Anda di halaman 1dari 2

1

Di Balik Layar Kota Manado


Pernahkah terlintas dalam benakmu di pagi buta ketika menyusuri jalanan ke pasar
45, pasti akan kau temukan mereka yang disebut sebagai sang pagi. Mereka adalah pagi yang
datang ketika semua masih terlelap di atas ranjang nyamannya. Mereka mempersiapkan apa
yang mereka sebut sebagai kebutuhan untuk kami para pemborong. Mengeluarkan semua
yang memikat hati dan mendorong kemauan untuk memilikinya. Kawanan berkumpul sejajar
berbaris dari titik temu kota sampai pintu masuk pasar, mereka telah ada di sana untuk
menunggu kedatangan kami.
Apa yang tidak pernah kau temui melainkan dapat kau lihat meski hanya samar-
samar, pemandangan suasana pasar yang ramai pengunjung, saling bernegoisasi satu dengan
yang lainnya. Bahkan berkumpul membentuk suatu kelompok membicarakan berbagai topik
menarik sambil mencicipi kopi hangat di warung pojok. Semua terjadi di sana dalam waktu
yang bersamaan, aku menyaksikan senyum dari wajah mereka berdua. Wajah si penyaji yang
puas dengan hasil yang dijualnya dan wajah si pemborong yang senang telah mendapatkan
apa yang menjadi hasrat untuk dimiliknya.
Pagi ini aku sedang menyaksikan tontonan menarik dari berbagai sudut dan tak sadar
sarapan pagi di atas mejaku sudah habis, tapi tidak untuk kopi hangatku yang masih
senantiasa setia menemaniku meski hanya tersisa sedikit dan banyak ampas dibawahnya.
Kemudian datanglah seorang tua paruh baya duduk disebelahku. Namanya Kumtua, orang
yang banyak tahu mengenai sejarah kota ini terbentuk, begitu katanya padaku. Aku hanya
memaklumi karena sifat dan umurnya yang menua tapi bukan ingin membedakan. Aku
menghargai beliau karena percakapan kami akhirnya membentuk benang merah.
Beliau banyak berbagi cerita bahkan pengalamannya selama ini. Hal yang
mengagetkanku adalah beliau ternyata seorang penjelajah sekaligus pecinta alam sewaktu
muda dulu. Aku sangat senang bisa bertemu dengan beliau, kemudian beliau mulai bercerita
dari kota Tomohon, sebuah kota yang disebut oleh penduduk mayoritas di sana sebagai kota
bunga. Bukan hanya itu melainkan di sanalah tempat gunung Lokon berada. Hawa dingin
yang menusuk sampai ke permukaan kulit kala pagi datang menggantikan malam.
Meski demikian siang hari di kota itu malah cuacanya adem dan sejuk sekali. Sampai-
sampai aku tidak bisa membedakan yang mana panas ataupun dingin. Mau dikatakan hangat
juga tidak tapi ini lebih sejuk rasanya. Suasana kota itu sunggu rapi dan bersih bahkan setiap
pinggiran jalan banyak berjejer rapi tanaman-tanaman bunga yang indah dari berbagai jenis.
Ketertarikanku semakin menjadi-jadi apakah bunga-bunga itu sebegitu indahnya seperti yang
dikatakan oleh Kumtua.
Kumtua kemudian melanjutkan ceritanya ke lokasi gunung Lokon, tempat dimana
semua orang bisa melihat keindahan gunung itu. Bahkan pristiwa meletusnya gunung tersebut
beberapa tahun yang lalu juga menjadi saksi bisu bagi penduduk di sana. Meskipun itu juga,
aku membayangkan jika berada di sana dan menaiki pundak gunung itu kemudian berdiri di
atas puncak tertinggi, menggapai awan, merasakan hembusan angin dan menunggu
tenggelamnya sang surya.
Perasaan yang ingin sekali aku wujudkan, ada tempat lain juga yang diceritakan oleh
Kumtua jika dari arah kota Tomohon lurus perjalanan ke depan mencari lokasi bukit
doa/kasih. Tempat yang sangat besar dan berwisata. Di penuhi dengan banyak asap dari
kawah belerang. Aku membayangkan jika yang dikatakan Kumtua bahwa kawah itu sering
digunakan untuk memasak jagung rebus. Aneh didalam benakku tapi aku bertanya kembali.
Apakah memang di sana begitu seperti halnya dan Kumtua menjawab benar adanya.
Penasaran yang tak terkira ingin menyaksikannya langsung. Sesampainya di sana pijat terapi
langsung ditawarakan oleh penduduk di sana.

2
Walau menguras sedikit lembaran di dalam dompet, tapi untuk kesenangan tak
apalah. Tidak sampai di situ, aku kemudian bertanya kepada Kumtua, apakah hanya itu saja
yang tersedia di sana? Lalu Kumtua mengatakan padaku, jika seandainya aku tertarik, aku
bisa menaiki atas bukit yang tinggi di atas sana dengan jarak tempuh berkisar 2500 meter.
Capailah sampai puncak bukit itu dan akan kau temukan salib besar berdiri di atas bukit itu,
kemudian akan kau temukan lukisan di setiap turunan bukit rentetan perjalanan Yesus Kristus
disalibkan. Itulah mengapa dinamakan bukit kasih/bukit doa. Hawa dingin menusuk-nusuk di
sana tapi semua itu akan terobati dengan menikmati secangkir kopi hangat dan pisang goreng
di pondok yang dikelilingi kawah belerang.
Aku merasa begitu

Anda mungkin juga menyukai