Bab ini akan membahas kesimpulan berdasarkan hasil dari penelitian ini, serta diskusi dan saran-saran dari sisi praktis maupun teoritis. 5.1. Diskusi Berdasarkan dari hasil penelitian ini, saya menemukan beberapa hal menarik yang dapat menjadi bahan diskusi. Pertama, Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi negatif atau stres yang dialami wanita yang melakukan aborsi ternyata tidak sepenuhnya intrinsik, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Boyle (1997). Secara intrinsik, Aborsi menjadi pengalaman yang dinilai sebagai suatu hal yang negatif bagi pelakunya karena hal tersebut akan mengusik insting keibuan seorang wanita yang pada hakikatnya terlahir untuk menjadi seorang ibu dan kebanyakan wanita pasti menginginkan kehadiran seorang anak, ditambah lagi aborsi merupakan suatu intervensi terhadap tubuh wanita tersebut dan memiliki risiko-risiko medis. Akan tetapi, perasaan malu, takut, bersalah dan berdosa dapat muncul sebagai akibat dari faktor-faktor sosial dan agama, seperti malu tindakannya diketahui orang lain dan masyarakat sekitar, rasa takut karena melakukan tindakan kriminal alias melanggar hukum, rasa bersalah dan berdosa karena membohongi orangtua dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Kedua, dalam usaha menghadapi stresor yang nyata seperti kehamilan, jalan yang terbaik adalah dengan melalui problem focused coping. Coping jenis ini dilakukan dengan tindakan langsung untuk memecahkan masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi, dalam kasus ini mencari informasi yang mengarahkan kepada terminasi kehamilan, dan dengan begitu stresor besar pun tereliminasi. Meskipun tindakan tersebut dinilai tidak baik oleh partisipan, namun hal ini berdampak positif terhadap psikologis partisipan yang merasa tidak akan sanggup menghadapi kehamilannya. Selama stresor tersebut masih ada dan solusi untuk menghilangkan stresor belum ditemukan, maka derajat stres yang dimiliki partisipan masih akan tetap tinggi dan partisipan tidak bisa coping dengan keadaan tersebut. Lain halnya dengan ketika menghadapi aborsi itu sendiri, menunggu prosedur aborsi dapat diibaratkan seperti menunggu operasi, atau Universitas Indonesia
90 Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 91 menghadapi stresor yang nyata namun tidak mungkin dihindari karena jika stresor ini tetap ada, kesejahteraan partisipan akan lebih terganggu. Begitu juga dalam mengatasi perasaan-perasaan negatif yang muncul setelah melakukan aborsi. Reaksi negatif yang sering muncul adalah perasaan berdosa dan bersalah, dan kecemasan dimana sesungguhnya stimulus tidak terdapat stimulus yang nyata. Maka dari itu, jenis coping yang lebih baik digunakan adalah emotion focused coping dimana partisipan mengubah reaksi emosional negatif yang ditimbulkan oleh stresor, bukannya memodifikasi stresor karena dalam konteks aborsi, tidak ada yang dapat diperbuat untuk mengubah lingkungan yang mengancam. Yang terakhir, partisipan yang melakukan aborsi akibat seks pranikah terbukti self-esteem-nya dapat terluka akibat aborsi. Hal ini dapat disebabkan oleh bertentangannya nilai yang dimiliki partisipan terhadap aborsi, ketakutan akan diketahuinya tindakan aborsi tersebut oleh orang lain, atau karena insting keibuan yang dimiliki setiap wanita sebenarnya menghendaki kehadiran anak dalam hidupnya, namun karena tidak mampu menanggung konsekuensi apabila kehamilan dilanjutkan, mereka terpaksa melakukan hal tersebut.
5.2. Kesimpulan Penelitian ini telah membuahkan hasil yang akan menjawab pertanyaan- pertanyaan di Bab I, yaitu berupa permasalahan umum dan permasalahan- permasalahan khusus. Saya akan menjabarkan permasalahan umum dan permaslahan-permasalahan khusus serta kemudian hasil dari penelitian tersebut dibawah ini
5.1.1. Permasalahan Umum Permasalahan umum dari penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran stres dan coping yang disebabkan oleh aborsi akibat seks pranikah pada remaja wanita? Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui hasil penelitian ini yaitu, gambaran stres yang dialami oleh remaja wanita yang mengalami kehamilan diluar nikah dan harus mengalami aborsi adalah stres dengan derajat sedang yaitu moderate stress. Stres dengan derajat sedang ini menimbulkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari partisipan seperti sulit berkonsentrasi, sulit tidur, sensitif, Universitas Indonesia
Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 92 dan cendrung bergantung kepada cara coping tertentu, sama halnya dengan yang diungkapkan Atwater dan Duffy (1999). Stres akibat kehamilan ditimbulkan oleh terancamnya masa depan partisipan, reputasi, dan reputasi keluarga partisipan, sedangkan stres yang ditimbulkan oleh aborsi ini diakibatkan oleh perasaan cemas partisipan akan prosedur aborsi dan konsekuensinya secara fisik dan mental, juga konsekuensi sosial yang akan diterimanya apabila sampai ketahuan pihak luar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Speckhard dan Rue (1992, dalam Boyle, 1997) yang menemukan bahwa wanita yang mengaku stres berat karena aborsi takut tindakannya tersebut ketahuan pihak luar. Hal ini menjadikan kehamilan dan aborsi merupakan suatu stresor bagi remaja wanita yang megalaminya, dan penilaian sekunder mereka terhadap hal tersebut merupakan dengan mengeliminasi kehamilan, dan mengatasi stres akiat aborsi dengan emotion-focused coping. Sebagai hasilnya, mereka mampu melupakan stres akibat aborsi dan dapat menyesuaikan diri dalam hidup dan tidak mengalami gangguan psikologis yang berat, maka stresnya masuk kedalam golongan moderate stress. J enis coping yang dilakukan oleh remaja wanita dalam mengatasi stres akibat aborsi adalah emotion-focused coping dimana mereka berusaha mengubah reaksi emosional terhadap stres, contohnya adalah dengan mengekspresikan perasaan daripada memendamnya (Atwater & Duffy, 1999). Contoh dari emotion- focused coping adalah dengan mengalihkan diri dari masalah, bersantai, atau, mencari kenyamanan atau hiburan dari orang lain ( Lazarus & Folkman (1984) dalam Davidson, Neale & Kring, 2004) dan hal-hal tersebut dilakukan oleh partisipan dalam penyesuaian dirinya terhadap stres akibat aborsi. J enis coping ini berguna untuk menghadapi situasi yang tidak dapat dimodifikasi, seperti dalam kasus aborsi, aborsi yang terlanjur dilakukan. Seberapa berhasil cara coping yang digunakan dalam mengeliminasi stres tergantung kepada tingkat self-efficacy partisipan dalam kemampuannya menghadapi masalah dan mengatasi stres, juga secondary appraisal atau penilaian partisipan terhadap kemampuan coping yang berguna untuk menghadapi tiap stresor. J ika mengacu kepada gaya coping Cohen dan Roth (1986 dalam Boyle, 1997 dan Rice, 1998) kedua gaya baik approach maupun avoidance digunakan oleh mereka dengan cara menghindari Universitas Indonesia Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 93 terulangnya aborsi namun juga berusaha melupakan dan menghindari dari situasi yang mengingatkan kepada aborsi .
5.1.2. Permasalahan-Permasalahan Khusus Sebagai turunan dari permasalahan umum, maka terdapat permasalahan- permasalahan khusus yang akan dijawab berikut ini. 1. Bagaimanakah gambaran stres yang dialami remaja wanita sebelum dan sesudah melakukan aborsi akibat seks pranikah, dalam hal ini stresor bagi tiap partisipan, bentuk stres yang dirasakan partisipan, dampak stres pada kehidupan sehari-hari partisipan, primary dan secondary appraisal partisipan ? Setelah melakukan analisis terhadap kedua partisipan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, sesuai dengan yang dikatakan oleh Adler (1990) dan Lunneborg (1992 dalam Williams, Sawyer, & Wahlstorm, 2006), stres yang dirasakan oleh remaja wanita lebih besar sebelum dibandingkan sesudah melakukan aborsi dan usai melakukannya mereka cenderung merasa lega. Setelah aborsi dilakukan, perasaan negatif yang dirasakan mereka tidak seintens sebelum aborsi dilakukan, namun setelahnya, partisipan merasakan stres dalam perwujudan kecemasan, rasa bersalah dan berdosa, sulit tidur, kesedihan, dan rasa malu (Wirowsky & Ross, 1989). Gambaran stres yang dirasakan oleh partisipan akibat aborsi yang dilakukannya adalah stres yang berada pada tingkatan sedang atau moderate stress. Hal ini dibuktikan dengan perilaku dan perasaan partisipan selama masa-masa mengetahui kehamilannya hingga selesai aborsi dilakukan, tidak mengarah kepada kecenderungan depresif, sikap apatis dan frustrasi berlebihan seperti ciri-ciri dari severe stress. Partisipan hanya mengalami gejala moderate stress yang secara fisik berupa menangis, jantung berdebar, tangan dingin, dan secara psikologis perasaan cemas, sedih, dan tidak berdaya. Hal-hal ini menganggu kegiatan partisipan sehari-hari seperti sulit tidur, sulit makan dan sulit berkonsentrasi. Kedua partisipan mengaku meskipun diri mereka merasa sedih, namun mereka cukup mampu coping dengan stres mereka tanpa bantuan para ahli. Hal ini juga membuktikan bahwa stres yang dialami wanita yang melakukan aborsi masih berada dalam rentang stres yang normal dan tidak patologis. Universitas Indonesia Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 94 Stresor bagi tiap partisipan sebelum melakukan aborsi adalah kehamilan, orangtua, prosedur aborsi, bius total, dan kemungkinan komplikasi medis dan ancaman kematian. Bagi partisipan M, stresor saat di tempat aborsi adalah, suasana tempat aborsi dan peralatannya sedangkan bagi partisipan O, stresor baginya suasana tempat aborsi, dokter yang melakukan prosedur aborsi, dan penduduk sekitar yang berada diluar tempat aborsi. Setelah aborsi dilaksanakan, dalam keseharian kedua partisipan, stresor adalah hal-hal yang dapat membangkitkan ingatan akan aborsi yang pernah dilakukannya. Penilaian awal (primary appraisal) partisipan M dan O terhadap kehamilan ialah bahwa kehamilan tersebut mengancam kesejahteraan dirinya, masa depannya, pacarnya, dan reputasinya, sedangkan secondary appraisal keduaya terhadap kehamilan adalah bahwa mereka tidak sanggup menghadapi kehamilan tersebut maka dari itu mereka berusaha menghilangkannya. Lain halnya dengan primary appraisal terhadap aborsi, kedua partisipan sama-sama mempersepsikan aborsi sebagai suatu hal yang mengancam mereka secara fisik, yaitu kematian, dan secara psikologis, yaitu pertentangan dengan nilai yang dianut, dan reputasi yang terancam sedangkan secondary appraisal terhadap aborsi adalah mereka bisa dan harus sanggup menghadapinya, daripada harus melanjutkan kehamilannya. 2. Apakah jenis coping yang dimiliki oleh tiap partisipan? Apakah cenderung kepada emotion-focused coping atau problem-focused coping atau gabungan dari keduanya? J enis coping yang dimiliki setiap partisipan merupakan gabungan dari kedua jenis coping tersebut, yaitu emotion-focused coping dan probem-focused coping. Pada saat pertama kali mengetahui dirinya positif hamil, partisipan M langsung menghubungi sahabatnya yang pernah mengalami hal yang sama untuk merencanakan aborsi. Hal ini dapat dikategorisasikan sebagai problem-focused coping karena melibatkan modifikasi terhadap stresor dan tindakan langsung untuk mencari solusi (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Davidson, Neale, & Kring, 2004). Hal yang sama dilakukan oleh O, yaitu langsung membeli jamu dan pil yang diharapkannya dapat mengeliminasi stresor saat itu yaitu kehamilan, bahkan karena jeda waktu seminggu antara saat O mengetahui dirinya positif hamil sampai aborsi dilakukan, O melakukan pencarian informasi yang Universitas Indonesia Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 95 berhubungan dengan aborsi dan kehamilan agar dirinya tahu apa yang akan dihadapinya dan menenangkan perasaannya. Lain halnya dalam mengatasi stres akibat aborsi setelah aborsi itu selesai dilakukan, keduanya memiliki cara coping yang kurang lebih sama yaitu emotion-focused coping dengan berusaha mengalihkan pikiran yang mengingatkan tentang aborsi, bersantai dan dengan mencari kenyamanan dan hiburan dari orang lain (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Davidson, Neale & Kring, 2004). 3. Apakah cara-cara coping yang dilakukan oleh partisipan? Apakah sumber coping yang dimiliki partisipan? Apakah hasilnya (coping outcome)? Secara konkrit, cara-cara yang dijadikan usaha menghilangkan stres akibat aborsi bagi masing-masing partisipan tidak jauh berbeda, mereka sama-sama berusaha mengalihkan pikiran dan rasa bersalah akibat aborsi dengan fokus kepada hal-hal yang lebih penting, berekreasi alam bentuk jalan-jalan dan berkumpul bersama teman, juga mendekatkan diri kepada pasangan. Bedanya, M melakukan katarsis atau pelepasan emosi dengan menangis dan merenung sendirian, sedangkan O benar-benar tidak mau memikirkannya dan lari kepada kegiatan yang menyibukan pikiran seperti olahraga. Sumber coping yang dimiliki oleh M adalah aspek personal darinya seperti self-efficacy, lalu pasangannya S, sahabat yang menemaninya melalui aborsi, dan sahabat-sahabatnya yang lain, teman-teman kuliahnya, serta uang untuk melakukan rekreasi. Sumber coping yang dimiliki O tidak jauh berbeda, hanya saja sumber coping O ditambah dengan aspek fisiknya sebagai penunjang olahraga yang dilakukannya. 4. Apakah partisipan cenderung bergantung kepada satu cara coping saja, ataukah menggunakan berbagai cara coping (coping style)? Usaha usaha yang dilakukan oleh kedua partisipan dalam menghadapi stres baik yang disebabkan oleh aborsi maupun ketika stres dalam kehidupan sehari-hari memiliki pola yang cukup konsisten. Kedua partisipan ketika ditanyakan perihal usaha-usaha mereka dalam menghilangkan stres dalam kesehariannya sama-sama mengatakan bahwa mereka melakukannya dengan berusaha tidak memikirkan masalah yang menjadi sumber stresnya, mengfokuskan diri kepada hal-hal yang lebih penting dan terorientasi, dan cara- cara konkrit dari hal tersebut adalah bersenang-senang dan pergi bersama teman- Universitas Indonesia Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007 96 teman. Hal ini menjadikan emotion-focussed coping sebagai coping style atau gaya coping mereka yaitu partisipan M dan partisipan O.
5.3. Saran Metodologis Penelitian ini tentunya tidak luput dari kekurangan, baik disadari maupun tidak disadari oleh saya. Oleh karena itu, saya mencoba menjabarkan apa saja kiranya yang dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya untuk memperbaiki kualitas penelitian ini. Agar dapat lebih memahami gambaran stres dan coping pada wanita yang melakukan aborsi, ada baiknya apabila dilakukan perbandingan antar partisipan yang memiliki karakteristik yang berbeda, seperti gambaran stres dan coping pada wanita yang sudah menikah yang melakukan aborsi, atau pada wanita dewasa muda yang lebih mapan. Karena banyak variabel-variabel sosial dan ekonomi yang berkontribusi terhadap stres dan coping pada wanita yang melakukan aborsi, maka apabila perbandingan dilakukan pada wanita-wanita yang memiliki karakteristik sosial dan ekonomi yang berbeda, maka ada kemungkinan mendapatkan hasil yang berbeda dan lebih mendalam. Wawancara terhadap partisipan penelitian sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali agar memungkinan untuk mendapat data-data yang lebih kaya dan mendalam. Sebagai tambahan, perlu juga dilakukan wawancara dengan orang terdekat partisipan seperti sahabat, atau pasangan, yang memiliki hubungan dengan topik penelitian, juga untuk memperkaya dan memperkuat data yang diperoleh. Apabila memungkinan, ada baiknya stres dan cara coping pada wanita yang melakukan aborsi diteliti melalui metode kuantitatif. Melalui metode penelitian ini, akan didapatkan gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh mengenai fenomena ini. Selain itu, metode kuantitatif memungkinkan generalisasi dari hasil penelitian ini yang nantinya dapat berguna sebagai masukan untuk insitusi-institusi yang berkaitan dengan fenomena aborsi ini.
Universitas Indonesia Gambaran Stres..., Putricaya, F.Psi UI, 2007