Anda di halaman 1dari 19

A.

Definisi
Kolangitis adalah peradangan akut dinding saluran empedu, hampir selalu disebabkan infeksi bakteri
pada lumen steril.
Kolangitis Sklerotik Primer adalah peradangan saluran empedu di dalam dan di luar hati, yang pada
akhirnya membentuk jaringan parut dan menyebabkan penyumbatan.

B. Etiologi
> terjadi akibat obstruksi saluran empedu, terutama koledokolitiasis, dan penyebab jarang seperti
tumor, kateter, indwelling stents, pancreatitis akut, dan striktur ringan. Bakteri (E. coli, klebsiella,
clostridium, bacteroides, enterobacter, streptococcus grup D) kemungkinan besar masuk ke sfingter
oddi. Sebagian pula, kolangitis parasit, misal, fasciola hepatica, skistosomiasis, dll
> Pada kolangitis sklerotik primer, pembentukan jaringan parut akan mempersempit dan akhirnya
menyumbat saluran, menyebabkan sirosis.
Penyebabnya tidak diketahui, tapi tampaknya berhubungan dengan kelainan sistem kekebalan
C. Manifestasi klinik
Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan yang amat sangat, gatal-gatal
dan jaudince. Bisa terjadi serangan nyeri perut bagian atas dan demam karena terjadinya
peradangan pada saluran empedu, tetapi sangat jarang.
Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis.
Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang bisa berakibat fatal.
Tanda dan gejala kolangitis sclerosing primer meliputi:
1. Sakit perut.
2. Menggigil
3. Diare
4. Kelelahan
5. Demam
6. Gatal
7. Berat badan turun
8. Menguning dari mata dan kulit (kuning)


D. Diagnosis
>Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kolangiopankreatografi endoskopik
retrograd atau kolangiografi perkutaneus.
Pada kolangiopankreatografi endoskopik retrograd, rontgen dilakukan setelah penyuntikan bahan
radiopak ke dalam salluran empedu melalui suatu endoskopi.
Pada kolangiografi perkutaneus, foto rontgen diambil setelah penyuntikan langsung zat radioopak ke
dalam saluran empedu.
Mungkin diperlukan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan hati yang diperoleh melalui biopsi, untuk
memperkuat diagnosis.
E. Komplikasi
Infeksi berulang dari saluran empedu (kolangitis bakterialis) merupakan komplikasi dari penyakit
ini dan membutuhkan pengobatan antibiotik.
Kanker saluran empedu (kolangiokarsinoma) terjadi pada 10-15% penderita.Tumor ini tumbuh
lambat dan pengobatannya berupa prosedur endoskopik untuk memasukkan suatu alat ke dalam
saluran empedu, guna membuka saluran yang tersumbat.Kadang perlu dilakukan pembedahan.

F. Pengobatan
Obat-obatan seperti kortikosteroid, azatioprin, penisilamin dan metotreksat tidak terbukti
efektif dan menyebabkan efek samping yang berat. Efektivitas ursodiol juga masih belum jelas.
Kolangitis sklerotik primer mungkin memerlukan pencangkokan hati, yang merupakan satu-satunya
pengobatan yang diketahui untuk penyakit ini.
Penyempitan saluran bisa dilebarkan melalui prosedur endoskopik atau pembedahan.
G. Perawatan
Pengobatan untuk sclerosing primer fokus pada pengurangan kolangitis tanda-tanda dan gejala
dari penyakit. Sclerosing Kolangitis Primer berlangsung perlahan, tetapi biasanya berakhir dengan
kegagalan hati dan kebutuhan untuk transplantasi hati. Rata-rata waktu dari diagnosa pertama
untuk transplantasi hati adalah 12 sampai 18 tahun.



















1. PENDAHULUAN
Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang
bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan
dapat mengancam nyawa.
Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia mempostulatkan
bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi
bakteri. Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus.
Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara
cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang
biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan
mempersulit terapi.
Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat menegakkan
diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan penjelasan yang baik
kepada pasien, dan merujuk secara tepat.

2. DEFINISI
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi
saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan
oleh neoplasma ataupun striktur.

3. INSIDENSI
Di Amerika Serikat, Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah
prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis). Resiko tersebut meningkat apabila
cairan pewarna diinjeksikan secara retrograd.
Insidensi Internasional cholangitis adalah sebagai berikut. Cholangitis pyogenik
rekuren, kadangkala disebut sebagai cholangiohepatitis Oriental, endemik di Asia Tenggara.
Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang, pembentukan batu empedu
intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran empedu
intra dan ekstrahepatik.

4. MORTALITAS/MORBIDITAS
Mortalitas dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan
penyakit penyerta yang lain. Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%.
Dengan ditemukannya Endoscopic retrograde cholangiography, sphincterotomy terapeutik
secara endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier, tingkat mortalitas telah menurun
sampai kira-kira 5-10%.
Pasien-pasien dengan karakteristik berikut berhubungan dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi:
o Hipotensi
o Gagal ginjal akut
o Abses hepar
o Sirosis
o Inflammatory bowel disease
o Striktur karena malignansi
o Radiologic cholangitis post percutaneus transhepatic cholangiography
o Jenis kelamin perempuan
o Usia lebih tua dari 50 tahu
o Kegagalan merespon terhadap terapi antibiotik dan konservatif.
Usia lanjut, masalah medis penyerta, dan keterlambatan dekompresi bilier
meningkatkan tingkat kematian operatif yang timbul (17-40%). Tingkat mortalitas dari
pembedahan elektif setelah stabilisasi keadaan pasien lebih rendah secara signifikan (kira-
kira 3%). Pada masa lalu, cholangitis suppurativa diduga meningkatkan morbiditas; namun,
studi prospektif tidak menunjukkan bahwa dugaan tersebut benar.
Cholangitis seringkali terjadi secara sekunder karena batu empedu yang
mengobstruksi ductus choledochus, oleh karena itu memiliki faktor resiko yang sama
dengan cholelithiasis. Prevalensi batu empedu tertinggi terdapat pada orang-orang berkulit
terang keturunan Eropa utara, juga pada populasi Hispanik, Suku-suku asli amerika, dan
Indian Pima.
Sebagai tambahan, populasi Asia tertentu dan penduduk negara dimana insidensi
parasit intestinal tinggi juga memiliki resiko yang lebih tinggi. Orang Asia lebih mungkin
memiliki batu primer karena infeksi bilier kronis, parasit, stasis bilier, dan striktur bilier.
Cholangitis pyogenik Rekuren jarang terjadi di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dengan
penyakit sickle cell anemia memiliki resiko yang lebih tinggi.
Walaupun batu empedu lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria, rasio
pria-wanita sama pada cholangitis.
Pasien berusia lanjut dengan batu empedu asimtomatik lebih mungkin mengalami
komplikasi serius dan cholangitis. Cholangitis pada pasien tua yang datang dengan sepsis
dan perubahan status mental harus selalu dipikirkan, pasien tua lebih rentan terhadap batu
kandung empedu dan batu saluran empedu, dan oleh karena itu, cholangitis. Usia median
presentasi cholangitis adalah antara usia 50-60 tahun.

5. PATOFISIOLOGI
Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran
bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang
terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan
cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan
antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa
bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau
melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus,
menimbulkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi
menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan
menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier.
Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung
empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis)
meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam
empedu adalah Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus
(15%), Spesies Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas
aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang
ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah
E coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies
Enterococcus (4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur
empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap
steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri
seberti immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi
kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan
cholangitis secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier
diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia
dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik
bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan
meningkat sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah
dan limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari
bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan
cholangiolimfatik.
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak,
striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler.
Sebelum tahun 1980-an batu choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus
cholangitis yang tercatat.

6. PENYEBAB
Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama
cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.
Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus
choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik
yang ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis.
Obstruksi parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit.
Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15%
pasien dengan cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca
cholecystectomy memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar
choledocholithiasis bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik
selama bertahun-tahun.
Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi parsial
berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan dengan obstruksi neoplastik
total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah:
o Kanker pancreas
o Cholangiocarcinoma
o Kanker ampulla vateri
o Tumor porta hepatis atau metastasis
Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:
o Striktur atau stenosis
o Manipulasi CBD secara endoskopik
o Choledochocele
o Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier)
o AIDS cholangiopathy
o Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.

7. PEMERIKSAAN KLINIS
a. Riwayat
Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai triad yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan Jaundice. Pentad
Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada triad tersebut. Terdapat
berbagai spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis. Apabila
terdapat shock septik, diagnosis cholangitis mungkin dapat tidak terduga. Pikirkan
cholangitis pada setiap pasien yang nampak septik, terutama pada pasien-pasien tua,
mengalami jaundice, atau yang mengalami nyeri abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau
gejala kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi penegakkan diagnosis.
Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan Jaudice.
Dilaporkan terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis. Namun, penelitian yang
dilakukan baru-baru ini mengemukakan bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20%
pasien. Demam terjadi pada kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga
terjadi pada 70% dan 60% pasien. Pasien datang dengan perubahan status mental pada
10-20% kasus dan hipotensi terjadi pada 30% kasus. Tanda-tanda tersebut , digabungkan
dengan triad Charcot, membentuk pentad Reynolds.
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-
gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran
lateral atas; namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi
sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan
kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari
keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis:
o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
o Pasca cholecystectomy
o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram
o Riwayat cholangitis sebelumnya
o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema bilier
ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat
berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan
dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup berat dan cukup
sering datang dalam keadaan shock septik tanpa sumber infeksi yang jelas.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sebagai berikut:
o Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami demam
o Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)
o Hepatomegali ringan
o Jaundice (60%)
o Perubahan status mental (10-20%)
o Sepsis
o Hipotensi (30%)
o Takikardia
o Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari diagnosis alternatif yang lain)

8. DIAGNOSIS DIFERENTIAL
o Cholecystitis dan kolik Bilier
o Penyakit Divertikuler
o Hepatitis
o Iskemia mesenterika
o Pancreatitis
o Shock Septik
Diagnosis lain yang perlu dipertimbangkan:
o Sirosis
o Liver Failure
o Abses hepar
o Appendicitis accuta
o Ulcus pepticum yang mengalami perforasi
o Pyelonephritis
o Diverticulitis colon kanan

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Uji Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan cholangitis, 79%
memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis
dapat leukopenik.
Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar
kalsium darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pancreatitis, yang dapat
menimbulkan hipokalsemia, dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan
keadaan cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan
kadar alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.
PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang
menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada
pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan
intervensi operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan
apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi.
Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set):
antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya
menunjukkan infeksi polimikrobial
Hasil urinalisis biasanya normal
Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah dapat menimbulkan
pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari pasien mengalami sedikit
peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas menunjukkan bahwa batu
saluran empedu menimbulkan cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis
(pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur empedu: kultur empedu dilakukan
apabila pasien mengalami drainase bilier oleh interventional radiology atau endoscopy.

b. Studi Pencitraan
Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab
obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan CT scan
merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan.
Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan cholecystitis.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu dan menilai
dilatasi saluran bilier, namun pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada
ductus biliaris distal.
Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal pilihan.
Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari obstruksi ekstrahepatik dan
memperlihatkan dilatasi ductus. Pada sebuah penelitian, hanya 13% choledocholithiasis
dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD terdapat pada 64% kasus. Keuntungan USG
adalah dapat dilakukan secara cepat di UGD (dengan USG portabel), kemampuan untuk
melihan struktur lain (aorta, pancreas, liver), kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi
(misal perforasi, empyema, abscess) dan tidak terdapatnya resiko radiasi
Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada kemampuan
operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak mampu untuk melihat ductus cysticus,
dan penurunan sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak
dapat menyingkirkan diagnosis cholangitis.
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan
pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi
pencitraan sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi
terapeutik. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera
dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih
aman daripada intervensi bedah dan percutaneus.
Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi sebesar
1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari ERCP terapeutik
sebesar 5,4% dan tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis,
perdarahan, dan perforasi.
Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT helical
atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT cholangiography
mempergunakan zat kontras yang diambil oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier.
Hal ini meningkatkan kemampuan untuk memvisualisasikan batu radioluscent dan
meningkatkan tingkat deteksi dari patologi bilier lain. Ductuc intrahepatik dan ekstrahepatik
dan inflamasi saluran bilier dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak dapat terlihat
dengan baik pada CT Scan biasa,
Keuntungan dari CT adalah: Kemampuan untuk melihat proses patologis lain yang
merupakan penyebab ataupun komplikasi dari cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan
pericholecystic, abses hepar). Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal:
diverticulitis kolon kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia
mesenterium, dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT cholangiography
lewat pendekatan ERCP.
Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang buruk, reaksi
alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya kemampuan untuk
memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum yang meningkat.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan studi
noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier dan patologi bilier
lain. MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi
sistem bilier. Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik
invasif seperti pengambilan sample empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun
stenting. Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil
(<6mm>
Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk keberadaan
alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan okuler atau cochlear, dan
benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif meliputi terdapatnya prosthesa katup jantung,
neurostimulator, prosthese logam dan implan pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan
masih belum diketahui.
Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada diagnosis
cholangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30% batu empedu
memiliki cincin kalsium, sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto abdomen dapat
menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah manipulasi endoscopik apabila pasien
mengalami cholecystitis emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula cholecystic-enteric.
Udara dalam dinding kandung empedu mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.

c. Pemeriksaan lain
Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl
iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari kandung
empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada
obstruksi total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier. Keuntungannya adalah
kemampuan untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum
pembesaran ductus dapat dilihap melalui USG.
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4) dapat
menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak makan selama 24
jam juga dapat mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi struktur-
struktur lain selain saluran bilier tidak memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu
beberapa jam, sehingga tidak direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang
tidak stabil.

10. PENANGANAN
Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali dan
transaminase cukup sering terjadi, dan apabila terjadi, mendukung diagnosis klinis dari
cholangitis. USG berguna apabila pasien belum pernah didiagnosa dengan batu empedu,
karena USG dapat memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang
berdilatasi, dan dapat menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif adalah ERCP.
Pada kasus dimana ERCP tidak dapat dilakukan, PTC diindikasikan. ERCP dan PTC akan
menunjukkan tingkat obstruksi, namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan cara ini.
ERCP dan PTC dapat memungkinkan kultur empedu, memungkinkan pengangkatan batu
(apabila ada), dan drainase saluran empedu dengan kateter drain atau stent.
Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi antibiotik intravena
dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal cefazolin, cefoxitin) merupakan obat
pilihan pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk
secara progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole
sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut mungkin memerlukan
pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor. Sebagian besar pasien akan merespon
terhadap tindakan ini. Namun, saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase
sesegera mungkin setelah pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon terhadap
terapi antibiotik intravena dan resusitasi cairan, dan dekompresi bilier darurat mungkin
diperlukan. Dekompresi bilier dapat diakukan melalui endoskopi, melalui rute transhepatic
percutaneus, ataupun secara bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan
pada tingkat dan sigat obstruksi bilier. Pasien dengan choledocholithiasis atau keganasan
periampuler paling baik ditangani menggunakan pendekatan endoskopik, dengan
sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau dengan penempatan stent bilier secara
endoskopi. Pada pasien dengan obstruksi yang lebih proksimal atau terletah pada perihiler,
atau penyakitnya disebabkan striktur pada anastomosis enterik-bilier, atau apabila usaha
melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik perkutaneus
dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan, operasi darurat dan
dekompresi ductus choledochus dengan T tube mungkin diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa. Namun perlu diingat bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih
tinggi daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara keseluruhan tingkat
kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu empedu sebesar 2% dan kematian
pada pasien dengan toxic cholangitis adalah sebesar 5%.
Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis selesai ditangani dan
diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent yang terpasang dan mengalami
cholangitis biasanya memerlukan uji pencitraan berulang dang penggantian stent dengan
guidewire.
Intervensi segera (misal: sphincterotomy endoscopik, PTC, atau operasi
dekompresi) diperlukan pada 10% pasien dengan cholangitis akut. 90% sisanya pada
akhirnya akan diobati dengan pembedahan elektif atau sphincterotomy endoskopik setelah
terapi antibiotik dan evaluasi diagnostik yang seksama.
Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total sebesar 5%. Saat
terdapat gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan keganasan, tingkat mortalitas dan
morbiditasnya jauh lebih tinggi.

11. PENGOBATAN LAIN
Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali dipergunakan untuk
menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah dikembangkan untuk pengobatan batu empedu,
baik pada kandung empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering
dikombinasikan dengan prosedur endoskopik untuk memudahkan lewatnya batu yang telah
terfragmentasi atau pengobatan oral yang dapat melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala,
batu dapat dilarutkan dengan mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan
langsung pada slauran bilier,
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien
mengalami cholangitis).
b. Keluhan Utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas, nyeri tidak
menjalar/menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk.
c. Riwayat Penyakit
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari
keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis:
o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
o Pasca cholecystectomy
o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram
o Riwayat cholangitis sebelumnya
o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema
bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun
dapat berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya
akan dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-
gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran
lateral atas; namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi
sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan
kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,
hipertensi, anemia sel sabit.
d. Pemeriksaan body system
i. System Pernapasan
Inspeksi : Dada tampak simetris, pernapasan dangkal, klien tampak gelisah.
Palpasi : Vocal vremitus teraba merata.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan (ronchii, wheezing)
ii. System Kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaforesis.
iii. Sistem Neurology
Tidak terdapat gangguan pada system neurology.
iv. System Pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas, klien mengeluh mual dan muntah.
Auskultasi : peristaltic ( 5 12 x/mnt) flatulensi.
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/quadran kanan atas, nyeri tekan epigastrum.
Palpasi : hypertympani.
v. System Eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat.
vi. System integument
Terdapat icterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal.
vii. System muskuluskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. gangguan pemenuham nutrisi berhubungan dengan mual muntah
3. gangguan pola tidur/istirahat berhubungan dengan iritasi peritonial.
4. gangguan keseimbangan berhubungan dengan reaksi inflamasi
5. resiko anemia berhubungan dengan kekurangan vitamin K
6. resiko dehidrasi berhubungan dengan mual muntah.

3. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
tujuan : nyeri berkurang setrelah dilakukan tindakan keperwatan 1 x 24 jam.
kriteria hasil : keadaan umum normal
klien mengatakan nyerinya berkurang
wajah tampak rileks tidak lagi menyeringai keskitan.
Skala nyeri ( 1 3 )
Ttv dalam batas normal
Intervensi :
1. observasi dan catat lokasi, beratnya ( skala 0 10 ) dan karakter nyeri ( menetap, hilang
timbul/kolik )
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang
kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.
2. tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
R/ tirah baring pada posisi fowler rendah meurunkan tekanan intra abdomen.
3. dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan nafas
dalam.berikan aktivitas senggang.
R/meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dapat meningkatkan koping.
4. berikan obat sesuai indikasi :
antikolinergik, contoh atrophin propantelin(probantine)
R/menhilangkan reflek spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
Sedative, contoh fenobarbitol.
R/ meningkatkan istirahat dan merilekskan otot halus, menhilangkan nyeri.

b. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
Tujuan : Pemenuhan nutrisi adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Kriteria hasil :
- Klien menyebutkan penyebab mual/muntah
- Klien mengatakan mual/muntah berkurang
- Klien menunjukkan kemajuan mencapai berat badan ideal
- TTV dalam batas normal :
T : 110/60-130/90 mmHg n : 60-100 x/menit
S : 39-372 0C RR : 16-20 x/menit
BB : (TB-100) 10% (TB-100)
Intervensi :
1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang penyebab mual / muntah serta
tindakan yang akan dilakukan
R/ meningkatkan pengetahuan klien tentang penyebab masalah serta mendorong klien agar
lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan
2. Kaji distensi abdomen
R./ tanda nonverbal ketidaknyamanan b/d gangguan pencernaan
3. Hitung pemasukan kalori
R/ mengidentifikasi kekurangan / kelebihan kebutuhan nutrisi
3. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau
R/ untuk meningkatkan nafsu makan / menurunkan mual
4. Berikan kebersihan oral sebelum makan
R/ mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
5. Tawarkan minuman seduhan saat makan, bila toleran
R/ dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas
6. Sajikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
R/ menurunkan frekuensi mual
7. Kolaborasi dengan ahli gizi / diet tentang pemberian diet rendah lemak
R/ pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri
sehubungan dengan tidak semua lemak dicerna dan berguna dalam mencegah
kekambuhan
8. Kolaborasi dengan tim dokter tentang pemberian garam empedu ( Biliron : Zanchol,
decholin) sesuai indikasi

c. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah,
distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
- Turgor kulit yang baik
- Membran mukosa lembab
- Pengisian kapiler baik
- Urine cukup
- TTV stabil
- Tidak ada muntah
Rencana intervensi :
1. Pertahankan intakke dan output cairan
R/ mempertahankan volume sirkulasi
2. Awasi tanda rangsangan muntah
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral menimbulkan
degfisit natrium, kalium dan klorida
3. Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/hr)
R/ mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
4. Kolaborasi :
- Pemberian antiemetik
- Pemberian cairan IV
- Pemasangan NGT

d. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan dengan
salah interpretasi informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan
Rencana intervensi :
1. Kaji informasi yang pernah didapat
R/ mengkaji tingkat pemahaman klien
2. Beri penjelasn tentang penyakit, prognosa, dan tindakan diagnostik
R/ memungkinkan terjadinya partisipasi aktif
3. Beritahukan diit yang tepat, teknik relaksasi, untuk persiapan operasi
4. Anjurkan teknik istirahat yang harus dilaporkan tentang penyakitnya
5. Anjurkan untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak
R/ mencegah / membatasi terulangnya serangan kandung empedu
6. Diskusikan program penurunan berat badan
R/ kegemukan adalah faktor resiko terjadinya cholangitis
7. Kaji ulang program obat, kemungkinan efek samping
R/ batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang


DAFTAR PUSTAKA

1. Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA.
2. Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Jilid I, Peneribit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery, Biological basis
of modern surgical practice, 17
th
Ed, Elsevier-Saunders
4. CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment. Mc Graww
Hill Companies.
5. FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principles of Surgery, 8
th
Ed. Mc Graww
Hill Companies.
6. Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku Kedoketran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai