Anda di halaman 1dari 2

Gerakan Seni Rupa Baru

Kuliah Umum bersama FX Harsono


Peralihan jaman dari Modernisme ke Post- Modernisme ditandai dengan pertentangan
akan kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal itu berasan dari peneliti-peneliti di negara- negara
Barat, yang dimana kebenaran itu menjadi kebenaran universal ( semua penjuru dunia mengakui
dan menjadikan kebenaran itu sebagai suatu pedoman yang benar). Post- Modernisme berarti
setiap individu mempunyai kebenarannya masing-masing. Dalam pengertian ini, setiap individu
mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan apa yang individu itu pikirkan.
Dalam kaitannya dengan dunia seni, seni rupa modern berpedoman hanya pada tiga hal,
yakni seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Pahan Modernisme juga menolak ornamen-
ornamen dan selalu menciptakan yang baru. Seniman-seniman yang menganut paham
Modernism disebut seniman- seniman otonom. Pada masa Modernisme pula terjadi pemisahan
antara desain dan seni murni. Seni murni cenderung dipandang sebagai seni yang mempunyai
nilai dan apresiasi yang tinggi (High Art), namun desain cenderung dipandang rendah dan tidak
bernilai (Low Art). Pada masa Post- Modernisme, tidak ada batasan antara desain dan seni
murni. Pengaruh Modernisme di Indonesia sendiri, para seniman ingin menunjukan identitas
dengan budaya dan tradisi. Namun, terjadi perdebatan antara Sudjojona dan Oesman Effendi
yang memperdebatkan seni lukis Indonesia itu meniru barat. Kemudian saat itu terjadi peristiwa
G30 SPKI, yang dimana saat itu banyak seniman yang dibunuh dan ditangkap.
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) diawali dengan terbentuknya Kelompok Lima Pelukis
Muda Yogyakarta ( KLPMY) (1972-1973), yang beranggotakan Siti Adiyati, Nanik Mirna,
Boyong Munni Ardhi, Fx Harsono, dan Ris Purnomo. Kelima orang ini tidak menyukai
pengajaran di kampus yang cenderung mengajarkan aliran barat. KLPMY pertama kali
melakukan pameran di Solo yang didukung oleh Fajar Sigit. Pameran ini mengangkat tema sosial
dan politik. KLPMY kemudian diikutsertakan dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Saat
itu para juri mengkritik seniman-seniman muda ini karena dianggap tidak serius dalam membuat
hasil karya. Kemudian para seniman muda itu berdemostrasi dengan mengirimkan karangan
bunga berwarna hitam dengan tulisan Turut Berdukacita atas Wafatnya Seni Lukis Indonesia.
Setelah peristiwa itu, FX Harsono dan salah satu rekannya dikeluarkan dari ASRI.
FX Harsono dan rekannya kemudian dipertemukan dengan Jim Supangkat dan kawan-
kawan mempunyai visi yang sama di Bandung dan membentuk Gerakan Seni Rupa Baru
(GSRB). Mereka adalah Ris Purnomo, S. Prinka, Anyool Soebroto, Satyagraha, Nyoman Nuarta,
Pandu Sudewo, Dede Eri Supriya, Jim Supangkat, Siti Adiyati Subangun, F.X Harsono, Nanik
Mirna, Hardi, Wagiono. S, Agus Tjahjono, B. Munni Ardhi dan Bachtiar Zainoel. Pameran
pertana GSRB bertema Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 2
hingga 7 agustus 1975, tepat delapan bulan setelah peristiwa Desember hitam. Seniman- seniman
ini menggunakan konsep anti-lirisisme atau paham dimana seniman tidak mengespresikan apa
yang dipikirkannya lewat tangan yang kemudian dilukiskan pada kanvas. Para seniman ini
langsung mentransformasikan perasaan ke dunia nyata atau bendanya langsung.
GSRB bisa dikatakan sebagai penanda dari kelahiran seni kontemporer dan post-
modernisme di Indonesia. Pernyataan ini ditunjukan dengan manifesto dan karya yang
ditampilkan oleh GSRB pada pameran Pasaraya Dunia Fantasi berupa pengaplikasiaan faham
faham seni Post-Modernisme (hal ini juga masih menjadi perdebatan di sejumlah kalangan
akademisi di Indonesia). Post-Modernisme disini diartikan sebagai seperangkat proyek kultural
yang disatukan dalam komitmen kepada heterogenitas, fragmentasi dan perbedaan serta reaksi
terhadap modernism.
Apabila dilihat dari karya yang di tampilkan maupun isi dari manifesto GSRB, dapat
ditarik dua kesimpulan yang berbeda. Pertama adalah keinginan menampilkan sesuatu yang baru
melalui karya karyanya pada pameran Pasaraya Dunia Fantasi dengan menggunakan idiom
kebudayaan massa yang diberi tekanan. Kedua adalah memasukan berbagai unsur yang
sebelumnya dianggap bukan seni kedalam karya seni ( menolak High-Art dengan Low-Art).
Gerakan Seni Rupa Baru kemudian mengeluarkan Lima Jurus Gebrakan Seni Rupa Baru
yang pada intinya menghendaki kebebasan berkarya dan mengesahkan penggunakan media-
media yang dulunya dianggap tidak lazim untuk digunakan.

Anda mungkin juga menyukai