Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

MATA KULIAH : HUKUM KESEHATAN INTERNASIONAL


KASUS : RESUME COMPULSORY BOOK BAB I. GENERALISASI
DOSEN : JAKA TRIANA







KELOMPOK II

1. IMRON FAUZI
13/357752/PHK/06005
.
2. TOTO SURIANTO S.
13/356277/PHK/07908
.
3. SRI SURYANA
13/356368/PHK/07944
.
4. MUJIYANTO
13/356322/PHK/07935
.









FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
2014

RESUME
GENERALISASI

A. Masalah Utama di Kesehatan dan Bantuan Kemanusiaan
Sejak tahun 1980, lebih dari dua juta orang meninggal akibat langsung dari bencana
alam dan ulah manusia. Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat dari bencana alam
dan ulah manusia antara lain :
1. Pertumbuhan pengungsi yang berkembang pesat; 500% pada tahun 1980 dari 20%
pertumbuhan populasi dunia. Yang sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-
anak.
2. Tahun 1992, sebanyak 300 orang kehilangan matapencaharian dan tempat tinggal dan
4.000.000 anak cacat permanen.
3. Lahan pertanian terkena banjir yang mengakibatkan gagal panen.
Jenis-jenis bancana yang timbul :
1. Bencana alam, terdiri dari : banjir, angin topan, kelaparan dan kekeringan.
2. Ulah manusia, konflik bersenjata yang mengakibatkan kelaparan
Peristiwa bencana
1. Bencana Banjir
Dalam hal ini bencana banjir bukanlah penyebab kematian yang besar, tetapi dampaknya
dapat menimbulkan efek yang luas terhadap hilangnya mata pencaharian manusia.
2. Gempa Bumi
3. Kekeringan
Kekeringan menyebabkan kemiskinan yang tinggi.
Dampak bencana lama anatar satu tempat dengan tempat yang lain memiliki perbedaan.
Beberapa karakteristik dan faktor dapat diidentifikasikan untuk mereka yang beresiko tinggi.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pertolongan penanggulangan yang diutamakan
dalam kondisi kritis dan perawatan darurat. Bantuan bencana dan managemen
penanggulangan dapat dilakukan tergantung pada kerentanan sosial ekonomi Negara dan
resiko kerentanan pada kelompok penduduk tertentu.
Upaya unutk mengurangi dampak bencana dapat dilakukan oleh pejabat pembuat
kebijakan dengan melihat masalah kemanusiaan akibat bencana alam dan ulah manusia
tersebut sebagai refleksi yang benar- benar mewakili dari penderitaaan manusia yang
mengalami kekurangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.

B. Pembangunan, Konflik Bersenjata dan Bantuan Kemanusiaan
1. Hukum Humaniter Internasional dan Kesehatan
Pengaturan tentang bantuan korban perang di atur dalam:
a. Konferensi jenewa pada tahun 1949 dan protokol tambahan tahun 1977
b. Universal Declaration of Human right, dalam Pasal 3 yang mengatur tentang hak
untuk hidup, kebebasan dan perlindungan.
Dengan konferensi dan deklarasi tersebut telah meningkatkan kepekaan pentingnya
tentang pengaturan dalam situasi perang, karena dalam beberapa tahun ini timbul
korban dengan jumlah yang besar akibat konflik sipil bersenjata. Korban-korban
sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Akibat konflik bersenjata antara lain:
a. Banyaknya warga sipil yang mengalami cidera dan meninggal dunia
b. Perekonomian Negara yang terganggu
c. Timbulnya kemiskinan dan kelaparan dalam jangka panjang
Dalam konflik sipil bersenjata yang terjadi terdapat tindakan-tindakan yang langsung
berpengaruh pada warga dan tindakan tersebut semakin memperparah kesehatan ibu dan
anak, tindakan tersebut antara lain:
a. Pembakaran hasil panen
b. Kontaminasi sumur atau sumber air minum lainnya
c. Pegalihan bantuan pangan untuk militer
Terjadinya peperangan antar Negara tersebut dapat mempengaruhi kebijakan Negara
dalam kewajibannya memenuhi kebutuhan warga, karena Negara lebih memetingkan
kepentingan militernya dari pada memikirkan kebutuhan warga akibat bencana tersebut.
2. Makanan sebagai Instrumen Perang
Kebijakan peperangan yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan makanan
sebagai instrument perang, antara lain dengan membumi hanguskan sumber makanan,
melakukan penghambatan bantuanh pangan untuk kemanusiaan dan pengalihan makanan
yang lebih memetingkan untuk kebutuhan militer dari pada kebutuhan warga
3. Ranjau dan Cacat
Penggunaan ranjau banyak di gunakan dalam peperangan. Hal ini merupakan kekejaman
yang berakibat langsung pada warga karena dapat mengakibatkan cacat, dan dapat
membatasi kemampuan masyarakat untuk berimigrasi. Save the children fund Inggris
(1991) melaporkan bahwa terdapat lebih dari satu juta ranjau telah di tanam di wilayah
Somalia dan sekarang ini Angola, Mozambik, dan kamboja merupakan wilayah
terbanyak di dunia yang teah memasang tanjau. Tetapi Negara dalam merencanakan
bantuan dan rehabilitasi bencana kurang memperhatikan adanya cacat fisik akibat ranjau.
4. Perkosaan dan Kekerasan Seksual
Dalam terjadinya peperangan juga disertai adanya kekerasan seksual terhadap
perempuan (termasuk laki-laki dan anak-anak). Perempuan sering dipaksa untuk
memberikan seks guna di tukar untuk kebutuhan akan makanan dan tempat tinggal untuk
dirinya sendiri maupun keluarganya. Hal ini mengakibatkan timbulnya penyakit menular
seksual, kehamilan yang tidak di inginkan dan aborsi.

C. Implementasi IHR 2005 terhadap Penanganan Korban Bencana Alam dan Akibat
Ulah Manusia
Kajian Pasal-Pasal IHR terhadap kasus yang telah di kemukakan di atas antara lain:
1. Pasal 1 Definisi public health emergency of international concern (kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, disingkat: PHEIC) adalah kejadian/KLB
luar biasa dengan ciri ciri berikut:
(i) membahayakan kesehatan masyarakat negara lain melalui lalu lintas/perjalanan
internasional, dan
(ii) berpotensi memerlukan kerjasama/koordinasi
verification (verifikasi) adalah penyediaan informasi oleh negara anggota kepada WHO
untuk mengkonfirmasikan status suatu kejadian/KLB di satu atau beberapa wilayah
negara tersebut;
2. Pasal 2 Tujuan dan Ruang Lingkup IHR bertujuan mencegah, melindungi terhadap,
mengendalikan penyebaran penyakit secara internasional sesuai dengan dan terbatas pada
faktor risiko yang dapat mengganggu kesehatan., dengan sesedikit mungkin
menimbulkan hambatan pada lalulintas dan perdagangan internasional;
3. Pasal 6 pelaporan
Ayat 1 :
Setiap Negara Anggota harus menilai kejadian/KLB di wilayahnya dengan menggunakan
algoritme pada Lampiran- 2. Setiap Negara Anggota harus melapor ke WHO dalam
waktu 24 jam semua kejadian/KLB/KLB yang mungkin merupakan PHEIC, dengan alat
komunikasi paling efisien yang tersedia, melalui Focal-Point Nasional IHR. Selain itu,
tindakan yang telah diambil dalam menghadapi kemungkinan PHEIC tersebut harus pula
dilaporkan. Bila kejadian/KLB/KLB yang dilaporkan ke WHO merupakan
kompetensi/domain Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), WHO harus segera
melapor ke IAEA.
Ayat 2 :
Setelah melapor suatu kejadian/KLB Negara Anggota ybs harus terus memberitahu
WHO, mengenai definisi kasus, hasil laboratorium, sumber dan jenis risiko, jumlah kasus
dan kematian, kondisi yang menimbulkan penyebaran penyakit dan tindakan penyehatan
yang dilakukan. Bila perlu laporkan pula kesulitan yang dihadapi dan bantuan yang
diperlukan dalam menanggulangi kejadian/KLB yang berpotensi menimbulkan PHEIC.
4. Pasal 7 Informasi menyangkut Kejadian/KLB :Negara Anggota harus melapor ke WHO
bila mendeteksi kejadian/KLB luar biasa yang dapat menimbulkan PHEIC di wilayahnya,
terlepas dari mana sumbernya.Semua informasi yang berkaitan dengan kejadian/KLB ini
harus disampaikan ke WHO.Bila menghadapi kejadian/KLB seperti ini, semua ketentuan
dalam Pasal-6 harus dipegang teguh/diikuti.
5. Pasal 8 Konsultasi : Dalam hal kejadian/KLB di wilayah negara anggota tidak
memerlukan pelaporan sebagai dimaksud pada Pasal 6, khususnya menyangkut
kejadian/KLB di mana tidak cukup tersedia informasi untuk melengkapi algoritme pada
Lampiran 2, WHO tetap meminta untuk diberitahu melalui Focal-Point IHR Nasional
perihal jenis tindakan yang telah diambil sekaligus konsultasi jenis tindakan yang paling
tepat. Komunikasi tersebut akan diperlakukan sesuai dengan paragraf 2 s/d 4 Pasal 11.
Akhirnya Negara Anggota dapat meminta bantuan WHO untuk menilai setiap data
epidemilogi yang telah dikumpulkan oleh Negara tersebut.
6. Pasal 10 verivikasi ayat (4) : Bila suatu Negara Anggota tidak bersedia menerima
tawaran kerjasama, WHO, dengan mempertimbangkan besarnya risiko terhadap
kesehatan masyarakat, dapat memberikan informasi tentang kejadian/KLB tersebut
kepada Negara lain sambil membujuk negara anggota yang tidak mau bekerjasama
tersebut karena suatu alasan tertentu.
7. Pasal 12 Ketentuan tentang PHEIC ayat (1) : Direktur Jenderal harus menetapkan,
berdasarkan informasi yang diterima, dari suatu Negara Anggota, apakah kejadian/KLB
yang dilaporkan itu suatu PHEIC atau bukan dengan mengacu pada kriteria dan prosedur
dalam IHR.
8. Pasal 13 Tindakan di bidang kesehatan
ayat (3) :
Atas permintaan Negara Anggota, WHO harus memberikan bantuan penanggulangan
terhadap risiko yang dapat mengganggu kesehatan serta menilai efektivitas tindakan
pengendalian setempat. Bila perlu, akan dikerahkan pakar internasional guna membantu
negara ybs.
Ayat (4) :
Bila WHO, setelah berkonsultasi dengan Negara Anggota terkait sesuai dengan dengan
Pasal-12, menetapkan bahwa PHEIC sedang berlangsung, WHO dapat menawarkan
bantuan, di samping dukungan yang tercantum dalam paragraf-3 Pasal ini. Bantuan dapat
mencakup penilaian terhadap besarnya risiko yang mengancam masyarakat dunia dan
efektivitas penanggulangan. Selain itu WHO dapat pula mengerahkan pakar internasional
guna membantu analisa setempat. Bila diminta oleh Negara Anggota, WHO harus
menyertakan informasi yang berkaitan dengan bantuan tersebut.
9. Pasal 42 Pelaksanaan tindakan : Tindakan yang diambil sesuai dengan IHR harus
dimulai dan diselesaikan sesegera mungkin, dan dilakukan secara transparan tanpa
diskriminasi.
10. Pasal 43 Tindakan tambahan
ayat (1): IHR tidak boleh menghalangi Negara anggota untuk melaksanakan tindakan,
sesuai dengan undangundang dan kewajiban internasionalnya, sebagai respons terhadap
PHEIC, yang:
a) menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang sama atau lebih besar disbanding
rekomendasi WHO; atau
b) tidak dilarang dalam Pasal 25, Pasal 26, paragraph 1 dan 2 Pasal 28, Pasal 30, paragraf
1 (c) Pasal 31 dan Pasal 33, dan tindakan tersebut sesuai dengan IHR. Tindakan
tersebut tidak boleh membatasi lalu-lintas internasional dan tidak lebih invasif atau
mengganggu orang ketimbang alternatif lain yang menghasilkan tingkat perlindungan
kesehatan yang memadai.
Ayat (2)
Dalam memutuskan apakah akan melaksanakan tindakan sesuai dengan paragraf-1 Pasal
ini atau tindakan penyehatan tambahan pada paragraf-2 Pasal 23, paragraf-1 Pasal 27,
paragraf-2 Pasal-28 dan paragraf 2(c) Pasal-31, Negara Anggota harus mendasarkan
keputusannya atas:
1) kaidah ilmiah;
2) bukti ilmiah pengaruh suatu risiko terhadap kesehatan masyarakat, atau bila bukti
tersebut tidak mencukupi, berdasarkan informasi yang tersedia termasuk dari WHO
dan organisasi antar pemerintah dan lembaga internasional lainnya; dan
3) setiap petunjuk khusus atau anjuran dari WHO.
Ayat (3)
suatu negara yang melaksanakan tindakan tambahan sesuai dengan paragraf 1 Pasal ini,
yang secara bermakna menghambat lalu-lintas internasional, harus memberitahu WHO
alasan yang rasional dan dasar ilmiahnya. WHO harus menyebarkan informasi ini kepada
Negara anggota lainnya mengenai tindakan yang dilakukan oleh Negara tersebut. Yang
termasuk hambatan bermakna pada umumnya adalah penolakan masuk atau berangkat
penumpang internasional, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, dan sejenisnya,
atau penangguhannya selama lebih dari 24 jam.
Ayat (4)
Setelah menilai informasi yang diberikan sesuai dengan paragraf 3 dan 5 Pasal ini dan
informasi terkait lainnya, WHO dapat meminta Negara anggota untuk
mempertimbangkan kembali penerapan tindakan tersebut.
Ayat (5)
Suatu Negara Anggota yang melaksanakan tindakan tambahan sesuai dengan paragraf 1
dan 2 Pasal ini yang secara bermakna menghambat lalu-lintas internasional, harus
memberitahukan kepada WHO dalam waktu 48 jam setelah pelaksanaan tindakaan
tersebut dan alasannya, kecuali kalau hal ini telah dinyatakan dalam rekomendasi tetap
atau rekomendasi sementara.
Ayat (6)
Suatu Negara Anggota yang melaksanakan tindakan sesuai dengan dengan paragraf 1
atau 2 Pasal ini, dalam waktu tiga bulan harus meninjau tindakan tersebut dengan
mempertimbangkan anjuran WHO dan kriteria pada paragraf 2 Pasal ini.
Ayat (7)
Tanpa prasangka akan haknya dalam Pasal 56, setiap Negara anggota yang terkena
dampak dari tindakan yang diambil sesuai dengan paragraf 1 atau 2 Pasal ini, dapat
meminta Negara anggota yang melaksanakan tindakan tersebut untuk berkonsultasi
dengannya. Tujuan konsultasi adalah untuk mengklarifikasi dasar ilmiah dan alasan
kesehatan masyarakat yang melatarbelakangi tindakan tersebut serta untuk menemukan
jalan keluar yang bisa diterima bersama.
Ayat (8)
Ketentuan pada Pasal ini berlaku dalam pelaksanaan tindakan kepada para penumpang
yang bepergian dalam kelompok yang besar.
11. Pasal 44 Kerjasama dan Bantuan
ayat (1): Negara anggota sejauh mungkin harus bekerjasama dalam:
(a) penemuan, penilaian dan respons terhadap berbagai kejadian/KLB sebagaimana
diatur di dalam IHR;
(b) Penyediaan atau fasilitasi bagi kerjasama teknis dan dukungan logistik, khususnya
terhadap pengembangan, penguatan dan pemeliharaan kapasitas di bidang kesehatan
masyarakat yang dibutuhkan sesuai dengan IHR;
(c) Mobilisasi dana untuk kelancaran pelaksanaan kewajibannya sesuai dengan IHR ;
dan
(d) Penyusunan undang-undang yang diusulkan dan peraturan pelaksanaannya guna
penerapan IHR .
Ayat (2)
WHO atas permintaan Negara Anggota, harus bekerjasama sejauh mungkin dalam:
(a) evaluasi dan asesmen kapasitas di bidang kesehatan masyarakat untuk memfasilitasi
pelaksanaan IHR secara efektif;
(b) Penyediaan atau fasilitasi kerjasama teknis dan dukungan logsitik kepada Negara
Anggota; dan
(c) Mobilisasi dana untuk mendukung Negara berkembang dalam membangun,
memperkuat dan memelihara kapasitas sesuai dengan Lampiran- 1.
Ayat (3)
Kerjasama yang menyangkut Pasal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara seperti
secara bilateral, jejaring regional dan kantor regional WHO, serta melalui organisasi antar
pemerintah dan lembaga internasional.
12. Bab II Komite Kedaruratan Pasal 48 Kerangka Acuan dan komposisi
ayat (1)
Direktur Jenderal harus membentuk Komite Kedaruratan yang atas permintaan Direktur
Jenderal harus memberikan pandangannya mengenai:
(a) apakah suatu kejadian/KLB merupakan PHEIC atau bukan;
(b) pencabutan suatu PHEIC; dan
(c) usul penerbitan, modifikasi, perluasan atau pencabutan rekomendasi sementara.
Ayat (2)
Komite Kedaruratan harus terdiri dari ahli yang sudah diseleksi oleh Direktur Jenderal
dari Daftar Ahli IHR, dan bila perlu, dari panel ahli WHO lainnya. Direktur Jenderal
harus menetapkan jangka waktu keanggotaan Komite Kedaruratan untuk kelanjutan
pemberi pertimbangan dari setiap kejadian/KLB khusus dan konsekuensinya. Direktur
Jenderal harus memilih para anggota komite berdasarkan keahlian dan pengalaman yang
diperlukan untuk setiap masalah dan dengan mempertimbangkan keseimbangan
geografis. Sekurang-kurangnya satu anggota Komite Kedaruratan harus berasal dari
negara di mana kejadian/KLB tersebut muncul.
Ayat (3)
Direktur Jendral dapat, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan komite kearuratan,
menunjuk satu atau lebih pakar untuk membantu komite.

D. Telaah IHR 2005 Terhadap Kasus di Atas:
1. Pengaturan dalam IHR 2005 lebih mengatur tentang perlindungan kesehatan masyarakat
internasional dalam hal perjalanan, perdagangan dan pengiriman barang yang difokuskan
pada 3 poin entri yaitu darat, laut dan udara.
2. Sedangkan permasalahan yang bersifat abnormal yang terjadi di suatu negara seperti
bencana alam dan akibat perbuatan manusia (konflik bersenjata) seringkali berimbas
hanya pada negara internal tersebut.
3. Adanya bencana alam dan buatan manusia (perang) mengakibatkan korban dari warga
sipil (perempuan dan anak-anak) seperti kelaparan, kehilangan mata pencaharian, hingga
kematian yang berdampak lama.
4. Negara asal bencana seringkali lebih mengutamakan kepentingan militer daripada
kepentingan warga akibat bencana.
5. Hal tersebut perlu adanya perhatian khusus dari masyarakat dunia untuk melindungi hak-
hak warga sipil.
6. Perlindungan tersebut seharusnya tertuang secara jelas dalam IHR mulai dari tujuan
dibentuknya IHR (pasal 2).

Anda mungkin juga menyukai