Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam penulisan makalah ini kami membahas tentang tinjauan
humanism dan eksistensialisme dalam konteks filsafati. Ditinjau dari
pendapat para ahli, keterkaitan antara satu dengan yang lain, hingga
keberagaman.
Makalah ini ditulis untuk menggali lebih jauh lagi tentang
humanisme dan eksistensialisme, macam - macamnya, hubungan
satu sama lain.
Hal ini di susun demi melaksanakan tugas kelompok berupa
makalah pendalaman materi.

B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat:
1. Menggali lebih dalam mengenai humanisme dan eksistensialisme.
2. Mengupas beberapa aspek dari filsafat itu sendiri.




1
2

C. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui seluk beluk dari humanism dan eksistensialisme serta
filsafat itu sendiri.
2. Menilik pendapat para pemikir dan cendikiawan yang berdiri
dibalik teori teori beserta relevansinya.













3

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUMANISME
Humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang
menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di
jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari
kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah
sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini. humanistik adalah
aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950-an, sebagai reaksi
terhadap bahaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit
memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan
konteks manusia dalam perkembangan teori psikologis.Istilah
humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata
humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran
masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang
berarti kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan
sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya
untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang.
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran
yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam
masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
3
4

Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya
diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan
dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi
kelompok-kelompok etnis tertentu.
Dari segi bahasa humanisme artinya kemanusiaan, sedangkan
menurut Istilah berarti suatu paham mengenai kemanusiaan yang
hakiki. Jelasnya, humanisme adalah suatu gerakan atau aliran yang
bertujuan untuk menempatkan manusia pada posisi kemanusiaan
yang sebenarnya.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme
keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan
diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para
cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya
terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta
kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme,
teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga
percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk
memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk
dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban
atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan
kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.

5

B. HUMANISME KEAGAMAAN/RELIGI
Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi, daripada
beragama tapi jahat, lebih baik berperikemanusiaan meski tidak
beragama. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung
humanisme. Logikanya begitu humanis, tapi justru seperti atheis. Dan
ternyata jimat atau aji-aji pamungkas orang sekuler-liberal dan
bahkan atheis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi
masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi
anthroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu yang
dianggap sangat revolusioner itu mengiringi perjalanan kebudayaan
Barat modern hingga postmodern. Argumentasi mereka begitu mudah
diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riel,
sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan,
mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan, atau mensucikan Tuhan
dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya Tuhan tidak perlu
dibela karena sudah Maha Kuasa. Seperti membela Tuhan tapi
sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin
kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan, dan
kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche itu
tahun 1948 menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah stadarisasi kemanusiaan
6

yang formal dan disepakati banyak negara pendukung humanisme.
Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan
agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-
agama, maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal.
Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993
di New York diadakan peluncuran acara Project on Religion and
Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap
DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya. Bukan hanya
itu, pada ulang tahun ke-50 DUHAM dan ulang tahun ke-50 Fakultas
Religious Studies universitas McGill, Montreal , Canada, upaya
merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan
dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the
World Religions. Setelah itu berturut-turut acara revisi merivisi
berlanjut di berbagai tempat, seperti di California, New York, Durban,
Barcelona, Paris, dan terakhir di Genting Highland, Malaysia pada
bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak
UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis
dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat dan
negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir, dan
sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam
DUHAM. Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan
7

pertimbangan konteks kultural dan religius dari negara-negara non-
Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-
Khorassani malah menyatakan bahwa DUHAM adalah hasil
pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat
diterapkan ke dalam Islam.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam
mengeluarkan deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on
Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh
Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45
menlu negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia
menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan atheis di atas benar, maka isi
Deklarasi Cairo itu mestinya hanya mensucikan Tuhan belaka dan
menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler
liberal atheis itu salah. Bahkan deklarasi Cairo itu tidak ekslusif untuk
umat Islam. Dalam salah satu pasalnya menyatakan, Diskriminasi
berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi
politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang.
Bahkan pelindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariah. Maka
dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang
tua, wanita and anak-anak, yang terluka dan yang sakit, dan juga
tawanan perang, berhak diberi makan, tempat tinggal, keamanan
serta pelayanan kesehatan.
8

CDHRI juga memberi hak kepada laki-laki dan wanita hak untuk
menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan,
tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi
penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak
untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial,
dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski
tidak sama dalam segala hal.
Dalam Pasal ke -10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia
atau mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan untuk
mengkonversikan seseorang dari satu agama kepada agama lain atau
atheism adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang
membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi
Tuhan.
Baca misalnya Pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki
hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara
yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b)
Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan
yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar
sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah
kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau
disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan
terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau
9

memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau
melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari
kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang
mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah
dilarang.
Dari Pasal 22 di atas terbukti bahwa memberi tempat pada
agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah
sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat
maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak
semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat.
Pelacuran, homoseks, lesbianism, nikah beda agama bagi pembenci
agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat. Jadi logikanya
yang benar, semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi,
tapi semakin humanis seseorang justru semakin atheis. Innal insana
layatgha an raahustaghna.
Untuk perkembangan intelektual, kolese mampu menggunakan
sumber pendidikan karya sastra dan budaya Yunani-Romawi secara
optimal. Untuk perkembangan pribadi, kolese mampu menghargai
usaha pengembangan potensi siswa dalam kebebasan dan
kemandirian. Sedangkan untuk perkembangan iman, kolese mampu
merajut pendidikan modern tersebut dalam religiositas yang
mendalam. Pendidikan kolese begitu berhasil sehingga alumni-alumni
10

tidak hanya menghayati humanisme, melainkan juga menjadi tokoh-
tokoh pembela humanisme religius.
Akhirnya sampai pada tahun 1556 saat meninggalnya, Santo
Ignatius telah merestui pendirian 40 kolese dan menyetujui karya
pendidikan di kolese sebagai salah satu karya Serikat Yesus.
Semboyan kolese pada tahun itu adalah "Mendidik kaum muda adalah
mereformasi dunia" (Educatio puerorum reformatio mundi). Sekolah
mendidik humanis religius dan menumbuhkan mereka menjadi
pendekar humanisme religius melawan humanisme atheis yang
menyesatkan.

C. HUMANISME SEKULER
Humanisme sekuler adalah cabang humanisme yang menolak
keyakinan agama theistik dan keyakinan pada keberadaan dunia
supernatural.
Humanisme sekuler memiliki kepedulian utama pada
pemenuhan diri, perkembangan individu dan umat manusia dan
kreativitas. Etika dipakai sebagai alat penilai dalam artian sesuatu
dianggap baik bila memajukan kemanusiaan, tanggung jawab pribadi
dan pencarian prinsip berbasis etika pada individual, sosial dan politik.
Hidup ini harus kita isi dengan hal-hal bermakna dan menambah
11

pemahaman kita terhadap diri sendiri, sejarah, kecerdasan kita, seni
dan toleransi. Prinsip humanisme sekuler adalah segala dogma,
ideologi dan tradisi baik itu agama, sosial atau politik mesti ditimbang
baik buruknya dan di uji, tidak diterima begitu saja. Tujuan bersama
humanisme sekuler adalah membangun dunia yang lebih baik dengan
nalar, niat baik dan toleransi, untuk diri sendiri dan anak cucu kita.
Untuk itu kita menghargai gagasan apapun secara terbuka.
Pencarian kebenaran objektif mesti dilakukan secara terus menerus
dan kita mesti memahami bahwa pengetahuan dan pengalaman baru
akan mempengaruhi persepsi kita. Bahwa apa yang kita persepsikan
ini tidaklah sempurna. Humanisme sekuler berkomitmen untuk
mencari jawaban pertanyaan dan solusi masalah kemanusiaan, bukan
lewat mistik dan keyakinan, tetapi lewat nalar kritis, bukti nyata dan
metode ilmiah.
Sedangkan ciri-ciri para humanis sekuler ialah:
1. Mereka melepaskan agama dan memilih dunia, karena agama dan
dunia mereka pahami sebagai dua kategori yang kontras satu
sama lain;
2. Mereka menganggap kekristenan sebagai semacam mitos, dan
menentang sikap rendah diri, ketaqwaan, dan keterikatan batin
kepada dunia akhirat;
12

3. Mereka menentang keabadian ysng dijanjikan Tuhan. Keabadian
dimata mereka berupa monumental didunia. Nama baik, lukisan,
dan patung orang-orang yang berkarya besar mereka anggap
sebagai manifestasi keabadian tersebut;
4. Keyakinan kepda astrologi, khurafat, dan kekuatan-kekuatan majis,
mereka jadikan sebagai keyakinan kepada alam supranatural.
Pemujaan kepada kebebasan adalah salah satu tema terpenting
yang menjadi pusat perhatian kaum humanis. Namun, kebebasan
yang mereka maksud ialah kebebasan yang bisa diterapkan di alam
natural dan di tengah masyarakat. Kebebasan sedemikian ini
berseberangan dengan cara berpikir yang diterima pada abad
pertengahan, yaitu anggapan bahwa imperium, gereja, dan prinsip-
prinsip feodalistik adalah para pengawas tatanan yang berlaku di
dunia, dan manusia harus tunduk mutlak kepadanya. Sedemikian
diterimanya anggapan ini sehingga tertutup kemungkinan terjadinya
perubahan padanya. Institusi-institusi inilah yang menanamkan doktrin
bahwa segala urusan, baik yang menyangkut materi maupun spiritual
yang diperlukan manusia mulai roti yang menjadi bahan makanan
sehari-hari hingga masalah hakikat spiritualitas berada dalam tatanan
dimana manusia bergantung kepadanya, sementara para pemuka
agama adalah para penafsir dan pengawasan tatanan yang
menguasai dunia tersebut.
13

Terlihat bahwa gerakan humanisme adalah merupakan solusi
untuk menghadapi intimidasi dan despotisme para pemuka gereja
abad pertengahan. Humanisme bertekad untuk mengembalikan
kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara total
oleh para elit agama di gereja. Pada awal kebangkitannya, kaum
humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang
mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan
Tuhan, langit dengan bumi, namun di saat yang sama mereka selalu
mempraktikkan ketidakadilan. Kaum humanis memperjuangkan
otoritasnya untuk mengurus kehidupannya sendiri, dan karena itu
mereka akhirnya memberikan penekanan secara ekstrim kepada
otonomi dan haknya untuk menguasai diri mereka sendiri.

D. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar
dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.
14


Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan
keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan
eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan
itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan
doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-
mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan
itu sendiri.

E. HUBUNGAN HUMANISME DAN EKSISTENSIALISME
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal
hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya
"human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka
dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak.
Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan
eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau
"dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal
"kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika
kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan
dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.
15

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi
seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia
merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan
membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti
dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun
ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis,
pekerja sosial dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh
eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi pekerja sosial atas
keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama
dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang
menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini
tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam
eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang
tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam
keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan
macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan
subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang
16

eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih
luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang
dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa
manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak
maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia
lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului
esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa
dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme
yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh
di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu
tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti
bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri.
Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas
subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek
individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa
melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity).
Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari
eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan
gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif,
yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan.
Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-
17

kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini
atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari
apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap
lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik
untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan
kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan
sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap
memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan
Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.
Humanisme dalam pandangan Sartre di atas sudah kita
singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat
manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa
beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah
manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan
Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat
sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-
15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini
mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di
mana kebebasan (libert), kesetaraan (egalit) dan persaudaraan
(fraternit) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak
hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam
artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai
intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari
18

realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang
sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya
dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi
Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme
dengan humanisme?
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya
dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang
mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada
era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih
mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia
itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma
buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan
tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang
ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan
apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita
seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran,
kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-
jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati
dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, Jika Allah
tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan. Inilah titik berangkat
dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi
menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik
dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia
19

adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian.
Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia
tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas.
Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas
segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci
yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada
kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, Man is
nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he
realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his
actions, nothing else but what his life is. Jadi, jelas di sini bahwa
realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya
membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan
dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan
di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan
yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A
man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the
organisation, the set of relations that constitute these undertakings.
Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit
myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu
dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-
kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme
Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre
20

tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada
etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat
manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia
menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang
mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada
materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan
Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari
dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada
bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual
subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan
Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito,
aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga
orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang
lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian.
Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti
penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang
berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian
bagi atau melawan. Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam
dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu,
meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui
adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke
dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human
21

universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang
harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan
pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya.
Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan
argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre.
Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, nilai-nilaimu itu
tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,
Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan
bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia.
Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create)
nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti
bahwa tidak ada yang priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa
jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang
menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak
bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas
bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas
manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud
dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori
yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan
sebagai nilai tertinggi (supreme value). Bagi Sartre ini humanisme
yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin
berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa
manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap
22

manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih
harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan
menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-
dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte
(Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian
bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan
transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu
melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-
obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya,
maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya
(bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden,
namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara
transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa
manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir
dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential
humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa
manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan
(abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan
berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari
melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah
realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya
adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah
23

bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan
untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat
menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang
pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme
itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai
dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa,
melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia
nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre. Jeff Mason dalam
tulisannya di philosophers.net pernah mengatakan bahwa lebih indah
dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu
daripada eksistensi. Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung
nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah untuk
mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-
pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul,
tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan
imortalitas dan dunia di sana. Namun justru di sinilah kritik Sartre
masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-
deception atau istilah Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari
tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam artian
sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan
situasi manusia yang Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi
yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan dunia
24

Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam
pandangan Buddhist di mana life follows on life and salvation remains
always possible.
Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan
pilihan yang kita buat, kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau
demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap dapat
mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap
kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang
dari dunia.
Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam
mengartikan eksistensi (eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa
meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin
kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak
menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif. Sudah barang tentu,
Sartre agak nave saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara
total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick
Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu
sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik
internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor fisik dan
psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang
dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari (atau
bagi saya, lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap
25

kesadaran untuk menyadari sesuatu yang membentuk diri kita).
Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah
bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap
berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam
ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas itulah manusia
eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya
(komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih
baik dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup
(dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara
Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama
kemanusiaan demi pemurnian ras yang berujung pada puncak
tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa Holocaust.)
kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang
mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para
penguasa/rgime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan
melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse ilmiah dan
demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan
menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata kami tidak
bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan
keniscayaan sejarah.
Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya
Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan
otentisitas (authenticit) diri kita sebagai individu di tengah kepungan
26

fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan
teknologi-informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi
namun juga semakin cepat mendevaluasi martabat manusia di sisi
lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia
dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas
hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri: self-determination).
Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas situasi
manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.










27

BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah di kemukakan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa humanisme dan eksistensialisme
adalah aliran dalam filsafat yang sering disejajarkan.
Pada dasarnya, paham eksistensialisme yang mendahulukan
eksistensi dari pada esensi dan humanism yang mengkampanyekan
tidak mengkotak kotakkan merupakan komponen yang sejalan
pada prakteknya.
Dinyatakan sama seluruh human, tanpa memandang unsur
unsur SARA yang menyertainya adalah produk real dari paham
eksistensi. Dimana manusia, akhirnya menetukan akan menjadi apa
dia, karenanya, sebelum melalui pembuktian pembuktian penting
sekali bagi manusia untuk diperlakukan sama. Menghadirkan dirinya
untuk kemudian menciptakan esensinya.



28

DAFTAR PUSTAKA
Diakses tanggal 20 Oktober 2010 Pukul 14.00
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/filsafat/human.htm
http://profilaminkutbi.blogspot.com/2010/01/aplikasi-psikologi-humanistik-
dalam.html
http://id.answers.yahoo.com/
http://ateisindonesia.wikidot.com/humanisme-sekuler
http://noexs.blogspot.com/2009/11/epistimologi-humanistik_03.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme
http://humanisme-kebenaran.blogspot.com/2010/04/humanisme-dan-
eksistensialisme.html





29

Nama Kelompok Humanisme dan Eksistensialisme
1. Abd. Muhni Salam 09.04.302
2. Farinda C.H. 09.04.001
3. Fathia Nurul Haq` 09.04.009
4. Danti Febriami 09.04.270
5. Faldy Yunus Esa 09.04.040
6. Resty Nurdianty 09.04.081
7. Yuri Rizki 09.04.208

Anda mungkin juga menyukai