Anda di halaman 1dari 43

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TEORI KONSEP
1. Konsep Dukungan Keluarga
a. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial (social support) didefenisikan oleh Gottlieb
dikutip dari Kuntjoro (2002) sebagai informasi verbal atau non-verbal,
saran, bantuan yang nyata atau tingkahlaku yang diberikan oleh orang-
orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau
yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkahlaku
penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan
sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat
saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada
dikemukakan juga oleh Sarason (1983) dikutip dari Kuntjoro (2002)
yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan,
kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,
menghargai dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga
dikemukakan oleh Cobb yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai
adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang
dengan sikap menerima kondisinya, dukungan sosial tersebut diperoleh
dari individu maupun kelompok. Sarason (1983) berpendapat bahwa
dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal yaitu:
11
a. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia merupakan persepsi
individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat
individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan
kuantitas).
b. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima berkaitan
dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi
(pendekatan berdasarkan kualitas)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima
individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya dan berada
dalam lingkungan sosial tertentu yang membuat si penerima merasa
diperhatikan, dihargai dan dicintai. Orang yang menerima dukungan
sosial memahami makna dukungan sosial yang diberikan oleh orang
lain.
Dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia
sendiri masih mampu memahami makna dukungan sosial tersebut
sebagai penyokong/penopang kehidupannya. Namun dalam kehidupan
lansia seringkali ditemui bahwa tidak semua lansia mampu memahami
adanya dukungan sosial dari orang lain, sehingga walaupun ia telah
menerima dukungan sosial tetapi masih saja menunjukkan adanya
ketidakpuasan, yang ditampilkan dengan cara menggerutu, kecewa,
kesal dan sebagainya. Dalam hal ini memang diperlukan pemahaman
dari si pemberi bantuan tentang keberadaan (availability) dan
ketepatan/ kelayakan (adequacy) dari bantuan tersebut bagi lansia,
12
sehingga tidak menyebabkan dukungan sosial yang diberikan dipahami
secara keliru dan tidak tepat sasaran. Jika lansia (karena berbagai
alasan) sudah tidak mampu lagi memahami makna dukungan sosial,
maka yang diperlukan bukan hanya dukungan sosial namun layanan
atau pemeliharaan secara sosial (social care) sepenuhnya. Bila yang
terakhir ini tidak ada yang melaksanakan berarti lansia tersebut
menjadi terlantar dalam kehidupannya.
Dukungan sosial dianggap merupakan strategi koping penting
untuk dimiliki keluarga saat mengalami dan secara langsung
memperkokoh kesehatan mental individual dan keluarga (Friedman,
1998). Kane (1998) dikutip dari Friedman (1998) mendefinisikan
dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses hubungan
antarakeluarga dengan lingkungannya. Dukungan sosial keluarga
adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan. Sifat,
jenis dan sumber dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap
siklus kehidupan. Friedman (1998) menjelaskan sumber dukungan
sosial keluarga dapat berasal dari internal maupun eksternal seperti
budaya, agama, status sosial ekonomi dan linkungan. Sumber-sumber
dukungan ini akan semakin berkurang sejalan dengan pertambahan
sosial seseorang.
b. Bentuk-Bentuk Dukungan Keluarga
House dan Kahn (1985) dan Thoits (1982) dikutip dari
Friedman (1998) , terdapat 4 jenis dukungan sosial, yaitu :
13
1) Dukungan Informasional
Keluarga menurut Caplan (1976), dalam Friedman (1998)
berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar
informasi) tentang dunia.
2) Dukungan Penilaian
Keluarga sebagai umpan balik , membimbing, dan menangani
masalah, serta sebagai sumber dan validator identitas anggota
(Friedman, 1998).
3) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit
(Friedman, 1998).
4) Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yanga aman dan damai untuk istirahat
dan dapat membantu penguasaan terhadap emosi (Friedman,1998).
Weiss (Cutrona dkk,1994) dikutip dari Kuntjoro (2002),
mengemukakan adanya 6 (enam) komponen dukungan sosial yang
disebut sebagai "The Social Provision Scale", dimana masing-masing
komponen dapat berdiri sendiri-sendiri , namun satu sama lain saling
berhubungan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah :
a. Kerekatan Emosional (Emotional Attachment)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang
memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional sehingga
menimbulkan rasa aman bagi yang menerima. Orang yang
menerima dukungan sosial semacam ini merasa tenteram, aman
14
dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia.
Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling sering dan
umum adalah diperoleh dari pasangan hidup, atau anggota
keluarga/teman dekat/sanak keluarga yang akrab dan memiliki
hubungan yang harmonis. Bagi lansia adanya orang kedua yang
cocok, terutama yang tidak memiliki pasangan hidup, menjadi
sangat penting untuk dapat memberi dukungan sosial atau
dukungan moral (moral support).
b. Integrasi sosial (Social Integration)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan lansia
untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang
memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta
melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersama-sama.
Sumber dukungan semacam ini memungkinkan lansia
mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan
dimiliki dalam kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat
untuk mengorganisasi lansia dan melakukan kegiatan bersama
tanpa ada pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial.
Mereka merasa bahagia, ceria dan dapat mencurahkan segala
ganjalan yang ada pada dirinya untuk berceritera, atau
mendengarkan ceramah ringan yang sesuai dengan kebutuhan
lansia. Hal itu semua merupakan dukungan sosial yang sangat
bermanfaat bagi lansia.
15
c. Adanya Pengakuan (Reanssurance of Worth)
Pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat pengakuan
atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari
orang lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini
dapat berasal dari keluarga atau lembaga/instansi atau
perusahaan/organisasi dimana sang lansia pernah bekerja. Karena
jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia tetap mendapat
perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk penghargaan. Uang
pensiun mungkin dapat dianggap sebagai salah satu bentuk
dukungan sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa
syukur. Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah
mengundang para lansia pada setiap event / hari besar untuk
berpartisipasi dalam perayaan tersebut bersama-sama dengan para
pegawai yang masih berusia produktif. Contoh: Setiap hari besar
TNI maka para mantan pejabat yang telah pensiun /memasuki masa
lansia biasa diundang hadir dalam upacara atau pun resepsi yang
diadakan oleh Instansi tersebut.
d. Ketergantungan yang dapat diandalkan ( Reliable Reliance)
Dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat dukungan
sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan
bantuannya ketika lansia membutuhkan bantuan tersebut. Jenis
dukungan sosial jenis ini pada umum berasal dari keluarga. Untuk
lansia yang tinggal di lembaga, misalnya pada Sasana Werdha ada
petugas yang selalu siap untuk membantu para lansia yang tinggal
16
di lembaga tersebut, sehingga para lansia mendapat pelayanan yang
memuaskan.
e. Bimbingan (Guidance)
Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja
atau pun hubungan sosial yang memungkinkan lansia mendapatkan
informasi, saran, atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Jenis
dukungan sosial jenis ini bersumber dari guru, alim ulama, pamong
dalam masyarakat, figur yang dituakan dan juga orang tua.
f. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance)
Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan
perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini
memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan bahwa orang
lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut
Weiss (1994) dikutip dari , sumber dukungan sosial ini adalah
keturunan (anak-anak) dan pasangan hidup. Itulah sebabnya sangat
banyak lansia yang merasa sedih dna kurang bahagia jika berada
jauh dari cucu-cucu atau pun anak-anaknya.
Menurut Logan dan Dakwin (1986) dalam Kuntjoro (2002)
dukungan keluarga merupakan proses hubungan di antara keluarga
dengan lingkungan sosialnya. Jenis dukungan yang dapat diberikan
oleh keluarga kepada lansia dapat berbentuk komunikasi secara
reguler, interaksi sosial, emosional, dukungan menggunakan sarana
transportasi dan dukungan finansial. Lebih lanjut mereka
17
menjelaskan bahwa dukungan emosional merupakan aspek penting
dalam keluarga termasuk membantu anggota keluarga dalam
memfasilitasi kehilangan, ketidakmampuan akibat penyakit kronis,
dan membantu anggota keluarga dalam menghadapi berbagai
situasi yang terjadi.
Dengan memahami pentingnya dukungan sosial bagi lansia,
kita semua diharapkan mampu untuk memberikan partisipasi
dalam pemberian dukungan sosial sesuai dengan kebutuhan lansia.
Mulailah dengan memberikan dukungan sosial pada lansia yang
berada dekat dengan kita. Dengan pemberian dukungan yang
bermakna maka para lansia akan dapat menikmati hari tua mereka
dengan tentram dan damai yang pada akhirnya tentu akan
memberikan banyak manfaat bagi semua anggota keluarga yang
lain. (Kunjoro, 2002).
c. Peran Keluarga dalam pembinaan lansia
1) Pembinaan agama/religious
Mendorong dan membantu meningkatkan ketaqwaan
kehidupan beragama melalui kegiatan pengajian, penyediaan
sarana dan media
2) Pembinaan fisik
Memberitahu dan menyediakan makanan yang bergizi dan
sesuai dengan lansia. Memotifasi lansia untuk tetap melakukan
aktifitas dan olah raga ringan agar tetap bugar. Memberitahu lansia
untuk menghindari hal-hal yang menyebabkan gangguan
18
kesehatan. Merawat lansia yeng menderita penyakit atau
mengalami gangguan kasehatan.
3) Membina mental/jiwa
Apabila lansia tidak dapat menerima atau menyesuaikan diri
dengan adanya perubahan tersebut, dapat menimbulkan
kecemasan, kekecewaan, mudah tersinggung. Oleh karena itu
diharapkan keluarga dapat membantu lansia untuk mengatasinya.
4) Pembinaan social ekonomi
a) Keluarga diharapkan dapat menciptakan suasana yang
menyenangkan bagi lansia dimana mereka masih diperhatikan
dan dibutuhkan oleh keluarganya.
b) Motivasi untuk mengembangkan hobi atau melakukan
pekerjaan yang ringan sebagai pengisi waktu agar lansia tetap
aktif.
c) Keluarga diharapkan dapat membantu, sehingga lansia dapat
terpanuhi kebutuhannya dan tidak perlu merasa cemas akan
kepastian hidup dihari tuanya. (Maryam, 2008).
2. Konsep Lansia
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (contantinides, 1994).
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia (Budi Anna Keliat, 1999). Sedangkan menurut pasal 1
19
ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan
bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun (Maryam, 2008).
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan
sistem (Mickey, 2006).
a. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, menurut
(Depkes RI, 2003) dalam Maryam (2008) :
1) Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun
2) Lansia, yaitu sesorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia Resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorangyang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan
4) Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa
5) Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Batasan-batasan lansia menurut WHO dalam Nugroho (2000),
dikelompokkan menjadi 4 meliputi:
20
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 -59 tahun.
2) Usia lanjut (erderly), antara 60-70 tahun.
3) Usia lanjut tua (old), antara 70-75 tahun.
4) Usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
Menurut Dr. Hardywinoto batasan-batasan lanjut usia meliputi :
1) Masa virilitas/ menjelang usia lanjut, antara 40-50 tahun
2) Masa presenium, antara 55-64 tahun
3) Masa senium, antara 65 tahun hingga tutup usia.
b. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada kerakter, pengalaman
hidup, lingungan, kondisi fisik, mental sosial dan ekonominya (Nugroho,
2000). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalamn,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,
bersikap ramah, rendah hati, sedehana, dermawan, memenuhi
undangn, dan menjadi panutan.
2) Tipe mandiri, yaitu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan
memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
4) Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
21
5) Tipe bingung, yaitu keget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe kontruktif, tipe
dependen (kebergantungan), tipe defesif (bertahan), tipe militan dan
serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan
sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
c. Mitos-Mitos pada Lansia
Menurut (Sheiera Saul, 1974) dalam (Nugroho, 2000) mitos-mitos
seputar lansia antara lain :
1) Mitos kedamaian dan ketenangan yaitu adanya anggapan bahwa
lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja, dan jerih payahnya
dimasa muda.
2) Mitos konservatif dan kemunduran yaitu adanya anggapan bahwa
para lansia itu tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa
silam, kembali ke masa kanak-kanak, sulit berubah, keras kepala,
dan cerewet.
3) Mitos Berpenyakitan yaitu adanya anggapan bahwa masa tua
dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai berbagai
penyakit dan sakit-sakitan.
4) Mitos senilitas yaitu adanya anggapan bahwa para lansia sudah
pikun.
5) Mitos tidak jatuh cinta yaitu adanya anggapan bahwa para lansia
sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah kepada lawan jenis.
22
6) Mitos Aseksualitas yaitu adanya anggapan bahwa pada lansia
hubungan seks menurun, minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan
daya seks berkurang.
7) Mitos ketidakproduktifan yaitu adanya anggapan bahwa para lansia
tidak produktif lagi.
d. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Erikson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi
oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya
melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina
hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia
lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap
perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi
bercocok tanam dan lain-lain.
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut.
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2) Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
4) Mempersiapkan kehidupan baru.
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehiduan sosial/masyrakat secara
santai.
6) Mempersiapkan diri untuk keatiannya dan kematian pasangan.
23
e. Teori Proses Menua
1) Teori Biologis
Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,
termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang
usia dan kematian. Teori biologi dalam (Potter, 2005) terdiri dari:
a) Teori Genetika (Genetic theory / Genetic Lock)
Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang
secara tiadak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu
untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Teori genetika terdir
dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan
kesalahan, mutasi, somatik, dan teori glikogen. Teori-teori ini
menyatakan bahwa proses replikasi pad atingkatan seluler
manjadi tidak teratur kerena adanya informasi tidak sesuai yang
diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi bersilangan
(crosslink) dengan unsur yang lain sehingga mengubah unsur
genetik. Adanya crosslink ini mengakibatkan kesalahan pada
tingkat seluler yang akhirnya menyebabkan sistem dan organ
tubuh gagal untuk berfungsi.
b) Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini, faktor-faktor didalam lingkungan
(misalnya karsinogen, dari industri, cahaya matahari, trauma, dan
infeksi). Dapat membawa perubahan dalam proses penuaan.
Dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan
bukan merupakan faktor utama dalam penuaan. Perawat dapat
24
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang dampak dari
aspek ini terhadap penuaan dengan cara mendidik semua
kelompok umur tentang hubungan antara faktor lingkungan dan
penuaan yang dipercepat. Ilmu pengetahuan baru mulai untuk
mengungkap berbagai faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi penuaan.
c) Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam
sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang
bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing
mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring
dengan kurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan
dalam respons autoimun tubuh.
d) Teori Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara
unuversal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan
untuk menerima, memproses, dan bereaksi terhadap perintah.
Dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-
kadang diinterpretasikan sebagai tindakan melawan, ketulian atau
kurangnya pengetahuan. Pada umumnya, sebenarnya yang terjadi
bukan satupun dari hal-hal tersebut, tetapi oranglanjut usia sering
dibuat untuk merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif atau
tidak patuh.
25
e) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang
merupakan bagain molekul yang sangat reaktif. Molekul ini
memiliki muatan ekstraselular kuat yang dapat menciptakan
reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya, molekul
ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran
sel, mempengaruhi permeabilitasny atau dapat berikatan dengan
organel sel (Christiansen dan Grzybowski, 1993) dalam Potter
(2005)
f) Teori Cross-Link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa
molekul kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat,
membentuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas sel,
cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia yang
menimbulkan senyawa antara molekul-molekul yang normalnya
terpisah (Ebersole dan Hess, !994). saat serat kolagen yang
awalnya dideposit dalam jaringan otot polos, molekul ini menjadi
renggang berikatan dan jaringan menjadi fleksibel. Seiring
berjalannya waktu, bagaimanapun sisi aktif pada molekul lebih
berikatan erat sehingga jaringan menjadi lebih kaku (Cristiansen
dan Grzybowski, 1993). Kulit yang menua merupakan contoh
cross linkage elastin.
26
2) Teori Psikososial
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap
dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari
implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Yang termasuk dalam
teori ini adalah :
a) Teori Kepribadian
Jun berteori bahwa keseimbangan antara kedua hal tersebut
adalah penting bagi kesehatan. Dengan menurunnya tanggung
jawab dan tuntunan dari keluarga dan ikatan sosial, yang sering
terjadi di kalangan lansia. Jun percaya bahwa orang akan menjadi
lebih introvert. Didalam konsep interioritas dari jung, separuh
kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki
tujuannya sendiri yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri
sendiri melalui aktivitas yang dapat merefleksikan dirinya
sendiri. Jung melihat tahap akhir kehidupan sebagai waktu ketika
oarang mengambil suatu inventaris dari hidup mereka, suatu
waktu untuk lebih melihat kebelakang daripada melihat kedepan.
Lansia sering menemukan bahwa hidup telah memberiakan satu
rangkaian pilihan yang sekali dipilih, akan membawa orang
tersebut pada suatu arah yang tidak bisa di ubah.
b) Teori Tugas Perkembangan (Kontinuitas)
Hasil penelitian Erickson mungkin teori terbaik yang
dikenal dalam bidang ini. Tugas perkembangan adalah aktivitas
dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-
27
tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan
yang sukses. Erickson menguraikan tugas utama lansia adalah
mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang
dijalani dengan integritas. Pada kondisi tidak adanya pencapaian
perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik,maka
lansia tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan
atau putus asa.
c) Teori Disengagement
Teori Disengagement (teori Pemutusan hubungan),
dikembangkan pertama kali pada awal tahun 1960-an,
menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakkat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini,
proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat
dihindari dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat
yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan akan bahagia apabila
kontak sosial telah berkurang dan tangung jawab telah diambil
oleh generasi yang lebih muda. Manfaat pengurangan kontak
sosial bagi lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk
merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi
harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan menfaatnya bagi
masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan
generasi tua kepada generasi muda. Teori ini banyak
menimbulkan kontroversi sebagian karena penelitian ini di
pandang cacat dan karena banyak lansia yang menentang postulat
28
yang dibangkitkan oleh teori untuk menjelaskan apa yang terjadi
didalam pemutusan ikatan/hubungan.
d) Teori Aktivitas
Havighurst yang pertama menulis tentang pentingnya tetap
aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat
untuk lansia pada tahun 1952. Sejak saat itu, berbagai penelitian
telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan
interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan
fisik dan mental orang tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan
seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan
dibutuhkan oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang
penting bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang
penting bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya
fungsi peran pada lansia secara negatif memengaruhi kepuasan
hidup. Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan pentingnya
aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk
mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang
masa kehidupan manusia.
f. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
1) Perubahan-perubahan fisik
a) Sel
Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun dan
cairan intraseluler menurun.
29
b) Persyarafan
Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta
lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang
berhungan dengan stres yang berkurang atau hilangnya lapisan
mielin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon
motorik dan reflek.
c) System pendengaran
Membran timpani atrofi sehinnga terjadi gangguan
pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.
d) System penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun dan
katarak.
e) System kardiovaskuler
Katup jentumg menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun (menurunya kontraksi dan volume), elastisitas
pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
f) System respirasi
Otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku,
elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga
menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan
pada bronkus.
30
g) System gastrointestinal
Esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan
peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun.
Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun
sehingga menyebabkan berkuarngnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
h) System Perkemihan
Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan
di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga
kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.
i) Sistem Integumen
Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambur dalam
hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi
menurun, rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun,
kuku kers dan rapuh, serta kuku kaki berlebihan seperti tanduk.
j) System Musculoskeletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis),
bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi
otot), kram, tremor, tendon mengerut dan mengalami sklerosis.
2) Perubahan-perubahan psikososial
a) Pensiun
Nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya dan
identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila
31
seseorang pensiun (purna tugas), dia akan mengalami kehilangan-
kehilangan antara lain:
(1) Kehilangan financial (income berkurang).
(2) Kehilangan status.
(3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
(4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awernwes of
mortality).
c) Perubahan dalam hidup yaitu memasuki rumah perawatan lebih
sempit.
d) Ekonomi melemah atau menurun akibat perberhentian dari jabatan
(economic deprivation).
e) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,
bertambahnya biaya pengobatan.
f) Penyakit kronis dan ketidak mampuan.
g) Gangguan saraf panca indra.
h) Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik: perubahan terhadap
gambaran diri dan konsep diri.
3 Konsep Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Menurut Capernito (2001) kecemasan adalah keadaan individu atau
kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan
aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang
tidak jelas, non spesifik.
32
Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan
perasaan, keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat
menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya (Rivai,2000).
Kecemasan adalah perasaan individu dan pengalaman subjektif
yang tidak diamati secara langsung dan perasaan tanpa objek yang
spesifik dipacu oleh ketidak tahuan dan didahului oleh pengalaman yang
baru (Stuart dkk,1998).
Ansietas merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu
yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak
diketahui secara khusus penyebabnya (Depkes RI, 2000). Menurut stuart
& Laraia (1998) ansietas adalah ketakutan/kekawatiran yang tidak jelas
yang terjadi secara alami, berhubungan dengan perasaan ketidakpastian,
dan ketidakberdayaan, terisolasi, merasa asing serta tidak aman.
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang
secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Kecemasan adalah kebingungan, kekawatiran pada sesuatu yang akan
terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan
perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati dkk, 2005).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan
atau ansietas adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak,
khawatir dan gelisah. Keadaan emosi ini tanpa ojek yang spesifik,
dialami secara subjektif dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh
pengalaman baru, dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
33
b. Tingkat Kecemasan
Kecemasan tidak dapat dihindarikan dari kehidupan individu
dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak
sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Hal yang dapat
menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari :
1) Ancaman integritas biologi meliputi angguan terhadap kebutuhan
dsar makan, minum kehangatan, seks.
2) Ancaman terhadap keselamatan diri :
a) Tidak menemukan intgritas ego
b) Tidak menemukan status dan prestasi.
c) Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain
d) Ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata.
Menurut Peplau ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh
individu yaitu ringan, sedang, berat, dan panik.
1) Kecemasan Ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.
Individu masihwaspada serta lapang persepsinya meluas,
menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan
mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan
pertumbuhan dan kretivitas.
Manifestasi fisiologis pada lansia : berdebar-debar, sesekali
napas pendek, muka berkerut, gejala ringan pada lambung, tegang
dan tangan gemetar. Manifestasi kognitif pada lansia :
memperhatikan masalah, lapangan persepsi meluas, waspada, masih
34
bisa mengamati berbagai macam rangsangan, efektif dalam
memecahkan masalh. Manifestasi emosional pada lansia : tidak ada
perasaan yang kuat, konsep diri tidak terancam, menggunakan
mekanisme koping yang minimal, fleksibel, tingkah laku sesuai
situasi, merasa kecewa, terhadap diri sendiri, suara kadang-kadang
meninggi.
2) Kecemasan Sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi
perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat
melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.
Manifestasi Fisiologis : mulut kering, napas pendek, anoreksia,
badan gemetar, nadi dan tekanan darah meningkat, diare, konstipasi,
gelisah. Manifestasi kognitif : lapangan persepsi menyempit, respon
muncul, secara langsung (adapat berespon terhadap perintah), masih
dapat memecahkan masalah secara efektif dan baik, respon dapat
langsung dan perlu support, perhatian selektif, dan terfokus pada
rangsangan yang tidak menambah kecemasan. Manifestasi emosional
pada lansia : tidak sabar, mudah tersinggung, mudah lupa, banyak
pertimbangan, menangis, marah, berubah menjadi banyak bicara dan
lebih cepat, perasaan tidak aman, dan susah tidur.
3) Kecemasan Berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya
pada detil yang kecil dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain.
35
Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan
perlu banyak perintah/arahan yang terfokus pada area lain.
Manifestasi fisiologis pada lansia : napas pendek, nadi dan
tekanan darah naik, rasa tertekan, nyeri dada, agitasi, berkeringat,
sakit kapala, penglihatan kabur dan tegang. Manifestasi kognitif pada
lansia: lahan persepsi lahan menyempit, tidak perhatian pada sesuatu,
pemecahan masalah yang digunakan efektif, dan butuh seseorang.
Manifestasi emosional : perasaan terancam meningkat, parasaan
tidak berdaya, munculnya tingkah laku yang tiadak sesuai, banyak
menggunakan koping mekanisme, cepat tersinggung, disorientasi,
bingung, blocking dan halusinasi mungkin ada.
4) Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang.
Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun
meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik,
berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain,
penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu
berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi
kepribadian.
Manifestasi fisiologis : rasa tercekik, kepala sangat pusing,
palpitasi, sakit dada, pucat dan hipotensi secara kordinasi motorik
rendah. Manifestasi kogniitif : kemampuan sensori dan perhatian
berkurang, sehingga banyak obejek kecemasan yang diperhatikan,
koping mekanisme tidak efektif, tingkah laku terfokus pada bantuan,
36
mungkin menjerit, menangis, berdoa, berlari, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak dapat memecahkan masalahtidak dapat
membuat keputusan, tidak dapat berespon terhadap perintah.
Manifestai emosional : kehilangan kontrol, marah, tingkah laku,
ekstrim, agitasi, persepsi kacau, ketakutan, berterik-teriak, dan
kadang mengantuk.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Skema 2-1. Rentang Respon Kecemasan
c. Teori Kecemasan
1) Teori Psikoanalitik
Menurut Freud, kecemasan timbul akibat reaksi psikologis
individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme dalam
hubungan seksual. Energi seksual yang tidak terekspresikan akan
mengakibatkan rasa cemas. Kecemasan dapat timbul secara otomatis
akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat
stimulus (internal dan eksternal) yang berlebihan sehingga
37
melampaui kemampuan individu untuk menanganinya. Ada dua tipe
kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen
a) Kecemasan Primer
Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya
stimulasi tiba-tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian
berlanjut dengan kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat
kelaparan atau kehausan. Penyebab kecemasan primer adalah
keaadaan ketegangan atau dorongan yang diakibatkan oleh faktor
eksternal.
b) Kecemasan Subsekuen
Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, freud melihat ada
dua jenis kecemasan lain akibat konflik emosi di antara dua
elemen kepribadian yaitu id dan superego. Freud menjelaskan
bila terjadi kecemasan maka posisi ego sebagai pengembang id
dan superego berada pada kondisi bahaya.
2) Teori Interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat
ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai
akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu
mempunyai kepekaan lingkungan. Kecemasan pertama kali
ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal kehidupannya,
bayi berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit. Dengan
bertambahnya usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul
akibat tindakannya sendiri dan diyakini bahwa ibunya setuju atau
38
tidak setuju dengan perilaku itu. Adanya trauma seperti perpisahan
dengan orang berarti atau kehilangan dapat menyebabkan kecemasan
pada individu. Kecemasan yang timbul pada masa berikutnya
muncul saat individu mempersepsikan bahwa ia akan kehilangan
orang yang di cintainya. Harga diri seseorang merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan kecemasan. Orang yang
mempunyai predisposisi mengalami kecemasan adalah orang yang
mudah terancam, mempunyai opini negatif terhadap dirinya atau
meragukan kemampuannya.
3) Teori Perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil
frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam
mencapai tujuan yang diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan,
berkeluarga, kesuksesan dalam sekolah. Perilaku merupakan hasil
belajar dari pengalaman yang pernah dialami. Kecemasan dapat juga
muncul melalui konflik antara dua pilihan yang saling berlawanan
dan individu harus memilih salah satu. Konflik menimbulkan
kecemasan dan kecemasan akan meningkatkan persepsi terhadap
konflik dengan timbulnya perasaan ketidakberdayaan.
Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu approach
dan avoidance. Approach merupakan kecenderungan untuk
melakukan atau menggerakkan sesuatu. Avoidance adalah
kebalikannya yaitu tidak melakukan atau menggerakkan sesuatu
melalui sesuatu.
39
4) Teori Keluarga
Studi pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan bahwa
kecemasan selalu ada pada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk
dan sifatnya heterogen.
5) Teori Biologik
Otak memiliki reseptor khusus terdapat benzodiazepin,
reseptor tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi
tersebut berhubungan dengan aktifitas neurotransmiter gamma amino
butiric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di bagian
otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
Bila GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan dengan
reseptor GABA pada membran post-sinaps akan membuka
saluran/pintu reseptor sehingga terjadi perpindahan ion. Perubahan
ini akan mengakibatkan eksitasi sel dan memperlambat aktivitas sel.
Teori ini menjelaskan bahwa individu yang sering mengalami
kecemasan mempunyai masalah dengan proses neurotransmiter ini.
Mekanisme koping juga dapat terganggu karena pengaruh toksik,
defisiensi nutrisi, menurunya suplai darah, perubahan hormon dan
sebab fisik lainya. Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan
perasaan cemas.
d. Reaksi Kecemasan
Kecemasan dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun
destruktif bagi individu. Konstruktif yaitu individu termotivasi untuk
belajar mengadakan perubahan terutama perubahan terhadap perasaan
40
tidak nyaman dan terfokus pada kelangsungan hidup. Contohnya :
individu yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
karena akan dipromosikan naik jabatan. Sedangkan destruktif yaitu
individu bertingkah laku maladaptif dan disfungsional. Contohnya :
individu menghindari kontak dengan orang lain atau mengurung diri,
tidak mau mengurus diri, tidak mau makan.
e. Faktor-Faktor Kecemasan
Myers dkk dalam Gist & Lubin, 1989 menyebutkan beberapa
faktor dalam diri lansia yang menyebabkannya berisiko mengalami
kecemasan. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Usia dan tahap perkembangan
Tingkat kecakapan dan pengalaman hidup menjadi suatu faktor
yang menentukan apakah seseorang berisiko mengalami kecemasan
atau tidak. Hal yang demikian juga akan terjadi pada seorang lanjut
usia yang tidak mampu memperoleh atau menggunakan bantuan
yang tersedia secara mandiri karena keterbatasan fisik atau mental.
2. Kesehatan
Kesehatan yang buruk atau adanya penyakit menempatkan
seseorang berisiko mengalami kecemasan. Faktor lain yang
berhubungan dengan kesehatan adalah keterbatasan fisik, stress yang
menumpuk, dan ketidakmampuan memperoleh pengobatan.
Seseorang yang sakit berisiko mengalami kemunduran mental jika ia
gagal memperoleh pengobatan yang dibutuhkan.
41
3. Disabilitas
Penurunan kemampuan mobilitas, penglihatan, pendengaran
atau berbicara membuat seseorang berisiko mengalami kecemasan.
Kecemasan tersebut muncul dari pemikiran akan kemungkinan
semakin parahnya keterbatasan yang dimiliki serta muncul dari
anggapan bahwa dirinya tidak memperoleh layanan yang
dibutuhkan.
4. Stress
Perubahan pekerjaan tertentu, kekhawatiran akan keadaan
keuangan, tempat tinggal, permasalahan keluarga, perceraian dan
permasalahan lainnya membuat seseorang berisiko mengalami
kecemasan. Kecemasan ini akan semakin tinggi jika dukungan
yang diperoleh bersifat terbatas. Kesuksesan seseorang dapat
membantu individu untuk mengembangkan kekuatan coping dan
kemampuan untuk menyelamatkan dirinya. Sebaliknya kegagalan
atau reaksi emosional menyebabkan seseorang menggunakan
coping yang maladaptif terhadap stressor tertentu.
5. Dukungan sosial
Tidak adanya sistem dukungan sosial dan psikologis
menyebabkan seseorang berisiko mengalami kecemasan, karena
tidak ada yang membantunya dalam memaknai peristiwa serta
menghadapi kenyataan secara lapang dada untuk membangkitkan
harga dirinya.
42
B. PENELITIAN TERKAIT
1. Penelitian terkait yang peneliti temukan yaitu penelitian yangdilakukan
oleh Wijayanti (2005) tentang Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Respons Kehilangan pada Lansia di Desa Pekaja, Kalibagor Kabupaten
Banyumas Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kejadian lansia yang mengalami respon kehilangan adaptif sebanyak 80
responden (53.3 %), sedangkan lansia yang mengalami respons kehilangan
maladaptif sebanyak 70 responden (46,7 %). Dari tujuh jenis dukungan
keluarga yang terbukti secara bermakna mempengaruhi tingkat respons
kehilangan pada lansia adalah dukungan keluarga melaluai interaksi sosial,
upaya penyediaan transportasi, menyiapkan makanan dan dukungan
finansial. Sedangkan yang paling dominan berpengaruh terhadap respons
kehilangan lansia adalah dukungan keluarga melalui interaksi sosial. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lansia membutuhkan dukungan
keluarga khususnya interaksi sosial guna menghadapi perubahan sebagai
akibat proses menua.
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diena Juliana dan Ika
Sukmawati (2008) dengan judul penelitian Hubungan Dukungan
Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Lansia di Salah Satu RW
Kelurahan Pondok Cina Kecamatan Beji Kota Depok menunjukkan
bahwa pada karakteristik lansia dikemukakan bahwa dari latar belakang
pendidikan formal yang di tamatkan, terlihat bahwa mayoritas responden
lansia tamat SD adalah 13 orang (32,5 %). Berdasarkan pekerjaan
sebagian besar lansia tidak bekerja adalah 21 orang (52,5%). Latar
43
belakang agama dan budaya menunjukkan hampir seluruh lansia yaitu 39
orang (97,5%) beragama islam dan mayoritas berasal dari suku betawi
yaitu 37 orang (92,5%). Sebagian besar lansia berjenis kelamin perempuan
yaitu 27 orang (67,5%) mendapat dukungan keluarga yang tinggi. Pada
tingkat depresi pada lansia bahwa mayoritas lansia (60%) mengalami
depresi ringan. Pada analisis bivarian bahwa lansia yang memperoleh
dukungan keluarga tinggi lebih tidak beresiko mengalami depresi sedang
8,33 kali dibandingkan lansia dengan dukungan keluarga sedang. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa seluruh lansia disalah satu RW
Kelurahan Pondok Cina Kecamatan Beji Kota Depok ini cukup
mendapatkan dukungan dari keluarga.
3. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ade Supriatini dan Irni
Novitha (2004) yang berjudul Tingkat Kecemasan Pasien Lansia yang
Dirawat Diinstalasi Rawat Inap RSUD Serang menunjukkan 46,67%
lansia mengalami kecemasan yang ditandai dengan adanya lebih dari 5
gejala yang ada. Gejala yang terbanyak adalah sistem perkemihan 56,6%,
kecemasan 46,6%, tidak dapat beristirahat 46,6%, tidak dapat tidur 43%,
sistem pencernaan 40%, rasa takut 40%. Dari gejala diatas pasien yang
dirawat mengalami kecemasan ringan-sedang, Berdasarkan hasil tabulasi
di atas karakteristik responden yang didapatkan paling banyak berumur
60-64 th. Jenis kelamin yang terbanyak laki-laki pendidikan,SD, riwayat
penyakit sekarang rematik dari golongan ekonomi menengah dan rata-rata
yang menjaga di RS adalah anaknya.
44
4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Samsuri (2002) yang
berjudul Tingkat Kecemasan pada Pasien Lansia Yang Mengalami
Demensia Senilis Di Panti. Dari hasil penelitian ditemuka bahwa
distribusi responden berdasarkan usia >80 tahun 50 %, Jenis kelamin :
perempuan 80 %, pendidikan SMP 35 %, Pekerjaan : lain-lain (swasta,
dagang, buruh) 55 % riwayat penyakit dahulu : hipertensi 35 %, riwayat
penyakit sekarang : DM 30 %, golongan ekonomi : menengah 50
%.disimpulkan bahwa kecemasan pada lansia bisa dipengaruhi oleh latar
belakang mereka tinggal di Panti. Memang sebagian dari mereka tinggal di
panti atas kemauan dan kesadaran sendiri dengan alasan mereka ingin
hidup tenang dalam melewati masa tuanya tanpa harus merepotkan
keluarga. Tetapi berdasarkan pengamatan ada juga lansia yang tinggal di
panti karena keterpaksaan, alasan mereka diantaranya karena tidak
mempunyai keluarga lagi dan ada juga karena dorongan keluarga yang
karena berbagai masalah dalam keluarga sehingga membuatnya harus
tinggal di panti. Dengan keadaan demikian mereka merasa terasing dalam
keluarga. Diperberat lagi, berdasarkan observasi ditemukan bahwa
keluarga jarang bahkan tidak pernah mengunjungi mereka di panti.
Tentunya dengan demikian akan menambah kecemasan lansia yang
mengalami demensia senilis. Dari hasil peneliian dapat disimpulkan
bahwa rata-rata tingkat kecemasan pada lansia yang mengalami demensia
di Panti Sasana Tresna Werda Karya Bakti Ria Pembangunan Jakarta
adalah berada pada tingkat kecemasan sedang.
45
5. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwan G. Agung (2002)
dengan judul Pengaruh Kehilangan Pasangan Hidup Lansia Terhadap
Tingkat Kecemasan Di Panthi Werdha Pasar Rebo Jakarta Timur,
menunjukkan bahwa persentase yang tidak mengalami kecemasan lebih
besar wanita (wanita 40 %, Pria 20 %), kecemasan ringan lebih besar
wanita (53 %, pria 0 %), kecemasan sedang lebih besar pria (wanita 0 %,
pria 10 %) dan sama pada kecemasan berat sekali (tidak ada).Hal ini
menggambarkan pria lebih tinggi tingkat kecemasannya bila ditinggal
pasangan hidupnya dibandingkan wanita (hal ini perlu diidentifikasi lebih
jauh dengan penelitian lanjutan & uji statisik untuk mengetahui tingkat
kemaknaan perbedaan tersebut).
6. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diwa Agus Sudrajat
(2002) dengan judul Peran Keluarga Dalam Meningkatkan Kesehatan
Jiwa Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha, bahwa keluarga dengan
tingkat pendidikan yang tinggi dan penghasilan yang cukup akan sangat
mempengaruhi perannya dalam meningkatkan kesehatan jiwa lansia di
Panti Werdha. Sebagian besar keluarga yaitu 66% telah melakukan peran
dan tindakan dalam mengatasi gangguan perasaan lansia yang
dirawat/tinggal di Panti Werda. Dapat disimpulkan juga bahwa keluarga
sebanyak 77,5 % telah berperan dalam mengatasi gangguan fisik dan
somatik lansia. Kemudian keluarga juga sudah hampir 65 % berperan dan
bertindak dalam mengatasi gangguan perilaku lansia yang berada di Panti
Werda.
46
C. KERANGKA TEORI
Dari tinjauan pustaka diatas maka di buat kerangka teori dalam bentuk
bagan di bawah ini :
Skema 2.2 Kerangka Teori
Faktor Predisposisi :
a. Karakteristik responden :
- usia
- jenis kelamin
- pendidikan
- pekerjaan
- agama
b. Pengetahuan
c. Sikap
Faktor Pendukung :
a. perubahan fisik
b. kehilangan pasangan
c. pensiun
d. sosial ekonomi
e. pendapatan
Faktor Pendorong :
a. sarana/transportasi
b. mempertahankan
kegiatan rumah tangga
c. menyiapkan makanan
d. finansial
e. emosional
f. komunikasi
g. interaksi sosial
Kecemasan Lansia
Menghadapi
HariTua :
- Ringan
- Berat
47
Dari bagan kerangka teori di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut teori L.Green (1991) dalam Notoadmojo (2005) menjelaskan bahwa
perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi,
pendukung, dan pendorong. Pada kecemasan lansia dalam menghadapi hari
tua dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor predisposisi yang secara teoritis
dijelaskan bahwa merupakan faktor yang mendahului terhadap perilaku yang
menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap,
dan lebih cenderung merupakan bawaan pribadi lansia sendiri seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama,. Untuk faktor pemungkin terdiri
dari perubahan fisik, kehilangan pasangan, pensiun, sosial ekonomi,
pendapatan dan sebagainya. Sedangkan pada faktor pendorong merupakan
faktor penyerta perilaku yang memberi penghargaan atau hukuman atas
perilaku yang berperan secara menetap atau tidak menetap salah satunya
mencakup dukungan keluarga seperti sarana transportasi, mempertahankan
kegiatan rumah tangga, menyiapkan makanan, finasial, emosional, komunikasi
dan interaksi sosial.
48
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang akan diteliti
(Setiadi, 2007). Dalam penelitian ini dikembangkan kerangka konsep yang
akan mengarahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Kerangka konsepnya
berupa antara variabel dukungan keluarga dengan variabel kecemasan lansia
menghadapi hari tua.
Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)
Dukungan Keluaraga
Pada Lansia.
Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Kecemasan
Lansia
Menghadapi
Hari Tua
49
B. Hipotesa
Hipotesa didalam suatu penelitian berarti jawaba sementara peneliti,
patokan duga atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut. Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesa sebagai
berikut :
Ha Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kecemasan lansia
menghadapi hari tua di RW 03 Komplek TNI AL Pangkalan Jati Depok
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah variabel secara operasional berdasrkan
karakteristik yang di amati sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena
(Aziz Alimul Hidayat, 2007). Penelitian ini melibatkan 2 variabel yaitu
dukungan keluarga sebagai variabel X dan kecemasan lansia menghadapi hari
tua sebagai variabel Y.
1. Variabel Independen
Variabel independen (bebas) adalah variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga
dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam mempengaruhi
variabel lain, variabel ini punya nama lain seperti variabel predictor, resiko
atau kausa (Hidayat, 2007). Pada penelitian yamg akan dilaksanakan ini
variabel independennya adalah dukungan keluarga.
50
2. Variabel Dependen
Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi
menjadi akibat karena variabel bebas terhadap perubahan. Variabel ini
juga disebut sebagai variabel efek, outcome, atau event (Hidayat, 2007).
Pada penelitian yang akan dilaksanakan ini variabel dependennya adalah
kecemasan lansia menghadapi hari tua.
Tabel 3.1
Definisi Operasional
N
o
Variabel Definisi
operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1
.
Independent
Dukungan
Keluarga
Proses hubungan di
antara keluarga
dengan lingkungan
sosialnya yang
yang dapat
diberikan oleh
keluarga kepada
lansia dalam bentuk
komunikasi,
interaksi sosial,
emosional ,
mempertahankan
kegiatan rumah
tangga,menyiapkan
makanan, dukungan
menggunakan
sarana transportasi
Menggunakan
skala likert
Kuesioner Dinyatakan
dalam
kategori
tinggi (apabila
median
) dan rendah
(apabila <
median)
Ordinal
51
dukungan finansial
dan dukungan
interaksi
sosial(Logan dan
Dakwin, 1986)
2 Umur Penentuan usia
seseorang
berdasarkan ualng
tahun terakhir
Responden
mengisi
koesioner
Kuesioner 1. Prasenilis
(55-64 tahun)
2. senilis
( 65 tahun)
Ordinal
3 Jenis
kelamin
Tanda biologis
yang membedakan
manusia
berdasarkan
kelompok
Responden
mengisi
koesioner
Kuesioner 1. laki-laki
2.Perempuan
Nominal
4 Pendidikan Jenis pendidikan
formal yang pernah
dicapai sesorang
berdasarkan ijasah
terakhir
Responden
mengisi
koesioner
Kuesioner 1.Rendah
(SD,SMP)
2.Tinggi
(SMA, PT)
Ordinal
5 Pekerjaan Jenis kegiatan
sehari-hari untuk
memperoleh
penghasilan yang
dilakukan oleh
responden
Responden
mengisi
koesioner
Kuesioner 1.tidak
bekerja/IRT
2.Pensiunan
3. Veteran
4.Wiraswasta
5.PNS/ABRI/
TNI
Nominal
6
.
Agama keyakinan
Kepercayaan atau
yang dianut dan
diyakini oleh
responden dan
diakui oleh Negara.
Responden
diminta
mengisi
kuesioner.
Dilihat
dari
Kuesioner
tentang
identitas
Nominal 1.Islam
2.Kriste
n
Katolik
3.Kriste
nProtest
52
an
4.Hindu
5.Budha
7 Dependent
Kecemasan
Lansia
menghadapi
Hari Tua
Suatu perasaan
tidak pasti dan tidak
berdaya yang
dialami lansia
dimana lansia
merasa tidak
berdaya dan
menjadi stress
akibat dari
perubahan yang
terjadi baik fisik
maupun
psikologisnya.
Responden
mengisi
koesioner,
dengan
menggunakan
skala likert
Kuesioner Dinyatakan
dalam
kategori berat
(apabila
median)dan
rendah
(apabila <
median)
Ordinal

Anda mungkin juga menyukai