Di ruang angkasa radiasi dari tenaga surya tidak akan mengalami
masalah ketidakajekan serta akan lebih kuat sehingga relatif konstan. Negara Amerika, memanfaatkan cahaya matahari yang mengenai panel- panel surya yang membawa daya sebesar 125 samapai 375 watt per meter perseginya dan menghasilkan daya sebesar 1 Kwh setiap harinya. Tenaga surya berbasis luar angkasa ini dapat dilakukan dengan penempatan sel-sel fotovoltaik ke dalam orbit di atas satelit geostasioner dengan jarak 22.300 mil di atas bumi, sehingga radiasi matahari lebih kuat delapan kalinya daripada radiasi yang diterima di bumi. Para ilmuwan mengusulkan untuk menempatkan beberapa satelit di orbit yang tetap selebar satu kilometer. Satelit bumi akan menggunakan kumpulan cermin yang mengumpulkan cahaya matahari yang tetap dan mengarahkannya pada sel-sel fotovoltaik. Dimana sekumpulan sel fotovoltaik tunggal di ruang angkasa ini dapat mengumpulkan enam sampai delapan kali pengumpulan tenaga surya yang didapat di bumi. Satelit ini akan mengarahkan tenaga kembali ke penerima di bumi melaui frekuensi gelombang mikro. Terkait hal ini, tentunya ada pihak yang mendukung maupun menolak penggunaaan tenaga surya berbasis luar angkasa. Untuk para pendukung pengguanaan sistem ini berpendapat bahwa tenaga surya dari luar angkasa ini akan sangat efisien untuk menunjang kebutuhan energi yang diperlukan dibumi serta tidak akan menimbulkan ancaman bagi makhluk hidup di bumi. Namun, masih terdapat keraguan terkait pengunaan tenaga surya berbasis luar angkasa ini, khususnya pada persepsi masyarakat tentang cahaya yang berasal dari luar angakasa ini. Sistem ini juga memerlukan banyak banyak peluncur roket sebagai bagian dari instalasinya. Sehingga biaya operasionalnya,tentu sangat besar. (Digyo & Yar) Sumber : Al Gore. (2009). Our Choice. Kanisius :Yogyakarta