Anda di halaman 1dari 5

Substansi Mengungguli Bentuk Formal (Substance Over Form).

Akuntansi lebih mengutamakan substansi suatu transaksi bukan


sekedar aspek legal formalnya saja. Sebagai contoh, pemerintah membeli
sebidang tanah. Pada tanggal laporan keuangan pemerintah belum selesai
mengurus balik nama atas kepemilikan tanah tersebut sehingga sertifikat
tanah masih atas nama pemilik lama. Meskipun secara yuridis dan formalitas
dokumen tanah tersebut bukan milik pemerintah, tetapi secara substansi
merupakan tanah yang sudah dimiliki dan dikuasai pemerintah sehingga
akuntansi mencatatnya dalam neraca. (Mahmudi, 2011:109)

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
233/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Pemerintah Pusat, maka pimpinan instansi selaku pengguna anggaran/pengguna
barang harus menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kepada Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal, dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP). Laporan keuangan meliputi Laporan Realisasi
Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK). Laporan keuangan instansi pemerintah disusun dan
disajikan berdasarkan StandarAkuntansi Pemerintahan (SAP). Penyusunan
laporan keuangan bermanfaat bagi pimpinan instansi pemerintah dalam
perencanaan, pengendalian, dan pengelolaan instansi pemerintah, sehingga
laporan keuangan instansi pemerintah mengandung unsur relevan, keandalan,
kelengkapan, meterialitas, pertimbangan sehat, dapat dibandingkan, substansi
mengungguli bentuk (substance over form),dapat dipahami, dan pertimbangan
biaya dan manfaat. Hal tersebut yang membuat laporan keuangan instansi
pemerintah memiliki karakteristik kualitatif.

Informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan w ajar transaksi serta peristiw a
lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiw a lain tersebut perlu
dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi, dan bukan
hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau peristiw a lain tidak
konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus
diungkapkan dengan jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Dengan kata lain, prinsip substansi mengungguli bentuk formal (substance over
form) memberi pedoman bagi penyusun laporan keuangan agar dapat menyajikan
suatu informasi (akun) dengan w ajar. Agar tujuan tersebut tercapai maka suatu
transaksi atau peristiw a lain yang terkait harus dicatat dan disajikan berdasarkan
aspek substansi (realitas ekonomi), bukan hanya berdasarkan aspek formalnya.
Apabila terdapat inkonsistensi atau perbedaan antara aspek ekonomi dan aspek
formalnya, maka hal tersebut harus diungkapkan (disclose) secara memadai.

Kejumudan auditor terjadi karena auditing modern lebih mendasarkan pada
hal-hal yang material (fisikal) atau tampak, sementara hal-hal yang non
fisikal tidak tersentuh oleh auditor. Kejumudan auditor juga muncul karena
auditor hanya berkutat pada bukti formal berupa dokumen-dokumen yang
dipandang syah, sementara kejadian yang melibatkan penggelapan,
penyelewengan, penyalahgunaan uang jarang didukung atau ada bukti/ dokumen
yang formal atau syah. Akibatnya, kejadian ini sering lolos atau tidak terdeteksi
oleh auditor. Hal ini juga sering terjadi di lingkungan pemerintahan yang
mengutamakan form over substance. Sepanjang dokumen-dokumennya (SPJ)
lengkap sesuai dengan peraturan yang berlaku, tindakan korupsi atau tindakan
sejenis lainnya yang terjadi sering lolos, tidak terdeteksi oleh auditor.Satu hal
yang menguatkan mengapa auditor berpegang pada formalitas dokumen adalah
veriabilitas. Konsep veriabilitas menegaskan bahwa transaksi atau kejadian
(realitas) harus dicerminkan dalam bentuk dokumen atau bukti transaksi yang
dapat ditelusuri. Kejadian atau transaksi dianggap fiktif jika tidak dapat
dicerminkan atau didukung dengan bukti formal. Dengan kata lain realitas yang
sebenarnya terjadi dianggap tidak ada jika tidak didukung dengan dokumen atau
bukti formal. Inilah yang disebut realitas formal/formulir. Ini berarti bahwa form
lebih ditonjolkan dari pada substansinya (form over substance). Meskipun
terdapat fakta yang benar-benar ada atau terjadi, misalnya terdapatnya
penggelapan atau pengambilan uang secara tidak legal benar-benar terjadi, namun
jika tidak ada dokumen atau bukti formal yang mendukung (misalnya berupa
kuitansi pengeluaran yang membuktikan adanya penggelapan), maka
berdasarkan pandangan ini memperlakukan bahwa penggelapan dianggap tidak
ada, karena realitas dinilai dari formya. Dengan konsep veriabilitas ini
menegaskan bahwa auditor tidak akan berhasil mengungkap realitas yang
sebenarnya manakala realitas yang terjadi tidak ditemukan atau disertai dengan
dokumen formal.Barangkali inilah satu alasan mengapa peran akuntan
dewasa ini menduduki posisi dibelakang ahli hukum. Kita melihat di negara
kita peran akuntan dalam pemberantasan korupsi menempati urutan
dibelakang ahli hukum. Di jajaran kepengurusan Komite Pemberantasan
Korupsi (KPK) umumnya didominasi oleh orang-orang non akuntan yang
mempunyai latar belakang, keahlian dan pengalaman cukup kuat mengungkap
realitas (terjadinya korupsi). Mereka inilah yang berpegang pada substance
over form, bukan form ovet substance seperti yang diacu auditor. Dengan
berpedoman pada veriabilitas, maka hasil audit hanyalah bisa diterima dalam
tataran formal bukan substansial (realitas yang sebenarnya). Oleh karenanya,
dipandang dari kemanfaatan bagi publik atau pengguna yang ingin
mengetahui kondisi yang seberarnya terjadi, laporan hasil audit ini tidak fit
dengan ekspektasi pengguna. Singkatnya, hasil audit mempunyai relevansi
rendah bagi pihak yang berkepentingan untuk mengetahui kondisi atau realitas
yang sebenarnya terjadi (realitas substantif).

Prinsip Substance Over Form (Substansi Mengungguli Bentuk) Menurut Van Der
Vlies
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas-asas
berikut:
1. Asas Formal
Asas ini terkait dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dimulai dari tahap persiapan pembuatan peraturan perundang-undangan dan
motivasi dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas, terkait dengan sejauh mana peraturan
perundangundangan mendesak untuk dibentuk;
b. Asas organ/lembaga yang tepat, terkait dengan kewenangan lembaga
pembentuk peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang dimuat
didalamnya;
c. Asas perlunya pengaturan, terkait dengan perlunya suatu masalah tertentu diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan;
d. Asas dapat dilaksanakan, terkait dengan penegakkan suatu peraturan
perundang-undangan. Jika tidak dapat ditegakan maka suatu peraturan perundang-
undangan akan kehilangan fungsi dan tujuannya serta menggerogoti
kewibawaan pembentuknya;
e. Asas consensus, yaitu kesepakatan antara rakyat dengan pembentuk
peraturan perundang-undangan, karena peraturan perundang-undangan tersebut
akan diberlakukan kepada rakyat sehingga pada saat diundangkan masyarakat
siap.
2. Asas Materiil
Asas ini terkait dengan substansi suatu peraturan perundang-undangan yang
meliputi:
a. Asas terminologi dan sistematika yang benar, terkait dengan bahasa
hukum/perundang-undangan yaitu bisa dimengerti oleh orang awam, baik
strukuktur maupun sistematikanya;
b. Asas dapat dikenali, yaitu dapat dikenali jenis dan bentuknya;c. Asas perlakuan
yang sama dalam hukum;
d. Asas kepastian hukum;
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas materiil (substance over
form rule) yang menekankan pada pentingnya substansi atau materiil daripada
sekedar bentuk formal (hitam di atas putih) pada suatu permasalahan. Dengan kata
lain, asas materiil lebih penting daripada asas formal. Gunadi menegaskan bahwa
istilah dengan nama dan dalam bentuk apapun menegaskan bahwa UU PPh
menganut konsep material bukan formal (substance over form rule) dalam
mengkategorikan apakah suatu acan (item) itu merupakan penghasilan atau
bukan. Walaupun wajib pajak tidak menyebutnya sebagai penghasilan, namun
kalau sumber daya tersebut memenuhi unsur-unsur definisi dalam ketentuan
pajak akan dianggap sebagai penghasilan.
Theodore LTheodore L. Craft dalam hal substance over form menyatakan
pendapat sebagai berikut:
The substance over form analysis is used to dissect self-serving
transactions between parties, such as transactions between corporations and their
shareholders and partners.
Analisa substance over form digunakan untuk membedah transaksi internal antar
pihak-pihak terkait, seperti transaksi antara perusahaan dengan pemegang
saham atau partnernya.Mansury menyebutkan bahwa salah satu unsur dari
penghasilan yang dikenakan pajak mensyaratkan bahwa dalam penentuan ada
atau tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya
penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh wajib
pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh wajib
pajak, melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang
sebenarnya.
Pedoman yang harus dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form
Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada
bentuk formal yang dipakai. Namun prinsip ini seringkali tidak dipakai majelis
hakim dalam memutus sengketa banding di Pengadilan Pajak. Menurut Gunadi,
dalam satu sengketa pajak atas utang tanpa bunga dalam kasus terjadinya
hubungan istimewa oleh wajib pajak real estate oleh BPSP diputus wajib pajak
menang dengan alas an tidak adanya bukti (formal) dalam melakukan koreksi atas
transaksi hubungan istimewa. Kalau pengadilan pajak tidak mengembangkan
yurisprudensi atas semua rekayasa perencanaan pajak melalui transaksi keuangan
modern dengan berbagai rekayasanya dan terus berpijak pada pembuktian
(formal), maka administrasi pajak akan mengalami kesulitan untuk berupaya
menangkal perencanaan pajak yang semakin agresif dan variatif. Hal ini juga
menunjukkan tidak mudahnya mewujudnyatakan hukum pajak sebagai hukum
material (substantive law) dengan prinsip substance over form karena dalam
penyelesaian sengketa masih lebih menunjuk pada pengujian formal.

Anda mungkin juga menyukai