Rohis As-Shiddiq sebagai sebuah organisasi Rohani Islam yang medidik ilmu syar’i bagi
umat terutama bagi siswa/siswi dikalangan pelajar SMA Negeri 4 Tambun Selatan yang
sudah berjalan kurang lebih 2 Tahun lamanya semenjak masa perintisannya.
Seiring dengan kebutuhan suatu wadah dakwah untuk pembinaan yang berkesinambungan
dan mengimbangi roda zaman yang semakin berputar, dengan berputarnya sang surya.
Bersama itu pula harokah Isalamiyyah juga terus berkembang, seiring perkembangan nilai
dan pemikiran manusia modern, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih,
bersamaan dengan itu pula Rohis As-Shiddiq muncul sebagai organisasi Rohani Islam di
SMA Negeri 4 Tambun Selatan pada tanggal 06 Mei 2007. Sebagai angkatan pertama selalu
berusaha untuk meningkatkan kemampuan siswa/siswi dalam menguasai dasar-dasar kaidah
Islam. Kemudian mulailah perjalanan Rohis As-Shiddiq sebagai organisasi pendidik akidah
Islam.
Diharapkan dengan berdirinya Rohis ini regernerasi dakwah di sekolah terutama di SMA
Negeri 4 Tambun Selatan akan terorganisir dan menetralisir budaya-budaya dari luar Islam
yang masuk kelingkungan sekolah dan harus dilakukan setiap tahun sehingga satiap siswa
akan dihasilkan pemahaman Islam yang universal.
Bismillahirrahmanirrahiim
I. PENDAHULUAN
DIVISI II
· Meningkatkan SDM
DIVISI III
DIVISI IV
Pemberdayaan Keputrian
· Memberikan laporan kegiatan kewanitaan kepada ketua umum
1. KS : Kepala Sekolah
2. PB : Pembina
3. KU : Ketua Umum
4. WK 1 : Wakil Ketua 1
5. WK 2 : Wakil Ketua 2
6. SKR : Sekretaris
7. BD : Bendahara
2. Wakil Ketua I
3. Wakil Ketua II
4. Sekretaris
5. Bendahara
VII. PENUTUP
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-
Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. 8:4)
Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang
muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah swt. Setiap
mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan, pasti akan menempuh jalan
kebahagiaan abadi di sisi Allah. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-
Nya.
Dan setiap muslim yang di dalam relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu
hanyalah kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang
paling mulia di sisi Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa ummat yang dapat
memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka
Allah pasti memberikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di
akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).
Saudaraku, adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak
kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw dan yang beliau
nyatakan menjadi jalan pengikutnya?!
…قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah
kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” (QS. 12:108).
ومن أحسن قول ممن دعا إلى الله وعمل صالحا وقال إنني من المسلمين
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal shaleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri.” (QS. 41:30).
Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-
hamba yang beriman sejak dulu hingga hari Kiamat selain mati dalam Jihad fii sabiililllah?!
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan. (QS: 9:20).
Saudaraku, tidak ada yang telah membuat usia para shahabat dan para ulama sekaliber Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah seolah terus
memanjang hingga akhir zaman kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu
yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid ra atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin
Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain Jihad Fii Sabilillah.
Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut
seruan Allah dan Rasul-Nya.
Namun saudaraku, kesigapan itu bukanlah hal yang muncul begitu saja, ia adalah buah dari
keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah dari keimanan kokoh
kepada hari akhir di mana kehidupan dan kebahagiaan hakiki berada. Kesigapan itu lahir dari
hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah (penjagaan Allah).
Oleh sebab itu, Allah swt berfirman, “…dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan
dikumpulkan (di mahsyar). Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri: seberapa kuatkah
hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati, sehingga kita berhak
mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut sehingga ruhul istijabah (jiwa responsif) terhadap
seruan Allah menjadi karakter inheren diri kita? Seberapa kuat hakikat ini menshibghah
(mewarnai) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi
sabililillah menjadi kecil di mata kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr ra (paman Anas bin Malik ra)
membuktikan respon spontan kepada Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala pasukan mukmin terdesak
oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapannya:
Kemudian beliau maju menjemput syahid sehingga jenazahnya tidak dapat dikenali kecuali
oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq ‘alaih – Riyadhus shalihin, Kitab
Al-Jihad, hadits no 1317).
Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah yang dijuluki ‘Ghasiil Al-malaikah’ (yang
dimandikan oleh malaikat) segera merespon panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam
pengantin dan tidak sempat mandi hadats besar.
Perhatikan pula respon ‘Umair bin Al-Humam ra tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah
saw:
Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala)
semata-mata karena ingin menjadi penghuni surga, lalu segera membuang beberapa biji
kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata:
لن أنا حييت حتى آكل تمراتي هذه إنها لحياة طويلة
Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti surga). Lalu
beliau maju hingga gugur di perang Badar. (HR. Muslim – Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad,
hadits no 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya
terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya,
Allah yang ia harapkan dalam menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan
mengecewakan dirinya.
Saudaraku, ruhul istijabah juga muncul karena pemahaman kita tentang qadhaya ummah
(problematika umat) dan ruhul mas’uliyah (tanggung jawab) kita untuk mencari solusinya.
Orang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan
responnya untuk menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan
Al-Banna bahkan menghendaki agar setiap akh memiliki kepekaan perasaan (daqiiq asy-
syu’uur), bukan sekadar pengetahuan teoritis, tetapi harus menjadi perasaan yang
membuatnya tersentuh bahagia dengan kebaikan, dan terluka karena keburukan dan
kebatilan. Dan bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq dan menghancurkan
kebatilan?
Sifat ‘daqiiq asy-syu’uur’ dan ruuhul mas’uuliyyah berarti mengharuskan kita untuk selalu
berinteraksi dengan qhadhaya ummah dan terus memahaminya tanpa menunggu orang lain
memahamkannya untuk kita. Sifat ini juga seharusnya membuat respon kita menjadi spontan
dan penuh energi, sehingga melahirkan kekuatan dahsyat betapapun lemahnya kondisi fisik.
Lihatlah, bagaimana Al-Qur’an menceritakan kemampuan Maryam as, ibunda Isa as,
menggoyang batang pohon kurma sehingga buahnya berjatuhan ketika beliau dalam keadaan
lemah tak berdaya semata-mata karena memenuhi perintah Allah dan rasa tanggung
jawabnya akan kelahiran dan keselamatan putranya yang akan mengemban risalah dakwah?
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan
buah kurma yang masak kepadamu. (QS: 19:25)
Saudaraku, beban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun bentuknya, jangan sampai
membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Kita
patut meneladani mujahidin Palestina yang tidak pernah mengendur semangat dan aktivitas
jihadnya meskipun perjalanan panjang telah mereka lewati dan terus menanti mereka, dan
meskipun kesulitan hidup bahkan tekanan bertubi-tubi terus menghantam. Dan yakinlah
bahwa kebersamaan kita bersama Rasulullah saw, shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga –
insya Allah – ditentukan oleh sejauh mana kita meneladani mereka dalam kesigapan
memenuhi seruan dakwah dan jihad.
Ingatlah selalu kecaman Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang munafiq yang selalu
mencari-cari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari kebutuhan berdakwah dan
berjihad.
Tadabburi pula ayat lainnya di dalam surat At-Taubah (terutama ayat 41-47, ) yang
mengungkapkan kemalasan dan keengganan mereka agar kita senantiasa terhindar dari sifat-
sifat mereka.
Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diseru untuk menafkahkan (hartamu) [ada jalan
Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah
kikir terhadap dirinya sendiri, dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-
orang yang membutuhkan(Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti
(kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu. (QS. 47:38). Wallahu
a’lam