Anda di halaman 1dari 12

Artikel 1

Judul : Perjalanan Makin Praktis. 12 Bandara Mulai Tetapkan Biaya Jasa Bandara di Dalam Tiket
Sumber : Harian Kompas, tanggal 1 Oktober 2012

Terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2012. PT Angkasa Pura II selaku pengelola 12 bandara di
Indonesia mulai memberlakukan penggabungan airport tax atau pajak bandara ke dalam tiket pesawat.
Iket Telah diketahui sebelumnya pungutan terhadap airport tax atau pajak bandara terpisah dari tiket
pesawat dan pemungutannya dilakukan ketika penumpang akan memasuki terminal keberangkatan
dari pesawat sesuai tujuannya masing-masing. Maskapai pertama yang akan memberlakukan
penggabungan biaya tiket dengan pungutan airport tax adalah maskapai Garuda Indonesia. Kemudian
bandara yang akan mulai menerapkan adanya penggabungan tersebut salah satunya adalah bandara
Soekarno-Hatta, diharapkan dengan adanya kebijakan tersebut. Tidak ada lagi antrean panjang yang
terjadi dalam hal pembayaran terhadap airport tax atau pajak bandara.
Dalam kasus ini, hal yang menarik adalah apakah airport tax atau pajak bandara tersebut
termasuk dalam pengertian pajak atau bagian dari pajak yang berlaku di Indonesia. Karena istilah
tersebut menurut saya dapat membuat miskonsepsi di masyarakat terkait dengan adanya istilah
tersebut.
Pada dasarnya, airport tax yang lazim disebut oleh masyarakat sebagai pajak bandara bukanlah
merupakan bentuk dari pungutan pajak atau bagian dari jenis-jenis pajak yang telah diatur oleh
pemerintah. Airport tax atau pajak bandara lebih tepat termasuk ke dalam golongan retribusi karena
pada dasarnya airport tax hanya dikenakan kepada calon penumpang transportasi udara yang akan
melakukan perjalanan dengan menggunakan jasa bandara untuk dapat naik ke dalam pesawat.
Retribusi pada prisipnya adalah suatu pembayaran yang ditujukan agar pihak pembayar tersebut
mendapatkan prestasi langung dari pemerintah atau suatu organisasi badan hukum dari pembayaran
yang telah dilakukan. Airport tax sendiri wajib dibayarkan oleh calon penumpang yang akan masuk
ke dalam terminal keberangkatan. Yang mana apabila dia telah membayar airport tax tersebut maka
dia dipastikan dapat langsung menikmati segala fasilitas yang terdapat di dalam ruang di dalam
bandara. Yang mana orang yang tidak membayar airport tax sudah pasti tidak akan dapat masuk ke
dalam terminal keberangkatannya. PT Angkasa Pura II menyatakan bahwa airport tax dikumpukan
dari pengguna jasa bandara untuk melakukan pelayanan terhadap penumpang moda transportasi udara
itu sendiri serta untuk merawat fasilitas-fasilitas yang tersedia dalam bandara. Serta sudah dipastikan
terdapat persentase dari airport tax tersebut yang disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk
kewajiban pajak dari perusahaan tersebut.
Jadi pada dasarnya airport tax atau pajak bandara bukanlah merupakan pajak dalam artian yang
sesungguhnya. Airport tax dapat digolongkan ke dalam bentuk dari retribusi, karena pihak yang
membayar dapat merasakan dampak langsung dari apa yang dibayar. Sedangkan pajak tidak dapat
langsung memberikan dampak kepada pihak yang membayarkan. Pelurusan informasi mengenai
airport tax dapat memberikan suatu pencerdasan kepada masyarakat bahwa airport tax bukanlah pajak
yang sesungguhnya karena adanya istilah yang telah lama dikenal oleh masyarakat yakni pajak
bandara. Istilah alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti istilah tersebut agar tidak membuat
miskonsepsi di masyarakat adalah Biaya Jasa Bandara



















Artikel 2
Judul : Retribusi Parkir ke Dinas Pajak
Sumber : Harian Warta Kota, tanggal 14 September 2012

Sejak berlakunya larangan parkir on street di Badan Jalan. Khusunya di Jalan Gajah Mada dan
di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Unit Pelaksana Teknis Parkir DKI Jakarta tidak lagi mendapatkan
retribusi parkir tersebut. Hal tersebut berdampak kepada naiknya penggunaan terhadap lahan parkir
off street. Walaupun pendapatan dari retribusi parkir terhadap kas keungan daerah berkurang tetapi
pajak parkir melalui Dinas Pelayanan Pajak Meningkat, karena pengelola gedung parkir off street
membayar 20 persen dari pendapatannya ke Pemprov DKI Jakarta. Larangan parkir on street juga
berdampak kepada lancarnya kondisi lalu lintas yang terjadi di Jalan Gajah Mada maupun Jalan
Hayam Wuruk walaupun Dinas Perhubungan telah mencabut aturan three in one di dua jalan tersebut.
Permasalahan yang menarik untuk dikaji dalam berita ini adalah adanya kebijakan melarang
adanya parkir on street yang berdampak kepada naiknya penggunaan parkir off street. Hal ini
kemudian mendorong Pemprov DKI melalui Dinas Pelayanan Pajak membuat kebijakan dengan
menarik 20 persen dari hasil parkir pengelola parkir off street. Adanya kebijakan tersebut membawa
dampak langsung kepada Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk yang tidak mengalami
kemacetan akibat adanya parkir on street di ruas jalan tersebut.
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut dapat dikatakan merupakan
implementasi dari fungsi pajak yaitu bersifat mengatur. Hal ini dapat dikatakan demikian karena
keluarnya kebijakan larangan untuk parkir secara on street di bahu jalan. Kebijakan ini pun sudah
pasti berdampak kepada pengurangan kas yang masuk ke kas Provinsi akibat tidak adanya lagi
retribusi dari lahan parkir on street yang dikelola Unit Pelaksana Teknis Parkir. Namun Pemprov DKI
sudah memikirkan jalan keluar agar kas Provinsi tetap dapat terisi walaupun kebijakan tersebut
ditetapkan, hal tersebut dengan cara mengeluarkan kebijakan pembayaran sebesar 20 persen hasil dari
pendapatan yang didapat oleh pengelola parkir off street kepada Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI
Jakarta. Kebijakan ini diambil karena larangan terhadap parkir on street pasti akan berdampak kepada
penggunaan parkir off street yang akan meningkat, sehingga Pemprov DKI Jakarta berani
mengeluarkan kebijakan menarik persentase pajak yang besar dari keuntungan pengelola parkir. Jadi
Pemprov DKI pada dasarnya tetap menerima pemasukan kas daerah dari hasil parkir, namun
prinsipnya diubah dari sebelumnya yang berbentuk retribusi langsung yang ditarik oleh Unit
Pelaksana Teknis Parkir berubah menjadi pajak dari hasil keuntungan yang diperoleh oleh para
pengelola lahan parkir off street yang disetorkan kepada Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta.
Kebijakan tersebut membawa dampak positif yang langsung yakni kondisi Jalan Gajah Mada
dan Jalan Hayam Wuruk yang sebelumnya rawan macet menjadi lancar sejak keluarnya kebijakan
tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa salah satu fungsi dari pajak adalah bersifat untuk
mengatur.





















Artikel 3
Judul : James Gunardjo Bantah Menyuap
Sumber : Harian Kompas, tanggal 2 Oktober 2012

Terdakwa kasus dugaan suap kepada petugas Direktorat Jendral Pajak, James Gunardjo
membantah keterlibatannya dalam tindak pidana penyuapan terhadap petugas pajak yang bernama
Tommy Hindratno. Uang yang diduga sebagai suap tersebut berjumlah sebesar Rp 280 juta yang
diserahkan dari James Gunardjo kepada Tommy Hindratno dalam rangka pengurusan restitusi pajak.
Kedua tersangka ditangkap oleh KPK di daerah Jakarta Selatan. Dalam sidang yang dilakukan di
Pengadilan Tipikor, James membantah bahwa uang sebesar Rp 280 juta yang diserahkan kepada
Tommy Hendratno merupakan suap, dia mengaku bahwa dia akan membayar utang kepada Tommy.
Diketahui bahwa Tommy Hendratno adalah mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo yang pada saat dia menjabat, dia bertanggung jawab atas wajib
pajak yakni PT Bhakti Investama yang merupakan perusahaan dari James Gunardjo.
Dalam kasus ini yang menarik dikaji adalah adalah adanya restitusi pajak. Adanya restitusi
pajak tersebut membuat PT Bhakti Investama selaku wajib pajak mendelegasikan James Gunardjo
untuk mengurus restitusi pajak tersebut hingga akhirnya terdapat suap untuk mendapatkan indormasi
mengenai restitusi pajak tersebut.
Restitusi pajak adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang terjadi apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan wajib pajak tidak
punya hutang pajak yang lain. Pada dasarnya restitusi pajak akan didapatkan oleh setiap wajib pajak
apabila memenuhi syarat-syarat umum yang telah disebutkan diatas. Berdasarkan UU PPN, pada
dasarnya kelebihan pajak dalam satu masa pajak atau satu bulan hanya bisa dikompensasikan ke bulan
atau masa pajak berikutnya. Restitusi PPN hanya bisa dilakukan di akhir tahun buku. Jadi, bila tahun
buku PKP adalah Januari sampai Desember, maka restitusi PPN hanya bisa dilakukan pada masa
pajak Desember, kelebihan PPN di bulan-bulan yang lain hanya dapat dikompensasikan ke bulan
berikutnya. Jadi pada dasarnya restitusi akan diterima oleh wajib pajak apabila pajaknya tersebut
mengalami kelebihan dan akan dikembalikan. Namun dalam kasus ini, James Gunardjo selaku
perwakilan dari PT Bhakti Investama menyuap petugas pajak yakni Tommy Hendratno dalam rangka
Tommy telah memberikan data atau informasi hasil pemeriksaan Ditjen Pajak, terkait permohonan
lebih pajak PT Bhakti Investama. Informasi tersebut pada dasarnya terbuka untuk dipublikasikan
kepada wajib pajak yang bersangkutan, namun demi suatu tujuan tertentu, pihak PT Bhakti Investama
berupaya menyuap petugas pajak agar dapat cepat memberikan informasi terkait permohonan restitusi
pajak tersebut.
Pada prinsipnya, restitusi pajak akan diberikan kepada wajib pajak yang lebih dalam
membayarkan utang pajaknya dan akan dikembalikan pada akhir tahun buku. Informasi mengenai
restitusi yang akan diberikan pun pada dasarnya akan dipublikasikan pada akhir masa tahun buku
tersebut. Jadi pada prinsipnya, PT Bhakti Investama dengan diwakili oleh James Gunardjo tidak perlu
memberikan suap terkait restitusi yang akan diterima oleh perusahaan kepada petugas pajak.



















Artikel 4
Judul : Penerimaan Cukai Rp 32,13 Triliun
Sumber : Harian Bisnis Jakarta, tanggal 5 Juli 2010

Penerimaan cukai pada semester pertama tahun 2010 mencapai Rp 32,13 Triliun atau telah
mencapai 54,2 persen dari target yang ditetapkan di dalam APBN-P. Hal ini menunjukan penerimaan
cukai tersebut mengalami surplus sebesar 1,18 persen dibandingkan periode tahun 2009. Kemudian
penerimaan bea masuk mencapai 9,496 triliun, sedangkan penerimaan dari bea keluar adalah sebesar
1,815 triliun.
Dalam kasus ini yang menarik untuk dikaji adalah apakah penerimaan cukai tersebut sudah
dapat menyeluruh terhadap barang-barang yang kena cukai yang masuk ke Indonesia dan apakah
sebenarnya fungsi dari bea masuk dan bea keluar tersebut dan apakah implikasinya bagi
perekonomian Indonesia.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat dan karakteristik tertentu yaitu barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan,
peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Melihat banyaknya kasus penyelundupan yang terjadi di Indonesia, sudah dipastikan
bahwa negara kita mengalami kerugian yang banyak dari barang-barang yang lolos dari pembayaran
cukai tersebut. Cukai sendiri tergolong kedalam pajak langsung. Sudah seharusnya Dirjen Bea dan
Cukai lebih mengetatkan kontrol terhadap barang-barang yang masuk ke Indonesia agar barang-
barang yang dapat dikenakan cukai dapat langsung ditarik cukainya. Kemudian fungsi dari bea masuk
adalah memproteksi barang-barang produksi nasional agar tidak dapat bersaing dengan barang-barang
produksi luar dalam hal harga karena barang-barang yang telah terkena bea masuk sudah pasti
harganya akan lebih mahal dibanding barang-barang yang tidak terkena bea masuk atau yang umum
dikenal sebagai barang selundupan. Bea keluar sendiri diharapkan dapat memproteksi barang-barang
produksi nasional agar dapat bersaing di pasar ekspor dengan cara memberikan kebijakan bea ekspor
yang rendah agar produsen nasional dapat mengekspor barang-barang produksinya dengan biaya yang
rendah.
Pada prinsipnya, pemerintah dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai harus lebih ketat mengawasi
seluruh aktivitas barang yang masuk ke dalam negara kita. Agar pemerintah sendiri mendapat
keuntungan langsung yaitu meningkatnya pemasukan negara dari cukai terhadap barang-barang
tertentu. Kemudian pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan bea masuk dan bea keluar yang
dapat memproteksi produksi nasional sehingga produk nasional tidak kalah bersaing dengan produk-
produk luar negeri di dalam pasar nasional maupun dalam pasar ekspor. Hal inilah yang merupakan
fungsi dari pajak yakni sebagai pengatur.






















Artikel 5
Judul : Tangsel Optimis PAD Retribusi Lampaui Target
Sumber : Harian Terbit, Tanggal 13 September 2012

Pemerintah Kota Tangerang Selatan optimis pemasukan dana melalui Pendapatan Asli Daerah
(PAD) retribusi angkutan kota (angkot) mencapai target atau bahkan bisa melebihi dari yang
ditentukan dari target penerimaan tahun 2012. Hal ini dilihat dari semakin banyaknya trayek angkutan
kota yang melalui wilayah Tangerang Selatan sebagai salah satu kota pemekaran baru dan sebagai
kota penyangga DKI Jakarta.
Dalam kasus ini yang menarik untuk dikaji adalah apakah optimis pemasukan dana melalui
Pendapatan Asli Daerah (PAD) retribusi angkutan kota dapat menjadi sumber pemasukan jangka
panjang, melihat contoh dari Kota Bogor yang terkenal sebagai Kota Angkot akibat jumlah angkot
yang ada telah melampaui kebutuhan dari kota itu sendiri.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dari
hasil retribusi langsung terhadap angkot merupakan salah satu upaya budgeter dalam rangka mengisi
kas daerah agar dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran yang dilakukan Kota Tangerang
Selatan itu sendiri. Namun perlu diperhatikan bahwa kebijakan yang mengharapkan peningkatan
secara terus menerus dari retribusi angkot dapat menimbulkan impikasi negatif bagi keadaan Kota
Tangerang Selatan itu sendiri. Hal ini dapat membuat populasi angkot yang dapat melebihi kebutuhan
karena regulasi untuk mendapat izin trayek terhadap angkot-angkot baru tentu akan dipermudah
mengingat pemerintah Kota Tangerang Selatan sendiri berupaya menggenjot Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dari retribusi angkot. Fungsi pajak yaitu sebagai pengatur yang dalam kasus ini adalah
kebijakan retribusi terhadap angkot tentu akan menjadi dua sisi mata uang yang berbeda bagi
Pemerintah Kota Tangerang, di satu sisi peningkatan jumlah angkot tentu akan dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi angkot yang ada. Tetapi di sisi lain, peningkatan jumlah
angkot tentu dapat menyebabkan kelebihan dari jumlah kebutuhan angkot sendiri dan akan menambah
masalah baru terutama di bidang transportasi pada Kota Tangerang Selatan sendiri.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam kasus ini harus bijak dalam mengeluarkan kebijakan
terkait dengan adanya peningkatan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi angkot.
Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Tangerang Selatan harus memilih apakah ingin terus
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi angkot yang akan menyebabkan masalah
transportasi yang baru atau akan tetap akan menetapkan status quo dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dari retribusi angkot.
Artikel 6
Judul : Atasan Dhana Didakwa Rugikan Negara RP 1,2 M
Sumber : Harian Media Indonesia, tanggal 4 Oktober 2012

Mantan atasan terdakwa perkara penggelapan pajak Dhana Widyatmika, Firman didakwa
melakukan tindak pidana pemerasan dan menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan
wewenang sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,2 miliar. Atas perbuatan tersebut,
Firman yang merupakan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pancoran, Jakarta Selatan, terancam
hukuman seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Hal tersebut menurut jaksa terkait dengan
pengurusan pajak dari PT Trans Kornet Utama. Kerugian negara didapatkan ketika PT KTU
membayar pajak yang telah diputuskan oleh hakim pajak yang mana perhitungannya telah merugikan
negara sebesar 1,2 miliar dikarenakan banding terhadap perhitungan pajak dari nilai sebelumnnya.
Dimana saat itu, anak buah Firman yakni Dhana dan Salman meminta uang Rp 1 miliar agar nilai
pajak PT KTU dapat dikurangi.
Hal yang menarik untuk dikaji dalam kasus ini adalah apakah putusan banding dari hakim pajak
yang diputuskan oleh hakim pajak sesuai dengan perhitungan pajak yang sudah ada. Mengingat
kerugian yang timbul akibat tidak masuknya pajak dari wajib pajak tersebut kepada negara sebesar Rp
1,2 miliar.
Dalam kasus ini, PT KTU seharusnya membayar pajak kepada negara dengan rincian, yaitu
PPN sebesar 787,5 juta. PPh badan sebesar 1,4 miliar dan PPh Pasal 21 sebesar 89 juta. Namun
karena adanya dugaan penghitungan pajak yang tidak benar yang dilakukan oleh petugas pajak yakni
Dhana dan Salman yang mana mereka meminta uang 1 miliar agar pajaknya dikurangi. PT KTU
akhirnya mengajukan banding dengan berdasar perhitungan pajak dari konsultan pajak yang mana
pajak yang harus dibayarkan tidak sampai bernilai sebesar itu. Kerugian negara yang ditimbulkan
disini adalah akibat dari tidak profesionalnya petugas pajak dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi
negara dimana mereka dituntut bekerja secara jujur dan akuntabel. Namun disisi lain putusan banding
yang diberikan oleh hakim perlu dicermati apakah hal tersebut telah sesuai dengan perhitungan pajak
yang sebenarnya ataukah telah terjadi permainan antara PT KTU dengan hakim pajak sehingga
putusan banding tersebut malah jauh meringankan beban pajak yang diterima oleh PT KTU. Sampai
saya menulikan tugas ini, tidak dikatahui darimana dasar perhitungan hakim dalam memutus banding
terhadap nilai pajak yang harus dikeluarkan oleh PT KTU.

Artikel 7
Judul : Kepatuhan WP Naik
Sumber : Harian Bisnis Jakarta, tanggal 5 Juli 2010

Direktorat Jendral pajak Kementerian Keungan mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak (WP)
dalam memberitahukan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hingga April 2010 telah mencapai 54,84
persen atau 7,73 juta wajib pajak. Kemudian untuk mengamankan penerimaan pajak, Ditjen Pajak
juga melakukan beberapa upaya intensifikasi yang terdiri dari beberapa antisipasi yaitu pembayaran
yang wajib disetorkan dan dibayarkan WP per periode akan diawasi secara intensif agar tidak terjadi
distorsi, terutama kepada seluruh WP besar.
Dalam berita ini, yang menarik untuk dikaji apakah rasio kepatuhan Wajib Pajak berbanding
lurus dengan pendapatan pajak yang diterima oleh negara. Seta apakah pengawasan yang dilakukan
Ditjen Pajak telah dapat mencegah penyelewengan terhadap pajak yang terjadi yang mana kasusnya
marak sejak terungkapnya mafia pajak dimulai dengan mencuatnya kasus petugas pajak Gayus
Tambunan.
Meningkatnya rasio kepatuhan wajib pajak pada dasarnya akan berdampak kepada
meningkatnya pendapatan dari pajak itu sendiri. Dirjen pajak selaku badan yang mengurus masalah
perpajakan di Indonesia dalam hal meningkatkan kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat bertindak
kooperatif terhadap para wajib pajak seperti melakukan upaya-upaya yang telah disampaikan olehnya
sendiri yakni dengan cara intensifikasi yang terdiri dari beberapa antisipasi yaitu pembayaran yang
wajib disetorkan dan dibayarkan WP per periode akan diawasi secara intensif. Fungsi pengawasan
disini menjadi amat penting mengingat utang pajak bisa saja dapat membebani beberapa bagian dari
wajib pajak sehingga terdapat pihak-pihak, baik dari pihak wajib pajak ataupun petugas pajak yang
berusaha menurunkan nilai pajak yang seharusnya dibayarkan demi keuntungan pribadi. Lemahnya
fungsi pengawasan yang ada dapat berdampak tidak sinkronnya antara data kepatuhan wajib pajak
dengan data penerimaan pajak yang diterima negara. Hal ini berdampak langsung kepada menurunya
pemasukan negara dari sektor pajak yang akan berpengaruh panjang dalam bidang pembangunan
yang sedang dilakukan oleh negara Indonesia.
Jadi dalam kasus ini, perlu ditekankan bahwa fungsi pengawasan dari Dirjen Pajak terhadap
seluruh wajib pajaknya merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan demi terciptannya kondisi pajak
yang sesuai antara jumlah pajak yang seharusnya dibayar dengan kenyataan pajak yang dibayar. Hal
ini bertujuan agar kerugian negara dari bocornya pajak dapat diminimalisir.
Nama : I Putu Surya Permadi
NPM : 1006687650
Program : S1 Reguler
Hukum Pajak

Anda mungkin juga menyukai