Anda di halaman 1dari 8

Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro

Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi:kita harus dapat mengisolasi atau menemukan
kuman penyebabnya. Proses isolasi atau menemukan kuman tersebut memakan waktu yang cukup lama dan
sulit dalam pelaksanaannya. Apabila sebuah kuman masuk kedalam tubuh kita maka kuman tersebut akan
merupakan suatu antigen (benda asing)bagi tubuh kita dan selanjutnya akan merangsang tubuh kitauntuk
membentuk antibody terhadap kuman tersebut. Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh
kita, mka hal ini akan membantu kita dalam menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk
menemukan atau mendeteksi adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan
pemeriksaan serologi. Beberapa contoh pemeriksaan serologi adalah: Widal, VDRL, Toxoplasmosis,
Hepatitis, AIDS, dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk Widal dan Hepatitis A dan
B.

WIDAL
Pemeriksaan widal adlah pemeriksaan serologi untuk memebantu menegakkan diagnosapenyakit demam
typoid. Dalam pemeriksaan ini dipakai suspensikuman Salmonella Typhosa dan Salmonella Paatyphosa
sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kedua kuman salmonella tersebut dalam serum
penderita. Apabila terjadi pertemuan antara antigen dan antibodynya yang sejenis, maka akna terjadi proses
AGGLUTINASI.
Untuk pemeriksaaan Widal, dipakai antigen O dan antigen H, sedangkan antigen Vi biasanya dipakai untuk
mendeteksi adanya karrier.
Sifat dan cirri khas antigen O adalah:
Merupakan lapisan luar dari kuman.
Merupakan suatu lipopolisakharida.
Bersifat sebagai endotoxin.
Tahan terhadap pemanasan dan alcohol.
Tidak tahan terhadap formalin.
Sifat dan diri khas antigen H adalah:
Terdapat pada flagella/fimbriae.
Merupakan suatu protein.
Tahan terhadap formalin.
Tidak tahan terhadap panas dan alcohol.
Sifat dan cirri khas antigen Vi adalah:
Terdapat pada kapsul kuman.
Berperan pada karier.

PATOGENESA DEMAM TYPHOID
Kuman S.Typhi dan S.Paratyphi masuk dalam tubuh kita melalui saluran pencernaan mencapai epithel usus
kemudaan menembus kelenjar lymphe usus (PLAQUE of PAYER) dan kemudian berkembang biak
dikelenjar lymphe tersebut. Dari kelenjar lymphe tersebut kemudain masuk ke dalam ductusthoracicus dan
akhirnya ke aliran darah hingga mencapai liver, kandung empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang dan
berkembang biak lagi didalam organ-organ tersebut. Seluruh proses ini memakan waktu selam 7-10 hari.
Dari organ-organ tersebut kemudianmasuk kedalam aliran darah lagi (stadium bakterimia kedua) dan
melepaskan endotoxin sehingga menimbulkan gejala penyakit demam typhoid seperti misalnya: mual, febris,
pusing, perut kembung dsb. Adanya endotoxin didalam darah tersebut juga merangsang pembentukan
antibody terhadap kedua kuman salmonella tersebut. Proses pembentukan antibody tersebut memerlukan
waktu lebih kurang 1 minggu. Selanjutnya kuman akan dimakan oleh sel macrophage sehingga kuman
dalam darah akan menghilang. Adapun antibody yang mula-mula dibentuk adalah: antibody terhadap
antigen O, kemudian menyusul antibody terhadap antigen H, dan yang paling akhir adalah antibody terhadap
antigen Vi. Titer (kadar) antibody didalam aliran darah ini baru dapat dideteksi pada hari ke 15-17 setelah
kuman masuk kedalam tubuh, dan mencapai kadar puncak pada minggu ke 4-5, kemudian akan menghilang
setelah 6-12 bulan untuk antibody terhadap antigen O dan setelah 2 tahun untuk antibody terhadap antigen H.
peningkatan titer antibody didalam tubuh sebanyak 4 kali pada pemeriksaan ulangan merupakan dignosa
pasti demam typhoid. (misalnya:dari 1/100 menjadi 1/400)
TEHNIK PEMERIKSAAN
1. CARA SLIDE

1 tetes serum (antibody) ditambah 1 tetes antigen salmonella dan dilakukan pada sebuah obyek gelass. Bila
terjadi agglutinasi berarti hasil + dan ini harus dikonfirmasi dengan cara tabung. Cara ini hanya digunakan
untuk test penyaring.
2. CARA TABUNG.
Diperlukan 4 baris tabung dan setiap baris tabung diisi dengan serum yang telah dienerkan secara serial
(berurutan) dengan larutan PZ. (mis:1/25, 1/50, 1/100, dsb). Tabung pada baris pertama ditambah dengan
antigen O, tabung pada baris keduaditambah dengan antigen H, tabung pada baris ketiga ditambah dengan
antigen paratyphus A, sedangkan tabung pada baris keempat ditambah dengan antigen paratyphus B.
kemudian keseluruh tabung tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37derajatC. Setelah itu dilakukan
pembacaan pada masing masing tabung.
Keuntungan dari pemeriksaan Widal adalah: tehnik sederhana, mudah dan murah.
Kerugian dari pemeriksaan widal adalah:
Adanya reaksi silang.
Nilai normal dari daerah endemis tidak sama dengan daerah non endemis.
Bila terjadi gangguan proses immunitas, pembentukan antibodyterganggu maka test widal dapat
memberikan hasil negative palsu.
Tidak dapat digunakan untuk evaluasi terapi.

Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup, maka demi kelangsungan
hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi
kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik
maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD (demam berdarah dengue) dan SSD (sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan patogenesis terjadinya DBD dan SSD.
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang berbeda dengan yang
menginfeksinya sebelumnya mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD / manifestasi berat.
Antibodi dari serotipe berbeda yang telah ada sebelumnya akan mengenai serotipe virus lain yang sedang
menginfeksi saat itu dan membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi tersebut sebenarnya antibodi
untuk melawan antigen dari serotipe yang sebelumnya maka virus dengan serotipe berbeda yang
menginfeksi saat ini tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi
anamnestik akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi
juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen virus-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan anafilatoksin C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 yang mempunyai kemampuan untuk menstimulasi sel mast melepaskan histamin yang
merupakan mediator kuat untuk meningkatkan permeabilitas kapiler menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung
selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem
komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal
ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah
trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
Hipotesis lain menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan
genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.
Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Pemeriksaan NS1

NS1 merupakan antigen virus yang dimiliki oleh semua jenis serotipe virus dengue, dapat ditemukan dalam
jumlah yang tinggi saat infeksi akut, baik pada infeksi primer maupun infeksi sekunder. NS1 diperlukan
untuk kelangsungan hidup virus namun belum diketahui aktivitas biologisnya.

Keuntungan pemeriksaan NS1 Antigen Rapid Strip dalah dapat lebih cepat dalam mendeteksi adanya infeksi
virus dengue (deteksi dini) sejak awal timbulnya demam (demam hari ke-1 sampai hari ke-5). Dari berbagai
penelitian menunjukkan sensitivitas pemeriksaan ini 92,3 % dan spesifisitas 100 % untuk mendeteksi virus
dengue. Pemeriksaan NS1 terutama efektif mulai hari ke-2 demam. Hal ini disebabkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan NS1 pada hari ke-2 merupakan yang paling tinggi sedangkan mulai hari ke-3 dan
seterusnya akan mulai menurun secara berangsur.

Hasil pemeriksaan NS1 yang positif tidak bisa digunakan untuk membedakan apakah individu terserang
demam dengue atau demam berdarah dengue. Pemeriksaan NS1 yang positif hanya menunjukkan bahwa
individu tersebut sedang terinfeksi oleh virus dengue. Tidak menunjukkan infeksi primer ataupun sekunder
dan oleh serotipe yang mana.

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan darah rutin terutama diperlukan untuk membedakan apakah kasus infeksi dengue ini
merupakan kasus demam dengue atau demam berdarah dengue. Yang penting dilihat dari pemeriksaan darah
rutin adalah angka hematokrit dan trombosit pasien.

Hematokrit :

Darah terdiri dari komponen sel (sel darah merah, sel darah putih, trombosit, dll) dan komponen cair
(plasma). Pada pasien dengan demam berdarah dengue dimana terjadi kebocoran plasma darah angka
hematokrit akan meningkat. Hal ini disebabkan darah menjadi pekat oleh komponen sel karena komponen
cair darah, yaitu plasma, bocor ke ruang ekstravaskular (luar pembuluh darah, bisa saja di antar sel ;
interstisial atau di dalam sel ; intrasel) sehingga yang tetap ada di dalam pembuluh darah terutama adalah
komponen sel darah. Sedangkan pada kasus demam dengue tidak terjadi manifestasi bocornya plasma
sehingga tidak terjadi peningkatan hematokrit.
Penilaian angka hematokrit tidak cukup hanya dengan satu kali pemeriksaan darah rutin, harus dilihat
melalui pemeriksaan hematokrit serial dimana pemeriksaan darah rutin dilakukan setiap hari atau 2 hari
sekali dan dilihat serta dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya ada tidaknya penurunan.
Trombosit :

Berdasarkan patogenesis yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada kasus demam berdarah dengue angka
trombosit akan menurun tajam disebabkan oleh terjadinya koagulopati konsumtif dan dihancurkannya
trombosit oleh sistem RES. Sedangkan pada demam dengue tidak terjadi koagulopati konsumtif dan
penghancuran trombosit oleh RES sehingga tidak terjadi penurunan trombosit, kalaupun ada tidak akan
setajam pada demam berdarah dengue dan jarang sampai di bawah angka 100.000.
Penilaian angka troombosit tidak cukup hanya dengan satu kali pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan darah
rutin dilakukan setiap hari atau 2 hari sekali dan dilihat serta dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
sebelumnya ada tidaknya penurunan. Apabila mendadak terjadi penurunan tajam, merupakan tanda bahaya
dan sebaiknya pasien di rawat inap di rumah sakit untuk mencegah terjadinya sindrom syok dengue.
Pemeriksaan Dengue Blood

Pemeriksaan dengue blood digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi IgM dan IgG dengue.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan serotipe yang menginfeksi individu, namun dapat digunakan
untuk mengetahui apakah individu sedang terserang infeksi dengue dan membedakan apakah kasus
merupakan demam dengue atau demam berdarah dengue. Pemeriksaan ini baik dilakukan mulai hari ke-5
demam. IgM akan terbentuk pada demam hari ke-4 sedangkan IgG akan terbentuk pada demam hari ke-14.

Pada kasus demam dengue dimana infeksi merupakan infeksi primer dan serotipe yang menyerang indvidu
hanya satu serotipe maka pada pemeriksaan dengue blood di demam hari ke-5 akan ditemukan IgM yang
positif sedangkan IgG negatif karena IgG belum terbentuk.


Pada kasus demam berdarah dengue dimana infeksi merupakan infeksi sekunder dan serotipe yang
menyerang berbeda dengan serotipe pada infeksi sebelumnya maka pada pemeriksaan dengue blood di
demam hari ke-5 akan ditemukan IgM yang positif dan IgG juga positif. Namun, IgG yang positif disini
bukan merupakan IgG yang dibentuk dari infeksi sekunder oleh serotipe yang berbeda tersebut, melainkan
IgG yang merupakan hasil respon antibodi anamnestik.

Respon antibodi anamnestik adalah munculnya antibodi yang lebih cepat karena adanya sel memori di
sistem imun ketika tubuh terpapar oleh antigen yang sama kedua kalinya. Jadi di kasus demam berdarah
dengue, sistem imun tubuh salah menginterpretasikan infeksi oleh serotipe di infeksi sekunder dengan
serotipe pada infeksi primer. Oleh sebab itu pada pemeriksaan dengue blood di demam hari ke-5 sudah
muncul IgG, namun merupakan IgG untuk melawan serotipe pada infeksi primer, bukan infeksi yang saat ini
terjadi. Oleh sebab itu virus tidak tereliminasi oleh antibodi IgG tersebut dan tetap bisa bereplikasi.
Kesalahan ini disebabkan oleh kemiripan antar serotipe virus dengue. IgG untuk serotipe yang saat ini
sedang menginfeksi individu tetap akan terbentuk pada demam hari ke-14 dan tidak muncul lebih cepat,
karena kekebalan terhadap satu serotipe dengue tidak bisa digunakan untuk melawan serotipe lain, jadi
kekebalan yang terbentuk adalah berbeda untuk tiap serotipe.

Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M, dua jenis antibodi ini muncul sebagai respon tubuh terhadap
masuknya virus ke dalam tubuh penderita. Imunoglobulin G akan muncul sekitar hari ke-4 dari awal infeksi
dan akan bertahan hingga enam bulan pasca infeksi. Atas dasr hal diatas maka antibodi ini menunjukkan
kalau seseorang pernah terserang infeksi virus dengue, setidaknya dalam enam bulan terakhir.
Imunoglobulin M juga diproduksi sekitar hari ke-4 dari infeksi dengue, tetapi antibodi jenis ini lebih cepat
hilang dari tubuh. Adanya Imunoglobulin M dalam tubuh seseorang menandakan adanya infeksi akut
dengue atau dengan kata lain menunjukkan kalau penderita sedang terkena infeksi virus dengue. Sensitivitas
dan spesifitas pemeriksaan ini cukup tinggi dalam menentukan adanya infeksi virus dengue.
Pemeriksaan IgG/IgM anti dengue meskipun cukup baik dalam mendeteksi adanya infeksi virus dengue
dalam tubuh seseorang tapi masih memiliki kekurangan dalam mendeteksi virus dengue secara dini. Karena
yang diperiksa adalah antibodi terhadap virus dengue dan antibodi baru muncul hari keempat pasca infeksi,
maka pemeriksaan ini seringkali tidak dapat mendeteksi infeksi virus dengue pada penderita yang
mengalami gejala panas hari ke-0 hingga hari ke-4.Nah baru-baru ini telah ditemukan rapid test yang
mendeteksi adanya antigen dari protein struktural virus dengue. Untuk mempertahankan hidup, virus dengue
memerlukan dukungan dari protein yang mempertahankan tubuhnya, terutama untuk membantu masuk
dalam sel inang. Protein ini disebut sebagai protein struktural yang berfungsi sebagai enzim dan katalis
dalam upaya virus mempertahankan hidupnya.
Pemeriksaan NS1 Ag yang berarti nonstruktural 1 antigen adalah pemeriksaan yang mendeteksi bagian
tubuh virus dengue sendiri. Karena mendeteksi bagian tubuh virus dan tidak menunggu respon tubuh
terhadap infeksi maka pemeriksaan ini dilakukan paling baik saat panas hari ke-0 hingga hari ke -4, karena
itulah pemeriksaan ini dapat mendeteksi infeksi virus dengue bahkan sebelum terjadi penurunan trombosit.
Setelah hari keempat kadar NS1 antigen ini mulai menurun dan akan hilang setelah hari ke-9 infeksi. Angka
sensitivitas dan spesifisitasnya pun juga tinggi. Bila ada hasil NS1 yang positif menunjukkan kalau
seseorang hampir pasti terkena infeksi virus dengue. Sedangkan kalau hasil NS1 Ag dengue menunjukkan
hasil negatif tidak menghilangkan kemungkinan infeksi virus dengue dan masih perlu dilakukan observasi
serta pemeriksaan lanjutan. Ini terjadi karena untuk mendeteksi virus dengue diperlukan kadar yang cukup
dari jumlah virus dengue yang beredar, sedangkan pada fase awal mungkin belum terbentuk cukup banyak
virus dengue tetapi apabila pengambilan dilakukan setelah munculnya antibodi maka kadar virus dengue
juga akan turun.
Disinilah diperlukan ketepatan dalam pemilihan waktu dan jenis pemeriksaan. Apabila panas masih awal
pilihan pemeriksaannya adalah NS1 Ag Dengue tetapi apabila sudah melewati hari ke-4 panas maka
pilihannya adalah pemeriksaan IgG/IgM Dengue. Terkadanhg kedua pemeriksaan ini dilakukan bersamaan
terutama saat waktu borderline atau hari ke-3 hingga hari ke-5 panas. Jadi apabila ada gejala demam
berdarah seperti panas tinggi, kedua pemeriksaan tadi dapat dilakukan disamping pemeriksaan standar
seperti pemeriksaan darah lengkap untuk melihat kadar trombosit.

Why is the innate immune system not very good against virus infections? Because viruses are continuously
evolving, so a general defense mechanism like innate immunity won't protect against an agent that has
already evolved to avoid innate immunity protection. This is why adaptive immunity is so important, as it
has co-evolved with virus infections in a host-virus arms race. It's like a Cold War between viruses and us,
which always ends up with us getting colds.

There are a wide variety of ways that viruses specifically block the host immune system, including:
Blocking MHC activity
Blocking apoptosis
Blocking signaling of immune cells to infected cells
Blocking host restriction factors

And different viruses make different proteins to do this, but usually these viruses have very large genomes.
You have to have a large genome in order to pick up a virus gene that blocks a certain immune function.
Think of it as viruses being boats and anti-immunity genes being anti-pirate guns. Small boats don't usually
need anti-pirate guns as they can't afford it, nor do they have space to keep it on the boat. Large boats have
plenty of room, and they have a lot more to lose if pirates attack them, so they'll pick up an anti-pirate gun,
as they have the space and can afford it.
So, how do smaller viruses avoid the immune system? Viruses mutate so that the adaptive immune system
can't remember virus antigens. There is a double-edged sword with these mutations. Viruses need to mutate
to avoid immune recognition, but still need to keep the function of their genes. Think of it like buying a
disguise to not be recognized, but you don't want a disguise that prevents you from moving.
When we talked about virus assembly, we compared it to a manufacturing plant. When viruses are getting
made they have to have all the important ingredients, but there is no quality control in making viruses. That's
why when you have a virus infected cell, for every newly made infectious virus particly, you have 50-100
particles that are missing one or more key parts for replication. These are called "defective" particles, as they
cannot replicate.
So, viruses spontaneously mutate and evolve constantly, and they can do this because they have such a short
replication cycle and produce so many offspring that it doesn't matter if 99% of them are non-functional.
Virus polymerases are very error prone, because viruses don't really care about making mistakes. If you just
make enough viruses, one of them is bound to succeed. It's like if you were taking a test, and you had to get
100 questions correct. Viruses don't take the approach of making sure every answer was correct. They'd just
take 100 tests and at least get 1 question right per test. We don't recommend that strategy.
This high error rate allows them to escape immune detection more easily because the immune system is
designed to target very specific sequences. And if a virus sequence has changed a little bit, the immune
system just says, "That don't look foreign to me" and moves on, listening to country music in its pickup
truck.

Antigenic Shift/Drift
One example of virus evasion of the immune system is the process of antigenic shift and antigenic drift in
influenza viruses. Influenza is a segmented RNA genome, and it can acquire nucleotide mutations like every
other virus, because its polymerase makes mistakes all the time. This is called antigenic drift.
What makes influenza unique is the concept of antigenic shift. Because it has a segmented genome, if two
different strains of influenza virus infect a cell, the daughter virus particles could pick up a gene from one
strain, and another gene from another strain.
This pick n' mix approach to genomes allows for greater diversity and avoidance of the immune system.
This is why you get influenza strains with names such as H1N1 and H5N1. "H" stands for the gene
hemagglutanin, the influenza fusion glycoprotein, and "N" is neuraminidase, a gene essential for virus
release from a cell. Each gene is on a different segment in the influenza genome. So, when we have H1N1, it
is an influenza virus with version 1 of hemagglutanin, and version 1 of neuraminidase. H5N1 is version 5 of
hemagglutanin and version 1 of neuraminidase.

Pada penderita DBD dan DSS trombositopenia terjadi karena penurunan produksi, meningkatnya destruksi
dan pemakaian trombosit yang berlebihan. Pada fase awal penyakit (hari 1-4 demam) sumsum tulang
tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai bentuk fase maturasi. Virus secara
langsung menyerang mieloid dan megakariosit. Trombositopenia dapat juga terjadi karena penghancuran
trombosit dalam sirkulasi. Komplek imun yang melekat pada permukaan trombosit (ikatan trombosit dengan
komplemen C3g) mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikuloendotelial di hepar dan di lien,
tetapi penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel pembuluh darah, reaksi
komplek imun, antibodi trombosit spesifik atau perdarahan intravaskuler menyeluruh (PIM) yang
disebabkan oleh syok yang lama.
Fungsi trombosit terganggu karena terjadi penurunan agregasi, kenaikan platelet faktor 4 (PF4) dan
penurunan betatromboglobulin (BTG) disertai memendeknya umur trombosit. Mekanisme terjadinya
hipoagregasi trombosit ini sampai saat ini belum jelas, kemungkinan oleh karena adanya komplek imun
yang terdiri antara virus Dengue dengan antibodi anti dengue di dalam plasma atau dihambat oleh
fibroinogen degradation product (FDP). Penelitian Malasit dkk tahun 1990 menemukan hubungan antara
trombosit dengan komplemen C3, fragmen C3 terdapat pada permukaan membran trombosit. Semakin
banyak fragmen C3 yang melekat maka semakin berat penyakitnya, diduga kejadian tersebut mengakibatkan
penurunan jumlah dan fungsi trombosit.
Saat ini telah ada revisi teori kaskade hemostasis, aktivasi sistem pembekuan darah bukan dimulai dari
faktor XII jalur intrinsik (karena faktor XII tidak ada/ sedikit saja perannya pada proses koagulasi, perannya
justru pada fibrinolisis) tetapi diawali dari jalur ekstrinsik yaitu faktor jaringan (tissue factor) dan faktor VII,
tetapi hanya singkat, oleh karena segera di ikat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Jalur-jalur
koagulasi tidak hanya satu arah tapi ada jalur-jalur umpan balik, misalnya: trombin dapat memacu faktor XI
menjadi XI aktif, faktor V menjadi V aktif, faktor VIII menjadi VIII aktif yang menyebabkan produksi
trombin meningkat secara eksplosif. Jika sistem koagulasi dan fibrinolisis ini teraktivasi maka makin banyak
terbentuknya fibrin dan berakibat turunnya kadar berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen, faktor V, VII,
VIII, IX dan X serta plasminogen. Keadaan ini akan memperberat perdarahan pada DBD.

D. Mekanisme Virus menghindari Respon Imun
Dalam melawan sistem imun, virus secara kontinu mengganti struktur permukaan antigennya melalui
mekanisme antigenic drift dan antigenic shift, seperti yang dilakukan oleh jenis virus influenza. Permukaan
virus influenza terdiri dari hemaglutinin, yang diperlukan untuk adesi ke sel saat infeksi, dan neuramidase,
yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk virus baru dari permukaan asam sialik dari sel yang terinfeksi.
Hemaglutinin lebih penting dalam hal pembentukan imunitas pelindung. Perubahan minor dari antigen
hemagglutinin terjadi melalui titik mutasi di genom virus (drift), namun perubahan mayor terjadi melalui
perubahan seluruh material genetik (shift)
Virus dapat menghindarkan diri dari pengawasan sistem imun melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:
1. Virus mengubah antigen (mutasi)
Variasi antigen menjadikan virus dapat menjadi resisten terhadap respon imun yang ditimbulkan oleh infeksi
terdahulu.
2. Beberapa virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang berhubungan dengan molekul
MHC-I. sehingga sel terinfeksi tidak dapat dikenal dan dibunuh oleh sel CTL. Tetapi sel NK masih dapat
dapat membunuh sel terinfeksi karena sel NK dapat diaktifkan tampa molekul MHC-I
3. Beberapa jenis virus memproduksi molekul yang mencegah imunitas nonspesifik dan spesifik.
4. Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imuno kompeten
5. HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4+ yang merupakan sel kunci
regulator respon imun terhadap antigen protein.
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat menghambat kombinasi
virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi dan multiplikasi intraseluler, seperti pada virus
influenza. Antibodi juga dapat menghancurkan partikel virus bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen
atau produksi agregasi , meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.
Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada infeksi virus yang
mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum sampai ke organ
target, seperti virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah menuju ke sel otak.
Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oleh antibodi spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan
waktu tubuh untuk membentuk resposn imun sekunder sebelum virus mencapai organ target.
Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai masa inkubasi yang pendek, dan organ
target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi primer untuk
mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat interferon untuk mengatasi
infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi sebagai bantuan tambahan pada fase lambat dalam proses
penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada cairan lokal yang terdapat di permukaan yang
terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal
menjadi penting untuk pencegahan infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila
terjadi perubahan antigen virus.
Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi lokal atau sistemik dapat menghambat
penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh, namun antibodi sendiri tidak
dapat mengontrol virus yang melakukanbudding dari permukaan sel sebagai partikel infeksius yang dapat
menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas
seluler.(id.wikipedia.org)

Bacteria and viruses are the commonest organisms to cause diseases among humans. While doctors can treat
bacterial infections with sensitive antibiotics, the viruses do not respond to such antibiotics. Although there
are anti-viral medications available, those are not as potent as an antibiotic in curing a disease. Thus, it is a
challenge to treat viral infections. However, given the fact that most viral infections are self-limiting and
does not give rise to complications among healthy individuals, containment of such disease have been
possible through various means.
Although the bacterial and viral infections are common and have been studied at length, it is difficult to
clinically assess the two infections and tell the difference. One reason for this is that both types of infections
can give rise to similar symptoms including a fever. At the same time, in most bacterial and viral infections,
the symptoms manifestation and progression would not be having much of a difference. However, there are
instances where the two types of infections may differ in its onset, progression, response to treatment and
resolution. Thus, in such instances, it may be possible for the clinicians to predict whether the ongoing
infection is a bacterial infection or a viral infection.
Among the commonest types of bacterial infections, respiratory infections, urinary tract infections and
gastro-intestinal infections can be highlighted. With regard to infections of viral origin, common cold and
respiratory infections are the commonest. However, there are many other illnesses, which may have either a
viral or a bacterial origin. For instance, infections such as meningitis, pneumonia and gastro-intestinal
problems may be caused by a bacteria or else by a virus.
When it comes to disease progression, viral infections are usually self-limiting as it is the body immune
system, which would fight against the viral infection until the end. In most instances, outside treatment can
only provide the body with enough support to sustain the immune activity and prevent further complications.
However, in bacterial infections, unless the patient is treated with antibiotics, it is likely that the infection
would remain and lead to complications. Thus, it is correct to assume that if a fever does not resolve within
few days, it may be a fever caused by a bacteria rather than a virus.
In instances where there is a fever associated with a skin rash, it is prudent to assume that the underlying
cause is viral in origin than bacterial. At the same time, a burning sensation in the urine, which indicates a
possible urinary tract infection giving rise to fever, would indicate a bacterial origin to the fever rather than a
viral origin. When it comes to gastro-intestinal issues, a blood stained or frothy stool may indicate a
probable bacterial origin to the disease or to the fever.
At the same time, the prevalence of certain symptoms during a particular period and the pattern of spread
would also indicate to the clinicians the possible origin of the disease. However, in order to be sure,
clinicians would perform a blood test and see the changes in blood counts before deciding whether the
infection or the fever is actually caused by bacteria or by a virus. In some instances, the blood tests would be
inconclusive and in such instances, the doctors have to rely on their instincts, experience and the symptom
analysis in order to determine the need to give antibiotics to the patient. In addition, there are instances
where doctors would try a course of antibiotics and observe how the patient responds to the treatment, when
there is a doubt regarding the origin of the disease or the fever.

Anda mungkin juga menyukai