0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
181 tayangan2 halaman
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) berdiri pada tahun 1975 sebagai reaksi terhadap modernisme dan perdebatan identitas seni rupa Indonesia. GSRB didirikan oleh kelompok seniman muda yang memperkenalkan gaya pasca-modernisme dengan menggabungkan berbagai unsur budaya populer dan media baru dalam karyanya. GSRB menyatakan kebebasan berekspresi dan menolak pembedaan antara seni tinggi dan rendah.
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) berdiri pada tahun 1975 sebagai reaksi terhadap modernisme dan perdebatan identitas seni rupa Indonesia. GSRB didirikan oleh kelompok seniman muda yang memperkenalkan gaya pasca-modernisme dengan menggabungkan berbagai unsur budaya populer dan media baru dalam karyanya. GSRB menyatakan kebebasan berekspresi dan menolak pembedaan antara seni tinggi dan rendah.
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) berdiri pada tahun 1975 sebagai reaksi terhadap modernisme dan perdebatan identitas seni rupa Indonesia. GSRB didirikan oleh kelompok seniman muda yang memperkenalkan gaya pasca-modernisme dengan menggabungkan berbagai unsur budaya populer dan media baru dalam karyanya. GSRB menyatakan kebebasan berekspresi dan menolak pembedaan antara seni tinggi dan rendah.
Peralihan jaman dari Modernisme ke Post- Modernisme ditandai dengan pertentangan akan kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal itu berasan dari peneliti-peneliti di negara- negara Barat, yang dimana kebenaran itu menjadi kebenaran universal ( semua penjuru dunia mengakui dan menjadikan kebenaran itu sebagai suatu pedoman yang benar). Post- Modernisme berarti setiap individu mempunyai kebenarannya masing-masing. Dalam pengertian ini, setiap individu mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan apa yang individu itu pikirkan. Dalam kaitannya dengan dunia seni, seni rupa modern berpedoman hanya pada tiga hal, yakni seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Pahan Modernisme juga menolak ornamen- ornamen dan selalu menciptakan yang baru. Seniman-seniman yang menganut paham Modernism disebut seniman- seniman otonom. Pada masa Modernisme pula terjadi pemisahan antara desain dan seni murni. Seni murni cenderung dipandang sebagai seni yang mempunyai nilai dan apresiasi yang tinggi (High Art), namun desain cenderung dipandang rendah dan tidak bernilai (Low Art). Pada masa Post- Modernisme, tidak ada batasan antara desain dan seni murni. Pengaruh Modernisme di Indonesia sendiri, para seniman ingin menunjukan identitas dengan budaya dan tradisi. Namun, terjadi perdebatan antara Sudjojona dan Oesman Effendi yang memperdebatkan seni lukis Indonesia itu meniru barat. Kemudian saat itu terjadi peristiwa G30 SPKI, yang dimana saat itu banyak seniman yang dibunuh dan ditangkap. Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) diawali dengan terbentuknya Kelompok Lima Pelukis Muda Yogyakarta ( KLPMY) (1972-1973), yang beranggotakan Siti Adiyati, Nanik Mirna, Boyong Munni Ardhi, Fx Harsono, dan Ris Purnomo. Kelima orang ini tidak menyukai pengajaran di kampus yang cenderung mengajarkan aliran barat. KLPMY pertama kali melakukan pameran di Solo yang didukung oleh Fajar Sigit. Pameran ini mengangkat tema sosial dan politik. KLPMY kemudian diikutsertakan dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Saat itu para juri mengkritik seniman-seniman muda ini karena dianggap tidak serius dalam membuat hasil karya. Kemudian para seniman muda itu berdemostrasi dengan mengirimkan karangan bunga berwarna hitam dengan tulisan Turut Berdukacita atas Wafatnya Seni Lukis Indonesia. Setelah peristiwa itu, FX Harsono dan salah satu rekannya dikeluarkan dari ASRI. FX Harsono dan rekannya kemudian dipertemukan dengan Jim Supangkat dan kawan- kawan mempunyai visi yang sama di Bandung dan membentuk Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Mereka adalah Ris Purnomo, S. Prinka, Anyool Soebroto, Satyagraha, Nyoman Nuarta, Pandu Sudewo, Dede Eri Supriya, Jim Supangkat, Siti Adiyati Subangun, F.X Harsono, Nanik Mirna, Hardi, Wagiono. S, Agus Tjahjono, B. Munni Ardhi dan Bachtiar Zainoel. Pameran pertana GSRB bertema Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 2 hingga 7 agustus 1975, tepat delapan bulan setelah peristiwa Desember hitam. Seniman- seniman ini menggunakan konsep anti-lirisisme atau paham dimana seniman tidak mengespresikan apa yang dipikirkannya lewat tangan yang kemudian dilukiskan pada kanvas. Para seniman ini langsung mentransformasikan perasaan ke dunia nyata atau bendanya langsung. GSRB bisa dikatakan sebagai penanda dari kelahiran seni kontemporer dan post- modernisme di Indonesia. Pernyataan ini ditunjukan dengan manifesto dan karya yang ditampilkan oleh GSRB pada pameran Pasaraya Dunia Fantasi berupa pengaplikasiaan faham faham seni Post-Modernisme (hal ini juga masih menjadi perdebatan di sejumlah kalangan akademisi di Indonesia). Post-Modernisme disini diartikan sebagai seperangkat proyek kultural yang disatukan dalam komitmen kepada heterogenitas, fragmentasi dan perbedaan serta reaksi terhadap modernism. Apabila dilihat dari karya yang di tampilkan maupun isi dari manifesto GSRB, dapat ditarik dua kesimpulan yang berbeda. Pertama adalah keinginan menampilkan sesuatu yang baru melalui karya karyanya pada pameran Pasaraya Dunia Fantasi dengan menggunakan idiom kebudayaan massa yang diberi tekanan. Kedua adalah memasukan berbagai unsur yang sebelumnya dianggap bukan seni kedalam karya seni ( menolak High-Art dengan Low-Art). Gerakan Seni Rupa Baru kemudian mengeluarkan Lima Jurus Gebrakan Seni Rupa Baru yang pada intinya menghendaki kebebasan berkarya dan mengesahkan penggunakan media- media yang dulunya dianggap tidak lazim untuk digunakan.