Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation adalah
pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Keith Davis, partisipasi adalah
suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut
bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah
keterlibatan mental dan emosi.
Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang
diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut
memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat
kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang
mental serta penentuan kebijaksanaan. Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan
dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung
jawab atas keterlibatannya.
Dengan mengutip pengkategorian oleh Deshler dan Sock (1985), disebutkan
bahwa secara garis besar terdapat 3 tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical
participation), partisipasi semu (pseudo participation), dan partisipasi politis atau
partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi teknis dan partisipasi politis
kelihatannya sepadan dengan 2 tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain,
yaitu partisipasi untuk partisipasi yang digunakan dalam pengembangan program, dan
partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu
demokratisasi (Roche, 1999).
Partisipasi Teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian
masalah, pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan
partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi asli
(Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan
melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah,
dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam ini adalah
pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui
peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan
berotonomi. Partisipasi Semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau
kelompok dominan (elit masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan
masyarakat hanya sekedar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan berarti
partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis), bisa sekaligus
ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan
masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik,
ekonomi).
Bentuk partisipasi yang nyata yaitu, partisipasi uang, harta benda, tenaga, dan
keterampilan. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-
usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuanPartisipasi
harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya
berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang
diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang
keberhasilan suatu program. Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan
melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang
membutuhkannya. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa
sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun
program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk
mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya.
Menurut Effendi, partisipasi ada dua bentuk, yaitu partisipasi vertikal dan
partisipasi horizontal.Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam
masyarakat yang terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program
pihak lain, dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi
bawahan.Partisipasi horizontal adalah dimana masyarakatnya tidak mustahil untuk
mempunyai prakarsa dimana setiap anggota / kelompok masyarakat berpartisipasi
secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha
bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. menurut
Effendi sendiri, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan
tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.
Arnstein (1969) menggambarkan delapan tingkatan yang setiap tingkatannya
menggambarkan peningkatan pengaruh masyarakat dalam menentukan produk akhir
pembangunan. Delapan tingkatan tersebut dari yang terendah hingga tertinggi adalah
manipulation (manipulasi), therapy (terapi), information (informasi), consultation
(konsultasi), placation (penentraman), partnership (kemitraan), delegated power
(pelimpahan kekuasaan) dan citizen kontrol (kontrol masyarakat). tingkatan
partisipasi masyarakat yang dapat dikelompokkan dalam tiga level yaitu
nonparticipation, tokenism dan citizen power.
Tingkatan terendah adalah manipulation dan therapy yang dideskripsikan
sebagai non-participation atau tiadanya partisipasi. Pada tingkatan ini tidak ada
partisipasi dari masyarakat dalam merencanakan maupun melaksanakan program.
Pemegang kekuasaan mendikte masyarakat dimana tidak ada dialog diantara mereka.
Pada kasus ini masyarakat ikut dalam program tetapi tidak sepenuh hati baik secara
psikologi, mental dan disertai konsekwensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi
dalam program tersebut.Dalam hal ini masyarakat dilibatkan hanya untuk
mendapatkan dukungan publik
semata dan Arnstein menyebutnya sebagai ketidakpedulian.
Tingkatan tiga, empat dan lima merupakan peningkatan pada level tokenism
atau partisipasi semu yang memungkinkan masyarakat yang semula tidak didengarkan
menjadi didengarkan dan memiliki suara. Ada tindakan dari masyarakat untuk mulai
terlibat dalam partisipasi. Namun pada tingkatan ini, tidak ada jaminan bahwa suara
mereka akandidengarkan oleh pemegang kekuasaan. Pada dasarnya penyampaian
informasi merupakan suatu bentuk pendekatan kepada masyarakat untuk mendapa
tlegitimasi publik, atas segala program yang telah dicanangkan hal ini kenyataanya
merupakan bentuk dari komunikasi top down. Sementara konsultasi dalamsebuah
forum adalah untuk mengundang ketertarikan public tidak sampai pada
memperhatikan keberatan publik. Kemudian tangga kelima peredaman. Pada ketiga
tangga yang dimaksud sesungguhnya masyrakat sudah mulai diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dengan bentuk menyampaikan pendapat, saran dan keberatan tetapi
sifatnya formalitas. Arnstein menyebutnya sebagai tingkat penghargaan atau
formalitas (Ulistiyani 2004:125).
Pada tingkatan citizen power atau terdapat partisipasi aktif, masyarakat dapat
bermitra dengan pemegang kekuasaan yang memungkinkan mereka bernegoisasi. Dan
jika tingkat partisipasi diperdalam hingga level tertinggi yaitu citizen control,
masyarakat memiliki kekuasaan penuh untuk membuat keputusan. Tingkatan
partisipasi masyarakat dapat diidentifikasikan dengan mengkaji darimana asal
partisipasi apakah dari pemerintah, masyarakat atau bersama-sama antara pemerintah
dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat sudah mendapat tempat pada sebuah
program pembangunan, tingkat yang ketujuh telah terjadi pelimpahan kewenangan
oleh pemerintah kepada masyarakat. Selanjutnya yang terakhir tangga kedelapan
masyarakat telah mampu melakukan kontrol. Ketiga kelompok tingkatan disebutkan
di atas merupakan kategori tingkat kekuasaan masyarakat (Ulistiyani 2004:125).
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang dapat menjadi penggerak
pertumbuhan penting bagi sebuah Negara, terlebih lagi apabila dikelola dengan baik
dan memadai. Sabaiknya kota tidak akan dapat menjalankan fungsinya sebagai
penggerak pertumbuhan dan bahkan justru menciptakan disinsentif bagi pertumbuhan
apabila pengelolaannya dilakukan dengan cara-cara yang tidak tepat dan tidak
memadai. Oleh karena itu, merupakan sebuah tantangan besar bagi pemerinta Negara
untuk mengelola kawasan perkotaan sehingga mampu memberkan kontribusi positif
yang optimal dalam pelaksanaan pembangunannya.
Kelayakanhunian dari sebuah kota salah satunya akan ditentukan oleh
bagaimana sebuah pemerintahan kota mampu membuat strategi dan kebijakan yang
berorientasi kepada penggunaan segenap sumber daya potensial baik manusia maupun
modal yang dimiliki wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah harus mampu membuat
setiap actor yang berbeda untuk ikut memainkan peranan aktif dalam pengelolaan
wilayahnya, sehingga memungkinkan bagi penggunaan sumber daya potensial yang
ada. Jadi, sebuah pemerintahan harus mempertimbangkan penyelenggaraan
pemerintahanya dengan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan akan
kota tersebut, termasuk masyarakat sebagai salah satu pihak yang berkepentingan.
Sehingga diperlukan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
bersama pemerintahan. Keterlibatan masyarakat akan membawa keuntungan, yakni:
meningkatkan kualitas pembuatan kebijakan dengan menyediakan pemerintah sumber
informasi, perspektif dan solusi masalah yang besar. Dapat juga memfasilitasi
interaksi yang luas antara masyarakat dan pemerintahan, serta meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi yang pada akhirnya akan meningkatkan keterwakilan
dan kepercayaan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat menghasilkan kebijakanpemerintahan yang lebih
baik karena adanya prinsip keadilan dan kesetaraan, merupakan hak masyarakat untuk
mendapatka informasi dan untuk menyuarakan pandangan mereka terkait kebijakan
pemerintah, adanya kebutuhan untuk mewakili kepentingan dari kelompok-kelompok
masyarakat yang lemah da todak memiliki kekuatan, serta adanya kebutuhan utnuk
menangkap apa yang benar-benar diingkan oleh masyarakat.
Meningkatkan partisipasi masyarakat bukanlah merupakan hal yang mudah
untuk dilakukan. Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk dapat
mewujudkannya. Partisipasi publik yang efektif berfungsi untuk semua pihak dan
mampu menstimulasikepentingan dan investasi baik dari masyarakat ataupun
administrator publik. Upaya partisipasi yang dilakukan saat ini dirangkai dalam suatu
kerangka di mana semua komponen yang terlibat tersusun di sekitar masalah,
sementara struktur dan proses administrasi adalah komponen yang paling dekat.
Administrator adalah agen di antara struktur dan masyarakat. Kondisi seperti ini
memberikan administrator kewenangan untuk memformulasikan kebujakan setelah
isu telah didefinisikan. Selain itu admistrator tidak memiliki kewenangan nyata untuk
mendefinisikan kembali isu atau untuk mengubah proses administrasi yang
memungkinkan keterlibatan yang lebih besar dari masyarakat. Oleh karena itu
partisipasi menjadi tidak efektif dan cenderung menimbulkan konflik.
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah bagaimana menciptakan suatu wilayah
yanglayak huni,nyaman dan mampu mendukung dalam berkompetensi dengan
wilayah lainnya. Untuk itu penulis bertujuan mendeskripsikan tangga partisipasi
khususnya dalam tahap terapi.

















BAB II
TINJAUAN TEORI
Program dengan pendekatan partisipatif sudah menjadi wacana bahkan
menjadi istilah yang sering kita dengar dari pemerintah, semi pemerintah dan
organisasi non pemerintah. Sebelum era transisi dan otonomi daerah, istilah ini sering
kita dengar sebagai peran serta. Tidak ada perbedaan antara partisipasi dan peran serta
ini. Sebab partisipasi dapat diartikan turut ambil bagian, peran serta, penggabungan
diri dan ikut serta.
Partisipasi tersebut sebagai bentuk kekuatan rakyat sesuai dengan kajian
Sherry R. Arnstein (Aliadi, 1994). Partisipasi menurut Arnstein (1969) adalah
bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan
mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Partisipasi
tersebut dapat berwujud secara langsung ataupun tidak langsung.
Arnstein telah membuat delapan tangga partisipasi. Untuk tangga pertama
disebut manipulasi dan kedua, terapi. Kategori manipulasi dan terapi ini bila yang
dilakukan dalam bentuk mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua
ini Arnstein menganggap itu bukan bentuk partisipasi.
Terapi (therapy), pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas.
Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Dapat dikatakan pemegang
kekuasaan mendidik rakyat. Kata terapi digunakan untuk merawat penyakit.
Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk menyembuhkan
penyakit masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit masyarakat terjadi sejak
distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi (kaya dan miskin) tidak pernah
seimbang.
Terapi (perbaikan) tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sebenarnya.
Masyarakat ikut dalam program tetapi tidaksepenuh hati baik secara psikologi, mental
dan disertai konsekwensikeikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program
tersebut. Dalam hal ini masyarakat dilibatkan hanya untuk mendapatkan dukungan
publik semata dan Arnstein menyebutkan hal ini sebagai ketidak pedulian.


BAB III
STUDI KASUS

Dalam upaya menurunkan dan menghemat penggunaan bahan bakar
pemerintah
Kota Mataram berupaya memfungsikan Transportasi Ramah Lingkungansebagai
angkutan alternatif untuk mempertahankan kelancaran distribusi barang dan jasa
maupunpenumpang, memantapkan jaringan trayek dalam mendukung kelancaran
prosesproduksi, distribusi barang dan penumpang. Tersedianya angkutan alternatif
kendaraan tidak bermotor memberikan dampak positif seperti terlayaninya
transportasi masyarakatdiluar trayek angkutan perkotaan dimana jasa perdagangan
umum perlu pembinaanterus menerus (Dinas Perhubungan Kota Mataram, 2005).
Terlepas dari cidomoyang memiliki potensi sebagai transportasi yang
ramahlingkungan beberapa permasalahan juga timbul dalam memfungsikan
transportasicidomodiantaranya jalan di Kota Mataram penuh dengan limbah padat
kotoran kuda(Dinas Perhubungan Kota Mataram, 2005:14). Dengan semakin
mahalnya harga BBM fosil keberadaan transportasi ramah lingkungan (cidomo)
merupakan alternatif pilihan dalam transportasi pinggiran Kota Mataram tetapi hal ini
diikuti dengan peningkatan polusi limbah kotoran kuda disepanjang jalur trayek
cidomo. Karena itu pemerintah Kota Mataram mengeluarkan suatu kebijakan, yakni
pemasangan gendongan kotoran kuda serta pembuangan kotoran kuda di tempat yang
telah disediakan. Pada kondisi di lapangan, kesadaran para kusir dalam memasang
gendongan kotoran kuda sudah cukup baik, namun masih banyak pula kusir yang
hanya sekedar memasang begitu saja atau tidak tepat pemasangannya bahkan ada juga
yang tidak memasang sama sekali.
Selain itu, untuk pembuangan limbah kotoran kuda juga tidak sesuai dengan
aturan, yakni masih banyak yang membuang kotoran kuda di pinggir jalan atau
pinggir sawah yang sepi, tidak di tempat yang disediakan oleh pemerintah. Ketertiban
pemasangan gendongan kotoran kuda pada cidomohanya sebatas karena ada petugas
yang sedang melaksanakan tugas, sementara 67% kusir membuang kotoran kuda
dipinggir jalan yang sepi, dimana tidak ada petugas yang mengawasi.
Dengan menyimak pernyataan dan data diatas partisipasi komunitas kusir
cidomodalam hal menjaga kebersihan jalan raya atau lingkungan kandang baru pada
tingkatantangga yang ke dua yakni terapi. Hal ini menurut Arnstein (1969) dalam
Sulistiani (2004:125) berada pada kondisi non partisipatif.
Tingkat partisipasi kusir cidomodalam mengolah limbah yang baru pada
tangganomor dua yakni terapidan tergolong non partisipasisangatlah buruk
dampaknya bagikeberlanjutan transportasi cidomo. Hal ini menjadikan citra cidomo
kurang baik mengingat kotoran kuda di tempat terbuka akan mengalami penguraian
padaproses penguraian ini akan menghasilkan gas metana. Bila dihubungkan dengan
data informan yang membuang limbah di tempat sepi :
1. Jelas kotoran kuda tersebut belum memberikan manfaat bagi kusir meski secara
teoridapat dijadikan pupuk dan biogas.
2. Pemasangan tetap dilakukan namun hanya untuk memenuhi persyaratan
sajasupaya tidak ditegur ataupun ditilang. Pada kondisi ini pihak Dinas
Perhubungantidak dapat menyalahkan para kusir karena aturan tertulis belum
ada.





























BAB IV
PEMBAHASAN
Strategi pemecahan masalah yang diterapkan dalam studi kasus tangga
partisipasi ini adalah partisipasi menyelesaikan masalah. Strategi menyelesaikan
masalah terdiri dari organizing dan dan training. Dalam studi kasus ini teknik yang
digunakan adalah organizing (pengaturan). Di sini pemerintah tidak memberikan
training (pelatihan) terhadap para kusir tetapi memberikan himbauan memasang
gendong kotoran kuda yang bertujuan untuk mengatur atau mengendalikan bau dari
kotoran kuda yang menganggu masyarakat.
Metode yang digunakan dalam studi kasus ini adalah adalah
Commmunity Action Plan (CAP). CAP sendiri adalah proses atau metode yang
digunakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat melakukan aksi
aksi berdasarkan masalah, kebutuhan dan potensi. Studi kasus ini menggunakan
metode CAP karena tujuan dari kebijakan yang diterapkan dalam studi kasus ini
adalah meningkatkan kapasitas untuk dapat melakukan aksi aksi berdasarkan
masalah, yaitu adanya masalah pengotoran lingkungan Kota Mataram akibat bau dari
kotoran kuda. Kebutuhan dari penerapan metode ini yaitu untuk menciptakan
lingkungan Kota Mataram yang bersih dan ramah lingkungan. Cidomo adalah
kendaraan non bermotor khas Kota mataram yang ramah lingkungan namun potensi
cidomo ini baru bisa berfungsi maksimal jika permasalahan bau kotoran dari kuda
yang menarik cidomo dapat diselesaikan. Karena hal tersebut dapat menganggu
masyarakat yang lewat di jalan dan penumpang cidomo itu sendiri.
Studi kasus ini berada pada tangga partisipasi terapi karena terdapat suatu
kondisi masyarakat yang tidak berpartipasi pada kebijakan pemerintah Kota Mataram
yang menganjurkan pada kusir cidomo untuk menggunakan gendongan kotoran kuda
dan membuang kotorannya di tempat yang disediakan. Respon kusir sebagai objek
partisipasi demi terciptanya kebersihan dan keindahan Kota Mataram masih hanya
sekedar menuruti atau ikut dalam program tetapi tidak sepenuh hati baik secara
psikologi, mental dan disertai konsekwensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi
dalam program tersebut. Dalam hal ini masyarakat dilibatkan hanya untuk
mendapatkan dukungan publik semata dan oleh Arnstein menyebutnya sebagai
ketidakpedulian.
Hambatan partisipasi masyarakat dalam studi kasus ini adalah rendahnya
kemampuan dan pengetahuan kusir akan pemanfaatan limbah kotoran kuda serta
kandungan gas yang dihasilkan kotoran kuda bisa merusak lingkungan. Masih adanya
kusir yang membuang kotoran kuda ke pinggir jalan sepi atau area persawahan.
Padahal kotoran kuda itu jika diolah dengan benar maka bisa menjadi pupuk yang
dapat dijual maupun digunakan sendiri oleh para kusir. Yang kedua, sulitnya
pemerintah untuk mengajak para kusir berpartipasi dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut. Para kusir ini belum mengerti akan pentingnya memasang gendongan
kotoran kuda yang bertujuan untuk menambah kenyamanan pengguna jalan. Yang
ketiga, para kusir ragu atau tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam mensukseskan
program pemerintah untuk menjadikan Kota Mataram bersih. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan kusir akan tujuan dari pembuatan kebijakan memasang
gendongan kotoran kuda. Mereka memasang gendongan kotoran kuda hanya karena
agar tidak ditilang atau ditegur oleh aparat.




















BAB V
PENUTUP

Simpulan
Pemerintah Kota Mataram bertujuan mewujudkan transportasi berwawasan
lingkungan mengembangkan potensi cidomo sebagai transportasi tanpa kendaraan
bermotor yang ramah lingkungan. Hal itu diwujudkan dengan pembuatan kebijakan
memasang gendong kotoran kuda pada cidomo untuk mengindari bau kotoran yang
dibuang di jalan.
Partisipasi komunitas kusir cidomo khususnya masalah kepatuhan para kusir
dalam menjalankan himbauan pemerintah untuk memasang gendongan kotoran kuda
berada pada tahap partisipasi terapi. Tingkat partisipasi kusir cidomo dalam mengolah
limbah Kotoran kuda juga berada pada tahap nomor dua yaitu tahap partisipasi terapi.
Hal ini terjadi karena masyarakat hanya sekedar menuruti atau ikut dalam program
tetapi tidak sepenuh hati baik secara psikologi, mental dan disertai konsekwensi
keikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program tersebut.
Strategi yang diterapkan dalam studi kasus tangga partisipasi ini adalah
partisipasi menyelesaikan masalah. Metode yang digunakan dalam studi kasus ini
adalah adalah Commmunity Action Plan (CAP).
Hambatan dalam studi kasus ini adalah rendahnya kemampuan dan
pengetahuan kusir akan pemanfaatan limbah kotoran kuda. Yang kedua, sulitnya
pemerintah untuk mengajak para kusir berpartipasi dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut. Yang ketiga, para kusir ragu atau tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam
mensukseskan program pemerintah untuk menjadikan Kota Mataram bersih.

Saran
Meskipun kebijakan yang telah dilakukan pemerintah telah dirancang
sedemikian rupa agar langsung mengena pada sasaran yang diinginkan, namun tanpa
partisipasi atau keterlibatan pihak yang terkait secara penuh dalam mendukung
kebijakan tersebut, maka kebijakan tersebut tidak akan berjalan sinambung.
Keterlibatan para kusir sebagai sentral pelaksana kebijakan akan sangat membantu
dalam upaya menjalankan kebijakan pemerintah agar manfaatnya dapat dirasakan
secara nyata olehmasyarakat.
Perlunya sosialisasi lebih lanjut dari pemerintah agar para kusir memahami
maksud dan tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut sehingga timbul kesadaran dari
para kusir untuk menjalankan kebijakan tersebut.














































DAFTAR PUSTAKA

Pramono, A. 2008. PENGELOLAAN TRANSPORTASI RAMAH LINGKUNGANDI
KOTA MATARAM. Tidak dipublikasikan. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro, http://eprints.undip.ac.id/16262/1/Agus_Pramono2.pdf(26
Desember 2011, 12.05 PM)
Madjowa, V. 2007. Bab 9. Pendekatan Partisipatif . (Online).http://verrianto-
madjowa.blogspot.com/2007/02/bab-9-pendekatan-partisipatif.html(27
Desember 2011, 8.08 PM)
Junanto, D. 2010. Partisipasi Masyarakat dan Desentralisasi. (Online).
http://litbang.bandung.lan.go.id/index.php?option=com_content&view=
article&id=212:partisipasi-masyarakat-dan-
desentralisasi&catid=29:blog&Itemid=122 (27 Desember 2011, 8.13
PM)

Arnstein, Sherry R. A. 1969. Ladder of Citizen Participation,Journal of the American
Planning Association, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216-224.

Septiani, M., Ispurwono S., Heru P. 2010. PENINGKATAN
PARTISIPASIMASYARAKAT DALAMPELAKSANAAN PROGRAM
NASIONALPEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM)
MANDIRIPERKOTAANStudiKasus: KelurahanTlogomas,
KecamatanLowokwaru,Kota Malang. Seminar
NasionalPerumahanPermukimandalam Pembangunan Kota 2010. Surabaya:
InstitutTeknologiSepuluhNopember.
Roche, C. 1999.Impact Assesment for Development Agencies.Oxford: Oxfam
Professional.
PNPM MandiriPerkotaan. 2010. ModulDasarKomunitas 04: Pembangunan
Partisipatif. Jakarta: DinasPekerjaanUmum, www.p2kp.org/pustaka/.../Modul-
Pembangunan-Partisipatif.pdf (28 Desember 2011, 4.20 AM)

Anda mungkin juga menyukai