2. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe mengembangkan pemahaman baru mengenai
konsep Hegemoni yang mereka ambil dari pemikiran Antonio Gramsci, dengan suatu cara pandang baru mengenai politik. Uraikan dan jelaskan konsep hegemoni menurut mereka, serta berikan contoh-contoh yang dapat memperkuat argumen dan jawaban anda. Jawab: Laclau dan Mouffe mendasarkan analisis politik mereka pada teori hegemoni Gramsci. Gramsci menekankan bahwa hegemoni berhasil ketika kelas penguasa (ruling class) berhasil menyingkirikan kekuatan oposisi, dan memenangkan persetujuan baik aktif maupun pasif dari sekutunya. Menurut Gramsci, subyek dari tindakan politik tidak dapat diidentifikasikan dengan kelas- kelas sosial, semenjak mereka mencapai bentuk keinginan kolektif, yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang diciptakan melalui ideologi. Formasi dari sebuah keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari penekanan dari ideologi kelas dominan terhadap kelas-kelas lainnya, melainkan produk dari reformasi moral dan intelektual, yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen ideologis. Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa hegemoni dalam pemahaman Gramsci adalah mengorganisir persetujuan proses di mana dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi dikonstruksi tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi. Blok penguasa ini tidak hanya beroperasi di tataran ruang politik (political society), tetapi juga di seluruh masyarakat (civil society). Namun hal terpenting dari konsepsi hegemoni Gramsci maupun lainnya adalah bagaimana hegemoni merupakan bentuk dari masyarakat sipil untuk membangun kekuatan politiknya dalam menghadapai rejim yang opresif dan represif. Dalam konteks ini Gramsci membedakan dua bentuk hegemoni yakni: transformisme (transformism) dan hegemoni ekpansif (expansive hegemony). Kedua bentuk ini melibatkan sebuah proses simultan revolusi-restorasi (revolution-restoration). Restorasi cenderung mendominasi bentuk transformisme, sementara revolusi cenderung mendominasi bentuk hegemoni ekspansif. Transformisme bisa dilihat sebagai tipe defensif dari politik, yang diikuti oleh kekuatan hegemonik dalam sebuah situasi krisis ekonomi dan politik, dan melibatkan absorpsi secara gradual namun terus-menerus, dicapai melalui metode yang selalu berubah-ubah sesuai dengan efektivitas dari elemen-elemen aktif yang diproduksi oleh kelompok-kelompok yang beraliansi dan bahkan dari kelompok-kelompok atau individu yang merupakan kelompok antagonistik dan kelihatan merupakan lawan yang tidak terdamaikan. Tujuan dari bentuk ini adalah sebuah konsensus yang pasif, yang bisa menetralisir kekuatan politik yang antagonistik dan memecah-belah massa. Dengan kata lain transformisme merupakan revolusi tanpa massa revolusi yang pasif. Menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni pertama kali muncul bukan sebagai persebaran yang luar biasa dari sebuah identitas, melainkan sebuah respon terhadap terjadinya krisis. Dengan mengembangkan tradisi Gramscian, pemikiran Laclau dan Mouffe berhasil mentransformasi presuposisi-presuposisi pokok dari problematika yang ada pada Marxisme. Laclau dan Mouffe berhasil menjawab kelemahan-kelemahan yang ada dalam asumsi-asumsi deterministik pemikiran Marxisme tradisional, misalnya Marxisme pada Internasional Kedua. Laclau dan Mouffe melihat terjadinya patahan penting dalam konsep hegemoni terhadap esensialisme Marxisme yang dipelopori oleh Antonio Gramsci. Secara khusus Mouffe menilai bahwa pokok terpenting bagi analisa mengenai ideologi yang dioperasikan dalam konsepsi Gramscian adalah melakukan studi dalam hal bagaimana Gramsci menggambarkan proses formasi hegemoni yang baru. Bagi Lacalu dan Mouffe, Gramsci keluar dari deterministik identitas kelas peninggalan Plekhanov dan Lenin, dan memfokuskan pada pengelompokan sosial yang lebih luas yang ia sebut blok historis di mana kesatuan tujuan atau keinginan kolektif yang diusung atas dasar kepemimpinan intelektual dan moral dalam konteks hegemoni politik dan kultural. Jadi hegemoni bekerja dari dua arah, yakni top-down, pada saat rejim opresif melakukan hegemonisasi, juga bottom-up, pada saat terjadi resistensi masyarakat terhadap penindasan atau tekanan rejim. Namun Gramsci menitik beratkan bahwa perjuangan hegemonik menempatkan buruh sebagai aktor utama dalam pembentukan blok historis baru sebagai tahap paling politis dari proses hegemoni. Laclau dan Mouffe mendasarkan analisis politik mereka pada teori hegemoni Gramsci. Bagi Laclau hegemoni merupakan kategori pokok dalam analisa politik. Namun, sekalipun memijakkan analisanya pada pemikiran Gramsci, Laclau dan Mouffe menambahkan dimensi-dimensi lain dari pemikiran Gramsci. Berbeda dengan Gramsci, Laclau dan Mouffe tidak lagi memfokuskan kelas buruh sebagai agen dari praktek hegemoni. Mereka mengajukan tesis mengenai agensosial baru, yang bisa mengisi ruang kosong dalam gerakan sosial, ketika gerakan buruh melemah, dan menjadi kekuatan yang tidak strategis dalam gerakan sosial dipenghujung abad ke dua puluh. Meskipun berpijak pada teori hegemoni Gramsci, Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan pemikiran Gramsci dalam melakuan analisa terhadap kepolitikan, di mana Gramsci memijakkan paradigma teoritiknya pada analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe memijakkan paradigma teoritiknya pada analisa diskursus (discourse analysis). Teori diskursus Laclau dan Mouffe berasumsi bahwa semua obyek dan tindakan memiliki makna, dan maknanya merupakan produk dari sistem-sistem partikular yang memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, yang bersifat spesifik secara historis. Contoh hegemoni di bidang politik, dapat dilihat dari media televisi. Hegemoni melalui media televisi di Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah, media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah. Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan yang ada diawasi oleh pemerintah. Tidak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Sebaliknya, untuk media swasta, seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap membahayakan posisi pemerintah, segera media itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah. Dari sini, terlihat bagaimana media massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni politik yang sedang berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi, penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah, khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang berhasil dilancarkan eksekutif orde baru. Contoh hegemoni dibidang ekonomi, pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar, adanya tempat makan fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Dengan alasan modernisasi dan gaya hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket . Dibandingkan berbelanja dipasar atau warung-warung makan biasa. Tanpa mereka sadari berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket sangatlah tidak menguntungkan yang pertama dari segi biaya lebih mahal karena pihak mall atau fastfood atau supermaket memerluka biaya lebih besar, yaitu biaya pajak, gajih karyawan yang banyak, dan sewa tempat yang mahal. Memang benar berbelanja di tiga tempat itu praktis dan simpel, namun khususnya fastfood dari segi kesehatan tidak sehat. Namun, karena kita sudah terhegemoni kita tidak merasakan hal-hal tersebut. Sedangkan ketika sesekali kita ke pasar, kita menawar semurah-murahnya harga yang para pedagang tawarkan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam negeri, kita lebih menyukai produk luar, Disinilah hegemoni bekerja merubah pola pikir kita tanpa kita sadari. Soal B: 2. Jelaskan argumen utama dari pemikiran Will Kymlicka tentang multiculturalism sebuah bangunan teori yang dikembangkan dari pengalaman di negara Canada. Coba hubungkan dengan multikulturalisme dalam bangunan politik negara Indonesia. Jawab: Secara konsepsional, multikulturalisme dapat dipahami sebagai akomodasi politik dari negara dan/atau kelompok dominan dalam suatu negara terhadap semua budaya minoritas, baik atas dasar kategori ras, etnisitas, kebangsaan, maupun agama. Istilah multikulturalisme sendiri muncul pertama kali pada tahun 1960 dan 1970-an di negara-negara seperti Kanada dan Australia, serta dalam penggunaan yang kurang intensif di Britania dan Amerika. Fokus dari kebijakan multikultural pada masa itu berkaitan dengan sekolah dan anak-anak imigran minoritas seperti Asia, kulit hitam, dan Hispanik. Penyelenggaraan sekolah diupayakan untuk dilakukan dengan modus yang lebih inklusif, baik dalam tataran kurikulum maupun institusional. Beberapa negara seperti Kanada dan Australia bahkan memperluas cakupan kebijakan multikulturalnya hingga mencakup pula isu-isu seperti konstitusi, tanah, dan konsepsi kebangsaan. Kymlicka membedakan antara minoritas bangsa (masyarakat yang berbeda dan secara potensial memerintah sendiri yang masuk ke dalam masyarakat yang lebih besar), kelompok etnis (para imigran yang meninggalkan komunitas nasionalnya untuk memasuki masyarakat lain), dan gerakan sosial baru (perkumpulan dan gerakan yang dikesampingkan di dalam masyarakat nasional dan kelompok etnis sendiri). Multikulturalisme menurut sudut pandang Will Kymlicka berangkat dari pemikiran bahwa budaya adalah landasan dasar bagi masyarakat multikultural. Oleh karena itu, sistem politik yang ideal adalah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap kelompok budaya untuk mengekspresikan identitas dan aspirasinya. Sehubungan dengan ini perlu kebijakan spesifik untuk mengakomodasi perbedaan kebangsaan dan etnik yang sekurang-kurangnya terlihat dalam tiga bentuk: 1) Hak atas pemerintahan sendiri, 2) Hak polietnik, berupa langkah-langkah positif untuk menghapus diskriminasi dan prasangka, dan 3) Hak perwakilan khusus. Will Kymlicka, menjelaskan mengenai sumber dari multikulturalisme itu sendiri. Dimana, ia menjelaskan bahwa sumber dari multikulturalisme pada dasarnya adalah imigrasi, yaitu keputusan individu atau sekelompok individu untuk meninggalkan tanah air mereka dan pindah ke society society yang baru. Pada akhirnya negara yang menerima imigran tersebut dapat dikatakan sebagai negara multikulturalisme, karena negara yang menerima imigran tersebut juga memberikan peluang bagi para pendatang untuk tetap mempertahankan karakter budayanya masing-masing. Selain itu, dijelaskan lebih lanjut oleh Kymlicka bahwa, dalam masyarakat yang multicultural, pemerintah suatu negara tersebut dapat mengambil dua kebijakan untuk mengatasi timbulnya konflik ataupun untuk menegakkan keadilan dalam masyarakatnya, yaitu pemerintah telah sejak awal membentuk negara tersebut dengan kebangsaan yang berbeda dan bersifat multicultural, ataukah pemerintah mengambil kebijakan dimana masyarakatnya ber-migrasi dari kebudayaannya yang berbeda-beda tersebut, dimana dalam hal ini disebut sebagai sebuah negara yang polietnik. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat multikultural sebab negeri ini terdiri atas etnis, bahasa, agama, budaya yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut dirumuskan dalam bentuk simbol Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda tapi tetap satu. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain. Penekanan pada keanekaragaman tersebut mencakup bukan hanya kebudayaan kebudayaan suku bangsa, namun juga mencakup berbagai kebudayaan yang berlaku di Indonesia, baik yang bersifat tradisional maupun yang berasal dari luar. Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan atau konflik. Multikulturalisme membuka seluas-luasnya ruang kebudayaan. Di dalam kehidupan politik muncul keinginan untuk diakui terhadap hak hidup kelompok masyarakat yang khas. Kebutuhan ini merupakan pendorong yang sangat kuat dibelakang gerakan nasionalisme dalam politik. Gerakan ini menampakkan diri dalam kehidupan politik seperti tuntutan-tuntutan kelompok minoritas, dan apa yang disebut politik multikulturalisme. Politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang.Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada. Arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah untuk mendapat pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui. Sementara itu sasaran politik multikulturalisme adalah untuk membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas, membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus, mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis. Multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi, serta penataan ruang publik terutama bidang politik. Menurut Kymlicka arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah : Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui. Rumusan ini mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas.