Selain aparat Negara, polri, dan TNI yang berperan dalam
melanggengkan konflik Poso, ada juga elit lokal. Dapat diidentifikasikan
bahwa adanya peran terselubung dari elit lokal di daerah itu demi kepentingan
kekuasaan yang didominasi kepentingan golongan suku dan agama.
Keterlibatan aparat lainnya terbaca dengan mencuatnya beberapa kasus KKN
yang diduga melibatkan birokrasi dan elit politik lokal. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan LSM bahwa konflik Poso jelas terkait dengan korupsi dana
kemanusiaan. Dari inidikasi itu, aliansi Ornop menilai ada korelasi positif
antara kekerasan di Poso yang bermuara pada peledakan bom di Pasar Tentena
dengan korupsi sistematik yang dilakukan elit. Korupsi itu dilakukan oleh
sejumlah pejabat dan berjalan secara akumulatif selama empat tahun.
Konflik tersebut semakin complicated karena masih ada lagi yang
berperan dalam konflik Poso yakni, kehadiran pasukan terlatih. Banyaknya
solidaritas dari luar Poso disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah
daerah dan keamanan dalam melindungi warga. Diantaranya adalah kehadiran
laskar Jihad yang disinyalir mengirim 3.000 pasukan jihad ke Poso. Alasan
utama mereka ialah untuk memberikan bantuan medis, pendidikan, dan
pemberantasan tempat-tempat maksiat. Tidak hanya kelompok Muslim, akan
tetapi kubu Kristen juga mendapatkan bantuan dari Laskar Manguni, Laskar
Kristus, dan Front Kedaulatan Maluku. Dari hal tersebut mengindikasikan
16

bahwa fenomena yang merebak di masyarakat bahwa Konflik Poso adalah
perang agama.
Isu yang sengaja dihembuskan oleh BIN (Badan Intelijen Nasional)
bekerja sama dengan Amerika yakni, Poso merupakan markas latihan anggota
gerakan Al-Qaeda. Tudingan dari Kepala BIN, Hendropriyono menuai kritik
keras karena tanpa bukti dan dasar yang kuat. Hal itu dinyatakan oleh Zainal
Abidin Ishak selaku Kepala Kepolisian Sulawesi Tengah. Desa Kapompa
yang disebut Kepala BIN sebagai markas teroris sangat paradoks. Hal itu
dikarenakan desa Kapompa mayoritas penduduknya beragama Kristen. Poso
memang sudah menjadi wilayah perang jadi, wajar saja bila banyak kamp-
kamp militer. Hal itu dikarenakan karena kedua kelompok mengadakan
latihan perang. Tapi, wilayahnya di Poso Kota, di pegunungan sekitar Pamona
Utara dan Lage. Selain itu juga terdapat pasukan terlatih yang berasal dari
pasukan-pasukan organic Polri dan TNI yang mengamankan Poso.
Konflik Poso menyisakan luka yang mendalam karena kedamaian telah
direnggut oleh hawa nafsu manusia yang haus darah. Tentunya konflik
tersebut berbuah dendam yang membara dan sewaktu-waktu bisa meledak
apabila disulut kembali oleh provokator yang tidak bertanggung jawab.
Kekerasan sudah menjadi hal yang lumrah di tanah Poso yang menjadi mata
rantai tak terputuskan. Tapi, kita harus optimis bahwa Poso tidak akan lagi
berdarah. Masih ada hati dalam sanubari manusia sebagai makhluk Tuhan.
Perbedaan agama bukanlah penghalang menciptakan kerukunan. Hal itu
dikarenakan rakyat Poso mempunyai semboyan pengikat persatuan yakni,
sintuwu maroso (bersatu kita kuat).
Selain itu, kebijakan otonomi daerah dewasa ini diharapkan dapat
menciptakan keadilan bagi setiap daerah. Jadi, diharapkan tidak ada lagi
kesenjangan sosial akibat sistem yang sentralistik. Janganlah menyusupkan
kepentingan pribadi di daerah ini sehingga menghalalkan darah saudaranya
sendiri. Ciptakanlah kedamaian di negeri tercinta yang pluralistik. Ditambah
lagi pendidikan berbasis budaya yang digali dari kearifan lokal. Semua itu
demi memperkuat nilai-nilai universal dan semangat kebangsaan. Sehingga
tidak ada konflik lagi yang berhembus di negeri ini

17

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari bab pembahasan pada bab II, maka dapat disimpulkan bahwa
Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem antarkomunitas,
sesungguhnya keliru. Hal itu dikarenakan tragedi tersebut merupakan
akumulasi kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, birokrasi
sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari kemarahan
korban, eksploitasi terhadap doktrin agama, hingga eksploitasi atas hal itu
untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang terjadi.
Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana konflik di Poso dapat
diilustrasikan dengan mengentalnya identitas sosial dengan fenomena in-group
dan out-group. Kedua fenomena tersebut berkenaan dengan persepsi mereka
terhadap kelompok lain, serta eksistensi dan teritori. Atas dasar itu, muncullah
oknum-oknum yang berencana menciptakan kerusuhan dengan membentuk
sentimen yang ada di masyarakat.

3.2. Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami mengenai konflik poso ini,
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, agar dapat mengambil pelajaran
dari adanya kerusuhan tersebut. Dan kami mengharapkan kritik dan saran dari
rekan sekalian agar menjadi perbaikan makalah kami di kemudian hari, terima
kasih.

18

DAFTAR PUSTAKA

Basoeki Soeropranoto. H. Rachmat. Jangan Lupakan Poso. Mantan Napol Kasus
Peledakan BCA 1984.

Conolly (ed.), Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS. 2009.
hal. 283.

DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat. Kompas, 14-3-2006.

Ghazali, Abd Moqsith. Poso.

Manullang, A. C. Terorisme dan Perang Intelijen: Behauptung Ohne Bewes
(Dugaan Tanpa Bukti). Jakarta: Manna Zaitun

Sangaji, Arianto. Masa Depan Poso Pasca-Koopskam, Kompas 17-7-2006.

Sangaji, Arianto. Mengapa Poso Kembali Memanas? Direktur Pelaksana Yayasan
Tanah Merdeka, Palu. Kompas, 9-10-2006.

Sianturi S.Si, Eddy MT. Konflik Poso dan Resolusinya. Puslitbang Strahan
Balitbang Dephan.

19

DAFTAR ISI


Halaman judul ......................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................ ii
Daftar Isi.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
1.3. Tujuan ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 3
2.1. Sekilas Konflik Poso .................................................................. 3
2.2. Demografi Poso .......................................................................... 4
2.3. Tahap-tahap Kerusuhan Poso ..................................................... 5
2.3.1. Kerusuhan Tahap I .......................................................... 5
2.3.2. Kerusuhan Tahap II ......................................................... 7
2.3.3. Kerusuhan Tahap III ....................................................... 7
2.4. Analisa dan Solusi Penyelsaian .................................................. 11

BAB III PENUTUP ................................................................................ 17
3.4. Kesimpulan ................................................................................ 17
3.5. Saran ........................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
20

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahma nirrahim
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Yang maha
pengasih lagi maha penyayang yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
membahas mengenai Konflik Poso.
Dengan pembuatan karya tulis/makalah ini kami menyadari dan
mengakui masih banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah
ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Karena
itulah kami mengharapkan adanya keritikan dan saran-saran perbaikan dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, kepada Allah jua kami memohon ampun dan kepada
Allah SWT jualah kita berharap, semoga makalah ini bermanfaat
khususnya bagi diri kami sendiri dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Bengkulu, Mei 2014


Penulis









ii
21

MAKALAH
..
Konflik Poso


















Oleh :

..





PROGRAM STUDI ..
JURUSAN .
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2014

Anda mungkin juga menyukai