Anda di halaman 1dari 89

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy

& Thomas Hoobler, 2010.




ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM
NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &
THOMAS HOOBLER


DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN THE DEMON IN THE
TEA HOUSE TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI
GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE


SKRIPSI


Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam
Bidang Ilmu Sastra Jepang.



OLEH :

AISYAH
NIM : 050708001



















UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
2009
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM
NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &
THOMAS HOOBLER


DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN THE DEMON IN THE
TEA HOUSE TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI
GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE



SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam
Bidang Ilmu Sastra Jepang.

OLEH :

AISYAH
NIM : 050708001


Pembimbing I Pembimbing II




Drs. Eman Kusdiyana, M,Hum

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D
NIP.19600919 198803 1 001 NIP. 19580704 198412 1 001






UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG
MEDAN
2009
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



Disetujui,
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan


Program Studi S-1 Sastra Jepang
Ketua Program Studi


Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D
NIP. 19580704 198412 1 001
Medan, November 2009


























Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT, atas
segala rahmat, karunia, kasih saying, dan ridho-Nya atas apa yang telah dan akan
terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa salawat beriring
salam kepada junjungan dan panutan penulis, Nabi Besar Muhammad SAW, yang
telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.
Penulisan skripsi yang berjudul ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP
KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA
DOROTHY & THOMAS HOOBLER. ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam
mencapai kesarjanaan di Fakultas Sastra Program Studi Strata-1 Sastra Jepang
Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak
menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari beerbagai pihak. untuk itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.,Ph.D, selaku Ketua Program
Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku dosen
Pembimbing II, yang telah menyisihkan waktunya untuk memeriksa dan
memberikan saran dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang
dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi
ini, dari awal hingga ujian akhir skripsi ini selesai.
4. Dosen Penguji Ujuan Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan
menguji skripsi ini. Tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar
Program Studi S-1 Sastra Jepang, Pak Nandi, Pak puji, Pak Yudi, Pak Amin,
Pak Ali, Pak Narita, Pak Erizal, Bu Adriana, Bu Rospita, Bu Hani, Bu Rani,
Bu Muhibah, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sebagai
bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan
perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat
bagi banyak orang.
5. Yang tak tergantikan di dunia dan akhirat, dan yang paling berpengaruh,
tentulah ibuku, Rusmawati dan ayahku, Suwandi, untuk semua kasih sayang,
kessabaran, doa untuk kebahagian dan keberhasilan anak-anaknya, keringat
dan air mata serta dukungan materil yang tak terhingga untuk pendidikan
anak-anaknya semoga Allah membalas semua kebaikan mereka. Dan,
Kakakku tersayang Rismayanti, serta Adikku Muhammad Arif, terima kasih
atas segala dukungannya.
6. Untuk teman-temanku, Liza, Dian Eka, Refina, Rahmadiah, Ellys, Gunawan
(friendship forever), dan buat Aa Dede terima kasih atas sokongan berupa
semangat yang telah diberikan kepadaku serta teman-teman angkatan 2005
Sastra Jepang S-1 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu (
........!!!!)
7. Dan, Kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.


Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Akhirnya kepada Allah SWT penulis kembalikan segala persoalan serta berserah
diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindunganNya dan penulis
menyadari bahwa tulisan ilmiah ini kemungkinan masih banyak terdapat
kekurangannya oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi
maasyarakat luas pada umunnya khususnya mahasiswa sastra Jepang.



Medan, 15 Oktober 2009
Penulis,

AISYAH






















Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ..iv
BAB I PENDAHULUAN ...1
Latar Belakang Masalah ..1
Perumusan Masalah 6
Ruang Lingkup Pembahasan ...7
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ..8
Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
Metode Penelitian.14

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN
NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY
& THOMAS HOOBLER

2.1. Defenisi Geisha ...15
2.2. Sejarah Geisha 16
2.3. Perkembangan Geisha di Jepang..18
2.4. Masyarakat dan Geisha ...24
2.5. Kehidupan Geisha ...27
2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga ......
2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik Pemerintahan ...
2.5.3 Kehidupan Geisha dalam Ekonomi...29
2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya 31
2.6. Defenisi Novel dan Setting The Demon in The Tea House.37
2.6.1 Defenisi Novel.
2.6.2. Setting dalam Novel The Demon in The Tea House karya
Dorothy dan Thomas Hoobler....38
2.7. Biografi Pengarang ...42
2.8. Sosiologi Sastra 47

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


BAB III ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON
IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER.
3.1 Sinopsis Cerita .49
3.2 Analisis Kehidupan Geisha dalan Novel The Demon in The Tea
House
3.2.1. Kehidupan Geisha dan keluarga.51
3.2.2. Berhubungan dengan Politik dan Pemerintahan ...55
3.2.3. Berhubungan dengan Ekonomi .58
3.2.4. Berhubungan dengan Sosial Budaya ..63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan .70
4.2 Saran 72

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

























Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan,
penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa dan gaya cerita yang menarik
(Zainuddin, 1992 : 99). Sedangkan menurut Rene Wellek dalam Badrun (1983 : 16),
Berpendapat bahwa sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat
imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan
sesuatu yang dibayangkan saja.
Sesungguhnya sastra yang merupakan sebuah karya seni adalah berupa hasil
ciptaan yang berasal dari imajinasi seorang penulis untuk dapat dipahami oleh para
pembaca sehingga dalam sastra diketahui bahwasannya ada cerita yang bersifat fiksi
dan non fiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi adalah merupakan karya nyata
berdasarkan atas sumber atau objektifitas baik yang terjadi oleh sipengarang langsung
atau tidak. Sedangkan untuk karya sastra yang bersifat non fiksi merupakan karya seni
yang berupa imajinasi sipengarang yang dituangkan kedalam karya tulis baik novel
maupun cerpen dengan tujuan agar dapat dipahami oleh pemabaca.
Sastra dalam studi nya terdiri atas, puisi, prosa, drama. Dalam hal ini prosa
yang merupakan jenis karya sastra yang erat sekali hubungannya dengan unsur seperti
cerpen ( cerita pendek), novel dan roman. Hal ini dikarenakan prosa memiliki banyak
keterkaitannya dengan unsur-unsur sosial dan paling banyak mengekspresikan
kehidupan sosial suatu masyarakat sehingga secara fungsinya dapat menjabarkan
masalah-masalah sosial yang terjadi baik dimasa sekarang maupun lampau.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Novel itu sendiri menurut Henry Guntur mengutip dalam (The American
College Dictionary, 1993:164) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang
tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata yang
resperentif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Hal ini
lah yang lebih menegaskan lagi bahwa novel berceritakan tentang kisah nyata suatu
keadaan yang terjadi dalam masyarakat
Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra sangat
menarik untuk dijadikan objek penelitian. Salah satu novel yang menarik untuk
dibahas adalah The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler
yang banyak menggambarkan suasana J epang abad ke-18 zaman Tokugawa. Dorothy
sendiri adalah sejarawan serta penulis lebih dari 60 buku, baik fiksi maupun non fiksi,
yang kebanyakan untuk pembaca muda.
Novel yang berjudul The Demon in The Tea House karya Dorothy dan
Thomas Hoobler mengandung unsur pengungkapan misteri, dengan mengambil latar
belakang cerita yang eksotis, dan plot yang cepat sehingga akan dapat menyenangkan
pembacanya.
Didalam novel ini dikisahkan mengenai seorang geisha yang menjadi sorotan
publik dikarenakan kecantikannya, geisha tersebut bernama Umae. Dimana
mengingat bahwa geisha ini merupakan salah satu kelas paling bawah yang tidak
mungkin menjadikannya setara dengan kehidupan kelas atas. Namun kenyataannya
berkata lain kehidupan geisha bernama Umae bak seorang puteri bangsawan sehingga
menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan masyarakat bahwa dengan menjadi
seorang geisha hidup pasti akan terjamin. Padahal kenyataan tidak demikian,
melainkan yang terjadi ialah menjadi seorang geisha itu merupakan pilihan akhir dari
kerasnya kehidupan khususnya pada zaman Edo dibawah kekuasaan rezim Tokugawa.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


selain itu pandangan masyarakat akan citra buruk seorang geisha yang merupakan
golongan kelas eta dan hinin. Eta yang meliputi penjagal, penyamak, dan pengurus
makam, Sedangkan hinin bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan, dan algojo.
Y a n g l a i n n y a
termasuk pengemis, penghibur, dan pelacur. Istilah eta secara bahasa diartikan
sebagai dekil sedangkan hinin diartikan sebagai bukan manusia, sebuah
cerminan jelas dari suatu sikap yang dimiliki kelas lain yang menganggap bahwa
eta dan hinin sama sekali bukan manusia. Hinin hanya diperkenankan untuk tinggal
di tempat-tempat khusus di kota. Salah satunya ialah kota terapung yang dikenal bagi
istilah untuk kota Yoshiwara dimana merupakan rumah bagi para geisha yang
termasuk dalam golongan hinin ( golongan paling rendah atau paling hina ).
Orang-orang dari golongan atas dianggap sah secara hukum jika harus membunuh
kaum hinin. Bahkan terkadang perkampungan kaum eta sengaja tidak dimasukkan ke
dalam peta resmi oleh pemerintah. Setiap orang tidak memiliki hak pribadi di zaman
Tokugawa ini. Keluarga merupakan keberadaan terkecil yang diakui, dan menjaga
nama baik keluarga merupakan hal yang paling utama di tingkat masyarakat.
Didalam novel ini juga dapat dilihat kehidupan masyarakat pada zaman itu,
yaitu bagaimana pola hidup masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan
rezim Tokugawa. Dorothy dalam novel The Demon in The Tea House, mengatakan
bahwa kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi
citra diri manusia Jepang masa kini.
Novel The Demon in The Tea House yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas
Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan sejarah yang akurat dan dengan menambahkan
beberapa karakter fiktif yang berasal dari hasil daya imajinasi pengarang. Maka tidak
lah berlebihan apabila kisah dalam novel ini disebut kisah kehidupaan geisha bernama
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Umae, dibalik wajah cantik seorang gadis bernama Umae sebenarnya tersimpan suatu
keinginan untuk dapat hidup normal bak seorang rakyat biasa. Karena ia juga
memiliki naluri dan hati serta cinta sehingga ia juga mengalami tekanan yang sangat
berat dalam hidup yang sedang dijalaninya khususnya dalam kehidupan keluarga,
keterlibatan mereka dalam politik, usaha mereka dalam membantu pertumbuhan
ekonomi dan usaha mereka dalam mempertahankan budaya Jepang akan seni,
sehingga Dorothy sebagai penulis ingin meyakini pembaca bahwa cerita yang
disajikannya ini tak lain adalah sebuah cerita yang ingin diyakini kebenaranya. Serta
menyajikan bagaimana perjuangan seorang kaum bawah untuk dapat mempunyai
tempat dimata kaum atas meski pun tak setara dengan mereka tapi perjuangan seorang
geisha bernama Umae yang menjadikannya abadi menjadi seorang geisha
menghantarkannya sampai keakhir hidupnya. Impian yang dimiliki serta cinta yang ia
punya hanya dapat dirasakan oleh hatinya sendiri.
Dengan kombinasi aksi dan penilaian filosofis yang menarik mengenai
berbagai karakter yang dilakukan oleh pengarang, sehingga pembaca tidak pernah
dibuat kecewa atau bosan. Dengan latar belakang historis, yaitu pada zaman Edo,
yang dipimpin oleh Tokugawa, dan tokoh minor yang dapat ditemui disepanjang
cerita sama menariknya dengan tantangan hidup seorang geisha yang seumur
hidupnya hanya menjadi pelayan para bangsawan yang kesepian.
Oleh sebab itu, untuk membahas secara lebih terperinci lagi mengenai yang
ada dalam karya sastra tersebut melalui pendekatan sosiologis sastra dan historis
penulis mencoba mengkaji novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan
Thomas Hoobler.. Oleh sebab itu dalam novel The demon In The Tea House yang
diambil setting cerita sebagai pegangan penulis untuk dapat menghubungkannya
dengan kaitannya terhadap sosiologi sastra, maka penulis beranggapan bahwa
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan antara hubungan
pengarang dengan kehidupan sosialnya. Sehingga aspek bentuk maupun isi karya
sastra tersebut akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu
periode tertentu.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka setelah membaca novel ini, penulis
menemukan permasalahannya yang membuat penulis tertarik untuk meneliti novel ini.
Adapun permasalahan tersebut adalah bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang
pada zaman Edo tepatnya pada abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa,
bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim Tokugawa
tepatnya pada zaman Edo yang meliputi keluarga, kesetiaan, serta hubungan antar
geisha dengan geisha, kaitannya geisha dengan politik, ekonomi, dan budaya sosial
yang terdapat dalam Novel The Demon in The Tea House karya Dorothy &
Thomas Hoobler, sehingga penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul :
Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha dalam Novel The
Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler.



1.2. Perumusan Masalah
Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir
dan
berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya
sastra khususnya, dihasilkan melalui antar hubungan bermakna dalam hal ini subjek
kreator dengan masyarakat(nyoman, 2003:11). Masyarakat adalah orang-orang yang
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


hidup dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan
manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif, dan evaluatif. Sastra juga
memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas.
Begitu juga dengan karya sastra berupa novel The Demon in The Tea House karya
Dorothy dan Thomas Hoobler. Didalam novel ini banyak menunjukkan kehidupan
sosial masyarakat Jepang terutama pada zaman Edo, yaitu mengenai pola pikir
masyarakat yang cenderung tertutup dan tidak terbuka atas keadaan lingkungan
sekitar. Kesadaran masyarakat akan peran sendiri-sendiri dalam kehidupan selalu
ditentukan oleh kewajiban. Sehingga ada kalanya seseorang akan merasa tidak puas
akan takdir yang seakan digariskan padanya. J ika dihubungkan dengan kenyataan
yang pernah terjadi, mustahil bagi seseorang geisha yang hanya merupakan kelas
bawah untuk bisa mengimbangi kehidupan seorang bangsawan hanya dengan modal
kecantikan saja. Dalam novel yang dibuat oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini
terkisahkan dengan jelas bagaimana sebenarnya kondisi serta situasi kehidupan
seorang geisha, dimulai dari kesehariannya yang penuh dengan kemewahan,
kehidupan yang penuh dengan kekosongan, sehingga hampir tak memikirkan akan
kesedihan, keterkaitan akan politik pemerintahan, ekonomi kerakyatan, dan juga
budaya sosial. Karena bagi seorang geisha prinsip hidup merupakan hal yang paling
penting yaitu menghibur tanpa ada hal lainnya. Tetapi sejatinya hidup seorang geisha
itu banyak mengalami tekanan diantaranya, selain mereka harus membayar hutang
keluarga serta adanya ikatan kontrak antar keluarga dengan pemilik rumah bordir.
Namun melalui novel The Demon in The Tea House Dorothy mengingatkan,
bahwa jangan sampai menggadaikan kehormatanmu dengan membiarkan hatimu
mengikuti keinginan pribadi. Hal ini dimaksudkan karena kebanyakan geisha tergiur
akan keglamoran, kemewahan, kekayaan serta kekuasaan.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Untuk itu masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang pada zaman Edo tepatnya pada
abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa?
2. Bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim
Tokugawa tepatnya pada zaman Edo dan kaitannya dengan ekonomi, politik,
dan budaya ?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis membatasi
permasalahan, yaitu pada hal yang berkaitan dengan masyarakat pada abad ke 18
zaman Edo yang meliputi keshogunan, daimyo, samurai, geisha , seni, dan hubungan
sosial antar masyarakat.
Analisis difokuskan kepada bagaimana sesungguhnya kehidupan para geisha
di tengah masyarakat khususnya masyarakat golongan kelas atas. Peran penting
geisha itu sendiri dalam kehidupan. Mengingat geisha merupakan golongan kelas
bawah namun dalam kenyataannya kehidupan seorang geisha bisa mengimbangi
seorang bangsawan yang kaya raya. Serta dengan adanya kenyataan bahwa tidak
mudah bagi seorang kelas bawah untuk berpindah kasta menjadi golongan atas. Hal
ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang
jauh, sehingga penulis dapat lebih terarah dan terfokus. Selain itu sebelum bab
pembahasan (bab III) penulis berusaha menjabarkan mengenai defenisi dari geisha,
sejarah geisha, perkembangan geisha di Jepang, dan kehidupan geisha itu sendiri.
untuk mendukung pembahasan yang lebih jelas dan akurat akan dijelaskan juga
tentang kondisi sosial masyarakat pada umumnya dizaman Edo, kondisi kehidupan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


sosial geisha zaman Edo yang meliputi dari kondisi keluarga, kesetiaan, hubungan
antar para geisha, keterlibatan mereka dalam politik Jepang tepatnya pada era
Tokugawa, perekonomian masyarakat, dan memperkenalkan diri mereka terhadap
dunia luar dalam fungsinya sebagai symbol Jepang pada waktu itu, serta setting teks
novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler dan juga
riwayat hidup pengarang.



1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1. Tinjauan Pustaka
Menurut Soekanto(dalam Nur Illyani, 2008:6), bahwa objek sosiologi adalah
masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia, dan proses yang timbale balik dari
hubungan manusia didalam masyarakat. kalau dilihat dari tingkat struktur sosial ini
bersifat abstrak, perhatiannya atau analisanya ditunjukan pada pola-pola tindakan,
jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam dalam waktu dan ruang, posisi
sosial dan peranan-peranan sosial. Menurut Munandar 1998:29 secara garis besar
tingkat analisis struktur ini memandang struktur sosial (masyarakat) sebagai berikut:
a. Masyarakat sebagai halnya organisme hidup.
b. Masyarakat sebagai sistem sosial.
c. Masyarakat sebagai tertib sosial.
d. Masyarakat sebagai sub-stratum yang melahirkan konflik.
Masalah sosial erat kaitannya dengan nilai-nilai,norma-norma, lembaga-
lembaga kemasyarakatan, oleh karena itu masalah-masalah sosial adalah bersifat
sosial, artinya masalah-masalah sosial itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas
manusia itu sendiri. Pada masyarakat yang tergolong modern, tentu saja lebih sulit
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


mendapatkan suatu keseimbangan-keseimbangan sosial [equilibrium], bahkan dengan
adanya perkembanngan diberbagai sektor, seperti industri, transportasi,
telekomunikasi, budaya, teknologi dan sebagainya, dapat menimbulkan berbagai
kepincangan, konflik-konflik dan masalah-masalah sosial lainya. Interprestasi
masyarakat terhadap nilai-nilai moral menjadi berubah, dari nilai-nilai traditional
yang tertib dan seimbang berganti menjadi nilai-nilai modern yang serba rumit dan
tampak lebih dinamis.(Abdul Syani 1987:115).
Peranan menurut Soekanto (dalam Nirmala, 2008:7) merupakan aspek dinamis
kedudukan (status). apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. setiap orang mempunyai
macam-macam peranan yang berasal dari pola kehidupannya.
Di dalam novel The Demon in The Tea House dapat dilihat bagaimana
kehidupan masyarakat setelah kekuasaan dipegang oleh Tokugawa, yang didapatnya
melalui sebuah peperangan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa kehidupan
masyarakat pun ikut mengalami perubahan diantaranya ialah adanya pembagian
golongan berdasarkan kelas-kelas, perbedaan antara hak dan kewajiban dan lain
sebagainya.
Untuk itu tak jarang dalam penelitiannya pendekatan sosiologi ini akan
cenderung mengarah pada moral seseorang hanya saja banyak yang beranggapan
bahwa pendekatan sosiologi ini sama dengan pendekatan moral. Hal ini dapat dilihat
bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan upaya memandang karya sastra sebagai
karya yang mengandung nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang akan
membawa manusia menuju kearah kehidupan yang lebih bermutu.

1.4.2. Kerangka Teori
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Penelitian kebudayaan ini dilakukan melalui novel yang merupakan sebuah
karya sastra. Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalahnya. Sosiologis sastra adalah penelitian yang
terfokus pada masalah manusia.

Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood ( dalam Suwardi,
2008:79) terdapat tiga prespektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1)
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang
menggungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang
menangkap sastra sebagai menifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Hal ini seolah menegaskan bahwa karya sastra memang sering kali tampil terikat
dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Pendekatan sosiologis diarahkan pada telaah refleksi nilai. Hal ini berdasarkan
pengertian bahwa karya satra akan menyajikan sejumlah nilai yang berkaitan dengan
keadaan masyarakat masa teks ditulis. Secara implisit, karya sastra merefleksikan
proposi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang dan masa
mendatang. Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup
dan dinamis.
Karena didalam penelitian ini dibahas mengenai analisis sosiologis terhadap
novel The Demon in The Tea House, maka teori yang digunakan adalah studi
sosiologi. Dalam novel ini The Demon in The Tea House mempunyai latar belakang
zaman Edo, maka dalam menganalisis novel ini juga menggunakan pendekatan
historis.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah
sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang karya sastra, dan
periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya individual. Kemudian, Pendekatan
historis mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Hakikat
karya sastra adalah imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah. Dengan
hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian
merupakan refleksi zamannya Nyoman(dalam Nur Illyani, 2008:8). dengan
pendekatan diatas, melalui novel The Demon in The Tea House dapat dilihat
kehidupan sosial masyarakat Jepang saat itu.
Menurut Jan Van Luxemburg (1992:46) semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda-tanda, lambing dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik
ini menganggap bahwqa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut dapat berupa gerakkan anggota badan,
warna, bendera, pakaian, karya seni, serta bentuk dan potongan rumah. Kemudian
tanda-tanda tersebut dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini
karya sastra yang berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk
diinterprestasikan. Oleh sebab itu penulis menggunakan pendekatan semiotik untuk
menjabarkan keadaan serta tanda-tanda yang terdapat dalam novel The Demon in The
Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler. Serta melalui teori semantik ini
penulis juga berusaha menjabarkan bagaimana situasi dan keadaan sosial masyarakat
pada zaman Edo khususnya kehidupan geisha serta tanda-tanda yang terdapat dalam
kehidupan geisha dilihat dari novel The Demon in The Tea House.
Oleh sebab itu melalui pendangan kerangka teori berpikir seperti diatas, maka
didalam penelitian ini akan di tunjukkan mengenai Sejauh mana hubungan kekuasaan
mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam novel The Demon in The Tea House
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


sekitar abad ke 18, Bagaimana sesungguhnya kehidupan geisha pada rezim
Tokugawa serta peran penting geisha ditengah masyarakat Jepang yang dapat dilihat
melalui novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler.


1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung dalam novel
The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hobbler.
2. Untuk Mengetahui masalah sosial geisha yang termasuk kaum bawah yang
terjadi pada zaman Edo khususnya pada saat rezim Tokugawa. Sehingga
dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan mengetahui dampak dan
akibat yang ditimbulkan.
Adapun maksud dan tujuan penulis melakukan penelitian sosiologi sastra ini dilihat
dari teks The Demon in The Tea House adalah :
1. Memahami dan merasakan aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung
dalam karya sastra tersebut.
2. Memahami masalah sosial khususnya kaum geisha yang terjadi pada zaman
Edo. Sehingga dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan
mengetahui dampak dan akibat yang ditimbulkan.
Berdasarkan dari tujuan tersebut maka, penulis mulai mengkaji beberapa novel
khususnya novel Jepang The Demon in The Tea House merupakan novel yang
cocok untuk dijadikan bahan penelitian penulis selain banyak menyajikan masalah
sosial juga menggambarkan secara kontras tentang masa dimana Shogun sangat
memegang peran penting dalam pemerintahan Jepang pada abad ke- 18. Juga karya
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan
sejarah yang akurat dan dengan menambahkan beberapa karakter fiktif yang berasal
dari hasil imajinasi pengarang. Maka tidaklah berlebihan apabila kisah ini ingin
diyakini kebenarannya. Oleh sebab itu selain mengenal sejarah Jepang maka kita juga
dapat merasakan bagaimana situasi pada zaman tersebut.

1.5.2. Manfaat Penelitian
1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah pada masa
pemerintahan shogun.
2. Dapat menambah wawasan mengenai sosiologi atau kehidupan masyarakat
Jepang dan mengetahui kondisi sosial kehidupan masyarakat secara jelas
melalui novel The Demon in The Tea House.

1.6. Metode Penelitian
Dalam penulisan suatu karya ilmiah harus menggunakan metode sebagai
penunjang untuk mencapai tujuan. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang
dilandaskan pada analisis dan kontruksi. Analisis dan kontruksi dilakukan secara
metodologis, sistematis, dan konsisten. Tujuannya ialah untuk mengungkap
kebenaran sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang
dihadapinya dalam kehidupan (Soekanto, 2003:410).
Berdasarkan tema dan permasalahan yang dianalisis dalam novel The Demon
in The Tea House, maka penelitian ini menggunakan metode deskriftif dalam cakupan
kualitatif. Menurut Koentjaraningrat(1976:30), bahwa penelitian yang bersifat
deskriftif, yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin mengenai
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya
dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara menggumpulkan, menyusun,
mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterprestasikan data.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka, yaitu
pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menggunakan buku-
buku dab sumber-sumber lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Dan data
juga diperoleh dari berbagai jurnal, artikel, buku dan berbagai situs internet.






















Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN
NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &
THOMAS HOOBLER

2.1. Defenisi Geisha

Geisha, yang dikenal juga dengan istilah geigi atau geiko, adalah sebutan bagi
para penghibur tradisional wanita. Mereka menghibur dengan cara bernyanyi, menari,
berbincang-bincang, bermain game(permainan bertanding), dan meladeni para tamu
dirumah-rumah makan tradisional jenis tertentu, (Kondansha,1983:446). Dunia geisha
pada umumnya disebut sebagai karyuukai (dunia bunga dan pohon yangliu/willow)
Kata geisha dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu
sebagai mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang
penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada sehingga
dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata geisha mengarah pada anggapan pada
seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya dan memenuhi semua nafsu dan
keinginan majikannya. Kepribadiannya tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha
wajib melebur seperti halnya Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan.
Fantasi seperti ini sulit ditemui pada wanita nyata namun mudah didapatkan di mitos.
Geisha mempunyai perbedaan pada kedua sisi tersebut, antara legenda dan
kenyataan, dan buku ini membantu mengklarifikasi perbedaan-perbedaan itu. Mitos
secara alami, adalah sejarah dan individual transendental monolitik dimana realitas
merupakan variasi komunitas geisha di daerah-daerah berbeda di Jepang, status
hirarkinya dalam masyarakat dan tentu saja perbedaan-perbedaan secara individual di
antara para geisha itu sendiri.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis. Wanita-
wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri di
Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat
beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang
di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria.

2.2. Sejarah Geisha
Geisha ( seniman) dalam bahasa jepang adalah seniman atau penghibur
tradisional (entertainer) . Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan
masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak.
Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang
memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah
perang. Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia
dini. Berlatih alat musik petik shamizen yang membuat calon geisha harus merendam
jarinya di air es. Berlatih alat musik lainnya juga seperti tetabuhan kecil hingga taiko.
Berlatih seni tari yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan
atas umumnya adalah penari, tari Topeng Noh yang sering dimainkan oleh geisha
dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda segmennya dengan pertunjukkan
Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata. Geisha juga harus berlatih seni upacara
minum teh, yang pada masa medieval dianggap sama pentingnya dengan seni perang.
Dan berbagai latihan berat lain yang harus dijalani. Dan latihan itu masih terus
dijalanisetiap geisha hingga akhir karirnya. Seorang calon geisha sedari awal
menginjakkan kakinya ke rumah barunya , sudah memiliki hutang awal sebesar biaya
yang dikeluarkan pemilik Okiya untuk membelinya. Sungguh Ironis. Hutang itu terus
bertambah, Karena biaya pendidikan geisha, biaya perawatan kecantikan, biaya dokter
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


yang ditalangi oleh Okiya, nyatanya dibebankan balik sebagai hutang geisha. Geisha
dengan level standar akan terus terikat hingga akhir hayatnya, berbeda dengan geisha
sukses yang dapat menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20
tahunan.
Syarat menjadi geisha sukses umumnya memiliki kakak angkat yang
merupakan geisha senior sukses pula , sehingga dapat mengatrol popularitas si geisha
magang. Sementara geisha senior yang sukses juga tidak mau sembarangan menerima
adik angkat, karena menyangkut nama baik pula. Tetapi memiliki adik angkat yang
sukses akan berarti keberuntungan pula bagi yang dirinya, seniornya dan okiya-nya,
karena mereka sekian persen pendapatan si geisha muda tersebut.
Selain itu geisha muda juga harus melelang keperawanan kepada penawar
tertinggi, pendapatan dari lelang yang sukses itu dapat menebus sebagian hutang
geisha muda tersebut. Setelah itu mereka harus mencari danna(suami) sekaya
mungkin, agar dapat membiayai biaya hidup geisha yang tinggi, dan juga membayari
sebagian hutang-hutang geisha tersebut terhadap majikan mereka. Geisha yang sukses
dalam suatu okiya akan diadopsi oleh nyonya mereka, dan menggunakan nama
keluarga dari nyonya tersebut dan mewarisi segala kekayaan seisi rumah tersebut.
Lalu meneruskan tradisi geisha.







Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


2.3.Perkembangan Geisha di Jepang
Sistem geisha muncul di sekitar pertengahan Zaman Edo (1600-1868) geisha
yang pertama-tama adalah laki-laki (juga di sebut dengan hkan atau taikomochi),
jadi wanita yang pertama menjadi geisha disebut onna geisha (geisha wanita). Secara
berangsur-angsur jenis hiburan ini menjadi pekerjaan wanita dimana sebutan geisha
kemudian digunakan untuk menyebut geisha wanita dan otoko geisha(geisha pria)
digunakan untuk menyebut geisha yang laki-laki. Pemakaian istilah geisha pertama
kali tercata pada tahun 1751 di Kyoto dan tahun 1762 di Edo (sekarang Tokyo).
Kemunculan geisha pria yang pertama kali adalah juga sekitar tahun 1600 an.
Mereka memasuki pestaa-pesta yang diadakan para yjo (pelacur) dan tamu-tamunya
dan menghiibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut
dengan geisha. Mereka juga disebut dengan (hkan) atau pembawa gendang kecil
tradisional jepang (taiko-mochi). Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat
para yjo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang
berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi, para geisha pria ini
menjadi teman menghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta. Pada tahun
1751, para pelanggan di tempat pelacuran shimabara di kejutkan oleh penampilan
seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) muncul di pesta mereka.
Wanita-wanita ini dikenal sebagai geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai
ganti geisha. Beberapa tahun kemudian, di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan
itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun
1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian mulai
menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha,
dan tidak tergantikan lagi, pastilah seorang wanita. (Dalby, 2005:58).
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Pada tahun-tahun 1700-an profesi geisha dihubungkan dengan tempat-tempat
pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau ykaku. Ada berbagai jenis dari
pelacur( yjo) di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok yang terpisah yang
dipanggil untuk menghibur pelacur dan tanu-tamunya dengan menyanyi dan menari.
Dengan tegas dikatakan bahwa geisha tidak diperbolehkan untuk bersaing dengan
pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun perbedaan diantara keduanya
semakin lama semakin tak jelas. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi
kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja sering sekali yang direkrut sebagai
geisha adalah wanita-wanita yang sederhana atau lebih tua.
Selain dari geisha yang berhubungan dengan tempat-tempat pelacuran, juga
ada jenis geisha yang tidak terikat di tempat pelacuran yang mempunyai tempat
sendiri. Tempat-tempat geisha(okabasho) ini lambat laun menjadi pustaka
kebudayaan kota yang bersifat duniawi, dan geisha-geisha tersebut sering kali
menjadi pelopor mode terbaru. Di Kyoto hanamachi kelas atas bernama gion yang
merupaka distrik geisha yang pertama, dan di Tokyo distrik geisha yang terkenal
adalah fukagawa, Yanagibashi dan Akasaka.
Kebanyakan dari sastra, musik dan seni grafis dari zaman ini mengambil
inspirasi dari geisha, yang sering digambarkan dengan tamu-tamu mereka di rumah-
rumah minum teh atau perahu kecil beratap (yakata-bune) yang berada di sepanjang
sungai-sungai di Edo (Tokyo).
Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarng ini, geisha telah mempunyai
hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang
merupakan pendukung Restorasi Meizi pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-
rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi
pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


politiki mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang
yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadap
kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan Meiji di Tokyo, beberapa
dari pemimpin pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang
dari Yoshiwara( Edo) ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang keemudian menikahi
geisha yang setia kepada mereka( Dalby, 2000:64).
Sejak itu, bagaimanapun juga, pada akhirnya geisha di Tokyolah yang
kemudian paling banyak terlibat dengan para politisi, disebabkan karena pusat
pemerintahan yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat
pemerintahan Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang
digemarinya, dimana, seringkali dengan dilatarbelakangi acara minum-minum sake
dan suasana yang santai, ternyata merupakan tempat menyelesaikan negosiasi politik,
sehingga jatuh bangunnya kesuksesan sebuah hanamachi ( distrik geisha ) terkadang
tergantung dari golongan politik berkuasa mana yang melindunginya. Demi
kelangsungan profesinya para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan
pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Akibatnya rahasia
rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kendati
demikian, demi keamanan rahasia politiknya, para lawan politik mereka tidak
mempergunakan geisha yang sama ( Kondansha, 1983:15).
Pada awal abad ke-17, tersebar pelacuran lelaki dan perempuan di seluruh
bandar-bandar seperti Kyoto, Edo dan Osaka. Untuk mengatasi masalah ini,
diperintahkan oleh Tokugawa Hidetada pemerintah Keshogunan Tokugawa mengatur
pelacuran ke daerah bandar yang telah ditetapkan. Daerah-daerah ini ialah Shimabara
bagi Kyoto (1640), Shinmachi bagi Osaka (16241644) dan Yoshiwara bagi Edo
(1617). Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah percobaan oleh
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya-raya chnin
(orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.
Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, terletak berdekatan dengan apa yang
dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi, bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu
di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan
terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan
untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk
memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir
bandar tersebut.
Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran
Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara
(Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal)
akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai
Yoshiwara.
Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada
tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh J epang
pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka
yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali
dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun.
Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur
kelas atasan yang berpangkat tinggi. Apabila seorang gadis itu cukup tua dan
berkesempatan menyelesaikan latihannya, dia sendiri dapat menjadi gundik dan
berusaha untuk naik pangkat. Gadis-gadis itu kerap kali mempunyai kontrak dengan
rumah pelacuran untuk 5 atau 10 tahun saja, tetapi hutang yang besar selalu mengikat
mereka di rumah pelacuran seumur hidup mereka. Terdapat sedikit cara bagi gadis itu
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


untuk mebebaskan diri daripada ikatan rumah pelacuran yang disebabkan kerena
semua hutangnya. Satu jalan keluar daripada Yoshiwara adalah dengan seorang
lelaki kaya membeli kontraknya dari rumah pelacuran dan menyimpannya sebagai
perempuan simpanan. Cara lain ialah sekiranya dia mampu membayar untuk
kebebasan dirinya sendiri dengan melunasi semua hutang piutang terhadap rumah
pelacuran. Bagaimana pun, perkara ini amat jarang berlaku.
Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-bahagikan secara ketat di Yoshiwara.
Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan
samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara,
bagaimana pun mereka kerap kali berbuat demikian. Mereka hanya dikehendaki
meninggalkan senjata mereka di pintu masuk pekan tersebut. Juga ditetapkan oleh
undang-undang, pemilik rumah pelacuran hanya dibenarkan bermalam selama sehari
dan semalam pada satu-satu waktu.
Yoshiwara juga menjadi kawasan komersial yang sangat terkenal. Fesyen-
fesyen di pekan tersebut sering kali berubah, menciptakan permintaan besar terhadap
golongan pedagang dan artis. Secara tradisi, pelacur-pelacur diperbolehkan memakai
hanya jubah biru yang ringkas, tetapi masalah ini jarang sekali diberlakukan. Pelacur-
pelacur berpangkat tinggi sering kali berpakaian menurut fesyen yang lagi trend pada
waktu itu, dengan kimono sutera yang berwarna-warni dan terang serta hiasan kepala
yang mahal dan halus buatannya. Fesyen amat penting di Yoshiwara sehinggakan ia
sering kali menentukan trend fesyen bagi seluruh J epang.
Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan
kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923.
Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran
Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Edo kini dikenali sebagai bandarnya Tokyo dan pelacuran merupakan masalah
yang menyalahi undang-undang, walaupun masalah yang sepatutnya salah ini
diperjelas dengan istilah yang lebih tegas (sebagai contoh, kata "pelacuran" bagi
beberapa hal tidak meliputi "perjanjian peribadi" yang dicapai antara seorang wanita
dan lelaki di rumah pelacuran). Kawasan yang dikenali sebagai Yoshiwara,
berhampiran stesen Minowa pada Hibiya Line, kini dikenali sebagai Senzoku Yon-
ch-me dan masih mempergunakan sejumlah besar soapland dan faades lain bagi
yang membutuhkan seks.
Pada awal tahun 1940-an pertunjukan geisha dilarang untuk umum dan
kebanyakan wanita dipaksakan untuk bekerja di pabrik-pabrik untuk upaya perang.
Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha hanya sekitar 17.000 orang, dan sekarang
hanya ada kurang dari 1000 orang. Geisha masa kini juga belajar bahasa Inggris dan
terkadang dipanggil untuk berpartisipasi untuk acara-acara khusus, baik itu di jepang
maupun untuk tujuan Internasional.
Salah satu alasan penurunan jumlah ini adalah karena munculnya hostes
hostes bar- bar bergaya Barat. Banyak orang Jepang modern tidak mengenal lagi tata
cara pertunjukan geisha dan merasa bahwa gadis-gadis bar lebih menyenangkan,
praktis dan tarifnya murah. Dari sudut pandang wanita sendiri, adalah lebih mudah
untuk menjadi seorang hostes dari pada geisha karena tidak membutuhkan pelatihan
yang lama, disiplin yang tinggi, dan biaya untuk membeli kimono.





Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


2.4. Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo
Uraian mengenai kondisi masyarakat pada Zaman Edo dituliskan dalam bab
ini karena pada Zaman Edo inilah sistem geisha mulai muncul dan mengalami
perkembangan dalam dunia hiburan dan kebudayaan J epang. Tujuan penulisan adalah
untuk menguraikan secara umum dalam keadaan masyarakat yang seperti apa tempat
muncul dan berkembangnya sistem geisha tersebut, yang meliputi bidang politik dan
pemerintahan, ekonomi dan masyarakat serta sosial budaya.
Zaman Edo ( 1603 1867 ) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh
keluarga Tokugawa. Disebut Zaman Edo karena pemerintah keshogunan Tokugawa
waktu itu berpusat di kota Edo ( sekarang disebut Tokyo ).
Pemerintah Tokugawa berlangsung selama kira kira 264 tahun. Zaman ini
disebut juga sebagai zaman yang damai bagi J epang karena tidak adanya serangan
terhadap bakufu dan tidak adanya keributan yang disebabkan perang antar daimyo.
Geisha menganggap diri mereka sebagai seniman sejati( Cobb, 1997:23).
ini menunjukkan bahwa geisha adalah lebih dari sebagai seorang peneliti dan pencipta
seni bukan hanya sekedar bagian dari dirinya. Seorang geisha seninya mengandung di
dalam dirinya sendiri, dan karena tubuhnya memiliki seni ini, hidupnya akan
disimpan. Itulah kekuatan seni - keselamatan jiwa seseorang . Hal ini menunjukkan
bahwa geisha adalah kampas dan pencipta seni daripada murni manifestasi dari itu; ia
memberi seseorang pengalaman potensi untuk seni dan melalui pengalaman seni ini
sifat keindahan sejati.( Cobb,1997 : 100 ). Gagasan tentang keindahan alami pada
umumnya yang paling ampuh dalam apresiasi terhadap keindahan fisik: keindahan
dirinya geisha serta penguasaan nya lagu, musik dan tarian. Hal ini juga menunjukkan
aspek lain dari gaya hidup geisha; seni bukan hanya geisha ketertarikan atau
kekhawatiran, Itu awalnya menggambarkan bentuk indah garis rambut di belakang
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


leher. Tetapi karena kita meletakkan makeup leher kita mirip dengan bentuk area
genital, itu sekarang berarti geisha dengan area genital yang indah, sebuah 'tempat
berjajar indah,' yang juga telah mengembangkan dirinya gei derajat yang tinggi. Ini
adalah kombinasi sempurna erotis keindahan dan pencapaian artistik yang tinggi. Ini
adalah apa yang kita inginkan. " ( Cobb, 1997 : 63 ). Kutipan ini menunjukkan
kesulitan mengukur geisha dalam satu kategori, mereka adalah seniman dan mereka
juga wanita kuat yang diinginkan oleh laki-laki.
Selama masa Tokugawa geisha diatur oleh Undang- Undang Kemewahan
yang membatasi secara ketat apa saja yang dapat mereka gunakan. Undang Undang
ini adalah satu usaha untuk memisahkan geisha dan pelacur, dimana pelacur memakai
kimono yang berlapis lapis dan hiasan rambut yang banyak sementara geisha
mengenakan kimono yang lebih sederhana dan hiasaan rambut sedikit. Pada masa
Meiji, kepopuleran geisha bukan saja mempengaruhi bidang politik dan sosial di
Jepang, tetapi juga sangat mempengaruhi mode dan gaya masyarakat terbaru. Wanita
wanita di seluruh Jepang dengan cepat mengikuti mode pakaian yang digunakan
geisha. Geisha bahkan yang pertama kali menggunakan beberapa pola kimono baru
dan gaya dalam memakainya.
Meski mode pakaian Barat masuk ke Jepang namun geisha tetap memutuskan
untuk tetap tradisional, peran geisha dalam dunia mode telah menghilang, dimana
sebelumnya geisha adalah pelopor mode kimono terbaru.
Tak dipungkiri lagi geisha selalu mengembangkan hubungan yang akrab
dengan tamu tamunya dalam hal ini khususnya kaum pria, karena tamu tamu para
geisha pada umumnya laki laki, mulai dari hubungan antar geisha dan
pelanggannya sampai menjadi danna atau bahkan kekasih dari geisha tersebut. Pria
Jepang biasanya mempunyai dua wanita dalam hidupnya yaitu istrinya dan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


kekasihnya. Hal ini dianggap normal bagi pria yang kaya dan berkuasa untuk
memiliki hubungan dengan geisha. Keadaan tersebut didasari oleh kebiasaan bahwa
hampir semua pernikahan di Jepang diatur oleh keluarga bukan karena keinginan
sendiri. Kemudian kelak dalam kehidupannya nanti, mereka memisahkan apa yang
menjadi hak istri dan apa yang menjadi kesenangan pribadinya ( Benedict,
1982 :192 ).
Hanya kaum pria dari kelas atas yang mampu mempunyai simpanan, tetapi
kebanyakan pria pernah mengunjungi geisha atau pelacur. Orang Jepang juga
memiliki kebiasaan tidak keluar rumah dengan istrinya atau keluarganya, kecuali pada
hari libur pergi memancing atau piknik ke tempat rekreasi lain. Pada pertemuan
pertemuan resmi biasanya orang Jepang tidak membawa istri, Dikarenakan oleh
pengaruh Barat, sekarang ini sudah mulai ada orang J epang datang ke resepsi atau
perjamuan dengan istrinya ( Rosidi, 1981 : 35 ). Untuk menghormati tamu atau
mengadakan pembicaraan penting, diadakan di restosan gaya J epang atau tempat
hiburan lain, juga tidak dengan istrinya. Disinilah muncul peran geisha didalam
restoran yang bergaya Jepang, yakni menggantikan peran istri untuk menghibur dan
melayani tamu-tamunya, sementara mereka makan dan berbicara ( Rosidi, 1981 : 76 ).








Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


2.5. Kehidupan Geisha
2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga
Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya
tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan
yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh
seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi
harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh
yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. J ika gadis itu menunjukkan tanda-
tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai
kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu
yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga
menyelesaikan tugas-tugasnya.
Rumah-rumah geisha ("Okiya") membawa gadis-gadis yang kebanyakan
berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak,
geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko)
selama masa pelatihan.

2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik
Sistem pemerintahan Edo disebut dengan bakuhan taisei ( sistem bakufu dan
han ). Bakufu adalah pemerintahan keshogunan yang merupakan pemeritahan pusat
untuk seluruh wilayah, dan han adalah wilayah pemerintahan kedaimyoan sebanyak
kurang lebih 200 buah, wilayah daimyo pada Zaman Edo yang dianggap merupakan
pemberian bakufu.
Okada dalam Situmorang (1995:58-60) mengatakan bakuhan taisei
mempunyai dua pengertian yaitu yang pertama, baik di bakufu maupun di daerah han,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


ada penguasa administrasi feodal. Karena petani adalah dasar sistem feodal, maka
ditetapkan sistem pembagian golongan masyarakat atas bushi( prajurit ), nmin
( petani ), kojin( tukang ), dan shnin ( pedagang ). Dan yang kedua adalah bahwa
bakuhan taisei mempunyai pengertian sebagai sebuah keluarga, hubungan bakufu dan
han sebagai orang tua dan anak dimana anak harus taat dan mengerjakan pekerjaan
yang ditetapkan orang tua.
Secara keseluruhan kelembagaan administratif pada Zaman Edo adalah
sebagai berikut: keluarga, desa ( pemerintah wilayah ) kemudian bakufu
( keshogunan ). Dalam bidang pemujaan dewa juga mengenal hierarki yaitu: iegami
( dewa ie ), ujigami ( dewa uji ), dewa keshogunan ( toshogu ) dan yang tertinggi
adalah Tenno sebagai dewa seluruh Jepang.
Kelompok masyarakat selalu didasarkan pada ie, untuk memantapkan
kedudukan dan golongan kelompok diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara
berpakaian. Golongan masyarakat pada Zaman Edo di terapkan sangat ketat. Setiap
kelas / golongan tidak diperbolehkan pindah ke golongan masyarakat lainnya. Pada
Zaman edo jumlah golongan bushi ( militer ) sebanyak 9,8 %, petani sebanyak 76,4 %
sisanya adalah golongan pendeta, pedagang dan tukang ( Toyoda dalam Situmorang
2006:19 ). Oleh karena itu Zaman Edo disebut juga sebagai zaman dimana
masyarakat benar benar menyadari golongan. ( Situmorang, 1995:62 ).
Berbeda dengan kehidupan geisha, dalam sistem geisha pembagian
pembagian golongan tidak terjadi seperti pada keterangan diatas, melainkan hanya
sebagai pembatasan antara geisha kelas atas yang disebut tayu dengan geisha
penghibur (yujo), juga batasan antara geisha senior dengan geisha junior yang dalam
prakteknya geisha saling terikat satu sama lain. Dan dalam sistemnya geisha tidak
mengenal ie yang memantapkan kedudukan dan golongan kelompok yang
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara berpakaian. Selain menghibur, geisha
juga memiliki banyak andil dalam pergolakan-pergolakan politik di Jepang, hal itu
karena sebagian besar perundingan-perundingan politik mengambil tempat di kedai
teh dimana geisha bekerja. Peran geisha dalam kenyataannya sangat penting
mengingat geisha mengambil alih dalam usaha mereka sebagai jembatan lobi bisnis
antara perusahaan perusahaan besar di Jepang. Mereka banyak mengetahui rahasia-
rahasia politik dan ada juga yang turut andil dalam mempengaruhi keputusan seorang
politikus pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan bahwa cara seperti itu selalu
dipakai untuk menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat
pemerintahan yang terjatuh atau terjebak dalam masalah yang berkaitan dengan
prostitusi di kedai-kedai teh kota khususnya di Yoshiwara. Sehingga keterlibatan
geisha dalam politik selain membawa pengaruh negatif bagi para pejabat namun juga
membawa dampak positif bagi kehidupan mereka serta status sosial. Oleh sebab itu
geisha adalah satu-satunya profesi di Jepang yang menempatkan wanita pada posisi
teratas. Profesi ini juga menjadikan wanita sebagai sosok yang dihargai dalam
masyarakat Jepang yang konon menempatkan wanita selalu di bawah pria dan juga
mengubah hukum menjadikan status Yujo dan pelacur menjadi rendah, yang hanya
trampil dalam seni bercinta dan geisha yang trampil dalam bidang musik dan tari.

2.5.3. Kehidupan Geisha dalam Ekonomi
Kenyataan bahwa banyak diantara para geisha yang dulunya di jual ke okiya
okiya oleh keluarga mereka atau kerabatnya sendiri dengan harga yang murah.
Sejumlah uang yang akan dibayarkan kepada orang tua si anak sebagai tanda
pembelian si anak oleh okiya yang menampungnya. Hal ini banyak disebabkan oleh
kesulitan ekonomi dan kemiskinan orang tunya di tambah lagi pada masa tersebut
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Jepang mengalami krisis sosial yang menutup akses bagi masuknya pengaruh barat
kepada masyarakat Jepang. Penjualan anak di J epang bukanlah menjadi hal yang
besar, karena seorang anak dianggap mempunyai giri atau hutang budi kepada orang
tua yang telah membesarkannya, sehingga bila dengan terpaksa mereka dijual baik itu
ke rumah rumah geisha atau kerumah pelacuran sekalipun, hal itu dianggap wajar
untuk membantu keadaan orang tua yang tidak mampu.
Selain itu peran geisha dalam bidang ekonomi sangat penting, hal ini dapat
dilihat bahwa mereka juga memberikan penghidupan bagi orang lain. Maksudnya,
jasa orang orang yang terlibat dalam pekerjaan geisha juga harus dibayar dari
pendapatannya. Karena bagi geisha hal yang sangat membanggakan bila dapat
mengahasilkan untuk orang lain. Sehingga geisha yang seperti itu sangat dihargai oleh
para geisha lainnya.
Dari perannya sebagai geisha, mereka juga dapat membuka lapangan
pekerjaan bagi orang lain seperti, adanya kedai teh, asosiasi geisha, piata pakaian,
okiyanya, dan lain lain. Orang orang tersebut tentunya bergantung dari pendapatan
yang dihasilkan para geisha yang mereka tangani. Selain itu geisha juga
menyumbangkan bagi pembangunan Negara melalui pajak pajak yang harus mereka
bayarkan. Karena profesi geisha merupakan jenis hiburan yang diizinkan oleh
pemerintah karena itu pendapatan mereka dikenakan pajak yang dibayarkan melalui
Kantor Pendaftaran. Hal ini dikarenakan bayaran geisha dibayar melalui sistem yang
sama. Pelanggan menerima tagihan dari restoran untuk makanan, minuman, sewa
ruangan, dan geisha. Dia akan membayar biaya restoran, yang terpisah dari bayaran
geisha dan mengirimkan kwitansi dengan jumlah yang harus dibayarnya kepada
kenban. Kenban kemudian menghitung besarnya pembayaran untuk setiap geisha,
mengambil pajak (biasanya sekitar 10 persen), mengambil sedikit persenan (3 persen)
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


untuk biaya operasi, dan mengembalikan sisanya kepada geisha yang akan
menerimanya dalam bentuk gaji satu atau dua kali sebulan.

2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya
Sepanjang zaman ini, J epang semakin mempelajari teknik dan ilmu
pengetahuan Barat (disebut rangaku, secara harfiah pengetahuan dari bangsa
Belanda) melalui informasi dan buku-buku yang didapat dari para saudagar Belanda
di Dejima. Subjek utama yang banyak dipelajari termasuk geografi, kedokteran, ilmu
lam, astronomi seni, bahasa dan sastra, ilmu fisika seperti fenomena listrik, dan ilmu
mekanik seperti yang diperlihatkan dengan Jepang dalam kemajuan mengembangkan
jam atau wadokei, diilhami dari teknik yang dimiliki bangsa Barat.
Pesatnya pertumbuhan Neo-Konfusianisme merupakan perkembangan
intelektual yang paling terlihat di zaman Tokugawa. Ajaran Konfusianisme telah lama
dibiarkan aktif di Jepang oleh para pendeta Buddha, namun selama zaman Tokugawa,
Konfusianisme berada dalam kendali Buddha. Sistem meditasi ini menarik banyak
perhatian bagi kalangan yang memiliki pandangan sekuler. humanisme etis,
rasionalisme, dan pandangan historis terhadap doktrin neo-Konfusianisme terlihat
menarik bagi masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelas. Pada pertengahan abad
17, ajaran neo-Konfusianisme menjadi filososi masyarakat Jepang yang digemari dan
berkontribusi secara langsung pada perkembangan kokugaku (ilmu kenegaraan) di
sekolah meditasi.
Pembelajaran secara berkelanjutan dan pertumbuhan penerapan ajaran neo-
Konfusianisme berkontribusi pada transisi kondisi sosial dan politik dari bentuk
feodal ke bentuk penerapan yang berorientasi pada masyarakat luas. Aturan bagi
masyarakat atau penganut Konfusianisme secara bertahap digantikan oleh kepastian
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


hukum. Hukum baru dikembangkan, dan perlengkapan administratif baru didirikan.
Sebuah teori pemerintahan dan pandangan kemasyarakatan yang baru muncul sebagai
pembenaran atas penguasaan yang lebih komprehensif oleh bakufu. Setiap orang
memiliki tempat yang berbeda dalam masyarakat dan diharapkan dapat bekerja untuk
memenuhi tugas mereka. Masyarakat harus menerima dengan lapang bahwa mereka
harus dapat diperintah oleh mereka yang memang ditugaskan untuk memerintah
mereka. Pemerintah bisa dianggap mahakuasa namun sangat perhatian dan
bertanggung jawab. Meskipun sistem pembagian kelas ini dipengaruhi oleh ajaran
neo-Konfusianisme, sistem ini sama sekali tidak sama dengan ajaran sesungguhnya.
Sedangkan tentara dan petinggi agama berada di hierarki paling bawah dalam sistem
yang sama di Cina, di Jepang, beberapa di kelas ini berperan penting dalam pendirian
kekuasaan (ruling elite).
Kaum samurai mempertahankan tradisi mereka dengan pembaharuan minat
Dalam sejarah Jepang dan dalam penanaman tradisi pengajaran Konfusianisme,
menghasilkan perkembangan dalam konsep bushido (jalan para samurai). Jalan hdup
lainnya chnind juga muncul. Chnind ( , jalan para pedagang)
merupakan budaya yang berbeda yang bangkit di kota-kota besar seperti Osaka,
Kyoto, dan Edo. Hal ini mendorong harapan dalam peningkatan kualitas bushido
kerajinan, kejujuran, kehormatan, kesetiaan, dan kesederhanaandengan
mencampuradukkan ajaran Shinto, neo-Konfusianisme, dan Buddha. Peningkatan pun
terjadi pada pembelajaran matematika, astronomi, kartografi, ilmu rancang-bangun,
dan pengobatan. Penekanan ditempatkan pada kualitas pengerjaan, terutama dalam
bidang seni. Untuk pertama kalinya, populasi di kota memiiki keinginan dan waktu
untuk mendukung kebudayaan masyarakat yang baru. Keinginan mereka untuk
mencari kesenangan kemudian dikenal sebagai ukiyo (, dunia yang mengapung),
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


dunia fashion yang ideal, pertunjukkan populer, dan penemuan kualitas estetik dalam
objek dan kebiasaan hidup sehari-hari, termasuk seks (, shunga). Perempuan
penghibur ( , geisha), musik, cerita terkenal, kabuki dan bunraku ( ,
panggung wayang), syair, kesusastraan yang kaya, dan seni, yang tergambarkan
dalam gambar kayu yang indah (dinamakan ukiyo-e), semua adalah bagian dari
kebudayaan yang berkembang. Dunia sastra pun tumbuh seiring munculnya
dramawan berbakat Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) dan penyair haiku,
pengarang esai, dan penulis catatan perjalanan Matsuo Bash (1644-1694).
Cetakan ukiyo-e mulai diciptakan pada akhir abad 17, dan pada tahun 1764,
Harunobu menciptakan cetakan polikrom yang pertama. Desainer generasi berikutnya,
termasuk Torii Kiyonaga dan Utamaro, membuat lukisan tentang pelacur yang elegan
dan terkadang terlalu vulgar. Pada abad 19, figur yang sering muncul adalah
Hiroshige, seorang pelukis pemandangan yang sentimentil dan romantis. Sudut yang
aneh dan bentuk yang sering diperlihatkan Hiroshige dalam lukisan pemandangannya
dan karya-karya Kiyonaga dan Utamaro, dengan penekanan di atas bidang datar dan
pada garis linier yang kuat, memiliki pengaruh kuat pada para pelukis Barat yang
terkenal seperti Edgar Degas dan Vincent van Gogh di kemudian hari.
Agama Buddha dan Shinto memiliki peranan penting di zaman Tokugawa.
Buddha, yang digabungkan dengan neo-Konfusianisme, menciptakan sebuah standar
tingkah laku sosial. Meskipun tidak memiliki kekuatan politik yang kuat seperti di
masa lalu, Buddha banyak didukung oleh masyarakat kalangan atas. Pengasingan
agama Kristen menguntungkan agama Buddha pada tahun 1640 ketika bakufu
mengharuskan masyarakat mencatatkan diri ke kuil. Pemisahan masyarakat yang kaku
di masa Tokugawa ke dalam han, desa, kabupaten, dan rukun warga turut menegaskan
penanaman agama Shinto di daerah. Shinto memberikan penyegaran rohani ke dalam
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


situasi politik dan memiliki hubungan penting antara individu dan masyarakat. Shinto
turut menjaga identitas nasional.
Shinto dengan cepat mengasumsikan sebuah bentuk intelektual dari
rasionalisme dan materialisme kaum neo-Konfusianisme. Gerakan kokugaku muncul
dari interaksi kedua sistem kepercayaan ini. Kokugaku mendukung nasionalisme yang
berpusat pada penguasa di Jepang modern dan kebangkitan kembali agama Shinto
sebagai kepercayaan resmi negara di abad 18 dan 19. Kojiki, Nihongi, dan Man'ysh
semuanya dipelajari kembali sebagai pencarian jiwa masyarakat Jepang. Beberapa
pemeluk paham kemurnian dalam gerakan kokugaku, seperti Motoori Norinaga,
bahkan mengritik pengaruh kaum Konfusianisme dan Buddhapada hakikatnya,
pengaruh asingdalam menodai jalan hidup masyarakat Jepang. Jepang merupakan
tanah para kami (, dewa) dan, demikianlah, memiliki takdir yang khusus.
"Geisha" adalah sebuah kata yang berarti "orang yang praktek / kehidupan
oleh gei (seni). Melalui definisi sederhana ini kita dapat menetapkan sejarah siapa
geisha dan bagaimana mereka telah terlihat. Gei secara khusus mengacu pada seni
memainkan shamisen (alat musik bersenar tiga), drum, tradisional menari dan
menyanyi, upacara minum teh, kaligrafi, dan seni percakapan. Pembentukan geisha
seperti sekarang ini diresmikan pada akhir 1800-an. Terdiri dari lingkungan yang
disebut hanamachi di mana terdapat rumah minum teh, pengrajin, toko mie dan okiya
- geisha rumah-rumah tempat tinggal. Di okiya kehidupan ada yang okamisan (
"induk" yang mengelola rumah), bersama dengan keluarganya dan berbagai geisha,
maiko dan Tamago's. Gadis-gadis muda diambil ke rumah di berbagai usia, dan
melakukan berbagai pekerjaan sambil mengamati geisha dan maiko (geisha-dalam-
pelatihan). Mereka disebut Tamago, yang berarti "telur" yang menandakan tingkat
pelatihan mereka. .
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Ketika mereka mencapai 17 mereka dapat menjadi maiko, dan memulai
pelatihan dengan sungguh-sungguh untuk menjadi geisha. Para maiko mengambil
pelajaran di shamisen, menari, dan seni lain dari geisha. . Mereka bisa pergi ke pesta
geisha, tetapi tidak diharapkan akan siap secara sosial sebagai geisha. Maiko sangat
dikenali oleh mereka yang rumit gaya rambut, riasan wajah putih dan bibir merah
(maiko hanya memasukkan lipstik merah di bibir mereka yang lebih rendah). Ada
tanda-tanda lain juga, yang berkaitan dengan bagaimana mereka memakai kimono
dan dasi mereka obi mereka. Sekali maiko siap, sekitar umur 20, dia pergi melalui
upacara erikae; erikae berarti "memutar kerah" dan mengacu pada salah satu bagian
dari bagaimana gaunnya berubah ketika ia berubah dari maiko ke geisha.
Sebelum "modernisasi" pengaruh mencapai Jepang, maiko juga mengalami
mizu-umur, sebuah upacara yang berputar di sekitar mereka kehilangan keperawanan
kepada penawar tertinggi. Sekarang ini dilarang. Ketika maiko menjadi geisha, rias
mereka menjadi lebih halus, rambut mereka terikat dalam disanggul dan kimono
mereka, sementara masih elegan, menjadi kurang berwarna-warni. Maiko dapat
dibandingkan dengan cerah indah kupu-kupu; geisha kupu-kupu yang sama tetapi
telah berkembang menjadi lebih elegan, berpengalaman, terdiri dan spesies halus.
Geisha bekerja dengan mahal menjamu tamu di rumah minum teh, di mana mereka
akan melakukan, menuangkan minuman, menceritakan lelucon dan cerita dan
umumnya menjaga pesta. Kehadiran mereka mahal (perubahan modern; layanan
mereka lebih murah di masa kejayaan mereka) dan mereka menghibur la creme de la
creme dari masyarakat Jepang. Pendapatan utama mereka berasal dari kedai-kedai teh
dan pelindung mereka. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sementara
waktu utama pelatihan dalam seni terjadi selama periode maiko, geisha terus
memperbaiki keterampilan artistik mereka sepanjang karir profesional mereka. Hal ini
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


disebabkan tujuan mereka mewujudkan kesempurnaan dalam seni mereka dan juga
untuk partisipasi mereka dalam pertunjukan tari tahunan. berpartisipasi dalam
pertunjukan tari, yang biasanya biaya mereka banyak uang, untuk prestise dan cinta
seni.
Orang-orang ini memberikan geisha dengan kimono dan uang, dan sebagai
imbalannya menerima lebih banyak perhatian khusus; apakah ini termasuk seksual
adalah tergantung pada keinginan geisha. Akan bermanfaat untuk memberikan pesan
singkat di sini tentang ekonomi menjadi geisha. Okiya harus memberikan dirinya
dengan semua kimono dan pelajaran dan membayar biaya yang banyak-banyak ia
incurs; lebih dari 80 tahun yang lalu salah satu dari biaya-biaya ini bisa saja biaya
okiya memperoleh dirinya, baik melalui "pedagang budak" atau melalui membayar
orangtuanya secara langsung. .
Karena biaya ini pada saat seorang maiko telah menjadi geisha ia berutang
okiya-nya sejumlah besar uang. Dia membayar off ini dengan bekerja sebagai geisha;
demikian itu bekerja sebagai semacam sistem perbudakan. J ika ingin geisha pensiun,
biasanya dia harus datang dengan sisa uang yang berutang okiya-nya. Dia biasanya
bisa melakukannya dengan salah satu dari dua cara: dengan bekerja sebagai geisha
selama bertahun-tahun atau dengan memiliki pelindung kaya "membeli keluar." J ika
seorang geisha bekerja selama bertahun-tahun dia bisa mengatur untuk menyimpan
cukup uang untuk membuka bisnis atau okiya.





Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


2.6. Defenisi Novel dan Setting
2.6.1 Defenisi Novel
Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah
berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa ( Abrahams dalam Nurrgiyantoro, 1995 : 9 ). Dalam
bahasa J erman novel disebut dengan novella dan dalam bahasa Inggris disebut dengan
novel, istilah yang kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam
pengertian kesusasteraan juga disebut sebagai fiksi. karya fiksi menyaran pada suatu
karya yang menciptakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang ada dan
terjadi sungguh sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenaranya pada dunia nyata
( Nurgiyantoro, 1995 : 2). Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut sebut dalam
fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner.
Menurut Jacob Sumardjo ( 1990: 11-12 ), novel adalah genre sastra yang
berupa cerita, mudah di baca dan di cernakan, juga kebanyakan mengandung unsure
suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi
pembacanya. dan menurut Takeo dalam Pujiono ( 2002 : 3 ), Novel merupakan
sesuatu yang menggambarkan kehidupan sehari hari di dalam masyarakat meskipun
kejadiaanya tidak nyata.
Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang
berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam
Nurgiyantoro ( 1995 : 4 ) digolongkan sebagai fiksi non fiksi ( Nonfiction fiction ),
yang terbagi atas (1) fiksi histories ( historical fition ) atau novel histories, jika yang
menjadi dasar penulisan fakta sejarah; (2) fiksi biografis ( biographical fiction ) atau
novel biografis; jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis dan (3) fiksi sains
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


(science fiction ) atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu
pengetahuan.
Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel The Demon
in The Tea House, yang merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis
karena terkait oleh fakta fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai
sumber.

2.6.2 Setting Dalam Novel The Demon in The Tea House
Setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nugiyantoro, 1995 : 216 ).
Unsur unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu:
1. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Dalam novel The Demon in The Tea House mengambil latar tempat di
kawasan yang dikenal dengan dunia terapung tepatnya di kota Yoshiwara.

2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya
dihubunggkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka
dalam novel The Demon in The Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


mereka mengambil setting pada masa kekuasaan rezim tokugawa tepatnya pada abad
-18.

3. Latar Sosial
Latar sosial menyaran kepada hal hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi
maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap,
dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
Demikian juga dalam novel The Demon in The Tea House terdapat ruang
lingkup, tempat, dan waktu sebagai waana para tokoh tokohnya mengalami berbagai
pengalaman kehidupannya. Peristiwa peristiwa yang terdapat dalam novel The
Demon in The Tea House terutama terjadi di dua tempat, yakni di Edo, dan
Yoshiwara.
Sekitar tiga abad yang lalu, kota terbesar di dunia adalah Edo, ibu kota militer
Jepang. disana, dalam kastil batu raksasa, hidup Shogun Yoshimune, keluarga
Tokugawa kedelapan yang memerintah Jepang. Shogun pertama dari Tokugawa,
Ieyasu, menempati puncak kekuasaan setelah mengalahkan musuh musuhnya dalam
peperangan. Para penerus Ieyasu menyadari ancaaman pada kekuasaan mereka jika
membiarkan saingan saingan menjadi terlalu kuat. untuk itu Yoshiwara dibina di
dalam bandar Edo, Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah
percobaan oleh keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin
kaya-raya chnin (orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.
terletak berdekatan dengan apa yang dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang.
Pada tahun 1656, disebabkan keperluan terhadap ruang kerana perkembangan bandar
itu, pemerintahan mengambil keputusan untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan
perancangan-perancangan dibuat untuk memindahkan daerah tersebut ke lokasinya
sekarang di utara Asakusa di pinggir bandar tersebut.

Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada
tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh J epang
pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka
yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali
dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun.
Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur
kelas atasan yang berpangkat tinggi. Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-
bahagikan secara ketat di Yoshiwara. Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang
cukup layak dilayani setaraf dengan samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan
untuk memasuki kawasan Yoshiwara.
Orang Edo sangat takut pada api, melebihi ketakutan pada sepasukan samurai.
Karena api datang tanpa peringatan, sering kali ketika kota sedang terlelap, dan
menyebar lebih cepat dari pada kesatria berkuda. Edo sangat padat, dan banyak rumah
dibangun dengan terburu buru. Rumah rumah mereka sangat rapuh, terbuat dari
kayu tipis dengan jendela kertas. Sekali api berkobar tidak terkendali, ia bisa melahap
satu baris rumah dalam sekejap. Hal ini berlaku di seluruh Jepang sehingga kawasan
Yoshiwara ini pun tak luput dari kebakaran.
Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran
Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


(Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal)
akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai
Yoshiwara. Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan
kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923.
Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran
Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua.
Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur. Mereka hanya belajar bagaimana
memuaskan pelanggan. Seorang geisha yang berusaha membunuh geisha lain akan
bisa dengan mudah dikenali, Ia pastinya tidak punya peluang kerja di Yoshiwara.
Orang orang di Edo masih tetap membicarakan betapa menakutkannya Great
Furisode Fire ( api besar menggulung ). Geisha tidak suka jika kedai tidak
memperlihatkan kelas tinggi. Bagi seorang geisha menjadi geisha itu merupakan jalan
terbaik untuk mendapatkan uang yang banyak. hal ini berlaku di Yoshiwara
kehidupan yang sangat sulit sehingga mengharuskan mereka menerima takdir untuk
menjadi geisha.
Bagi seorang geisha kecantikan merupakan hal yang paling penting dalam
menarik perhatian pelanggan. untuk itu bagian leher perempuan adalah kunci
mengukur kecantikan perempuan sehingga tak dapat dipungkiri lagi persaiangan
kerap saja terjadi antara sesama geisha. untuk menjadi geisha, satu satunya cara
ialah dengan membiarkan seseorang mengangkat kita menjadi adik perempuan
mereka.
Diceritakan Umae mungkin adalah geisha yang paling terkenal di Edo. tak ada
yang tahu berapa umurnya sekarang, karena riasan yang dipakainya sangat rapi dan
memungkinkannya bisa menjelma menjadi berbagai umur. Ia lebih dikenal karena
kemampuannya menghibur. Menjadi adik kecil umae berarti menjadi muridnya.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


karena Umae merupakan geisha yang paling dihormati. Para geisha harus menghibur
lelaki. itulah yang mereka lakukan. Meski mereka tidak bersama laki laki, mereka
tetap harus mempercantik diri atau meningkatkan kemapuan menyanyi dan menari.

2.7. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin
kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran
sastra tidak dalam kekosongan moral. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya
karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan
zamannya.
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya
dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra ( Laurenson dan
Swingewood, dalam Suwardi 2008 : 78). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi
obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi
kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. dengan demikian,
meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling
melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial
budaya yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra.
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin ( mirror ). Dalam
kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis ( tiruan ) masyarakat. Kendati demikian,
sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu
sastra tidak akan semata mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan
tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.
Prespektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin
( Elizabeth dan Burns dalam Suwardi 2008 : 79) literature is not only the effect of
social causes but also the cause of social effect. Sugesti ini memberikan arah bahwa
penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbale balik antara
sosiologi dan sastra. Keduanya saling mempengaruhi dalam hal hal tertentu yang
pada gilirannya menarik perhatian peneliti.
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.
Karena sastra sering menggungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan
masa depanya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak
bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi 2008 :
79 ) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian
yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan
refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap
sastra sebagai cermin situasi sosial penulisanya, dan (3) penelitian yang menangkap
sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Langkah yang bisa ditempuh pendekatan ini, menurut Junus (dalam Suwardi
2008 : 93 ) ada tiga strategi, yaitu:
1. Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, kemudian dihubungkan dengan
suatu unsur sosiobudaya. Strategi ini ditempuh karena karya sastra tersebut
hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.
2. Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra tentang suatu
perempuan, laki laki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lain lain
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


dalam suatu karya. Citra tentang sesuatu itu disesuaikan dengan
perkembangan budaya masyarakat.
3. Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau tema, yang keduanya berbeda
secara gradual. Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif dapat
dikonkritkan melalui pelaku.
Ketiga strategi penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian sosiologi
sastra dapat dilakukan melalui potongan potongan serita. Hubungan antar unsur
dan keutuhan ( unity ) unsur juga tidak harus. Hanya saja pendekatan ini memang
ada kelemahanya, antara lain peneliti akan sulit menghubungkan secara langsung
karya sastra dengan sosiobudaya.
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drma, genre
prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkaan unsur unsur sosial.
Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsur
unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan
masalah masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga
cenderung merupakan bahasa sehari hari, bahasa yang umum digunakan dalam
masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang
paling sosiologis dan responsive sebab sangat peka terhadap fluktuasi
sosiohistoris. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman ( 2004 :
336 ) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri ciri zamannya. Seperti pada
novel The Demon in The Tea House yang menunjukkan kehidupan manusia
Jepang dalam Zaman Keshogunan khususnya kehidupan geisha.
Cara cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan
humaniora jelas membawa ciri ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara
tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


untuk menanamkan secara lebih intern masalah masalah kehidupan terhadap
pembaca. Artinya ada kesejajaran antara ciri ciri karya sastra dengan hakikat
kemanusiaan. Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya
yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia
kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari hari. inilah
aspek aspek sosial karya sastra, dimana karya sastra diberikan kemungkinan
yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan
yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari hari. Selama membaca
karya sastra pembaca secara bebas menjasi raja, dewa, perampok, dan berbagai
sublimasi lain.
Sebagai multidisiplin, maka ilmu ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra
adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga
memasukkan aspek aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu ilmu yang juga
terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu
diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra,
sedangkan ilmu ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan
menurut Nyoman ( 2004 : 339-340) meliputi tiga macam, yaitu:
1. Menganalisis masalah masalah sosial yang terkandung didalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah
terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang
terjadi disebut refleksi.
2. Sama dengan diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,
dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya
menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.
Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosiologi sastra, masyarakatlah yang
harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan
sebaliknya.
Oleh sebab itu berdasarkan atas metode penelitian sosiologi sastra inilah
penulis berusaha menjadikan nya pedoman untuk dapat menganalisi pembahasan pada
bab III yang didalam nya mencakup tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan
geisha dalam keluarga, dalam keterkaitannya dengan politik pemerintah, dalam
ekonimi, dan dalam budaya sosial geisha itu sendiri. Sehingga apa yang diharapkan
penulis dalam keingintahuan tentang kehidupan geisha dapat terjawab dengan
penelitian menggunakan analisis sosiologi sastra, yang sebagai fungsinya bahwa
karya sastra itu merupakan cerminan dari suatu masyarakat.











Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



2.8. Biografi Pengarang
Dorothy, kelahiran 1946, Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Welles
College ,A.B, pada tahun 1963. Ia juga merupakan lulusan dari New York University,
dengan memperoleh gelar MA pada tahun 1971. Ia yang merupakan sejarwan
berkebangsaan Amerika ini memiliki hobi musik, photography, berkebun, dan jalan
jalan ini juga sangat tertarik akan cerita cerita sejarah dari berbagai belahan dunia.
Salah satunya ialah sejarah tentang Jepang.
Bekerja sama bersama suaminya Dorothy & Thomas Hoobler berhasil
menciptakan beberapa novel yang semua menceritakan tentang Jepang diantaranya
ialah, The Age Of Hirohito ( Showa ), yang dirilis pada tahun 1990, The Ghost in
The Tokaido Inn, yang dirilis pada tahun 1999, serta yang terakhir yang banyak
dibicarakan ialah The Demon in The Tea House yang dibuat bersama suaminya
Thomas Hoobler di New York pada tahun 2001. Saat ini ia tinggal bersama dengan
anak perempuan mereka di New York. Ia yang memulai karir sebagai seorang penulis
pada tahun 1973, dan dia juga bekerja sebagai seorang redaktur disebuah perusahaan
surat kabar ternama di New York.
Ia yang juga seorang sejarawan telah menyusun hampir 60 jenis buku buku
yang sangat mengesankan, biography, dan juga persoalan persoalan sosial. Buku
buku mereka dinilai memiliki keunggulan tersendiri oleh Library Congress, Parents
Choice Foundantion, Bank Street College, International Reading Association,
National Conference of Chistian and Jews dan yang terakhir ialah New York Library.
Selain itu telah banyak penghargaan didapat dari hasil karya nya tersebut.
Ia menulis novel J epang yang berjudul The Demon in The Tea House pada
tahun 2001 yang merupakan novel khusus bacaan para remaja ini menggangkat
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


tentang kisah Seikei Konoike, Geisha, dan juga seorang Hakim Ooka yang merupakan
tokoh tokoh yang terdapat dalam cerita sesungguhnya. Tujuan dari diangkatnya
novel yang bergenre misteri ini ialah tak lain ingin mengungkapkan keadilan serta
kebenaran dalam kehidupan seorang geisha. Dalam menuliskan sejarah yang terjadi
mengenai novel The Demon in The Tea House ini, Ia mencoba mempelajari secara
khusus tentang seseorang atau peristiwa peristiwa yang terjadi dengan terlibat atau
ikut turut mendalami sejarah yang sesungguhnya sehingga ia dapat menguraikan
kedalam novel tersebut. Ia dan suaminya yang merupakan seorang sejarawan ini pun
rela untuk tinggal dan menetap ditempat dimana merupakan tujuan penelitiannya.
Termasuk dalam proses pembuatan novel The Demon in The Tea House, Ia mencoba
mengangkat sejarah akan kota Yoshiwara yang terkenal dengan sebutan dunia
terapung itu.
Novel The Demon in The Tea House ini kemudian menjadi novel yang amat
menarik, selain di latar belakangi atas sejarah era kepemimpinan shogun di Jepang,
juga mengingatkan kembali akan kota Yoshiwara dimana pada kebakaran besar yang
dikenal dengan tragedi meireki ( 1657 ) yang musnah ini coba dianggat kembali oleh
pasangan suami istri ini. Serta sebuah novel misteri Jepang klasik yang sangat
memikat hati. Selain novel ini sangat bagus. jalinan cerita dan pengembangan
karaktenya amat baik. Sehingga novel ini akan sangat disukai dan dianjurkan bagi
penggemar novel misteri dan samurai J epang.
Ia yang menuliskan riwayat hidupnya tentang impian menjadi seorang yang
multi cultural ( banyak kebudayaan ) beranggapan bahwa menjadi seorang sejarawan
tak mempunyai beban yang berat namun dapat menggambarkan gambaran baik dari
orang dan zaman. Ia juga telah banyak menulis riwayat riwayat hidup dari figur
figur secara internasional.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.



. BAB III
ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE
TEA HOUSE KARYA DOROTHY DAN THOMAS HOOBLER.

3.1. Sinopsis Cerita
Tokoh utama dalam novel The Demon in The Tea House adalah seorang
anak saudagar kaya yang diangkat menjadi anak seorang hakim yang bernama Seikei
Konoike. Namun dalam novel ini seikei bercerita tentang pengalaman ia selama
menjadi anak angkat Hakim Ooka yang cukup di hormati. Salah satunya ialah
pengalaman hidupnya dalam mempelajari dunia geisha. Siapa yang menyangka
menjadi seorang geisha tak semudah yang ia bayangkan. Melalui proses pembelajaran
ini banyak nilai nilai baik yang ia dapati selama hidup dan berdekatan dengan dunia
geisha. Sehingga ia mampu mengangkat kisah hidup dan menguak tabir kehidupan
seorang geisha yang terkenal di kota Yoshiwara.
Yoshiwara yang dibangun terapung diatas air sehingga wilayah ini dikenal
dengan dunia terapung. Disana para pengunjung bisa menyaksikan pentas kabuki,
menikmati musik, gemerlap lampu warna warni, dan menari. Namun, kebanyakan
pengunjung datang kedunia terapung untuk di hibur oleh geisha. Wanita yang
menghabiskan hidup mereka mempelajari cara menghibur lelaki. Geisha mempelajari
musik, tarian, bernyanyi, dan mengobrol yang kesemuanya itu dilakukan untuk
melupakan masalah yang dihadapi lelaki. Sehinggga untuk mencapai tempat tersebut,
melalui sungai sehingga perjalanan terasa pendek untuk sampai di dermaga
Yoshiwara. Siapa pun yang ingin menghabiskan malam dengan kesenangan baik di
kedai teh atau menonton pentas kabuki harus pergi ke Yoshiwara.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Umae, seorang geisha yang menjadi sorotan publik karena ketenarannya
hingga terkenal hamper diseluruh Edo. Tak ada yang tahu berapa umurnya sekarang.
Karena riasan yang dikenakan sangat rapi sehingga memungkinkannya bisa menjelma
menjadi berbagai umur. Ia lebih dikenal karena kemampuannya menghibur. Untuk
menjadi seorang umae tak semudah yang dibayangkan, ia yang memutuskan hidup
mengabdi menjadi seorang geisha harus melewati keadaan yang cukup sulit. Ia rela
melepas keluarga karena telah di jual oleh kedua orang tuanya sehingga ia harus
merelakan masa kecilnya dengan membayar semua dengan menajadi seorang geisha.
Namun dibalik kecantikan yang tersemat ada keinginan ia untuk dapat menjadi
seorang dengan kehidupan normal. Bisa mencinta dan dicintai mungkin satu hal yang
sulit mengingat seseorang yang telah datang ke Yoshiwara tak jarang dapat keluar
kembali. Namun keinginannya memiliki keluarga yang utuh menghantarkannya
menjadi abadi sebagai seorang geisha selamanya.
Mungkin orang tak menyangka umae yang dibenci oleh para kaum isteri ini
memiliki perasaan keibuan dan juga hati yang lembut. Menjadi geisha tak
menyurutkan hatinya untuk tetap menjalani tradisi sebagai bangsa Jepang. Karena
baginya geisha itu hanyalah sebuah pekerjaan namun umae tetaplah perempuan yang
sederhana, karena kepopulerannya ia berhasil menggaet hati para petinggi di istana.
Namun tak jarang cinta segitiga selalu terjadi sehingga persaingan yang cukup sengit
untuk memenangkan hati seorang geisha. Umae terlatih untuk dapat menyembunyikan
emosinya namun masih bisa dilihat terkadang wanita itu sebenarnya tertekan.
Banyak yang membenci pribadi umae, sehingga banyak kejadian keejadian
yang selalu memojokkan dirinya, baginya mungkin ada lelaki yang berpikir mereka
bisa membeli para geisha. Dan demikian pula sebaliknya ada beberapa geisha juga
rela menjual dirinya namun tidak bagi umae. baginya menjadi Geisha itu lebih baik
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


dari pada menjadi seorang isteri simpanan, Prinsip hidupnya ialah bila ingin lepas dari
kehidupan yang suram ini sungguh itu memang dari hasil kerja kerasnya bukan karena
kemurahan hati kaum lelaki yang rela membelinya dan menjadikan isteri
simpanannya. Karena baginya geisha itu adalah sebuah lambing seni, tanpa peduli apa
yang melatar belakanginya mengapa menjadi geisha, tapi baginya berjuang demi
kecintaanya terhadap dunia seni ia rela melepaskan semua termasuk cinta, demi
impian menjadi seorang yang berahli seni tinggi meskipun harus menjadi geisha.

3.2. Analisis Kehidupan Geisha dalam Novel The Demon in The Tea House
3.2.1 Kehidupan Geisha dan Keluarga
1. Cuplikan ( hal. 94 )
kita disini seperti budak saja, begitulah. Aku harus datang kesini karena
Ibuku meninggal dan Ayahku tak sanggup menanggung kami semua. Karena di
keluarga aku yang paling tua maka akulah yang di jual. Dia memberi ayahku uang
dan sebagai gantinya, aku harus bekerja disini untuk sepuluh tahun. Namun Oba
Koko ( pemilik kedai teh ) berkata waktunya dapat saja bertambah jika aku
memecahkan, merusak, atau menumpahkan sesuatu dia akan mencatat, aku tak
mengerti apa itu. empat tahun, semenjak aku berumur sembilan tahun.

Analisis
Pada cuplikan diatas terdapat kalimat kita disini seperti budak saja, yang
merupakan indeksikal dari perbudakan yang tak mengenal hak hak manusia itu
sendiri, Mengingat pada masa itu tepatnya rezim tokugawa belum ada undang
undang perlindungan anak yang tidak boleh memperkerjakan anak dibawah umur,
apalagi harus menjadi budak sekali pun. Aku harus datang kesini karena Ibuku
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


meninggal dan Ayahku tak sanggup menanggung kami semua. Karena di keluarga
aku yang paling tua maka akulah yang di jual. Kalimat tersebut diatas menandakan
bahwa indeksikal dari sebuah pejuangan seorang anak yang telah dijual oleh ayahnya
demi kelangsungan hidup keluarga, menunjukkan bahwa bagaimana kerasnya hidup
pada saat kekuasaan berada ditangan seorang Tokugawa, sehingga setiap orang tidak
memiliki hak pribadi di zaman Tokugawa ini. Keluarga merupakan keberadaan
terkecil yang diakui, dan menjaga nama baik keluarga merupakan hal yang paling
utama di tingkat masyarakat. Dia memberi ayahku uang dan sebagai gantinya, aku
harus bekerja disini untuk sepuluh tahun. Mengideksikalkan bahwa Wanita-wanita ini
kerap kali dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12
tahun. Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi
pelacur kelas atasan yang berpangkat tinggi. Apabila seorang gadis itu cukup tua dan
berkesempatan menyelesaikan latihannya, dia sendiri dapat menjadi gundik dan
berusaha untuk naik pangkat. Gadis-gadis itu kerap kali mempunyai kontrak dengan
rumah pelacuran untuk 5 atau 10 tahun saja, tetapi hutang yang besar selalu mengikat
mereka di rumah pelacuran seumur hidup mereka. Kuatnya ikatan kontrak kepada
pihak rumah pelacuran yang disebabkan karena hutang hutang keluarga. Sehingga
bagi mereka rumah pelacuran ini merupakan rumah kedua mereka setelah keluarga
namun tak jarang mereka menghabiskan seluruh sisa hidupnya menjadi budak di
rumah pelacuran tersebut.





Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


2. Cuplikan ( hal 267)
Kami wanita harus menuruti kata seorang ayah, dan melakukan apa yang
dia putuskan karena kami hanya seorang anak. Jika sang ayah menjualnya, maka dia
harus menerima kehidupan yang dipilihkan untuknya. Jika dia memilihkan suami,
wanita pasti harus menikahi pilihan ayahnya itu.

Analisis
Hal ini banyak yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi dan kemiskinan orang
tua. dan lagi penjualan anak di Jepang bukanlah menjadi hal yang besar, karena
seorang anak dianggap mempunyai giri atau hutang budi kepada orang tua yang telah
membesarkannya, sehingga bila dengan terpaksa mereka dijual baik itu ke rumah
rumah geisha atau kerumah pelacuran sekali pun, hal itu dianggap wajar untuk
membantu keadaan orang tuanya yang tidak mampu. Sehingga orang tua atau
keluarga yang menjual anaknya menjadi geisha, merasa anaknya akan hidup dengan
lebih tenang dan aman di sana dari pada hidup menderita dengan mereka.

3. Cuplikan ( hal 248 )
Ya, tradisi yang biasa dilakukan geisha, membawa adik perempuan
barunya. Kannon adalah biksu Budha terkenal bagi para geisha, karena mereka
percaya dia adalah orang yang ramah dan pengampun.
Analisis
Pada cuplikan dialog diatas, terdapat kalimat, ya, tradisi yang biasa
dilakukan geisha, membawa adik perempuan barunya. ini merupakan indeksikal
dari kenyataan bahwa banyak diantara mereka yang tak memiliki keluarga setelah
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


dijual ke okiya okiya sehingga dengan mengangkat seorang adik perempuan bisa
menjadi keluarga kecil dan dapat meneruskan tradisi yang telah ada.


4. Cuplikan ( hal 230 )
Aku hanya.aku tak punya tempat lain untuk dituju. Kupikir aku bisa tidur
digudang, namun sekarang ruangan itu diberikan kepadamu juga. Aku cuma ingin
pekeerjaan ku kembali. Aku hanya akan menunggu diluar, sampai dia membutuhkan
orang untuk melakukan sesuatu. Tempat ini telah menjadi rumah dan keluarga ku,
meski ku rela dipukuli namun demi semangkok nasi itupun telah cukup bagi perutku
yang kosong.

Analisis
Pada cuplikan diatas terdapat kalimat, aku tak punya tempat lain untuk
dituju, ini merupakan indeksikal bahwa tempat yang telah membelinya itu
merupakan rumah kedua setelah keluarganya hanya disana ia dapat berteduh, makan
meski harus dibayar mahal dengan menjadi budak selama perjanjian yang telah
disepakati. Tempat ini telah menjadi rumah dan keluarga ku, meski ku rela dipukuli
namun demi semangkok nasi itupun telah cukup bagi perutku yang kosong. ini
merupakan indeksikal dari kerasnya kehidupan tak peduli tempat yang bagaimana pun
itu demi melangsungkan hidup, demi sesuap nasi, agar dapat bertahan hidup dan dapat
membayar hutang hutang keluarga cara apapun tak kan jadi masalah.



Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


3.2.2. Berhubungan dengan Politik dan Pemerintahan
1. Cuplikan ( hal. 57 )
Kenapa orang orang yang datang kesini menyewa pakaian, karena
mereka tidak ingin dikenali, jawab sang hakim. beberapa Daimyo dengan petugas
yang menikmati hiburan di kedai teh, tidak ingin kehadiran mereka diketahui,
kebanyakan geisha terbaik, tayu, tidak terpesona oleh pangkat seseorang
dilingkungannya. Karena, seorang saudagar lebih dihargai dari pada seorang
daimyo. seorang pemimpin samurai, mustahil dibandingkan. jika hal itu benar, maka
Yoshiwara berarti dunia lain.

Analisis
Kenapa orang orang yang datang kesini menyewa pakaian, karena mereka
tidak ingin dikenali Kalimat diatas mengindeksikalkan Mungkin fakta bahwa geisha
berada dalam lingkaran pemerintahan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang
dibuat. Mereka terlibat dalam intrik-intrik pemberontakan politik yang di kemudian
hari menjadi pendiri bangsa baru. Dan pada kalimat beberapa Daimyo dengan
petugas yang menikmati hiburan di kedai teh, tidak ingin kehadiran mereka diketahui,
membuktikan bahwa berulangkali terjadi bahwa cara seperti itu dipakai untuk
menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat pemerintahan
yang terjatuh di kedai-kedai teh khususnya di Yoshiwara. Mengapa sejatinya hanya
saudagar lah yang memiliki tempat khusus dihati para geisha seperti terdapat pada
kalimat, seorang saudagar lebih dihargai dari pada seorang daimyo. seorang
pemimpin samurai, mustahil dibandingkan. Mengapa demikian, hal ini
mengindeksikalkan bahwa Daimy (
?
) berasal dari kata Daimyshu (
?
,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


kepala keluarga terhormat) yang berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu
wilayah. Di dalam masyarakat samurai di Jepang, istilah daimy digunakan untuk
samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki banyak
bushi sebagai pengikut. Sedangkan saudagar hidupnya yang jauh lebih kaya raya
dibanding Daimyo dan tidak memiliki keterikatan dengan yang namanya kekuasaan.

2. Cuplikan ( hal. 81)
Seorang tayu geisha kelas atas, mereka tidak menerima pelanggan yang
tidak mereka inginkan, mereka lebih sering melayani para daimyo, petinggi
pemerintah, shogun atau saudagar kaya.

Analisis
Seorang tayu geisha kelas atas, mereka tidak menerima pelanggan yang tidak
mereka inginkan, menunjukkan bahwa tayu lebih pemilih, karena geisha kelas tinggi
mendapatkan kedudukan yang tinggi yang disebut tayu atau oiran dan diperlakukan
seperti keluarga kerajaan yang dibantu oleh shinzo, kamuro dan pelayan-pelayan lain.
mereka lebih sering melayani para daimyo, petinggi pemerintah, shogun atau
saudagar kaya. Hal ini juga mengindeksikalkan bahwa demi mendapatkan
kedudukan yang tinggi sehingga menghilangkan image yang melekat pada diri geisha
yaitu bahwa geisha merupakan golongan kelas bawah. Namun sejatinya dalam
kenyataannya geisha memiliki peran penting dalam pemerintahan, juga untuk
memperlancar hubungan khususnya dalam bidang dimlomasi.

3. Cuplikan ( hal. 130)
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


yang pertama datang telah menyewa topi jerami yang lebar ditoko dekat
pelabuhan. Ketika ia melepaskan topi, akhirnya seikei mengerti kenapa ia
menyamarkan identitas. Ia adalah genda, seorang petinggi shogun. genda ialah
seorang omatsuke. yang bertugas sebagai memata matai pejabat lain dan
menyelidiki pelanggaran.
Melakukan perjalanan kekedai the di Yoshiwara bukanlah sebuah
pelanggaran hukum, namun bukan merupakan rahasia bahwa shogun tak menyukai
kegiatan itu, shogun takut orang orang yang melakukannya akan terlena hanya
terus mengejar kesenangan. dan akan membuatnya mengabaikan tugas.

Analisis
Kalimat diatas menunjukkan indeksikal bahwa seorang pejabat tinggi
pemerintah juga takut aib yang akan dibuatnya mencoreng nama baiknya sehingga
dengan berbagai cara ia lakukan demi sebuah kesenangan semata yaitu dengan
menyewa topi jerami yang lebar ditoko dekat pelabuhan. Hal ini dilakukan semata
mata agar identitas sebagai petinggi pemerintahan tidak diketahui oleh orang lain
mengingat shogun takut orang orang yang melakukannya akan terlena hanya terus
mengejar kesenangan. dan akan membuatnya mengabaikan tugas sehingga kalimat
tersebut mengideksikalkan bahwa banyak pelanggaran pelanggaran yang dilakukan
sehingga pada masa kekuasaan Tokugawa banyak pejabat pemerintahan yang
terjatuh di kedai-kedai teh khususnya di Yoshiwara.




Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.




3.2.3. Berhubungan dengan Ekonomi
1. Cuplikan ( hal . 45 )
Seorang wanita datang ke toko ku mencari sutera untuk dibuat kimono katanya
dia seorang geisha. kenapa kau menyimpulkan seperti itu? Tanya Hakim,
kenapa.dia punya model rambut yang menandakan bahwa dia seorang geisha,
alisnya dicukur, dan dia memakai kimono sutera sangat mahal, hanya geisha
yang mampu membelinya.


Analisis
Cuplikan diatas mengindeksikalkan bahwa keglamouran yang ditunjukan oleh
seorang geisha membuat ia bisa dikatakan dengan cara ini mereka menemukan
kedudukanya di antara kehidupan Jepang modern. Seorang geisha adalah seorang
gadis yang sangat lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni;
kelihatannya sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi;
gerakanya gemulai dan tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal;
percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme dan
jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada habisnya; kesederhanannya menjadi
contoh; kepuasannya tidak terukur. Selain itu dalam kalimat dia memakai kimono
sutera sangat mahal menunjukkan indeksikal yang tanpa disadari geisha juga
dapat membantu dalam pertumbuhan perekonomian penduduk setempat dengan
mengenalkan kain sutera yang baik kepada masyarakat luas, karena dikatakan
bahwa hanya geisha yang mampu membelinya. menunjukkan bahwa geisha lah
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


salah satu yang dapat mendongkrak perekonomian para pedagang kain pada masa
sulit di bawa kekuasaan rezim tokugawa.
2. Cuplikan ( hal . 46 )
Jelaskan tentang kimono yang dipakai kata sang Hakim. Ia berpikir,
Berwarna cokelat, cokelat kemerahan seperti daun maple yang gugur, sulaman
bergambar angsa dari benang emas, aku tahu itu sangat mahal. Aku langsungg bisa
menebak, dia pelanggan yang baik.


Analisis
Berwarna cokelat, cokelat kemerahan seperti daun maple yang gugur,
sulaman bergambar angsa dari benang emas, aku tahu itu sangat mahal. Hal ini
mengindeksikalkan bahwa kehidupan geisha yang serba mewah . Namun geisha
masih menjadi model jika berada dalam tempat-tempat yang lebih kecil. Berpakaian
adalah bagian dari seni mereka. Hal ini membuktikan bahwa dalam pakaian dan
kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka. Geisha masih
menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya, berhutang untuk
membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru. Jika dia bisa menampilkan
karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya semakin baik. Seorang
geisha mencari tamu murni dengan seni yang ada di komononya sebagai pintu untuk
memasuki dunianya. Walaupun gesiha tidak lagi mempengaruhi fashion secara umum,
mereka masih terus membuat model baru untuk kimono, Hal ini dikarenakan
pendapatan yang ia hasilkan semata mata tidak hanya untuk dirinya saja melainkan
yang terlibat dalam pekerjaannya harus mendapat bagian masing masing sehingga
fungsi geisha tersebut juga dapat mendongkrak perekonomian khususnya dikawasan
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


tempat ia bernaung. Jadi penampilan bagi seorang geisha merupakan modal utama,
demi kelangsungan eksistensinya.
3. Cuplikan ( hal . 124 )
Sebuah kago diturunkan oleh dua orang yang tak dikenal membangkitkan
ingatan seikei, dulu ia harus naik kago sewaktu ia masih menjadi anak saudagar, yang
satu ini terlihat lebih besar dari yang biasa di tumpanginya. Dihiasi sutera kuning,
batu batu kerikil, dan kerang mengkilat yang memantulkan sinar lentera. Seikei
terkejut sekilas peminggul menurunkan kago itu didepan kedai, pintu menggeser,
terbuka, dan wanita cantik keluar. seikei baru kali itu melihat makhluk secantik ini.
Ia adalah, tentu saja, seorang geisha. wajahnya tertutp dengan riasan putih,
memunculkan warna merah menyala dibibirnya, matanya yang besar berwarna hitam.
alis buatan dilukis diatas dahi. wig hitam menutupi kepala, dengan beberapa
kanzashi tersemat dirambutnya. Itu adalah tusuk rambut yang indah biasanya terbuat
dari gading, perak atau kayu yang indah dan langka.

Analisis
Ia adalah, tentu saja, seorang geisha. wajahnya tertutp dengan riasan putih,
memunculkan warna merah menyala dibibirnya, matanya yang besar berwarna hitam.
alis buatan dilukis diatas dahi. wig hitam menutupi kepala, dengan beberapa
kanzashi tersemat dirambutnya. Itu adalah tusuk rambut yang indah biasanya terbuat
dari gading, perak atau kayu yang indah dan langka. kalimat ini adalah indeksikal
dari bahwa memang benar adanya kehidupan geisha sangat menunjukan model yang
berani. Geisha menjadi personifikasi dari iki, sebuah kata yang masih digunakan
hingga saat ini untuk menggambarkan sikap dingin. Secara kasual ini memang elegan,
kekuatan pemahaman tentang bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Sehingga secara
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


prakteknya penampilan geisha sangat berlawanan dengan yujo membuat yujo tampak
ketinggalan jaman. Iki berasalah dari keberanian khusus yang dimiliki geisha untuk
seni. Misalnya sebagai tanda kekuatan karakter geisha tidak pernah mengenakan kaos
kaki tabi.

4. Cuplikan ( hal. 167 )
Umae yang selalu bekerja dengan dua tayu lainnya, kata odori mereka
adalah kimi dan satsu. Setiap kedai teh ingin mengadakan pesta disana, karena
pelanggan yang kaya dan berpengaruh akan mengikuti kemana pun mereka pergi,
juga karena hadiah yang diberikan para tamu kepada ketiganya. Kimono yang bagus,
kau tahu, harganya bisa setara dengan penghasilan saudagar kebanyakan dalam satu
tahun. Karena itu, siapapun yag datang ke pesta itu pasti orang yang sangat kaya.


Analisis
karena pelanggan yang kaya dan berpengaruh akan mengikuti kemana pun
mereka pergi, juga karena hadiah yang diberikan para tamu kepada ketiganya.
Kimono yang bagus, kau tahu, harganya bisa setara dengan penghasilan saudagar
kebanyakan dalam satu tahun. Karena itu, siapapun yag datang ke pesta itu pasti
orang yang sangat kaya. ini merupakan indeksikal dari peran geisha dalam bidang
ekonomi yag juga memberikan penghidupsn bagi orang lain. Maksudnya jasa orang
orang yang terlibat dalam pekerjaan geisha juga harus dibayar pendapatannya.
Sehingga sesungguhnya hal yang paling membanggakan bagi seorang geisha bukan
karena hadiah mahal yang diterima melainkan ia dapat menghasilkan sesuatu untuk
orang lain. seperti dalam kalimat karena pelanggan yang kaya dan berpengaruh
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


akan mengikuti kemana pun mereka pergi, ini merupakan indeksikal dari peran
geisha yang dapat membuka lapangan kerja bagi orang orang lain, seperti dalam
kalimat diatas dikatakan bahwa para pelanggan setianya akan mengikuti kemana pun
ia pergi, sehingga orang orang seperti pemilik rumah minum, okiyanya dan lain
lain. Orang orang tersebut tentunya bergantung dari pendapatan yang dihasilkan
oleh geisha yang mereka tangani. Tidak itu saja geisha juga turut menyumbang bagi
pembangunan Negara melalui pajak yang mereka bayarkan.

5. Cuplikan ( hal. 201 )
Hujan uang terima kasih ke Oba Koko membuat beberapa orang yang
belum pernah berada diruangan Umae kemarin malam berkesempatan masuk.

Analisis
Hujan uang terima kasih mengindeksikalkan bahwa pemilik dari kedai teh
pun akan turut merasakan kebanjiran rezeki akibat kehadiran seorang geisha yang
cukup dikenal karena kepandaiannya dalam menghibur lelaki sehingga dapat di
katakana bahwa peran geisha itu sangat penting sekali dalam petumbuhan ekonomi.








Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.




3.2.4. Berhubungan dengan Sosial Budaya
1. Cuplikan ( hal. 65)
Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur. mereka belajar menyenangkan
dan memuaskan pelanggan.

Analisis
Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur kalimat ini mengindeksikalkan
bahwa Geisha seperti yang dikenal muncul beberapa ratus tahun yang lalu. Namun
demikian wanita bertipe geisha wanita yang menghibur dan kemudian
menawarkan tubuhnya kepada pria kembali pada masa awal di Jepang. Tergantung
pada tingkat seninya, sensitifitasnya dan kepandaianya, wanita-wanita ini, yang
kemudian hari menjadi seperti geisha, bisa menjadi terkenal dan bahkan berkuasa.

2. Cuplikan ( hal. 127)
Satu satunya cara menjadi geisha adalah membiarkan seorang
mengangkat kita jadi adik perempuan. karena Umae adalah geisha yang paling
dihormati. Nui yang merupakan adik perempuan Umae yang baru saja dipilih pasti
akan menjadi terkenal dan tentu saja Oba koko akan mendapat bagian.

Analisis
Satu satunya cara menjadi geisha adalah membiarkan seorang mengangkat
kita jadi adik perempuan. Indeksikal diatas menunjukkan bahwa dengan mempunyai
seorang onesan (kakak perempuan) yang bersedia mengajaknya pada tugas-tugasnya
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


sehingga dia bisa belajar melalui minarai (observasi) agar terbiasa dan mahir dalam
melayani para pelanggan. Banyak yang mengatakan bahwa pekerjaan menjadi geisha
itu adalah masih dianggap jelek bagi budaya barat, namun tidak di Jepang melainkan
geisha ini merupakan simbul Jepang kepada dunia luas. Geisha sendiri telah
mendokasi pakaianya untuk mengenalkan Jepang sejak poster traveller Jepang
pertama kali dicetak

3. Cuplikan ( hal. 128)
Para geisha harus menghibur laki laki, itulah yang mereka semua
lakukan. Meski mereka tidak bersama laki laki, mereka tetap harus mempercantik
diri atau meningkatkan kemampuan menyanyi dan menari.

Analisis
Para geisha harus menghibur laki laki, kalimat diatas menerangkan
bahwa fakta sosial yang sangat penting adalah gesiha bukanlah istri. Mereka hidup
dalam komunitas wanita yang terorganisir secara profesional. Mereka mempunya
affair dengan pria yang sudah menikah, dan dapat memberikan layanan lain atas
kebijakan mereka sendiri. Hidup mereka berasal dari menyanyi, menari dan berbicara
dengan para pria di tempat-tempat perjamuan. mereka tetap harus mempercantik diri
atau meningkatkan kemampuan menyanyi dan menari, kalimat ini mengideksikalkan
bahwa Mereka adalah penegak tradisi, mengenakan kimono setiap hari seperti yang
dilakukan oleh hanya sedikit wanita Jepang. Sehingga hal ini membuktikan bahwa
dalam pakaian dan kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka.
Geisha masih menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya,
berhutang untuk membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru. J ika dia
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


bisa menampilkan karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya
semakin baik. Kebanggaan seorang geisha tergantung paga gei atau seninya. Gei
merupakan hal penting bagi geisha sejak profesi ini mulai ada, ketika geisha disewa
karena kemampuan menari dan menyanyinya. Sekarangpun tetap sama, ketika
seorang wanita muda menjadi geisha sebagian besar adalah karena kecintaan mereka
terhadap musik dan tari tradisional. Sebagai seorang geisha mereka dapat tampil
sebagai profesional, bukan sebagai amatir. meningkatkan kemampuan menyanyi dan
menari merupakan hal terpenting dalam kehidupan mereka.

4. Cuplikan ( hal. 129)
Tak ada yang benar benar bebas, aku Tsune, namun kecantikan itu tak
ada yang abadi. Suatu hari, bahkan saat Umae harus pensiun, meski dengan semua
uang yang ia telah kumpulkan sekarang, aku yakin suatu saat dia akan kesepian.

Analisis
Tak ada yang benar benar bebas, kalimat tersebut diata mengungkapkan bahwa
meski diluar tampak dengan leluasanya mereka menjalani hidup namun sesungguhnya
mereka takkan terlepas dari latar belakang sebagai seorang perempuan penghibur,
image itu akan selalu dan senantiasa berada dalam belenggu mereka. sekalipun ia
telah pensiun. kalimat yang mengindeksikalkan bahwa meski dengan semua uang
yang ia telah kumpulkan sekarang, aku yakin suatu saat dia akan kesepian,
menunjukkan bahwa uang takkan selamanya membawa kenikmatan, karena
kenikmatan yang didapat hanya bersifat sementara. Untuk apa punya banyak uang
tetapi kesepian.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.




5. Cuplikan ( hal. 140 )
Ketika tempat itu tersedia, mereka berpindah tempat. tapi walaupun Maiko
dan Odori tak secantik Umae, Ia menikmati pertunjukan mereka, Maiko memetik
samisen, tiga senar menyanyikan lagu yang menghanyutkan para pendengar kemasa
lalu. odori disisi lain adalah seorang yang ceria dan selalu riang ia melemparkan
lelucon yang menghangatkan suasana hati pelanggan lalu mengatur permainan.



Analisis
Indeksikal diatas menerangkan bagi para musisi geisha, sebuah shamisen
adalah sahabat sejatinya. Dia mungkin menyebutnya sebagai o-shami. seperti pada
kalimat sebagai berikut, memetik samisen, tiga senar menyanyikan lagu yang
menghanyutkan para pendengar kemasa lalu. dan seorang geisha tentu saja harus
dapat menghangatkan suasana hati pelanggan, indeksikal kalimat ini menunjukkan
bahwa sejatinya geisha itu adalah orang seni yaitu mereka yang mengabdikan
dirinya pada ketrampilan menghibur. Geisha dianggap semata-mata hanya pelengkap
orang yang menemani orang penting dalam lingkaran kehidupan. fakta sosial yang
sangat penting adalah bahwa gesiha bukanlah istri.

6. Cuplikan ( hal. 141 )
Umae telah membangun semua kemampuan yang harus dimilik geisha. Ia
punya suara yang merdu, diiringi dengan samisen yang ia petik. jika mau, Ia bisa
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


menceritakan kisah yang bisa membuat orang menangis seketika, lalu tiba tiba
tertawa terbahak bahak, kecantikan dan keelokannya sangat bisa mereka nikmati
ketika menyaksikan geisha itu menuangkan teh atau menawarkan sepiring manisan.

Analisis
Ia punya suara yang merdu, diiringi dengan samisen yang ia petik. jika mau, Ia bisa
menceritakan kisah yang bisa membuat orang menangis seketika, lalu tiba tiba
tertawa terbahak bahak, kecantikan dan keelokannya sangat bisa mereka nikmati
ketika menyaksikan geisha itu menuangkan teh atau menawarkan sepiring manisan.
Kalimat tersebut mengindeksikalkan bahwa Gei seorang geisha terutama terbentuk
dari permainan shamisen dan tari tradisional, namun hal tersebut juga menjadi arah
bagi seni tradisional lainnya seperti: kaligrafi, kemampuan menulis puisi, dan jamuan
minum teh. Geisha harus tahu persis tentang seni agar seni bisa menjadi karakternya
yang kedua. Pertama-tama mereka belajar dengan hafalan. Belajar dengan hafalan ini
penting agar seorang geisha dapat menyesuaikan diri dengan penyanyi dan penari.
Semakin spontan keadaannya, semakin besar daya tarik seninya.

7. Cuplikan ( hal. 203)
Umae menyerahkan samisen pada Nui lalu berdiri, sementara gadis yang
lebih muda itu memainkan musik pengiring sederhan, Umae menari dan menyanyi.
Orang orang diruangan duduk tak bersuara, terpesona tangan geisha itu melambai
laksana air mengalir, bukan sekedar segumpal daging, seakan iia mengajak semua
yang hadir mengikutinya ke alam lain. Dengan langkah kecil dan merdu suaranya. ia
menghantarkan mereka ke dunia dimana hanya cinta yang berkuasa.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.




Analisis
geisha secara harfiah berarti orang seni yaitu mereka yang mengabdikan
dirinya pada ketrampilan menghibur, Seorang geisha adalah seorang gadis yang
sangat lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni; kelihatannya
sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi; gerakanya gemulai dan
tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal; percakapanya merupakan gabungan
yang tajam antara unsur feminisme dan jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada
habisnya; kesederhanannya menjadi contoh; kepuasannya tidak terukur. seperti dalam
kalimat yang mengideksikalkan bahwa geisha memang berbeda dengan wanita jepang
lainnya karena tangan geisha itu melambai laksana air mengalir, bukan sekedar
segumpal daging, seakan iia mengajak semua yang hadir mengikutinya ke alam lain,
seolah memiliki daya pikat tersendiri dan Dengan langkah kecil dan merdu suaranya.
ia menghantarkan mereka ke dunia dimana hanya cinta yang berkuasa. Menunjukkan
bahwa mereka bisa dengan tanpa sadar membuat para pelanggan seraya melupakan
kesulitan kesulitan hidup mereka dengan menghanyutkan para pelanggan kedalam
dunia dimana hanya cinta yang berkuasa.

8. Cuplikan ( hal. 214)
Mulai saat ini, Umae melanjutkan, Nui akan berada disisiku untuk belajar,
aku akan memimbingnya seni keterampilan yang harus dimulai dari seorang geisha.

Analisis
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Kalimat diatas indeksikal dari geisha harus tahu persis tentang seni agar seni
bisa menjadi karakternya yang kedua. Pertama-tama mereka belajar dengan hafalan.
Belajar dengan hafalan ini penting agar seorang geisha dapat menyesuaikan diri
dengan penyanyi dan penari. Semakin spontan keadaannya, semakin besar daya tarik
seninya. seni keterampilan yang harus dimulai dari seorang geisha menunjukkan
bahwa "Geisha" adalah sebuah kata yang berarti "orang yang praktek / kehidupan
oleh gei (seni). Melalui definisi sederhana ini kita dapat menetapkan sejarah siapa
geisha dan bagaimana mereka telah terlihat. Gei secara khusus mengacu pada seni
memainkan shamisen (alat musik bersenar tiga), drum, tradisional menari dan
menyanyi, upacara minum teh, kaligrafi, dan seni percakapan.















Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.






BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
1. Karya sastra adalah sarana bagi seorang untuk menyampaikan pemikiran,
pandangan, dan kreativitasnya dengan tujuan untuk menghibur,
memberitahu atau mempengaruhi pembacanya tentang suatu hal. Objek
ilmu sastra adalah sekelompok teks tertentu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kajian ilmu sastra adalah cabang ilmu teks pada umumnya. Novel
adalah suatu karya yang fiksi yang menyaran pada suatu karya yang
menceritakan suatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada
dan terjadi sungguh sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya
pada dunia nyata.
2. Geisha yang secara harfiah merupakan orang seni yaitu mereka yang
mengabdikan dirinya pada ketrampilan menghibur. Awalnya mereka
semua adalah pria. Pada permulaan adanya rumah hiburan, mereka
berpenampilan sedemikian rupa sehingga para pelacur kelas tinggi
dianggap berada di bawahnya, sebagai penari, pelawak, penabuh drum dan
pemain shamisen. Dan seorang geisha adalah seorang gadis yang sangat
lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni; kelihatannya
sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi; gerakanya
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


gemulai dan tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal;
percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme
dan jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada habisnya;
kesederhanannya menjadi contoh; kepuasannya tidak terukur.
3. Fakta sosial yang sangat penting adalah bahwa gesiha bukanlah istri. Istri
selalu mengawasi lingkungan rumah dan anak-anak, sedangkan profesi
gesiha secara eklusif terpisah dalam ruang yang berbeda antara untuk
kepentingan rumah dan untuk kepentingan bisnis. Mereka terlibat dalam
intrik-intrik pemberontakan politik yang di kemudian hari menjadi pendiri
bangsa baru. Berulangkali terjadi bahwa cara seperti itu dipakai untuk
menjatuhkan pejabat pemerintahan. Di tengah masa suram ini, masa
represif, geisha diapresiasi sebagai lambang tradisional Jepang. Seorang
geisha tidak dapat bertahan tanpa memelihara jaringan yang kuat diantara
anggota komunitasnya. Apakah hubungan ini merupakan hubungan positif
atau negatif, mereka tetap mendukung geisha secara pribadi.
4. Dalam pandangan orang asing, seperti Dorothy bagi orang Jepang yang
bercitarasa masa lalu atmosfir pesta geisha yang mengkombinasikan
warna, harmoni, suara dan gerakan dengan iteligensi dan humor tidaklah
demikian. Sensibilitasnya menunjukkan intimasi sosial. Kata geisha
dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu sebagai
mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang
penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada
sehingga dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata geisha mengarah
pada anggapan pada seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya
dan memenuhi semua nafsu dan keinginan majikannya. Kepribadiannya
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha wajib melebur seperti halnya
Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan.

5. Geisha sebagai seorang seniman yang menghibur dengan keahlian seni.
Dorothy dalam novelnya menguraikan bagaimana sebenarnya hakikat
seorang geisha yang sesungguhnya, peran serta fungsinya dalam
masyarakat.

4.2. Saran
1. Sebelum menentukan baik buruknya suatu bentuk kebudayaan, ada
baiknya terlebih dahulu menyelidiki sejarah dan keberadaan budaya itu
sendiri. Selain untuk pengetahuan kita sendiri, kita juga dapat membuat
karya sastra, yang dapat berupa karya fiksi maupun nonfiksi untuk dapat
memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan demikian kita akan dapat
mengubah pandangan negatif akan suatu hal.
2. Seperti halnya geisha yang tetap mempertahankan ciri khas budaya Jepang
itu sendiri, mereka menjadi simbol akan Jepang kepada dunia luas. Geisha
sendiri telah mendokasi pakaianya untuk mengenalkan Jepang yang sadar
akan budaya. Sehingga dari hal ini ada manfaat yang dapat kita ambil yaitu
mengingatkan kita akan budaya kita sendiri.
3. Dalam mempelajari kebudayaan Jepang sebaiknya tak hanya secara umum
melainkan mempelajarinya secara mendalam. hal ini dikarenakan banyak
terdapat bidang bidang yang cukup rumit sehingga memerlukan
pembelajaran yang serius agar tidak terjadi kesalah pahaman khususnya
bagi kita yang bukan orang Jepang.
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.






,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.

,
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.

5 10

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Dorothy


Dorothy

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.





Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Daftar Pustaka

Budiman, Ahmad. 2006. Analisis sosiologi tokoh dalam cerpen Rashomon karya ;
Ryonousuke Akaugatawa (Skripsi).
Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. J akarta : Penerbit Sinar
Harapan
Cobb, J ody. 1997. Geisha: The Life, The Voices, The Art. New York, USA : Alfred
A knopf.
Dalby, Liza. 2005. Geisha. London: Vintage
--------------. 2000. Little Songs of The Geisha. Tokyo, J apan : Tuttle Publishing.
Dewi, Nirmala. 2008. Peran Ninja Dalam Komik Naruto Karya :Masashi Khisimoto
(Skripsi).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta :
Media Pressindo.
Hoobler, Thomas & Dorothy. 2009. The Demon in The Tea House. J akarta:
Gramedia.(Novel)
Illyani, Nur. 2008. Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya: Eiji
Yoshikawa (Skripsi).
Kartasapoetra,G & L.J .B. Kreimers, 1987. Sosiologi Umum. J akarta : Bina Aksara.
Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. J akarta.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Post Strukturalisme Prespektif Wacana Naratif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.




Daftar Pustaka

Budiman, Ahmad. 2006. Analisis sosiologi tokoh dalam cerpen Rashomon karya ;
Ryonousuke Akaugatawa (Skripsi).
Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta : Penerbit Sinar
Harapan
Cobb, Jody. 1997. Geisha: The Life, The Voices, The Art. New York, USA :
Alfred
A knopf.
Dalby, Liza. 2005. Geisha. London: Vintage
--------------. 2000. Little Songs of The Geisha. Tokyo, Japan : Tuttle Publishing.
Dewi, Nirmala. 2008. Peran Ninja Dalam Komik Naruto Karya :Masashi
Khisimoto
(Skripsi).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi.
Yogyakarta :
Media Pressindo.
Hoobler, Thomas & Dorothy. 2009. The Demon in The Tea House. Jakarta:
Gramedia.(Novel)
Illyani, Nur. 2008. Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya: Eiji
Yoshikawa (Skripsi).
Kartasapoetra,G & L.J .B. Kreimers, 1987. Sosiologi Umum. J akarta : Bina
A k s a r a .
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Post Strukturalisme Prespektif Wacana Naratif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Weststeijin.1992. Pengantar Ilmu
Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: PT. Gramedia.
Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Pujiono, Muhammad. 2002. Skripsi: Analisis Nilai-nilai Religius dalam Cerpen
Karya Miyazawa Kenji. Medan : STIB Swadaya.
Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta : The Japan Foundation.
Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Dari Tuan Kepada
Keshogunan Dalam Feodalisme Zaman Edo Di Jepang (1603-1868). Medan :
USU Press
Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan USU : Press.
Syani, Abdul.1987, Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta : Fajar Agung
.
Soelaeman, Munandar. 1998. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Perkasa.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Penerbitan Fakultas
Ekonomi
Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy
& Thomas Hoobler, 2010.


Universitas Indonesia.
Sumardjo, Djakob. 1990. Konteks Sosial Novel Indonesia. Bandung : Alumni
Bandung
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT.
Gramedia
Pustaka Utama.
1983. Kondansha Encyclopedia Of Japan ( Book2). Tokyo Japan : Kondansha,
Ltd
http:// wikipedia Indonesia/ The Demon in The Tea House.
http:// wikipedia. org/ wiki/ zaman edo abad 18.
http:// Google.com/ Biography of Dorothy and Thomas hoobler.

Anda mungkin juga menyukai