Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN TERNAK PERAH


Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah di Laboratorium Lapang
Sumbersekar, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang





























Oleh:


Dani Muzani Nur (115050100111012)





FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
Mei, 2014

BAB I
PENDAHULUAN


Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan sapi perah yang produksi susunya
tinggi dengan persentase kadar lemak yang rendah apabila dibandingkan dengan
bangsa sapi perah lainnya. Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh faktor
genetik (sifat keturunan) dan faktor lingkungan. Kemampuan sapi perah dalam
memproduksi susu dipengaruhi oleh 30% genetik dan 70% lingkungan.
Manajemen pemeliharaan meliputi manajemen perkandangan dan sanitasi
lingkungan, manajemen pemberian pakan, manajemen pemerahan, pengaturan
perkawinan dan penanganan penyakit serta pencegahannya.
Susu merupakan hasil utama dari ternak perah, dengan kandungan gizi
yang lengkap dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Nilai gizi yang terkandung
antara lain karbohidrat, protein, lemak, mineral, kalsium, vitamin A, asam amino
esensial maupun non esensial, dan sebagianya. Produksi susu yang dihasilkan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Indonesia masih sangat rendah,
karenanya diperlukan peningkatan hasil, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Peningkatan permintaan susu yang tidak diimbangi dengan bertambahnya
populasi sapi, tentu saja mengakibatkan kebutuhan akan susu tidak terpenuhi.
Pemenuhan produksi susu dengan penambahan ternak sapi perah membutuhkan
waktu yang lama. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan usaha ternak sapi
perah memiliki peluang dan prospek usaha yang sangat cerah. Meskipun
demikian, prospek usaha ternak sapi perah yang sangat menjanjikan di Indonesia
ini tidak akan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa memperhatikan tata
laksana pemeliharaan sapi perah itu sendiri.
Manajemen pemeliharaan induk laktasi sapi perah merupakan pelaksanaan
pemeliharaan ternak setiap hari yang kegiatannya meliputi pemberian pakan dan
minum, sanitasi kandang, pelaksanaan perkawinan, pemerahan, pembersihan dan
kesehatan sapi, dan sistem perkandangan.
Efisien pengembangbiakan dan pengembangan usaha ternak perah hanya
dapat dicapai apabila peternak memiliki perhatian terhadap tata laksana
pemeliharaan dan manajemen pengelolaan yang baik. Faktor manajemen inilah
yang memegang peranan penting dalam usaha ternak perah. Maka dari itu adanya
kegiatan magang ini diharapkan bisa mengetahui semua manajemen yang
berkaitan dengan perusahaan peternakan karena sangat penting bagi mahasiswa
untuk menunjang pengetahuan dan pengalaman dilapangan sebelum terjun
kedunia usaha peternakan nantinya.


































BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pedet pra Sapih
Di Laboratorium lapang Sumbersekar, apabila pedet lahir pekerja kandang
menyusukan pedet secepat mungkin dengan mengarahkan pedet pada puting
induknya supaya segera mendapatkan kolostrum, Apabila pedet lahir sehat dan
kuat biasanya 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir sudah dapat berdiri. Pedet
waktu lahir tidak memiliki kekebalan untuk melawan penyakit. Oleh karena itu 30
sampai dengan 60 menit setelah lahir pedet segera diberi minum kolustrum.
Kolostrum adalah susu yang dihasilkan oleh sapi setelah melahirkan sampai
sekitar 5 sampai dengan 6 hari. Kolostrum sangat penting untuk pedet setelah lahir
karena kolustrum mengandung zat pelindung atau antibodi yang dapat menjaga
ketahanan tubuh pedet dari penyakit berbahaya (Soetarno, 2003).
Di Laboratorium lapang Sumbersekar, apabila pada awal menyusu pedet
mengalami kesulitan maka dapat dilatih dengan menggunakan ember terbuka dan
memerlukan kesabaran. Caranya mula-mula pedet dibiarkan menjilat atau
mengisap jari telunjuk yang dibasahi kolostrum. Selanjutnya jari telunjuk yang
dihisap-isap, perlahan-lahan dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam ember yang
berisi kolostrum dan dibiarkan beberapa menit mengisap-isap jari telunjuk dan
kolostrum turut terserap sedikit-sedikit. Kemudian jari telunjuk perlahan-lahan
dilepas dari pedet. Perlakuan demikian perlu diulang-ulang sehingga akhirnya
pedet mau minum kolostrum dari ember tanpa bantuan lagi atau dengan
menggunakan botol yang diberi selang karet lunak.
Kolostrum buatan diberikan pada pedet apabila induk tidak dapat
menghasilkan kolostrum. Kolostrum buatan sekali minum terdiri dari campuran
liter susu murni + 1 sendok teh minyak ikan + 1 sendok teh kastroli + 1 telur yang
dikocok didalam liter air hangat. Pemberian kolustrum buatan diberikan 3 kali
sehari selama 3 sampai dengan 4 hari (Soetarno, 2003).
Di Laboratorium lapang Sumbersekar, pedet setelah umur 1 hari
dipisahkan dari induknya dan ditempatkan di kandang pedet. Pemberian susu
pedet dijatah sesuai kebutuhan pedet. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Martoyo (1985) yang menyatakan bahwa pedet di dipelihara bersamaan dengan
induk, hal ini dimaksudkan agar pedet dapat leluasa menyusu pada induknya.
Susu merupakan makanan bergizi tertinggi bagi pedet. Pemberian susu sebaiknya
dibatasi karena kelebihan susu akan mengakibatkan diare. Menurut Martoyo
(1985), sejak umur satu minggu sampai sekitar 1 bulan susu yang diberikan
sekitar 10 % berat badan perhari dan diberikan 2 kali sehari. Mulai umur tiga
minggu pedet mulai dilatih dengan disediakan pakan konsentrat. Hal ini
dimaksudkan agar merangsang perkembangan rumen, sehingga dapat cepat
berfungsi. Air minum dapat mulai diberikan pada umur tiga minggu.
2.1.2 Bobot Badan
Pedet periode prasapih memerlukan pakan cair dan kering dan sebaiknya
diberikan campuran biji-bijian kering ketika berumur tiga hari. Pemberian pakan
kering lebih awal sangat penting untuk menstimulasi perkembangan rumen.
Target pemeliharaan pedet periode prasapih adalah mencapai bobot badan 65 kg
pada saat umur 8 minggu atau umur sapih. Pedet mengkonsumsi pakan kasar
minimal 1 kg/hari. Setelah disapih konsumsi konsentrat pedet sekitar 2 kg/hari.
Pedet pada periode ini diusahakan mencapai pertambahan bobot badan harian 0,7
kg (Anonymous, 2006).

2.1.3 Kandang
Pedet yang berusia 0 4 bulan harus dibuatkan kandang sendiri agar tidak
bercampur dengan pedet atau sapi lainnya. Dapat pula dibuatkan penyekat atau
penghalang antar kandang. Hal ini disebabkan pedet sangat rentan terhadap
penyakit yang disebabkan oleh perubahan cuaca dan pedet memiliki naluri
menyusu sehingga jika disatukan dapat saling mngisap dan menjilat. Kandang
pedet lazimnya dibuat dari bahan bambu atau kayu berukuran 95 x 150 x 130 cm.

2.2 Pedet post Sapih
2.2.1 Pakan
Pakan pedet lepas sapih (4-8 bulan) sudah dapat disediakan/diberikan
pakan konsentrat dan dan hijauan/rumput. Pemberian pakan dan air kepada pedet
lepas sapih sebaiknya tidak terbatas (ad libitum). Hal ini disebebakan pedet berada
dalam kandang koloni,sehingga apabila daya pakannya baik akan tumbuh lebih
cepat. Namun, patokan pemberian pakan kepada pedet adalah konsentrat 11,5%
dan hijauan 10% dari bobot hidup. Susunan konsentrat untuk pedet lepas sapih
terdiri atas 26% bungkil kelapa, 24% bungkil kedelai, 25% dedak halus dan 25%
ampas tapioka.
2.2.2 Bobot Badan
Milk Replacer atau Pengganti Air Susu (PAS) Pada fase pemberian susu
untuk pedet, air susu sapi asli dapat diganti menggunakan Milk Replacer/PAS.
Milk Replacer yang baik kualitasnya dapat memberikan pertambahan bobot badan
yang sama dengan kalau diberi air susu sampai umur 4 minggu. Namun kadang-
kadang pemberian milk replacer mengakibatkan sapi lambat dewasa kelamin dan
sering mengakibatkan pedet kegemukan. Milk replacer yang baik dibuat dari
bahan baku yang berasal dari produk air susu yang baik seperti ; susu skim, whey,
lemak susu dan serealia dalam jumlah terbatas. Milk replacer sebaiknya diberikan
pada saat pedet berusia antara 3 – 5 minggu dan jangan diberikan kepada
pedet yang berusia kurang dari 2 minggu. Pedet yang berusia kurang dari 2
minggu belum bisa mencerna pati-patian dan protein selain casein (protein susu).
2.2.3 Kandang
Kandang yang diperlukan untuk pedet lepas sapih yang berusia 4 8 bulan
berupa kandang sistem kelompok di dalam kandang koloni. Hal ini dimaksudkan
agar sapi-sapi remaja lebih bebas bergerak sehingga tulang dan badannya kuat dan
tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan pakan. Karenanya tempat pakan,
tempat minum dan tempat berteduh dibuat terpisah.























2.3.1 Bangsa Sapi

Bangsa sapi perah yang dipelihara di Laboratorium Lapang Sumbersekar
adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) yang merupakan hasil perkawinan
yang tidak direncanakan antara sapi-sapi FH dengan sapi-sapi lokal khususnya di
Pulau Jawa. Jumlah sapi yang dipelihara di Laboratorium Lapang Sumbersekar
pada saat kegiatan praktikum berlangsung adalah 13 ekor, yang terdiri dari 4 ekor
sapi laktasi, 3 ekor sapi dara, 3 ekor sapi kering dan 3 ekor pedet. Ciri-ciri sapi FH
yaitu warna belang hitam putih, kaki berwarna putih, tanduk menjurus ke depan,
pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga, sifat tenang dan jinak
(Mukthar, 2006)
Tanda-tanda sapi ini menyerupai sapi FH dengan produksi susu lebih
rendah dan badannya lebih kecil. Lebih lanjut ditambahkan pula bahwa sapi PFH
merupakan hasil persilangan secara grading up antara sapi betina lokal dengan
pejantan FH murni (Anonimus,1995).
Keunggulan-keunggulan dari sapi perah antara lain: mutu genetik yang
tinggi diperoleh dari genetik pejantannya, mampu beradaptasi dilingkungan tropis
yang diperoleh dari genetik induknya, produksi susu yang cukup tinggi dengan
persistensi produksi yang baik karena memiliki mutu genetik yang tinggi serta
ditunjang dengan kemampuan beradaptasi di daerah tropis, umur beranak pertama
yang ideal dengan calving interval yang tidak panjang (rata-rata 12,6 bulan).
Pertautan ambing yang kuat didukung dengan keempat puting yang simetris dan
kaki belakang yang kokoh sehingga akan memperpanjang daya laktasi dan
banyaknya susu yang dipancarkan.
Ciri-ciri khusus yang terdapat pada sapi PFH yaitu: warna bulu hitam
belang putih, dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna putih, berambing besar,
kepala besar, sempit dan lurus, tanduk kecil, pendek menjurus ke depan, pada dahi
terdapat tanda atau bentuk segitiga berwarna putih, temperamen sapi betina tenang
dan jinak, sedangkan sapi jantan agak liar, bobot sapi betina dewasa mencapai 625
kg sedangkan sapi jantan dewasa mencapai 800 kg, produksi susu sangat tinggi
mencapai 4500-5000 liter/ ekor/ laktasi (Anonimus, 1995) .


2.3.2 Tingkat Laktasi dan Umur Sapi

Masa laktasi adalah masa sapi sedang berproduksi. Sapi mulai berproduksi
setelah melahirkan anak. Kira-kira setengah jam setelah melhirkan, produksi susu
sudah keluar. Saat itulah disebut masa laktasi dimulai. Namun, sampai dengan 4-5
hari pertama produksi susu tersebut masih berupa colustrum yang tidak boleh
dikonsumsi manusia. Tetapi colustrum tersebut khusus untuk pedet, karena
kandungan zat-zatnya sangat sesuai untuk pertumbuhan dan kehidupan awal.Masa
laktasi dimulai sejak sapi tiu berproduksi sampai masa kering tiba. Dengan
demikian, masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau kurang lebih 305 hari,
setelah dikurangi hari-hari untuk berproduksi colustrum.
Di Laboratorium Lapang Sumbersekar, terdapat 4 sapi laktasi yang
memiliki tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda antara satu sama lain, hal ini
dapt dijelaskan bahwa pada sapi 1 memasuki tingkat laktasi bulan ke-6 dengan
umur sapi 4 tahun, sapi 2 memasuki tingkat laktasi bulan ke-5 dengan umur sapi 6
tahu, sapi 3 memasuki tingkat laktasi bulan ke-3 dengan umur sapi 3 tahun,
sementara sapi 4 memasuki tingkat laktasi bulan ke-4 dengan umur sapi 5 tahun.
Dengan tingkat laktasi dan umur sapi yang berbeda ini menunjukkan produksi
susu yang berbeda antara satu sapi dengan yang lainnya.



2.3.3 Bulan Laktasi dan Persistensi

Masa laktasi adalah masa sapi sedang berproduksi. Sapi mulai berproduksi
setelah melahirkan anak. Kira-kira setengah jam setelah sapi itu melahirkan,
produksi susu sudah keluar. Saat itulah disebut masa laktasi dimulai. Namun,
sampai dengan 4 5 hari yang pertama produksi susu tersebut masih berupa
colostrum yang tidak boleh dikonsumsi manusia. Tetapi colostrum tersebut
khusus untuk pedet, karena kandungan zat-zatnya sangat sesuai untuk
pertumbuhan dan kehidupan awal.
Masa laktasi dimulai sejak sapi itu berproduksi sampai masa kering tiba.
Dengan demikian, masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau kurang lebih
305 hari, setelah dikurangi hari-hari untuk memproduksi colostrum. Dengan
demikian semasa laktasi berlangsung 309 hari ini diawali dengan produksi
colostrum 4 5 hari, sehingga produksi susu biasa berlangsung 309 hari 4 = 305
hari.
Persistensi susu sangat dipengaruhi oleh keseimbangan tiga hormon yaitu
Prolactin, Thyroxine dan Growth Hormon. Apabila salah satu lebih, hormon yang
disekresikan lebih kecil dari rata rata optimal, akan berpengaruh terhadap
persistensi. Untuk meningkatkan produksi susu selaa laktasi, peternak dapat
melakukan seleksi sapi mereka dengan memilih sapi sapi selain puncak
produksinya tertinggi, juga dipilih persistensinya yang bagus, (Campbell, 1975).


2.3.4 Bobot Badan dan BCS

Ciri-ciri khusus yang terdapat pada sapi FH yaitu: warna bulu hitam
belang putih, dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna putih, berambing besar,
kepala besar, sempit dan lurus, tanduk kecil, pendek menjurus ke depan, pada dahi
terdapat tanda atau bentuk segitiga berwarna putih, temperamen sapi betina tenang
dan jinak, sedangkan sapi jantan agak liar, bobot sapi betina dewasa mencapai 625
kg sedangkan sapi jantan dewasa mencapai 800 kg, produksi susu sangat tinggi
mencapai 4500-5000 liter/ ekor/ laktasi (Anonimus, 1995).
Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk pemeliharaan sapi
dengan melihat body condition scoring, nilai BCS yang ideal adalah 3,5 (skala 1-
5). Jika BCS lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan setelah melahirkan seperti
mastitis, retensi plasenta, distokia, ketosis dan panaritium. Sedangkan kondisi
tubuh yang kurus menyebabkan produksi susumenurun dengan kadar lemak yang
rendah. Selain itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan sapi
perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan peralatan
pemerahan yang baik.
Di Laboratorium Lapang Sumbersekar ini sapi laktasi memiliki bobot
badan dan tingkat nilai Body Condition Score (BCS) yang bermacam-macam, hal
ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Nomor Sapi 1 2 3 4
Bobot Badan
(kg)
491 491 543 561
BCS 2,5 3 2 2
Jika dilihat dari pendapat (Anonimus, 1995) yang menyatakan bahwa bobot sapi
betina dewasa mencapai 625 kg dengan produksi susu sangat tinggi mencapai
4500-5000 liter/ ekor/ laktasi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di
Laboratorium Lapang Sumbersekar karena bobot badan paling tinggi diantara
keempat sapi laktasi ini yang paling tinggi adalah bobot badan dari sapi keempat
yang hanya memiliki bobot bdan sebesar 561kg, hal ini pula terbukti dengan
rataan produksi susu yang dihasilkan oleh sapi-sapi perah di Laboratorium Lapang
sumbersekar yang hanya 10 liter/ekor/hari dengan produksi 3000 liter/ekor/tahun.
Hal inilah yang sangat menyulitkan peternakan di Indonesia untuk dapat
memenuhi kebutuhan susu nasional, karena produksi susu yang masih rendah
karena bobot badan sapi laktasi yang belum mencapai optimal.
Pun halnya dengan BCS yang dimiliki oleh sapi perah yang ada di
Laboratorium Lapang Sumbersekar yang hanya memliki rataan BCS sebesar 3,
hal ini tetu sangat kurang untuk memenuhi standar BCS yang telah ditentukan
sebesar 3,5. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soebandi, (2006) yang
menyatakan bahwa nilai BCS untuk sapi perah yang ideal adalah 3,5 (skala 1-5).
Jika BCS lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan setelah melahirkan seperti
mastitis, retensi plasenta, distokia, ketosis dan panaritium. Sedangkan kondisi
tubuh yang kurus menyebabkan produksi susumenurun dengan kadar lemak yang
rendah. Selain itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan sapi
perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan peralatan
pemerahan yang baik.


2.3.5 Pakan

Sapi perah laktasi dengan produksi susu tinggi harus diberi ransum dengan
jumlah banyak dan berkualitas dibandingkan dengan sapi perah yang produksi
susunya rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan nutrien pada sapi
perah yang produksinya tinggi. Pakan yang diberikan untuk sapi laktasi di
Laboratorium Lapang Sumbersekar terdiri atas hijauan (rumput gajah), dan
konsentrat.
Sapi Laktasi di Laboratorium Lapang Sumbersekar diberikan konsentrat
dengan mencampur sendiri dari bahan-bahan dasar ransum diantaranya bekatul,
ampas kecap, ampas bir, tebon jaung, kulit kopi, tepung jagung, onggok, premik,
urea, garam, kalsium/ phosphor.
Konsentrat diberikan dua kali sehari setelah pemerahan yaitu pada pukul
05.30 WIB dan dan siang hari pada pukul 13.00 WIB sebelum pemerahan
sebanyak 15kg /ekor /hari. Menurut Blakely dan Bade (1994), pakan konsentrat
diberikan lebih dulu sebelum hijauan, dimaksudkan agar proses pencernaan
terhadap konsentrat bisa relatif lebih singkat waktunya sehingga retensi nutrisi
yang diperoleh akan lebih besar dan mempunyai efek perangsang terhadap
mikroba rumen. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), pakan penguat atau
konsentrat berfungsi untuk menutupi kekurangan zat gizi dalam rumput atau
hijauan, karena pakan penguat terdiri dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan
hasil ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri lainnya.
Pakan hijauan yang diberikan yaitu berupa rumput gajah
(Pennisetum purpureum) dengan frekuensi pemberian dua kali sehari setelah
pemberian konsentrat sebanyak 12 kg /ekor / hari. Sapi Laktasi membutuhkan
sejumlah serat kasar yang sebagian besar berasal dari hijauan sebagai sumber
energi yang akan mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Sebelum hijauan
diberikan dilakukan pemotongan atau chooping terlebih dahulu sepanjang 5-10
cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1995) yang menyatakan bahwa
hijauan yang dipotong-potong dapat meningkatkan kecernaan dari hijauan dan
dapat meningkatkan konsumsi pakan (palatabilitas).
Perbandingan hijauan dan konsentrat dalam ransum yang diberikan adalah
60%:40% (dalam BK). Menurut Siregar (1993) imbangan antara hijauan dan
konsentrat yang baik dalam formula ransum sapi yang sedang berproduksi susu
dengan tetap mempertahankan kadar lemak dalam batas normal adalah 60:40.


2.3.6 Kebuntingan

Pemeliharaan betina bunting merupakan salah satu upaya penting yang
harus dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Pemeliharaan
ternak bunting perlu lebih diintensifkan utamanya dalam hal pemberian pakan dan
perawatan (hindari dari terjatuh dan benturan atau kondisi kandang yang kurang
baik). Namun pada kenyataannya pemeliharaan ternak bunting di Laboratorium
Lapang Sumbersekar masih sangat kurang baik. Karena jika dilihat, sapi yang
sedang bunting masih dalam satu kandang dengan sapi yang tidak bunting, begitu
juga dalam hal pemberian pakan, ternak yang sedang bunting ataupun tidak tetap
diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang sama. Karena menurut Soeparno
(2004) proses pemeliharaan kebuntingan ini sangat penting karena embrio ternak
cukup labil utamanya pada umur kebuntingan muda. Hasil penelitian Ayalon
(1978) dalam Hunter (1995) menunjukkan kematian embrional pada umur 35 42
hari pada domba mencapai 31%. Penelitian lain dari Toelihere (1981)
menunjukkan bahwa kematian embrional dalam minggu pertama kebuntingan
mencapai 25%. Kematian embrional ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain
kondisi pakan, ketidakseimbangan hormonal dan beberapa penyakit seperti
Vibriosis dan Bruchelosis (Toelihere,1981). Alasan utama perlunya pemeliharaan
betina bunting yang lebih insentif karena betina bunting tersebut merupakan
penentu kualitas anakan yang akan dihasilkan. Beberapa cara untuk memelihara
ternak bunting adalah dengan perbaikan pakan dan pemisahan induk bunting.


2.3.7 Suhu Lingkungan

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor cuaca atau iklim
yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Hafez, 1968; Esmay,
1978).

McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya,
ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu
nyaman untuk sapi Eropa berkisar 17 21C ( Hafez, 1968); 13 18C
(McDowell, 1972); 4 25C (Yousef, 1985), 5 25C (Jones & Stallings, 1999).

Pada Laboratorium Lapang Smbersekar umumnya memiliki suhu yang
sejuk dengan kelembababn yang optimum, hal ini dapat dibuktikan dengan tabel
dibawah ini:

Pagi:
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7
Suhu 20 24 23 18 20 26 21
Kelembaban 92 91 92 91 91 55 91

Malam:
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7
Suhu 30 31 29 29 31 29 29
Kelembaban 70 70 70 70 68 55 58

Dari tabel diatas bisa dilihat jika suhu dan kelembaban yang ada di Laboratorium
Lapang Sumbersekar sangat memenuhui persyaratan bagi suatu wilayah untuk
pemeliharaan sapi perah yang pada umumnya berstandar di suhu 18 C - 25 C.
Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa Laboratorium Lapang Sumbersekar
sangat layak untuk dijadikan sebuah usaha peternakan sapi perah.


2.3.8 Pemerahan

Pemerahan sapi di Laboratorium Lapang Sumbersekar dilaksanakan dua
kali sehari dengan interval pemerahan 8 jam dan 16 jam. Pemerahan dilaksanakan
pada pagi hari pukul 05.30 WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB. Sapi yang
sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap hari yang pada umumnya
di lakukan 2 kali sehari (Anonimus, 1995). Jadwal pemerahan yang teratur dan
seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan
yang tidak teratur dan seimbang.
Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih dahulu agar susu
tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu
:ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut
Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin.
Menurut Blakely dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susu akan terganggu
bila sapi merasa sakit dan ketakutan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan
kuku tidak boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk
menghindari terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.
Metode pemerahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Whole Hand, dengan cara jari memegang puting susu pada pangkal puting
diantara ibu jari dan telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti
jari tengah, jari manis dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara
Whole hand membutuhkan waktu rata-rata 6,64 menit untuk memerah
seekor sapi dan cara ini digunakan untuk sapi yang putingnya panjang.
b. Strippen, dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk yang
digeserkan pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara
Strippen rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi
adalah 7,72 menit dan cara ini digunakan untuk sapi yang ukuran
putingnya pendek.
Cara pemerahan tersebut sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo
(1985) yang menyatakan bahwa whole hand merupakan cara terbaik untuk sapi
yang memiliki puting panjang dan produksi susu tinggi sedangkan cara Strippen
biasa digunakan untuk sapi yan putingnya pendek.


2.3.11 Penyakit

Penyakit yang sering menyerang sapi perah laktasi di Laboratorium
Lapang Sumbersekar adalah mastitis, hipokalsemia (milk fever), cacingan, abses,
brucellosis.

1. Mastitis

Mastitis merupakan penyakit peradangan pada kelenjar susu dan dapat
menyebabkan pembengkakan sehingga susu tidak dapat keluar melalui puting.
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Streptococcus cocci dan Staphylococcus
cocci. Gejala spesifik penyakit ini adalah adanya peradangan pada saluran
kelenjar susu dan terjadi perubahan fisik dan kimiawi dari susu (Anonimus, 2002).
Dalam keadaan yang parah, mastitis dapat mematikan puting susu, sehingga tidak
berfungsi lagi. Sapi perah yang terkena mastitis mula-mula ditandai dengan
perubahan susu. Susu berubah menjadi encer dan pecah, bergumpal dan kadang-
kadang bercampur dengan darah dan nanah (Siregar ,1995).

Pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ini adalah dengan memberikan obat
antibiotik yang merupakan campuran antara antibiotic Penzavet dengan aquades
dengan perbandingan 1:10. Sapi perah yang menderita mastitis diberikan obat
tersebut dengan cara di suntikkan pada puting yang menderita mastitis dengan
dosis 10 cc per puting. Selain itu dilakukan pemerahan pada puting dalam keadaan
bersih, dan susu yang diperah harus sampai habis dan tidak ada susu yang tersisa
di dalam puting tersebut .

2. Milk Fever

Milk Fever merupakan penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme
sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau setelah melahirkan (72 jam
setelah beranak ) yang ditandai dengan kekurangan kalsium dalam darah.
Penyebabnya adalah kekurangan Ca (hipokalsemia) yang akut. Hal ini
menimbulkan gangguan metabolisme mineral yakni metabolisme Ca yang bisa
berakibat kepada seluruh tubuh. Penyerapan yang berlebihan terhadap ion Ca oleh
kelenjar susu dan dapat juga
disebabkan kelenjar paratiroid pada leher yang mengatur tinggi rendahnya kadar
ion Ca dalam darah sehingga fungsinya tidak normal. Dalam keadaan normal
kadar Ca dalam darah 8-12 mg per 100 ml darah, dalam keadaan hipokalsemia
kadar Ca dalam darah menurun menjadi 3-7 mg per 100 ml darah
(Anonimus,2002).
Gejala terjadi hipokalsemia adalah penurunan suhu tubuh ,langkah yang
kaku, ketidaksanggupan untuk berdiri, lipatan leher seperti huruf S,penghentian
proses partus, dan kematian yang terjadi dalam waktu 6-12 jam apabila tidak
diobati.
Sapi yang menderita hipokalsemia di Laboratorium Lapang Sumbersekar
diobati dengan cara penyuntikan intra muskuler pada bagian leher, sehingga
kalsium yang diberikan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
darah. Obat yang di berikan antara lain seperti calcium magnesium,
biosolamine, penzavet , dan vitamin B12.

3. Cacingan

Sapi laktasi di Laboratorium Lapang Sumbersekar diberikan obat cacing
secara periodik yaitu setiap 4-6 bulan sekali untuk mencegah sapi-sapi tersebut
terserang penyakit cacingan. Jenis obat cacing yang digunakan yaitu Kalbazen-c
yaitu obat cacing hati. Obat cacing diberikan dengan dosis 25-35 cc per ekor.
Menurut Siregar (1995) gejala-gejala yang timbul pada penyakit cacingan adalah
penurunan berat badan ,kondisi tubuh lemah, bulu kasar, nafsu makan menurun,
perut buncit dan diare.

4. Abses

Abses disebabkan oleh luka-luka yang tidak segera diobati. Gejalanya
berupa pengelupasan kulit yang terluka dan berupa pembengkakan dan kadang-
kadang bernanah. Hal ini sering disebabkan sapi terpeleset di lantai yang licin.
Pengobatan yang dilakukan yaitu hanya dengan memberikan obat luka luar/ spray
gusanex pada bagian yang terluka secara teratur sampai luka tersebut
mengering/sembuh.

5. Brucellosis

Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
genus Brucella. Pada sapi, penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron atau
keguguran menular dan penyakit ini belum banyak dikenal di masyarakat. Di
Laboratorium Lapang Sumbersekar banyak induk sapi yang mengalami penyakit
ini. Penyakit ini disebabkan karena faktor reproduksi.yang kurang diperhatikan.
Reproduksi di Laboratorium Lapang Sumbersekar pada dasarnya dilakukan
dengan menggunakan dua pejantan yang sering kali dipakai untuk mengawini
sapi-sapi betina di peternakan ini. Oleh karena itu dengan mudah penyakit ini
tersebar pada sapi-sapi induk maupun induk yang sehat sekalipun. Penularan yang
utama melalui perkawinan alami serta juga dapat melalui pakan dan minum yang
diberikan dan peralatan kandang yang digunakan sehari-harinya.

Girisonta (1980) mengemukakan bahwa induk yang mengalami brucellosis
seharusnya dipisahkan dari induk yang sehat. Kebersihan kandang, tempat pakan
dan minum serta peralatan kandang perlu diperhatikan. Sapi-sapi penderita
penyakit ini perlu perlakuan khusus dengan cara maelakuakan vaksinasi dengan
menggunakan vaksin Strain 19 (Strain buch) serta melakukan sanitasi kandang
dengan larutan formalin atau lisol dengan dicampur air secukupnya.


2.3.12 Stress

Heat stress pada sapi terjadi ketika beban panas tubuh melebihi
kemampuan sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya
heat stress, meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/
menit. Akibat dari heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu
tubuh, keluar air keringat, dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress
menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan (
feed intake ), produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfomance
reproduksi menurun. Partameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat
stress; frekuensi nafas melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2
C, menurunnya produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan
kering ( dry matter intake ).
Heat loss merupakan mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh ,
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas
semua organ dalam tubuh. Ada 3 cara pelepasan panas yaitu produksi panas
karena metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar ( sensible ) dan
keluarnya panas secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas
prosuksi / metabolisme meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan
mengurangi produksi panas dari metabolisme dengan pakan rendah serat.
Sensible Heat loss terjadi jika panas tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan,
panas tubuh akan keluar dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini
tergantung pada suhu lingkungan, luas permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan
resistensi terhadap udara. Latent heat loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit
atau menguapnya ( evaporasi ) panas dari hidung.
Beberapa prinsip untuk mengurangi heat stress, secara genetik sapi
Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi
susu di daerah panas. Ketersediaan air cukup ditempat yang sesuai, dingin dan
bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh ( mengurangi
jarak tempuh ). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau ditengah
kandang seperti ( housing area dan holding pen ). Di tempat pemerahan (Milking
center ), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu lama, tersedia
ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada jalan keluarnya
sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan pendingin.
Ada beberapa metode untuk menghindari heat stress dan lingkungan kandangnya:
1. Mensiasati pakan, feed additif, dan obat
Dalam kondisi suhu siang hari atau kemarau, boleh jadi pakan yang diberikan
dengan takanan Metabolisme Energi yang lebih rendah. Hal ini bertujuan
mengurangi panas dari proses metabolisme. Jika dalam satu populasi sapi
menunjukkan ekspresi kepanasan ( contoh : panting ), maka pemberian imbuhan
pakan yang dapat menurunkan panas bisa menjadi pilihan. Seperti pemakaian
acetaminophen sebagai imbuhan pakan, selain untuk mensiasati heat stress juga
bertujuan meningkatkan asupan bahan kering oleh usus. Namun jika hanya ada
beberapa individu yang mengalami panting, pemberian penurun panas secara
injeksi menjadi pilihan yang tepat.
2. Mengusahakan atap agar tetap dingin
Kandang sapi perah seharusnya dipilihkan dari bahan yang dapat menyerap panas,
maka dihindari atap seperti seng. Teknis lainnya dengan memberi sprinkle air ke
atap, mengurangi jarak dengan sumber panas, temperatur atap dapat diturunkan
menjadi 280 C dengan sprinkle air 1,5 liter per meter2 atap.
3. Pembuatan saluran ventilasi
Saluran ventilasi membantu pertukaran udara dengan cepat dan kecepatan angin.
Ventilasi dilengkapi dengan exhaust fan besar untuk menyedot panas, kipas akan
mendorong panas keluar dan pengeluaran panas dengan cara konveksi
4. Melalui pipa bawah tanah ( under ground pipe )
Pada prinsipnya temperatur bawah tanah lebih rendah dari pada temperatur
atmosfir. Udara yang dingin masuk melalui pipa tersebut dengan kedalaman 1.5
2 meter kemudian dialirkan ke kandang sapi. Teknik ini dapat menurunkan suhu 8
100 C, dan tujuan utama teknik ini untuk mengatasi perubahan suhu yang terlalu
ekstrim.
5. Menyediakan kolam untuk berendam
Suhu tubuh sapi yang panas akan turun dengan cara berendam atau masuk ke
kolam air. Keluarnya panas terjadi secara konduksi dan evaporasi. Namun cara ini
harus banyak dikaji dengan kemungkinan banyaknya penyakit yang bisa
ditimbulkan seperti mastitis.


2.3.13 Kebersihan Kandang dan Ternak

Kegunaan bangunan kandang sangat penting sebab fungsi kandang untuk
menghindari ternak dari terik matahari, hujan, terpaan angin, dan gangguan
binatang buas atau ancaman dari luar (Sugeng, 2001). Kandang yang berada di.
CV. Mawar Mekar Farm sudah cukup baik sebab sirkulasi udara dapat keluar
masuk dangan lancar dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga
keadaan kandang tidak terlalu lembab. Kelembaban yang ada di dalam kandang
berkisar 65-93% dan di luar kandang sekitar 66-94%. Keadaan ini tidak sesuai
karena kelembaban yang ideal adalah 60-70 % (Sudono et al.,2003).

Konstruksi kandang sudah cukup baik sebab dapat diketahui dari cara
pekerja dalam membersihkan kandang , memberikan pakan, pemerahan tidak
mengalami kesulitan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Mulyana (1985) bahwa
konstruksi kandang dapat mempermudah aktifitas pekerja kandang dalam
pemberian pakan ,pembersihan dan pemerahan .
Kandang sapi laktasi terdiri dari tiga buah bangunan dengan luas 155,4 m
yang berisi sekitar 45 ekor sapi, untuk setiap kandangnya berisi 15 ekor, sehingga
luas per ekor 3,2 m. Hal ini melebihi pendapat Sudono et al, (2003) yang
menyatakan bahwa setiap sapi membutuhkan luas 2,8 m, untuk kenyamanan bagi
ternak yang ada di dalamnya, sehingga ternak dapat berproduksi secara maksimal.
Tipe kandang untuk sapi laktasi di CV. Mawar Mekar Farm adalah
kandang semi monitor tipe dua baris (two row plane) yang saling membelakangi
(tail to tail). Menurut konstruksinya kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi
dua yaitu kandang tunggal yang terdiri dari satu baris dan kandang ganda yang
terdiri atas dua baris yang saling berhadapan (head to head) atau berlawanan (tail
to tail) (Anonimus, 2002). Ditambahkan oleh Siregar (1995) bahwa apabila
jumlah sapi perah yang dipelihara sudah lebih dari 10 ekor lebih baik
menggunakan kandang konvensional dengan tipe dua baris . Keuntungan dari
kandang tipe dua baris adalah lebih mudah dalam pemberian pakan terutama
hijauan
Atap kandang sapi laktasi di CV. Mawar Mekar Farm berbentuk monitor
dan berbahan asbes dan genting. Bahan atap ini sesuai dengan pendapat Siregar
(1995) yang menyatakan bahwa bahan atap dapat digunakan asbes, seng, genting,
daun tebu, daun ijuk, dan alang-alang. Bahan atap kandang pada daerah yang
bersuhu dingin sebaiknya berupa asbes atau seng. Sudut kemiringan untuk atap
kandang sapi laktasi adalah 31,3.
Lantai kandang sapi laktasi di buat dari semen beton dengan kemiringan
lantai 3. Bahan lantai kandang sesuai dengan pendapat Siregar (1995) yang
menyatakan bahwa bahan untuk lantai kandang berupa semen beton atau kayu.
Ditambahkan oleh Syarief dan Sumoprastowo (1985) bahwa lantai kandang
hendaknya mempunyai struktur rata ,kasar, dan tidak licin dengan tujuan agar sapi
tidak mudah terpeleset atau jatuh.
Tempat pakan dan tempat minum diletakkan memanjang, dan untuk
tempat pakan sapi laktasi memiliki ukuran panjang 1,81 m ,lebar 0,68 m, dan
kedalamannya 0,39 m. untuk tempat minumnya memiliki ukuran panjang 0,60m
,lebar 0,68 m ,dan kedalaman 0,39 m.
Kandang sapi laktasi dibuat dengan sistem terbuka sehingga udara dapat
keluar masuk. Dinding yang ada di peternakan ini adalah penyekat antara kandang
satu dengan kandang lainnya yang merupakan tempat pakan dengan ketinggian 75
cm. Bahan yang digunakan dalam pembuatan dinding adalah semen beton
sehingga diharapkan dapat bertahan lama dan mudah dibersihkan. Jarak gang
yang ada di tengah baris kandang adalah 1-1,20 cm. Hal ini sudah sesuai dengan
pendapat Untung (1996) bahwa gang yang ada di tengah harus memiliki lebar 1 m
untuk deretan sapi yang berhadapan. Selokan dibuat tepat di belakang jajaran sapi
dari ujung ke ujung kandang dengan kedalaman 10 cm, lebar 25 cm.


2.3.14 Penanganan dan Pemanfaatan Limbah

Di Laboratorium Lapang Sumbersekar, limbah (feses) yang dihasilkan di
alirkan langsung ke ladang hijauan untuk kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk
di lahan hijauan pakan. Selanjutnya feses yang mengalir melewati ladang hijauan
ditampung kedalam bak penampung feses yang dikelola oleh pekerja kandang dan
hasil pengolahannya dijual sebagai pupuk tanaman yang telah dikemas dalam
karung. Jarak tempat penampungan feses 1 dengan kandang laktasi I adalah 1m,
dibatasi dengan tembok beton, jarak limbah feses I dengan kandang laktasi II
adalah 3 m. Jarak tempat penampungan limbah feses II dengan kandang laktasi II
adalah 6 m, jarak limbah feses I dengan kandang laktasi II adalah 13 m.
Jarak kandang dengan penampungan feses tidak sesuai dengan pendapat
Djarijah (1996), yang menyatakan bahwa feses ditampung di suatu tempat
penampungan feses yang padat sedangkan airnya dapat dipergunakan sebagai
pupuk. Jarak antara kandang dengan kolam penampungan feses adalah 10 m.
Setiap peternakan harus memperhatikan kelestarian lingkungan, maka peternak
harus memiliki bak atau lubang penampungan limbah (sisa pakan dan kotoran
ternak) limbah tidak boleh dialirkan ke sungai yang airnya dipergunakan oleh
penduduk, tetapi ke dalam suatu penampung khusus atau "septic tank".


2.3.15 Kualitas Susu

Rata-rata produksi susu per ekor per hari dari hasil pemerahan pagi dan
siang adalah 5-6 liter. Produksi yang dicapai menunjukkan rata-rata produksi
rendah dan tidak sesuai dangan pendapat Sudono (1995) yang menyatakan bahwa
produksi susu rata-rata sapi perah di Indonesia 10 liter per ekor per hari dengan
kadar lemak 3,65%. Untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap
mempertahankan kadar lemak susu dalam batas normal, perbandingan antara
hijauan dan konsentrat dalam ransum sapi perah laktasi adalah sekitar 60%:40%.
Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi susu yaitu : umur ternak, kondisi sapi waktu beranak,
banyaknya ransum waktu diberikan pada ternak yang sedang laktasi, pemerah,
jadwal pemerahan yang dilakukan, kesehatan ternak, besarnya ternak, masa birahi,
waktu perkawinan, dan heriditas (kemampuan yang diturunkan induk kepada anak
untuk memproduksi susu yang tinggi ).
Produksi susu yang dihasilkan pada pemerahan pagi hari lebih banyak dari
pada produksi susu yang dihasilkan pada siang hari. Pada pagi hari sebanyak 2-3
liter/ekor, sedangkan pada siang hari sebanyak 1-2 liter/ekor. Di Laboratorium
Lapang Sumbersekar produksi susu pada pemerahan pagi umumnya lebih banyak
di banding dengan pemerahan siang hari, karena pada malam hari keadaan sapi
lebih tenang. Dari hasil pengamatan selama kegiatan magang, diketahui berat
jenis susu adalah 1,025 dengan kadar lemak 3,5%.
Menurut Widodo (2003) bahwa komposisi pakan diketahui dapat
mempengaruhi komposisi susu. Beberapa diantaranya adalah jumlah atau tipe dari
pakan berserat seperti limbah tanaman yang dipanen, rasio pakan konsentrat dan
hijauan serta komposisi karbohidrat dan lemak pakan. Sudono et al., (2003)
menambahkan bahwa pakan yang terlalu banyak konsentrat akan menyebabkan
kadar lemak susu rendah dan pakan yang terlalu banyak mengandung hijauan
menyebabkan kadar lemak tinggi, karena kadar lemak susu tergantung dari
kandungan SK dalam pakan.
Di Laboratorium Lapang Sumbersekar setelah pemerahan dilakukan, susu
hasil perahan disaring terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam ember
penampung susu dan ditutup rapat. Kemudian pemasaran hasil produksi susu
tersebut dilakukan dengan cara menyalurkannya pada pelanggan yang berada di
wilayah Solo dan Karanganyar, setiap pagi pukul 05.00WIB dan siang pukul
13.00 WIB. Harga susu per liter yaitu Rp 4.200,- untuk pelanggan dan untuk
pembeli umum atau pengecer dihargai Rp 5.000,-. Selain dipasarkan hasil
pemerahan susu tersebut juga digunakan sendiri yaitu untuk diberikan pada
beberapa pedet yang ada. Pemberian untuk satu ekor pedet 2 liter per hari karena
pedet ini belum mendapat pakan tambahan. Unuk pedet yang berumur di atas 1
bulan hingga 3 bulan diberikan susu dengan jumlah pemberian sebanyak 3
liter/ekor/hari karena pedet ini telah dilatih makan konsentrat dan hijauan muda.
Kemudian untuk cara pemberiannya yaitu dengan menggunakan ember.


2.4 Sapi Periode Kering

Sejak awal kebuntingan, induk memerlukan perhatian penuh dari peternak.
Keberhasilan pedet yang dilahirkan dan perkembangannya lebih lanjut ditentukan
oleh kondisi awal yang baik seperti tubuh yang sehat dan kuat. Perhatian utama
untuk induk bunting adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan kuat. Untuk itu
induk bunting perlu diberi kesempatan istirahat, sehabis berproduksi diberi
makanan yang cukup dan baik, kesehatan dijaga dengan baik, khususnya agar
terhindar dari penyakit mastitis.
Sapi laktasi yang sedang bunting sekitar 7 bulan, meskipun produksi
susunya tinggi sebaiknya dikeringkan. Masa kering sangat penting bagi induk
yang pernah melahirkan dan berproduksi. Pengeringan ini penting untuk
mengembalikan kondisi ambing dan memberi kesempatan perggantian sel-sel
epitelium yang aus selama laktasi yang sedang berjalan serta untuk mencapai
kondisi tubuh yang prima keitika kelak melahirkan (Mukhtar,2006). Apabila
seekor sapi perah tidak mempunyai periode masa kering diantara periode laktasi,
maka prosuksi susu pada periode berikutnya akan berkurang.
Pengeringan adalah menghentikan pemerahan selama 8 minggu
menjelang sapi melahirkan kembali pada sapai-sapi yang mengalami periode
laktasi kedua dan seterusanya. Periode yang kering, maka yang optimal bila masa
istirahat dapat diberikan kepada organ yg mengeluarkan susu dan gizi dalam
makanan dan pakan ternak dapat digunakan sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan bobot dari sapi dan tepat perkembangan janin bukan produksi susu.
Ini adalah masa untuk membersihkan penyakit kronis, memungkinkan sapi untuk
membangun sebuah cadangan tubuh daging sebelum melahirkan anak sapi dan
mencukupi dalam tubuhnya yang habis dari sumber mineral (Anonim, 2009)
Selama masa kering dimaksudkan untuk:
1. Agar tubuh induk dapat membentuk makanan cadangan berupa vitamin-vitamin
seperti vitamin A yang dapat dimanfaatkan oleh anak yang baru lahir, lewat
kolostrum bersama antibodi yang sangat penting basi kesehatan pedet.
2. Agar tubuh induk dapat mengisi kembali vitamin-vitamin, mineral, dan lain-
lain untuk kebutuhan induk sendiri, sehingga kondisinya tetap sehat dan kuat
walaupun mengalami masa laktasi yang berat.
3. Agar kondisi tubuh menjadi baik, sehingga akan memberikan jaminan
kelangsungan produksi susu tetap baik dan bahkan dapat meningkat.
4. Agar pertumbuhan dan kesehatan anak dalam kandungan tetap terjamin. Sebab
janin akan tumbuh baik apabila mendapatkan zat-zat makanan yang cukup dari
induk.
(AAK, 1995)
Periode yang kering dapat dibagi menjadi tiga bagian :
1. Diluar periode pengeringan (pertama 4 sampai 10 hari)
2. Yang kering atau jauh pada masa (waktu 30-40 hari)
3. Transisi atau periode close-up (21 hari terakhir sebelum melahirkan anak
sapi)
(Gamroth, M. Dan Carroli, D. 1995)



2.4.2 Pakan

Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi
pakan penting untuk di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga
kesehatan sapi itu sendiri serta untuk menjaga kesehatan kandungan ternak
tersebut. Pada kondisi ini komposisi ransum perlu dilakukan perhitungan secara
optimal guna untuk meminimalkan problem metabolik pada atau setelah beranak
serta untuk meningkatkan produksi susu pada masa laktasi berikutnya.
Secara umum pada konsisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan
pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering,
sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa
dan diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum harus diformulasikan untuk
memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus,
pertambahan bobot badan. Panda kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang
diberikan pada ternak tidak boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan
minimal 1% berat badan. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya
cukup untuk program pemberian pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah
harus di tekan jangan sampai terlalu gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk
sapi bunting (2,5 3). Hal ini dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala
dalam proses kelahiran nantinya. Komposisi hijauan kualitas rendah, seperti grass
hay, baik diberikan pada kondisi ini dengan tujuan untuk membatasi konsumsi
hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan protein yang dikonsumsi sapi perah
sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga kesehatan ternak tersebut. Kebutuhan
Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang
berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan
0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus
disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang
cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained
plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan
dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan:
Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi
populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat;
Meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
























BAB III
PENUTUP



3.1 Kesimpulan (Lokasi Praktikum)
Sebaiknya dalam usaha untuk mengembangkan sebuah usaha peternakan
sapi perah yang diharapkan produksi susu tinggi sebaiknya peternank atau
pengelola Laboratorium Lapang Sumbersekar dapat memperhatikan semua aspek
dari mulai pemeliharaan pedet hingga penanganan sapi laktasi. Hal yang
terpenting adalah selalu memperhatikan Bibit, Pakan, Manajemen Pemeliharaan,
sehingga diharapkan produksi susu sapi perah dapat ditingkatkan.

3.2 Kesimpulan (Kegiatan Praktikum)
Dari hasil semua kegiatan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa serangkaian praktikum Manajemen Pemeliharaan Ternak
Perah cukup baik, namun harus dilakukan lebih lagi seperti halnya yang ada di
PKL sehingga dapat diharapkan praktikan dapat merasakan PKL mini yang
sesungguhnya.

















DAFTAR PUSTAKA


Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.

Anonimus. 1995. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius.
Yogyakarta.

Anonimus .1996. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.
Anonimus . 2002. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.

Blakely, J dan D.H, Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Di terjemahkan
oleh Srigandono, B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Budiharjo dan Ernawati, 2002. Intergrasi Padi dengan Sapi Potong. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jawa
Tengah.

Djarirah, A.S. 1996. Pengembangan Persusuan dan Dampak Bagi
Pengembangan Operasi dan Peternak. Penebar Swadaya. Jakarta

Djojowidagdo, S. 1982. Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh Cendawan
pada Ternak Perah. Warta Zoa 1 : 9 12. Kanisius. YogYakarta.

Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. 1983. Tekhnik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty.
Yogyakarta.

Kusnadi, U. 1983. "Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung dalam
Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bogor.

Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah . Lembaga Pengembangan
Pendidikan (LPP) dan (UNS Press). Surakarta.

Muljana, B.A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka
Ilmu. Semarang.

Sarwono, B. dan H.B.Arianto. 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Jakarta.

Siregar D.A. 1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius Yogyakarta.

Siregar S. B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha.
Angkasa, Bandung.

Siregar S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak tentang Standar
Makanan Sapi Perah. Usaha Angkasa. Bandung.

Sitorus, P.E. 1983. Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia.
Laporan Khusus Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai
Penelitian Ternak. Bogor

Soebandryo. 2001. Pemanfaatan Limbah Ternak. Trobos, edisi 11 hlm 7. Jakarta

Sudono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari Ilmu
Pemuliaan Ternak Perah di Indonesia. Proceeding Pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar. Puslitbangnak. Bogor.

Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Sapi Perah. Cetakan ke 1. Jurusan Ilmu

Sudono, A. 2003. Keuntungan Dalam Pengolahan Limbah Ternak. Trobos.
Jakarta.

Produksi Ternak. Fakultas Peternakan IPB . Bogor.

Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah
Secara Intensif . Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sugeng, Y.B. 2001. Laporan Feasibility Study Sapi Perah di Daerah Sumatera
Utara, Survey Agro Ekonomi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutardi, T. 1983. Pengaruh Kelamin dan Kondisi Tubuh Terhadap Hubungan
Bobot Badan dengan Lingkat Dada pada Sapi Perah. Media Peternakan,
Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sutardi, T. 1984. Konsep Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Peternakan. Jakarta.

Syarief, M.Z. dan Sumoprastowo, C.D.A. 1985. Ternak Perah. CV.Yasaguna.
Jakarta.

Toelihere, M.Z. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.

Widodo. 2003. Bioteknologi Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah
Tropis.Diterjemahkan oleh Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Zainuddin, G. 1982. Hijauan Makanan Ternak, Apa dan Bagaimana. Swadaya
Warta Persusuan Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai