Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
EPILEPSI
I. PENDAHULUAN
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak.
6
Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa epilepsi yang lebih
dikenal masyarakat dengan berbagai nama, diantaranya ayan dan sawan,
disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dan tiap jenis serangan
dikaitkan dengan nama roh atau setan (Djeno dan Misnahati, 2004). Kurangnya
pengertian tentang epilepsi di kalangan keluarga dan masyarakat merupakan sebab
utama mengapa masalah epilepsy belum dapat ditanggulangi dengan baik.
Gambaran seperti itu masih cukup kental di masyarakat awam, sehingga terapinya
menggunakan kekuatan spriritual. Selain itu, penyakit ini dikenal sebagai penyakit
yang memalukan atau menakutkan dan merupakan penyakit menular melalui buih
yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan.
6
EPIDEMIOLOGI
Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh
gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden
terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100.000.
1
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di
Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670. Penelitian di RSU
2
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada
anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -
10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%).
1
II. ETIOLOGI
1. Idiopatik
Kira-kira 70 % penderita epilepsi tidak diketahui penyebabnya sehingga disebut
idiopatik atau epilepsi primer. Pada penderita yang idiopatik ini, faktor genetik
(keturunan) memiliki pengaruh cukup besar .
2. Infeksi
Adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti sifilis, toksoplasma virus rubella,
virus sitomegalo atau herpes simplek, dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu
adanya infeksi pada susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis
3. Alkohol, obat -obatan dan toksin
Konsumsi alkohol atau narkoba oleh wanita hamil dapat merusak otak janin
sehingga dapat menyebabkan epilepsi. Penghentian konsumsi alkohol secara tiba-
tiba pada seorang alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat
anti epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi
heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsy.
4. Penyinaran (radiasi)
Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif lainnya,
terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan otak
5. Trauma (ruda paksa / benturan ) pada kepala.
Trauma yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses persalinan
maupun trauma kepala yang dialami seseorang pada semua usia dapat
menimbulkan epilepsi.
3
6. Tumor otak
7. Gangguan pembuluh darah otak
8. Penyakit degeneratif yang mengenai otak
2
1. PATOGENESIS
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan
atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
neuron otak.Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau
kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron
untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya
eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi
yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang
berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak
sempurna.
6
2. KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang dimaksud
sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya sekumpulan gejala
dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan, etiologi,anatomi,
factor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4 kelompok usia yang
masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan
4
Serangan eilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris,
yaitu ebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching :
mata berkedip sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak,
lengan berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi
disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya buruk.
Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.
1
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun
Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini sangat peka
terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi
merupakan faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering
terjadi pada kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantile atau Sindrom West dan
sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik.
1
3.Kelompok umur 4 - 9 tahun
Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi umum primer
terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi karena focus
epileptogenik heriditer. Jenis epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand
mal dan Benign epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia
17 tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan obat.
1
4.Kelompok umur lebih dari 9 tahun.
a. Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau epilepsy
umum lesionik.
1
b. Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi
psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap dilanda
bangkitan epileptic pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat
muncul pada kelompok ini.
1
5
Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE
1981)
2
1. Epilepsi Parsial
A. Epilepsi parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)
Epilepsi dengan gejala motorik atau sensorik atau dengan panca indera, seperti
halusinasi, perasaan seperti dijalari listrik atau melihat cahaya berkedip. Epilepsi
dengan gejala gangguan fungsi otonomik tubuh seperti wajah kemerahan, pucat,
rasa tidak enak ulu hati, berkeringat. Epilepsi dengan gejala psikis seperti ilusi,
halusinasi, keadaan seperti bermimpi (dreamy state).
2
B. Epilepsi Parsial Kompleks (dengan hilangnya kesadaran)
Pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya
kesadaran.
C. Epilepsi Umum Sekunder.
Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang menjadi epilepsi
umum.
2. Epilepsi Umum
A. Absens
B. Epilepsi mioklonik
C. Epiklepsi klonik
D. Epilepsi tonik
E. Epilepsi atonik
F. Epilepsi tonik-klonik
3. Epilepsi yang tidak diklasifikasikan
Klasifikasi Sindrom Epilepsi menurut ILAE 1989 :
3
Berkaitan dengan letak fokus
Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
6
- Primary reading epilepsy.
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
Kriptogenik
Umum
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
7
Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
3
3. MANIFESTASI KLINIK
Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar.Pasien akan mengalami gejala berupa:
4
- deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
4
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
8
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada tahap tonik pasien
dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang
menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau
lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
4
4. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi sudah dapat ditegakkan.
1
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita
Penjelasa perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
1
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
9
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
1
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak- anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan. organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
1
3. Pemeriksaan penunjang
1
a. Elektro ensefalografi (EEG)
b. Rekaman video EEG
c. Pemeriksaan Radiologis
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang
berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi
adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada
pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip
dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop
kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom
neurokutaneus seperti caf au lait spots dan iris hamartoma pada
10
neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen patches , subungual
fibromas , adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port - wine stain (
capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah
ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat
oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures
yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin
dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek
toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi
pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan
gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif
seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati
dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit
bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin
dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai
adanya drug abuse
11
PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan
stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan
laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan
jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis
epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave
complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan
dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform,
apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-
92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang
normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah
penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang
12
normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada
pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk
menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.
PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan
rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga
perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi
pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah
serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman
dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil
rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
13
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk
2003).
PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).
6. PENATALAKSANAAN
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang mengancam
jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama kejang
berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana kejang
umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus. Penghentian kejang:
0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan
14
oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal
0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu dua kali setelah 5
10 menit..
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 15 menit
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampai maksimum
dosis 30 mg/kgbb
30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda
-tanda depresi pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
Intensif.
6
15
Algoritma penanganan kejang pada anak.
6
7. PROGNOSIS
Perlu diketahui bahwa tidak semua kejadian yang bersifat paroksismal merupakan
bangkitan epilepsy. Identifikasi yang keliru tentang kejadian paroksismal tadi
dapat mengakibatkan kelirunya terapi, dan prognosis sebenarnya. Didalam
16
prognosis epilepsi terdapat dua hal pening, ialah kesempatan untuk mencapai
remisi bangkitan serta kemungkinan terjadinya kematian secara premature.
7
Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami epilepsi akan
sembuh, dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas dari obat, 20 - 30%
mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatannya semakin
sulit, 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-
hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan
gangguan psikiatri dan neurologic dan prognosisnya jelek.
4
KESIMPULAN
1. Epilepsi merupakan gangguan sistem saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan, yang bersifat spontan (unprovoked), dan berkala.
2. Bangkitan epilepsi terjadi apabila proses ektasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi.
3. Diagnosis epilepsi di dasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil EEG dan radiologi.
4. Status epileptikus merupakan keadaan gawat darurat sehingga bila tidak
segera diatasi dapat mengakibatkan kematian atau cacat di otak.
5. Kejang pada anak harus segerah ditangani, pertama dengan pemberian
diazepam, bisa juga dengan menggunakan lorazepam atau midazolam, kemudian
fenitoin dan fenobarbital.
6. Identifikasi yang keliru tentang epilepsi dapat mengakibatkan kelirunya
terapi, dan prognosis sebenarnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjo B Tri. Faktor-faktor resiko epilepsy pada anak di bawah usia 6
tahun, Semarang : Agustus 2007
2. Marpaung Vera. Depresi pada penderita epilepsy umum dengan kejang
tonok klonik dan epilepsy. Sumatra Utara : 2003
3. Sunarno Utoyo, DIAGNOSIS EPILEPSI. Probolinggo: 2007
4. Nurviana, Siswati, Dewi S Kartika. UNDIP 2010
5. Purba Sudir Jan. Epilepsi permasalahan di Reseptor atau neurotransmier.
Penerbit: Mediacinus. Jakarta : November 2008
6. Adiputra Andrew, Kejang Demam dan Status Epileptikus pada Anak,
Bandung: 2008 Available :
18