Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No.

1 ISSN 1858-4330



39
PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM
(Studi kasus pada petani padi di Kelurahan Borongloe, Kecamatan
Bontomarannu, Kabupaten Gowa Sulsel)
Human behavioral on agro-ecosystem
(Case study on paddy rice farmer in Kelurahan Borongloe,
Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa Sulsel)


P. Tandi Balla
1
dan Talitha Wenifrida
2

1
Dosen pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa
2
Dosen pada Kopertis Wilayah IX Sulawesi


ABSTRAK
Penelitian bertujuan memberi penjelasan tentang masyarakat tani yang mengusahakan
budidaya tanaman padi di perdesaan serta mendeskripsikan human system sebagai salah
satu perspektif ekologi manusia dalam pembangunan pertanian. Penelitian dilakukan
dengan metode survai eksploratif, dengan informan tokoh adat/pemuka masyarakat, petani
maju dan penyuluh pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia sebagai
bagian sistem sosial sudah seharusnya memahami kondisi yang ada di sekitarnya; untuk
melakukan aktivitasnya, harus keluar dari sistemnya ke sistem lain (ekosistem). Model
sistem ekologi manusia berguna karena memberi kesan rasional hubungannya antara
sistem sosial dan sistem lingkungan. Hubungan ini meliputi aliran energi, material dan
informasi; dari kedua sistem tersebut terjadi interaksi satu sama lain. Hubungan ini
merupakan keistimewaan sebagai target dan strategi pada suatu agroekosistem.
Memahami lingkungan berbeda dengan memahami sistem kehidupan ini secara
keseluruhan. Keteraturan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan perlu selalu dijaga
agar terhindar dari suatu dominasi. Sangat bijaksana dalam bertindak, apabila segala
sesuatu dilihat tidak secara parsial tetapi secara menyeluruh, yang mempunyai
keterhubungan (interdependency) yang bersifat non-linear dan memberi makna adaptasi.
J adi, siklus aliran materi energi dan informasi berada dalam kondisi normal dan stabil
tanpa muatan-muatan arogansi atau egoisme sektoral. Diharapkan hal tersebut terus
berlangsung dalam aliran yang berputar (siklis) agar dapat mendukung kelestarian
lingkungan hidup.
Kata kunci: agroekosistem, sistem sosial dan sistem lingkungan, ekologi manusia


ABSTRACT
Research aims is to explain about farmer society was effort paddy rice culture in rural
country and also to description of the human system as one of human being ecology
perspective in agriculture development. Research was conducted with survey exploratif
method, with custom figure/prominent society informan, the develop farmer and
agriculture extension agent. Result of research was indicated that the human being as a part
of social system must be to comprehend the exist condition in vinicity; to doing its activity,
have to move out from its system to other ecosystem. Model the ecology system of human
being is benefit because makes a rational images its related to social system and
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



40
environmental system. This relation include the energy stream, material and information;
from the both system was happened the interaction with another. This relation is especially
as goals and strategy on one agroekosistem. To comprehends the environment was
different with to comprehends the this life system for all. Regularity, compatibility,
harmonics and balance were needs always to be protected and refrain from one
domination. Very wise in be acts, if everything seens not by parsial but by totally, having
non-linear interdependency and give mean the adaptation. Thus, cycle of stream the
material - energi - and information were in normal condition and stabilize without
arrogance contents or sectoral egoism. Hopeness that is doing in cycle stream so that can to
support the environmental sustainability.
Keywords: agroecosystem, social system and environmental system, human ecology


PENDAHULUAN
Kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari
perubahan-perubahan, yang terjadi dalam
setiap organisme hidup (tumbuhan, bina-
tang, dan manusia) mau pun yang terjadi
pada suatu lingkungan dimana organisme
itu melakukan aktivitasnya.
Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
proses pembangunan; berpotensi menim-
bulkan kerawanan. Masalah pokoknya
menjadi, bagaimana memungkinkan ber-
langsungnya proses pembangunan yang
membawa kelanjutan dengan perubahan
(continuity with change). Keberlanjutan
perlu untuk memelihara kesinambungan.
Sedangkan perubahan diperlukan karena
menyertai pembangunan.
Aktivitas yang dilakukan oleh manusia
dalam pembangunan bertujuan untuk
memberi perubahan ke arah yang lebih
baik; dan agar perubahan itu dapat terjadi
maka sasaran perubahan harus siap
merespon setiap rangsangan (stimulus)
yang akan mengantarnya menuju pada
kehidupan yang lebih baik.
Indonesia sebagai Negara Agraris, dalam
merealisasikan pelaksanaan pemba-
ngunannya pada dasarnya bertujuan untuk
mendukung perekonomian rakyat di sek-
tor pertanian. Sebagaimana yang telah
dilakukan secara terencana, sejak tahun
1969 melalui kegiatan Rencana Pemba-
ngunan Lima Tahun (REPELITA). Di
mana dalam setiap tahapan pelak-
sanaannya, sektor pertanian selalu men-
dapat prioritas utama. Pemberian prioritas
ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat
Indonesia yang agraris, karena umumnya
bermatapencaharian sebagai petani.
Pembangunan pertanian di Indonesia,
khususnya pada subsektor pertanian ta-
naman pangan dalam pelaksanaannya
ditunjang oleh sejumlah besar petani yang
masih tradisional dengan luasan unit
usaha tani yang sempit, maka untuk
menjaga keberlangsungan usahataninya
perlu ditemukan pola yang tepat untuk
memobilisasi partisipasi mereka.
Indonesia yang beriklim tropis sudah lama
mengenal usaha budidaya tanaman padi
(Oryza sativa L.). Sawah, sudah sejak
berabad-abad yang lalu telah digunakan
sebagai tempat bercocok tanam
(cultivation). Misalnya pulau J awa, dulu
disebut Jawadwipa yang berarti pulau
padi, dan padi itu telah ada di J awa
waktu orang India datang ke Indonesia
lebih dari 1.000 tahun yang lalu.
Dalam usaha menumbuhkan tanaman,
khususnya padi sawah (rice-field) manusia
seharusnya menciptakan lingkungan agar
dapat sesuai dengan persyaratan pertum-
buhan tanaman padi, seperti media tanam
yang harus berstruktur lumpur dan men-
ciptakan lapisan kedap air, agar petakan
sawah selalu dapat digenangi dengan air.
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



41
Pengolahan lahan basah (wet rice cul-
tivation), berawal dari kebiasaan-
kebiasaan tradisional, dan ini merupakan
karakteristik umum dari ekosistem
alamiah, yaitu membuka hutan, membuat
pematang (dikes), kemudian menanami
sawah dengan tanaman padi (paddy).
Sekalipun cara-cara budidaya yang
dilakukan oleh para petani dalam ber-
cocok tanam tanaman padi sudah sangat
tinggi, tetapi kebiasaan-kebiasaan yang
tradisional masih melekat pada sebagian
besar petani. Ketergantungan mereka pada
fenomena alam terutama agroklimat dan
kearifan lingkungan sosial budaya dimana
mereka hidup bermasyarakat, memberi
pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, salah
satu contoh keterbiasaan petani di daerah
Sulawesi Selatan yang sudah membudaya
selama ini dan masih terus mereka
lakukan terutama dalam jadwal tanam,
seperti pada awal penetapan kegiatan
hambur benih dan waktu tanam, biasanya
didahului dengan pertemuan berupa
urung-rembuk (appalili Makassar atau
tudang sipulung Bugis dan Kombongan
Toraja) yang dilakukan antara petani
dengan para tokoh masyarakat dan
pemerintah setempat, dan sering pula
diikuti oleh para pakar dari perguruan
tinggi. Mungkin di daerah lain juga
melakukan hal yang serupa, hanya saja
penamaannya yang berbeda.
Keterpengaruhan mereka pada lingkung-
annya membentuk karakter dari diri petani
itu sendiri, sekaligus diikuti pula oleh
orang-orang yang terdekat dengan me-
reka. Rasa kebersamaan, senasib dan
sepenanggungan (dalam rasa dan karsa)
sebagai ciri khas yang merupakan hasil
bentukan lingkungan pada diri setiap
individu yang sering terlihat pada
masyarakat perdesaan, dan keberadaannya
sudah harus mereka terima sebagai suatu
konsekuensi nyata; dan ini pulalah yang
merupakan perwujudan dari kekuatan-
kekuatan lingkungan. Secanggih apapun
teknologi yang diperuntukkan bagi pem-
bangunan pertanian di daerah perdesaan,
semestinya dapat memberi manfaat ter-
hadap kelestarian pada lingkungan hidup.
Karena para petani (selaku manusia
pengelola) tidak hanya menerima pem-
berian dari lingkungannya, tetapi sebalik-
nya harus tahu mensyukurinya dan me-
melihara kebaikan lingkungan tersebut
agar selalu dalam kondisi yang seimbang
(balance).
Menyikapi kondisi tersebut di atas, maka
Beratha (1991) mengatakan bahwa,
apabila keseimbangan terganggu akan
terjadi apa yang disebut dengan perubahan
alami dan apabila ini berlangsung terus-
menerus, akan sangat berpengaruh pada
lingkungan yang pada akhirnya akan
menimbulkan masalah lingkungan. Selan-
jutnya oleh Amsyari (1986) dikemukakan
bahwa, kehidupan di dunia ini tidak
terlepas dari perubahan-perubahan suatu
lingkungan yang dimaksud adalah ling-
kungan fisik, lingkungan biologis, dan
lingkungan sosial manusia yang selalu
berubah dari waktu ke waktu. Atas ter-
jadinya perubahan tadi, manusia bahkan
seluruh organisme hidup di dunia perlu
melakukan penyesuaian (adaptation) agar
mereka tetap dapat mempertahankan hi-
dupnya, dalam arti kata mereka tetap bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
yang diperlukan, seperti keperluan pokok
(primary needs) berupa pangan, sandang,
papan, dan lain-lain yang kesemuanya
diperoleh dari lingkungan sekitarnya.
Manusia sebagai salah satu bagian dalam
sistem sosial sudah seharusnya dia me-
mahami kondisi yang ada di sekitarnya,
dan untuk melakukan aktivitasnya dia
harus keluar dari sistemnya ke sistem lain
yaitu sistem lingkungan (ekosistem).
Pandangan sistem menurut Capra (1999),
adalah melihat dunia dalam pengertian
hubungan dan integrasi. Dimana sistem
merupakan keseluruhan yang terintegrasi
yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



42
menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, pendekatan
sistem tidak memusatkan pada bagian-
bagian yang mendasar, melainkan
menekankan pada prinsip-prinsip orga-
nisasi (keseluruhan), dimana kerja orga-
nisme dituntun oleh pola-pola arus infor-
masi yang berputar (proses) yang dikenal
dengan putaran umpan balik (siklis). Dan
sebagai penyelaras untuk mengurangi
gangguan-gangguan, maka etika dan
moralitas perlu disertakan pula (Azhari,
1997).
Sejalan dengan kondisi tersebut di atas,
maka yang menarik untuk dijadikan
uraian dalam tulisan ini adalah sistem
manusia (human system), dengan meng-
ambil tema, yaitu Perilaku Manusia
dalam Agroekosistem, bagi mereka yang
hidup dan bertempat tinggal di daerah
pedesaan, dan dalam sehari-harinya ber-
aktivitas sebagai petani yang membudi-
dayakan tanaman pangan (padi sawah)
sebagai suatu usahatani, maupun usaha-
usaha lain di luar usahatani yang mereka
geluti selama ini, yang bertujuan untuk
memperbaiki perekonomian keluarga, ter-
utama yang menyangkut pendapatan
rumah-tangganya.
Fokus pengamatan dilakukan pada akti-
vitas masyarakat perdesaan yang ber-
tempat tinggal di Kecamatan Bonto-
marannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) untuk memberi
penjelasan mengenai masyarakat tani yang
membudidayakan tanaman padi di
perdesaan; dan 2) mendeskripsikan
human system sebagai salah satu
perspektif ekologi manusia dalam pem-
bangunan pertanian.




BAHAN DAN METODE
Kecamatan Bontomarannu Kabupaten
Gowa dipilih sebagai lokasi kasus, di-
lakukan secara sengaja (purposive). Ada-
pun dasar pemilihannya sebagai berikut,
1) penduduknya sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani, 2) aktivitas
penduduk di luar usahataninya sangat
beragam, 3) tersedia sarana dan prasarana
yang menunjang kegiatan usahatani,
khususnya tanaman padi. Alasan pemi-
lihan itu diharapkan akan mempunyai
kaitan yang erat dengan analisis kasus
yang menyangkut perilaku manusia
dalam agroekosistem.
Penelitian dilakukan dengan mengguna-
kan metode survai eksploratif. Survai ini
dilakukan dengan bantuan informan tokoh
adat/pemuka masyarakat, petani maju dan
penyuluh pertanian setempat.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Manusia merupakan salah satu makhluk
hidup yang menempati bagian dari sistem
lingkungan, dan mempunyai tingkatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
makhluk hidup lainnya. Karena itu ma-
nusia juga berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya. Ia mempengaruhi lingkungan
hidupnya dan sebaliknya ia dipengaruhi
pula oleh lingkungan hidupnya. Sebagai
uraian dalam kasus ini, maka di fokuskan
pada kebiasaan masyarakat tani pada
suatu agrosistem padi sawah dan aktivitas
lain di luar kegiatan usahatani yang
dilakukan oleh petani yang berdomisili di
Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten
Gowa.

Deskripsi Kasus
Program pembangunan yang dilaksanakan
pada sektor pertanian di arahkan pada
peningkatan produksi, terutama untuk
memenuhi kecukupan pangan (beras) bagi
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



43
rakyat Indonesia, sekaligus mengharapkan
terjadinya pertumbuhan ekonomi rakyat di
daerah perdesaan.
Kalau kita melirik ke belakang dan
melihat sejarah pertumbuhan dari hasil
pelaksanan pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah dalam tahapan pemba-
ngunan lima tahun, kita boleh berbangga
hati karena bangsa Indonesia setelah
melaksanakan kegiatan pembangunan
yang terencana selama kurang lebih 15
tahun (1969 s.d 1984) atau dalam tiga
tahapan dalam pembangunan lima tahun
(Pelita), Indonesia telah berhasil dalam
swasembada pangan, khususnya beras.
Keberhasilan ini diakui pada 1985 ketika
Soeharto (presiden Indonesia saat itu)
diundang untuk menghadiri pertemuan
tahunan Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) di Roma Italia sebagai wakil dari
negara berkembang (developing coun-
tries), dan sekaligus berpidato bagi
seluruh peserta pertemuan dalam me-
nyampaikan keberhasilan pembangunan di
sektor pertanian. Apa yang telah dicapai
saat itu, sebagai respon dari jutaan petani
dalam meningkatkan hasil panen padinya,
akibat terjadinya peningkatan pemakaian
bibit varietas unggul baru (VUB) dan
penggunaan pupuk anorganik (nitrogen =
urea, phosfat =TSP, dan kalium =KCl).
Namun sangat disayangkan, keberlanjutan
pembangunan tersebut tidak mampu mem-
pertahankan prestasi yang pernah dicapai
di masa silam, bahkan cenderung terjadi
kejenuhan. Walaupun berbagai input pro-
duksi, berbagai macam kredit dan upaya
pengadaan kebutuhan-kebutuhan petani
lainnya, tetapi masih saja belum mampu
mendongkrak kenaikan pendapatan petani.
Untuk mencapai produksi yang optimal
saja terasa sulit untuk dipenuhi, atau
hasilnya kurang memenuhi harapan.
Berbagai hambatan juga dirasakan oleh
para petani, terutama dalam prosedur
pengambilan jatah yang diperuntukkan
bagi petani, misalnya pengambil-an paket
kredit, dirasakan masih terlalu berbelit-
belit dan terlalu birokrasi yang tidak
terbiasa dikerjakan oleh petani yang
perilakunya sederhana, dan selalu ingin
kemudahan tanpa ikatan aturan yang
formal.
Kurangnya pendapatan yang diperoleh
petani dari hasil usahataninya, dipe-
ngaruhi pula oleh nilai tukar petani yang
diterima relatif lebih rendah dari yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Pada tahun
2003, pemerintah melalui Badan Urusan
Logistik (BULOG) telah menetapkan
harga dasar gabah sebesar Rp 1.725 per
kilogram dan harga beras Rp 2.740 per
kilogram. Aturan harga yang telah di-
tetapkan oleh pemerintah pada kenyata-
annya harga-harga tersebut belum pernah
dinikmati secara utuh oleh petani. Ter-
lebih-lebih pada saat puncak panen, harga
tersebut dapat anjlok pada tingkat yang
sangat rendah, bahkan dapat mencapai
kisaran Rp 900 sampai Rp 1.000 per
kilogram. Dari kenyataan ini, apakah yang
bisa diperbuat oleh keluarga petani dari
penerimaan nilai tukarnya?
Secara hipotetis, perhitungan biaya
yang harus dikeluarkan untuk menggarap
lahan sawah (yang akan ditanami padi)
seluas satu hektar diperlukan biaya
sebesar kurang lebih Rp 3.571.500,-.
Apabila hasil panen padi dicapai sebanyak
lima ton per hektar (produksi padi standar
BIMAS), dengan biaya panen (bawon)
yang berlaku 6 : 1, maka diperoleh hasil
bersih sejumlah 4.167 kilogram gabah;
dan apabila dijual dengan harga normal
Rp 1.725 per kilogram maka diperoleh
nilai jual sebesar Rp 7.188.075,-. J adi,
tingkat pendapatan yang diperoleh sebesar
Rp 3.616.575,- atau Rp 904.144 per bulan.
Suatu tingkat pendapatan yang masih
dianggap layak, karena masih berada di
atas upah minimum provinsi (UMP). Tapi
kalau nilai jualnya hanya Rp 1.000 per
kilogram, maka pendapatan yang diper-
oleh sebesar Rp 595.500,- atau rata-rata
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



44
Rp 148.875,- per bulan. Ini merupakan
suatu dilemma bagi kebanyakan petani
yang menekuni usahatani padi, sehingga
sangat diharapkan perhatian pemerintah
untuk mengatasi kondisi tersebut.
Sistem lingkungan yang merupakan tem-
pat para masyarakat perdesaan ber-
aktivitas hanya mempunyai kemampuan
menyiapkan subsistem-subsistemnya yang
dapat memberikan keterpengaruhan ke-
pada masyarakat setempat. Dengan ting-
kat pertumbuhan penduduk sebesar 1,66
persen, akan memberi gejolak pada ling-
kungan, terutama berkaitan dengan keter-
sediaan lahan garapan dan tempat pe-
mukiman.

Keadaan Umum Lokasi
Kecamatan Bontomarannu, merupakan
salah satu dari sembilan kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Gowa, terletak ke
arah timur jurusan Malino dan berjarak
kurang lebih 9 kilometer dari ibukota
Sungguminasa. Wilayah Kecamatan Bon-
tomarannu mempunyai luas wilayah 137,
59 km
2
atau 7,31 persen dari luas
Kabupaten Gowa, dengan batas wilayah
sebagai berikut:
a. sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Maros dan Kota Makassar,
b. sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan ParangloE,
c. sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Pallangga dan Kabupaten
Takalar,
d. sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Somba Opu, Pallangga, dan
Bajeng.
Kondisi topografi kecamatan Bonto-
marannu terdiri dari dataran rendah (0
25 mdp laut seluas 124, 88 km
2
(99,76
persen) dan berbukit (25 100 mdpl)
seluas 12,71 km
2
(0,24 persen).
Keadaan iklim, seperti halnya dengan
daerah-daerah lain di Indonesia, di
Kabupaten Gowa hanya dikenal dua
musim, yaitu musim kemarau dan musim
hujan. Biasanya musim kemarau dimulai
pada J uni September, sedangkan musim
hujan pada bulan Desember Maret.
Keadaan seperti ini berganti tiap setengah
tahun setelah melewati masa peralihan
yaitu pada bulan April Mei dan Oktober
November. Curah hujan tertinggi jatuh
pada bulan Desember, dapat mencapai 1
073 mm dan terendah pada bulan Agustus,
boleh dikatakan tidak ada hujan.
J umlah penduduk Kecamatan Bonto-
marannu 41.973 jiwa, dengan kepadatan
penduduknya 305 per km
2
, dengan jumlah
rumahtangga 9.671 KK. Sesuai dengan
jenis kelaminnya, penduduk laki-laki
berjumlah 20.638 jiwa dan perempuan 21
335 jiwa. Penduduk yang tergolong usia
dewasa berjumlah 28.593 jiwa (laki-laki
13 799 jiwa dan perempuan 14.794 jiwa)
dan anak-anak 13.380 jiwa (laki-laki
6.839 jiwa dan perempuan 6.541 jiwa).
Kondisi sosial di Kecamatan Bonto-
marannu belakangan ini cukup kondusif,
yang sebelumnya sangat rawan tindak
kriminal berupa pencurian ternak. Masya-
rakatnya sudah cukup maju dan tidak
tertinggal dengan daerah lainnya, karena
di sini sudah terdapat sekolah, seperti
Taman Kanak-kanak 4 buah, SD 35 buah,
SMP 3 buah dan MTs 2 buah. Selain itu,
dalam bidang kesehatan juga telah
dibangun Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) 2 buah dan Puskesmas
Pembantu (Pustu) 3 buah. Masyarakatnya
umumnya memeluk agama Islam yaitu 40
313 jiwa (96,04 persen), dan terdapat 64
buah mesjid.
Kegiatan perekonomian masyarakat dila-
kukan melalui kegiatan pasar berpusat di
ibukota kecamatan yang berada di
Kelurahan BorongloE. Di daerah ini
hanya terdapat satu pasar, dan tertentu
hari-hari pasarnya. Hari pasar yang ramai,
yaitu hari Senin, Rabu, dan J umat.
Barang-barang yang diperdagangkan oleh
penduduk setempat umumnya hasil-hasil
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



45
pertanian, sedangkan barang-barang be-
rupa sandang dan peralatan rumahtangga,
didatangkan dari luar daerah oleh pe-
dagang dari Kota Sungguminasa atau
Kota Makassar, terdapat pula lembaga
perekonomian seperti BRI Unit Desa, dan
KUD.

Kegiatan Penduduk di Bidang Per-
tanian
Lahan yang tersedia di Kecamatan
Bontomarannu untuk kegiatan pertanian
seluas 10.838 hektar, yang digunakan
sebagai lahan pekarangan 2.387 hektar,
tegalan/kebun 293 hektar, ladang/huma
2.624 hektar, dan lain-lain 5.534 hektar.
Yang dijadikan sebagai lahan persawahan
seluas 4.175 hektar, terdiri dari sawah
berpengairan seluas 3.76 hektar dan tadah
hujan 899 hektar. Sumber air pengairan
berasal dari irigasi Bili-Bili.
Luas panen padi sawah 4.458 hektar,
dengan produksinya sebesar 18.448 ton,
atau rata-rata produksi 4,12 ton per hektar,
dan luas panen padi ladang 112 hektar
dengan produksinya sebesar 225 ton atau
rata-rata 2,01 ton per hektar.
Komoditi lain yang diusahakan yakni
palawija terdiri dari, jagung 1.152 hektar,
kacang tanah 36 hektar, kacang hijau 33
hektar, ubikayu 1.386 hektar, dan ubijalar
49 hektar. Selain itu, terdapat pula
komoditi perkebunan berupa kelapa
hibrida 20 hektar, kelapa dalam 144
hektar, kopi robusta 87 hektar, kakao 21
hektar, tebu rakyat 170 hektar, tebu PTPN
XIV 319 hektar, jambu mete 251 hektar,
kemiri 70 hektar, dan kapuk/randu 263
hektar.
Populasi ternak yang ada yakni, kerbau 3
158 ekor, sapi 10.042 ekor, kuda 229
ekor, kambing 1.022 ekor, dan babi 5.946
ekor. Ternak unggas berupa ayam kam-
pung (ayam buras) 147.961 ekor.
Produksi perikanan air tawar berjumlah
104.915 kilogram yang diperoleh dari,
budidaya kolam 4.385 kilogram (diha-
silkan dari kolam seluas 7,45 hektar), dan
pemeliharaan ikan di sawah 2.265 kilo-
gram, dari rawa 65.395 kilogram, dan
sungai 32.870 kilogram. J umlah petani
ikan 325 KK.

Pembahasan
Manusia sebagai salah satu subsistem
dalam sistem sosial, dan sebagai makhluk
hidup, manusia tidak berbeda dengan
makhluk hidup lainnya yang bersama
dengan lingkungan hidupnya melakukan
interkasi dengan sistem lingkungan (eko-
sistem).
Lingkungan hidup manusia juga terdiri
atas lingkungan biotik (tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia lain), dan lingkungan
abiotik (tanah, udara, air, dan cahaya).
Lingkungan hidup tidak hanya ditentukan
oleh jenis dan jumlah benda hidup dan
mati, melainkan ditentukan pula oleh
kondisi dan kelakuan benda hidup dan
mati itu, serta interaksi antara benda-
benda itu. Demikian pula kelakuan
manusia sangat mempengaruhi ling-
kungan kita.
Di dalam sistem lingkungan, tempat hidup
manusia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, dan
kelangsungan hidup manusia tergantung
dari kelestariam sistem lingkungannya,
karena sistem lingkungan terbentuk oleh
hubungan timbal-balik antara manusia
dengan lingkungan hidupnya. Untuk men-
jaga kelestarian sistem lingkungan itu.
Manusia harus menjaga keserasian hu-
bungan dengan lingkungan hidupnya.
Manakala keserasian hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya terganggu,
akan terganggu pula kesejahteraan
manusia.
Untuk mendukung kehidupannya, manu-
sia harus menggunakan subsistem-sub-
sistem dalam sistem lingkungan seperti
udara untuk bernafas; air untuk minum
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



46
keperluan rumahtangga dan pengairan;
tanah untuk dijadikan sebagai lahan usaha
dan pemukiman; tumbuhan dan hewan
sebagai bahan makanan. J adi, lingkungan
hidup kita bukan hanya merupakan tempat
hidup kita, melainkan juga sebagai sumber
daya kita.
Manusia mempunyai kebutuhan yang
sangat beragam. Kebutuhan hidup yang
secara mutlak harus dipenuhi disebut
kebutuhan dasar (primary needs), yaitu
makanan, pakaian, dan perumahan. Di
samping itu, kebutuhan lainnya berupa
pendidikan, pelayanan umum (untuk per-
lindungan hukum dan keamanan), kese-
hatan, higiene, transportasi, dan lapangan
pekerjaan. Makin baik kebutuhan dasar
kita dapat dipenuhi, maka makin baiklah
kualitas hidup kita. Kualitas lingkungan
pun makin baik juga. Inilah yang me-
rupakan suatu aliran energi materi dan
informasi yang diharapkan dapat mem-
bentuk adaptasi antara sistem sosial dan
sistem lingkungan.
Daerah perdesaan sebagai tempat tinggal
dan sekaligus sebagai tempat beraktivitas
penduduknya, dapatlah diketahui bahwa
kualitas lingkungan desa masih tergolong
rendah, banyak penduduk masih belum
cukup pangan, pendidikannya masih
rendah, lapangan pekerjaan sangat sedikit.
Hanya dalam hubungannya dengan ling-
kungan hidupnya, orang desa pada
umumnya mempunyai pandangan yang
imanen atau holistik. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia haruslah
mengusahakan keserasian dengan bagian-
bagian lainnya dalam sistem lingkungan
itu. Sebagai bagian integral dari sistem
lingkungan, ia selalu berikhtiar agar dapat
menjaga kelestarian sistem lingkungan-
nya.
Tidak maksimumnya hasil usaha tani yang
dicapai oleh penduduk desa setempat pada
setiap musim panen, disebabkan karena
ulah mereka sendiri yang seringkali
dengan sengaja menelantarkan lahan
usahataninya. Korbanan waktu yang
mereka curahkan penuh hanya pada awal
pengolahan lahan dan penanaman, kemu-
dian di saat panen. Selebihnya, dari proses
produksi/pekerjaan lainnya, diserahkan
kepada anggota keluarganya, sedangkan
mereka lebih senang beralih kegiatan,
misalnya sebagai pengumpul batu dan
pasir kali, sebagai pagandeng, atau
menjadi buruh bangunan di Kota
Makassar.
Adanya ketertarikan penduduk daerah
pedesaan terhadap kota, dalam ekologi
terdapat hukum yang mengatakan bahwa,
apabila dua sistem lingkungan yang
berbeda tingkat perkembangannya berin-
teraksi, maka sistem lingkungan yang
kurang berkembang akan dieksploitasi
oleh sistem lingkungan yang lebih ber-
kembang (Mayalef dalam Soerjani, 1987).
J adi, dalam hal ini terjadi dominasi
perkotaan terhadap perdesaan. Apabila
digambarkan secara skematis, sebagai
berikut:








Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



47

Materi Energi Informasi





Materi Energi Informasi


Gambar 7. Antara sistem lingkungan desa, yang kurang berkembang dan sistem
lingkungan kota, yang lebih berkembang


Berdasarkan ukuran tertentu daerah
perdesaan merupakan sistem lingkungan
yang kurang berkembang akan dieks-
ploitasi oleh perkotaan. Walaupun per-
desaan mengalami perkembangan juga
karena adanya aliran energi materi dan
informasi dari perkotaan, namun karena
sifat alirannya yang asimetris itu ke-
cepatan perkembangan perdesaan akan
lebih kecil daripada perkembangan per-
kotaan, maka perbedaan tingkat per-
kembangan antara perdesaan dan per-
kotaan makin lama akan makin besar.
Perubahan sebagai konsekuensi dari
kemajuan teknologi telah memberi pe-
ngaruh bagi penduduk Kabupaten Gowa
yang bekerja di kota Makassar khususnya
dalam penggunaan sarana transportasi
(motor roda dua), baik yang bekerja
sebagai buruh bangunan maupun pa-
gandeng. Kalau lima tahun yang lalu kita
sering dipertontonkan dengan peman-
dangan yang terlihat sehari-harinya di
sepanjang jalan antara kota Sungguminasa
dengan kota Makassar, banyak penduduk
perdesaan yang mengayuh sepeda
onthelnya menuju ke kota Makassar;
pemandangan ini terlihat sangat ramai di
waktu pagi hari saat mereka berangkat
bekerja sekitar pukul 06.00 08.00, dan
sore harinya setelah mereka kembali dari
bekerja pada pukul 17.00 19.00. Me-
reka ini sebenarnya adalah petani, yang
sengaja pergi meninggalkan usaha pokok-
nya untuk mencari tambahan penghasilan
di kota, dan umumnya bekerja sebagai
buruh bangunan. Sekarang pemandangan
itu sudah tergantikan dengan motor roda
dua (dengan berbagai merek).
Apa yang kita lihat ini merupakan akibat
dari keterpengaruhan mereka terhadap
perkembangan pembangunan di perkota-
an, terutama untuk menambah pendapatan
rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Curahan waktunya lebih ba-
nyak diberikan kepada kegiatan di luar
usahatani, sehingga berdampak pada
produktivitas usahataninya yang tidak
pernah mereka capai secara optimum.
Usaha sebagai pagandeng, dilakukan
sebagai bagian dari kegiatan jual-beli,
dimana mereka mengangkut hasil panen-
nya atau hasil yang ia beli langsung dari
petani lainnya, kemudian diangkut dengan
menggunakan motor roda dua dan masih
ada pula yang bersepeda (digandeng
dalam keranjang yang dianyam dari
bambu) ke pedagang lain yang berada di
kota Sungguminasa atau kota Makassar.
Hasil-hasil pertanian yang biasanya me-
reka perjualbelikan antara lain, ubikayu,
sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain.
Apa yang dikerjakan oleh petani di daerah
ini, merupakan upaya untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan keluarga dalam rumah
tangganya, dengan maksud untuk menam-
bah pendapatan keluarganya; dan untuk
SISTEM LINGKUNGAN
KOTA
SISTEM LINGKUNGAN
DESA
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



48
mendapatkan uang dalam waktu yang
singkat (biasanya gaji buruh bangunan
dibayar mingguan).
Perkembangan teknologi dan pertum-
buhan penduduk sangat berpotensi untuk
mengubah jumlah aliran materi energi
dan informasi dari sistem sosial ke dalam
sistem lingkungan. Kalau saja upah yang
mereka terima dari hasil memburuh di
kota dibelanjakan untuk kepentingan
usaha taninya, seperti pupuk, insektisida,
sprayer, dan lain-lain; ini berarti mereka
telah mengalirkan kembali materi energi
dan informasi ke dalam sistem ling-
kungannya.
Pengembangan usahatani padi sawah di
Kecamatan Bontomarannu masih me-
mungkinkan, karena potensi lahan dan
infrastrukturnya masih cukup tersedia,
seperti saluran pengairan (irigasi Bili-
Bili), lembaga perekonomian (BRI Unit
Desa), dan Koperasi Unit Desa (KUD).
Kepadatan pertaniannya memang ter-
golong cukup tinggi, yaitu dikelola 3,87
jiwa per hektar (3 4 orang), kalaupun ini
akan dikembangkan harus dilakukan de-
ngan cara intensifikasi. Yang perlu men-
jadi perhatian di sini adalah waktu luang
dari kegiatan usahatani yang digunakan
bekerja di kota ada yang terbuang (dalam
perjalanan menuju dan kembali dari kota
memakan waktu kira-kira dua jam setiap
hari). Kalau saja waktu luang yang
mereka miliki dimanfaatkan untuk kegiat-
an-kegiatan yang berhubungan dengan
usahataninya, misalnya mengintensifkan
pemeliharaan tanaman padinya (me-
nyiang, menyulam, dan memupuk), atau
dapat pula memanfaatkan areal pematang
sawah untuk ditanami dengan komoditi
lain (diversifikasi) seperti sayur-sayuran,
dan memanfaatkan lahan pekarangannya
untuk memelihara ternak atau unggas.
Kesemuanya ini, akan dapat memberikan
tambahan pendapatan bagi keluarga tani
tersebut. Waktu yang dicurahkan pada
kegiatan usaha taninya jauh lebih banyak,
tidak terlalu merepotkan dan bersusah-
payah, dibandingkan jika mereka harus
bangun pagi-pagi menggayuh sepeda
berangkat kerja. Mungkin, penghasilan
dari ketekunannya mengurusi usaha
taninya akan memperoleh pendapatan jauh
lebih besar dibanding dengan upah
sebagai buruh yang mereka terima.
Selain itu, dapat pula mereka aktif meng-
ikuti pertemuan-pertemuan dengan para
petugas pertanian atau petugas lainnya
yang biasanya menyampaikan suatu
inovasi baru, dimana inovasi baru tersebut
pasti mempunyai keterkaitan dengan
usahatani dan banyak manfaatnya.

Rekonstruksi
Dalam perjalanan waktu, yang menjadi
kekuatiran kita ke depan, apabila laju
pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka
ia akan menggeser terus lahan-lahan
persawahan untuk dijadikan sebagai tem-
pat pemukiman. Ini berarti lahan per-
sawahan akan semakin berkurang, dan
untuk mempertahankan produktivitas
lahan persawahan harus dilakukan dengan
cara intensifikasi maksimal. Ini akan
menguras lebih banyak subsistem dalam
komponen sistem lingkungan. Akibatnya,
terjadi ketidakseimbangan (dominasi)
aliran energi materi dan informasi ke
dalam sistem lingkungan yang disebabkan
oleh ulah manusia (subsistem sosial) itu
sendiri karena adanya perubahan dan
pergeseran yang dilakukan.
Kepintaran manusia dengan penggunaan
teknologi tingginya memang sudah mam-
pu memodifikasi beragam permasalahan
dalam sistem lingkungan, atau telah dapat
mengurangi beban yang diderita oleh
lingkungan, tapi alirannya masih saja
terbentur oleh birokrasi, sehingga yang
terjadi adalah dominasi dari sistem sosial.
Aktivitas yang dilakukan oleh penduduk
perdesaan selama ini dengan melakukan
kegiatan di luar usahataninya, sebaiknya
mereka alihkan untuk berpusat kepada
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330



49
usahataninya. Karena apabila usahatani
ini ditekuni, akan memberi pendapatan
yang memadai dan kemungkinannya
melebihi jumlah pendapatan yang mereka
peroleh dari pekerjaannya sebagai buruh
bangunan, dan ini akan sangat bermanfaat
bagi keluarganya. Selain itu, kalau saja
petani mau lebih kreatif lagi, di sekitar
tempat tinggal mereka banyak tersedia
material organik yang dapat digunakan
untuk usaha taninya. Karena yang belum
termanfaatkan oleh petani di perdesaan
selama ini adalah buangan/limbah padi
(material organik) seperti, jerami dan
sekam yang dapat dimanfaat sebagai
pupuk organik diproses dengan cara
fermentasi menjadi bokasi; atau membuat
pestisida organik yang dibuat dari bagian
tumbuh-tumbuhan seperti akar tuba, buah
maja, merica, cengkeh, daun pepaya,
sirsak, dan lain-lain. Untuk membuatnya
sangat mudah, dan hasilnya lebih ramah
lingkungan.
Memahami lingkungan tidak berbeda
dengan memahami sistem kehidupan ini
secara keseluruhan. Keteraturan, kesera-
sian, keselarasan dan keseimbangan perlu
selalu dijaga agar terhindar dari suatu
dominasi. Untuk bertindak, sangat bijak-
sana apabila kita melihat segala sesuatu
bukan lagi menurut bagian-bagian (par-
sial) tetapi kita melihat segala sesuatunya
secara menyeluruh, yang mempunyai
hubungan (interdependency) yang bersifat
non-linear dan memberi makna adaptasi.
J adi, siklus aliran materi energi dan
informasi berada dalam kondisi normal
dan stabil tanpa muatan-muatan arogansi
atau egoisme sektoral. Diharapkan terus
berlangsung dalam aliran yang berputar
(siklis) agar dapat mendukung kelestarian
lingkungan hidup.

KESIMPULAN
1. Manusia sebagai bagian sistem sosial
sudah seharusnya memahami kondisi
yang ada di sekitarnya.
2. Model sistem ekologi manusia ber-
guna karena memberi kesan rasional
hubungannya antara sistem sosial dan
sistem lingkungan.
3. Memahami lingkungan berbeda de-
ngan memahami sistem kehidupan ini
secara keseluruhan. Keteraturan, ke-
serasian, keselarasan dan keseim-
bangan perlu selalu dijaga agar ter-
hindar dari suatu dominasi.
4. Sangat bijaksana dalam bertindak,
apabila segala sesuatu dilihat tidak
secara parsial tetapi secara me-
nyeluruh.


DAFTAR PUSTAKA
Amsyari, F., 1986. Prinsip-Prinsip Ma-
salah Pencemaran Lingkungan.
Ghalia Indonesia, J akarta.
Azhari, S., 1997. Etika Lingkungan
Dalam Pembangunan Berkelan-
jutan. Direktorat J enderal Pen-
didikan Tinggi, Departemen Pendi-
dikan dan Kebudayaan, J akarta.
Beratha, I N., 1991. Pembangunan Desa
Berwawasan Lingkungan. Bumi
Aksara, J akarta.
Capra, P., 1999. Titik Balik Peradaban,
Sains, Masyarakat dan Kebang-
kitan Kebudayaan. Yayasan Ben-
tang Budaya, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai