Anda di halaman 1dari 5

Kawasan andalan Danau Toba dicirikan dengan berbagai sumber daya alam dengan iklim

yang sejuk dan curah hujan yang cukup. Dengan kondisi yang seperti itu kawasan Danau Toba
sangat penting sebagai:
(1) Pusat produksi pertanian terutama sayur-sayuran dan buah-buahan.
(2) Daerah tujuan wisata dengan keindahannya.
(3) Sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Danau Toba sebagai danau terbesar di Indonesia merupakan aset yang penting bagi dunia.
DTA Danau Toba berada di Kabupaten Karo, Dairi, Simalungun, Tapanuli Utara, dan Tobasa
(Toba Samosir). Total areal DTA Danau Toba seluas 370.426 ha yang terdiri dari 260.166 ha
daratan (di Sumatera dan pulau Samosir) dan 110.260 ha permukaan air danau. Volume air
Danau Toba per tahunnya berkisar antara 1,1 1,65 milyar m
3
, sementara kebutuhan untuk
mengoperasikan listrik tenaga air adalah 2,86 milyar m
3
per tahun. Ketinggian air Danau Toba
perlu dipertahankan berada di antara 902,4 m dan 905,5 m di atas permukaan laut, agar dapat
membangkitkan tenaga listrik secara optimal. Total air yang masuk ke Danau Toba pada tahun
musim hujan normal, tahun kering dan tahun basah berturut turut 3,87 milyar m3, 0,91 milyar m
3

dan 8,70 milyar m
3
.
Terdapat 18 sungai atau sub/sub-DAS di daratan Sumatera dan 8 sub/sub-DAS di pulau
Samosir yang mengalir ke Danau Toba. Sejak tahun 1973 aliran air ke Danau Toba menurun,
kemungkinan disebabkan oleh perubahan iklim. Hutan-hutan di DTA yang berfungsi sebagai
hidrologi telah berubah dengan cepat, disebabkan oleh penebangan liar, perambahan dan
kebakaran hutan, serta pengambilan tanah lapisan atas (top soil) dan gambut untuk tujuan
tertentu. Umumnya tanah di DTA Danau Toba masih muda, struktur lemah yang didominasi oleh
tekstur kasar dan erodibilitas tinggi. Kegiatan manusia yang intensif di tanah hutan maupun di
lahan pertanian, curah hujan tinggi, erodibilitas tanah tinggi, terjal, dan lerengnya panjang,
penutupan lahan kurang mengakibatkan degradasi lahan di daerah ini berlangsung cepat. Lahan
yang mempunyai nilai tingkat bahaya erosi (TBE) dengan katagori bahaya sampai sangat bahaya
seluas 129.424 ha dengan rata-rata potensi kehilangan tanah mencapai 330 ton/ha/tahun (Siregar,
1998). Dengan erosi yang demikian besar kerusakan tanah cepat berlangsung sehingga perlu
segera ditanggulangi antara lain dengan mengendalikan erosi permukaan, erosi parit dan tanah
longsor. Perairan Danau Toba dimanfaatkan untuk usaha perikanan air tawar, industri, irigasi,
pariwisata, air bersih, sumber energi dan juga transportasi.
Terdapat beberapa permasalahan di dalam ekosistem Danau Toba. Ekosistem Kawasan
Danau Toba mengalami tekanan, baik yang disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak
mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan daya dukungan ekosistem maupun oleh proses dan
gejala alam sendiri. Jika dilihat dari segi Biofisik, Daerah Tangkapan Air Danau Toba
merupakan dataran tinggi Toba sebagai hasil dari letusan gunung selama zaman Pleocene sampai
awal zaman Pleisticne, sehingga tanahnya merupakan bahan vulkanik yang mudah tererosi.
Formasi geologi dari DTA Danau Toba terdiri dari formasi pre-tersier, formasi tersier, formasi
kwarter, formasi aluvial kwarter dan breksi liparit serta trachit kwarsa. Daerah yang miring di
tepi danau, sebagian besar arealnya sudah ditumbuhi alang-alang dan sanggar serta tanaman
tusam yang tumbuh secara terpencar-pencar. Sebagian besar areal merupakan hutan lindung yang
sudah kosong. Areal ini biasanya terbakar setiap musim kemarau dan masyarakat kurang
antusias memadamkan api tersebut karena kurang merasa ikut memiliki kegiatan yang ada di
lahan tersebut dan masyarakat juga tidak merasa jelas untungnya kalau daerah tersebut tidak
terbakar. Selanjutnya bentuk lapangan merupakan cekungan dan danau merupakan titik terendah.
Karena bentuknya yang merupakan cekungan ke arah danau maka sebagian aliran air termasuk
limbah rumah tangga masuk ke danau. Jika dilihat dari segi ekonomi, Daerah DTA Danau Toba
yang dekat dengan danau sebagian besar tanahnya berbatu-batu dan dulunya merupakan
penghasil bawang merah yang berkualitas baik, tetapi sejak dua tahun belakangan ini tanaman
bawang merah tidak dapat diusahakan lagi karena adanya serangan penyakit yang belum dapat
ditanggulangi sampai saat ini. Sebagai pengganti tanaman bawang merah yang tidak dapat
diusahakan lagi karena adanya serangan penyakit yang belum dapat ditanggulangi, masyarakat
mulai mengusahakan tanaman buah-buahan seperti mangga, adpokat dan kemiri, namun yang
menjadi masalah adalah adanya angin kencang pada bulan Mei dan Juni akan menggugurkan
bunga tanaman yang berbunga pada saat itu, sehingga tidak akan terjadi buah sama sekali.
Bidang pariwisata merupakan sektor yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk
setempat. Berbagai obyek pariwisata yang menarik sangat layak dan potensial untuk
dikembangkan di wilayah DTA Danau Toba. Tetapi sektor ini juga banyak menghadapi
permasalahan antara lain:
a. Sarana dan prasarana menuju ke obyek wisata kurang memadai.
b. Kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan kawasan wisata kurang.
c. Kurangnya promosi secara berkelanjutan.
d. Tidak adanya acara yang terjadwal dan atraksi yang menarik.
e. Kurangnya dana untuk mengembangkan sektor kepariwisataan.
Pengembalaan liar di daerah berlereng curam dan/atau daya dukung lahannya rendah
menyebabkan gerakan tanah (slumping) di lereng-lereng curam dan erosi alur (rill erosion)
sangat berat di pulau Samosir. Hal ini terjadi dan diperparah dengan adanya pembakaran rumput
dan hutan yang rutin terjadi setiap tahun, yang berakibat mengurangnya kerapatan penutupan
lahan. Pengaturan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung, penegak hukum, dan
penyuluh menjadi penting. Selain itu pembuangan limbah semena-mena misalnya ke perairan,
tidak saja mengotori perairan, tetapi juga akan mempengaruhi kehidupan ikan, dan ketersediaan
air bersih untuk mandi dan minum, meskipun jumlah air tersedia berlimpah. Pencegahan
pencemaran telah dimulai dengan pembangunan instalasi pengolah limbah serta zonasi keramba
terapung, tetapi belum beroperasi secara baik. Akhirnya turis pun tidak berminat untuk
berkunjung. Pencemaran yang terjadi di Danau Toba berasal dari pemukiman, kawasan
pariwisata, kegiatan pertanian, residu dari alat transportasi dan sedimentasi. Di beberapa tempat,
kualitas air Danau Toba menurun karena tingginya konsentrasi BOD, COD dan E. Coli, seperti
di Parapat, Tomok, Pangururan, dan Balige (Siregar 1997). Umumnya limbah cair dari
pemukiman, kawasan pariwisata dan lainnya mengalir masuk ke Danau Toba tanpa ada
pengolahan limbah.
Berbagai masalah dan persoalan yang berkaitan dengan Danau Toba muncul, seperti
berkurangnya penutupan hutan sehingga terganggu fungsi hidrologis, nilai TBE tinggi dan
menurunnya kualitas air Danau Toba akibat limbah dan material yang terbawa arus masuk ke
dalam Danau Toba. Menurunnya kualitas lingkungan tersebut akan mengancam kelestarian DTA
Danau Toba.
Adapun upaya pemecahan masalah dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas untuk
melestarikan ekosistem DTA Danau Toba dan masyarakatnya yaitu dengan usaha pengelolaan
dan teknologi dapat berasal dari hasil modifikasi teknologi yang digunakan masyarakat setempat
atau teknologi yang diperkenalkan/diintroduksi dari tempat lain. Usaha ini dapat berhasil apabila
semua pihak dapat melaksanakan penegakan hukum/aturan yang telah dibuat dan sangsi-
sangsinya dengan penuh kesadaran. Sebagai penggantinya masyarakat mulai mengusahakan
tanaman buah-buahan seperti mangga, adpokat dan kemiri, namun yang menjadi masalah adalah
adanya angin kencang pada bulan Mei dan Juni akan menggugurkan bunga tanaman yang
berbunga pada saat itu, sehingga tidak akan terjadi buah sama sekali. Atas pertimbangan itu
maka masyarakat mengharapkan agar para peneliti mencarikan cara merubah musim berbunga
tanaman buah-buahan ke bulan-bulan yang tidak ada angin kencangnya. Pencegahan pencemaran
telah dimulai dengan pembangunan instalasi pengolah limbah serta zonasi keramba terapung,
tetapi belum beroperasi secara baik. Akhirnya turis pun tidak berminat untuk berkunjung.
Pendekatan Participative Rural Appraisal (PRA)
Pembangunan wilayah terpadu dan pengelolaan konservasi lingkungan di DTA Danau
Toba merupakan perencanaan yang holistik dan sinergi, yang dibangun melalui pendekatan
partisipatif. Semua stakeholder harus mempunyai peran dalam menyusun rencana konservasi
lingkungan, dari keunggulan dan penemuan PRA tersebut di atas, maka penerapan PRA dalam
menyusun Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Konservasi Lingkungan Terpadu di
Kawasan Danau Toba, diharapkan dapat mendatangkan hasil yang memuaskan. Pelaksanaan
kegiatan dilakukan secara transparan dan setiap yang terlibat diharapkan mempunyai komitmen
yang tinggi terhadap rencana, keputusan, dan pelaksanaannya. Peran dari LSM dalam
mengkoordinasikan kegiatan masyarakat dalam partisipatif proses sangat penting. PRA akan
dilaksanakan di beberapa lokasi yang dianggap dapat dikembangkan sebagai pilot proyek pada
waktu yang akan datang. Data lapangan lokasi yang terpilih sudah dikumpulkan tim peneliti
JICA, sehingga akan mempermudah pelaksanaan PRA. Untuk melaksanakan PRA di setiap
lokasi, diperlukan 10 hari, yang dibagi menjadi 3(tiga) hari persiapan dan 7 (tujuh) hari
pelaksanaan dengan masyarakat.
Proses perencanaan didasarkan kepada pendekatan partisipatif dengan urutan kegiatan:
(1) Identifikasi sumber daya alam dan manusia;
(2) Situasi pada saat ini;
(3) Problem dan kendala;
(4) Analisis SWOT;
(5) Penetapan isu utama;
(6) Pemecahan masalah;
(7) Alternatif rencana pengembangan;
(8) Kebutuhan masyarakat;
(9) Merumuskan rencana; dan
(10) Rencana masyarakat desa yang difinitif.
Fasilitator sangat berperan dan faktor penentu keberhasilan penyusunan rencana tersebut.
Kondisi lingkungan DTA Danau Toba berupa penutupan lahan hutan, kualitas air danau
menurun, erosi dari areal pertanian besar, dan sarana prasarana kurang terurus. Pelaksanaan
kegiatan proyek masih banyak yang mengalami kegagalan karena pelaksanaannya sebagian besar
masih pendekatan dari atas (top-down approach), kurang melibatkan masyarakat dalam
perencanaannya sehingga masyarakat kurang berpartisipasi dalam menjaga, memelihara, dan
mendukung pelaksanaan.
Lake Toba Ecosystem Management Plan
Lake Toba Ecosystem Management Plan merupakan pedoman dan proposal LTEMP,
pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) yang dikembangkan dan disepakati
bersama (joint planning) oleh para stakeholdersnya. Adapun upaya perbaikan Ekosistem Danau
Toba antara lain keseimbangan neraca air danau toba melalui peningkatan fungsi ekologis DTA,
penanganan pencemaran perairan Danau Toba, penanganan pertumbuhan dan perkembangan
enceng gondok, konservasi habitat dan keanekaragaman hayati EKDT, pengintegrasian DAS
Sungai Asahan ke dalam LTEMP, evaluasi ekosistem, kelembagaan dan organisasi, perlu
penyusunan database pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba, sistem informasi LTEMP,
pengamanan melekat oleh masing-masing stakeholders yang mempunyai limbah, sinkronisasi
program pembangunan Daerah masing-masing Pemangku Amanah, dan menjembatani
kesenjangan pengambilan keputusan terhadap masalah ekosistem.

(Simanihuruk, 2005)

Simanihuruk, Muba. 2005. Pendekatan Partisipatif dalam Perencanaan Konservasi Lingkungan
di DTA Danau Toba. Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai