Anda di halaman 1dari 9

Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan
otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi
upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-
tengah masyarakat, meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana
yang diharapkan banyak pihak. Barangkali itulah proses yang harus dilalui
secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu
yang lebih baik.
Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang dimaksud
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk
mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu
daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-
masing.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini
sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba
melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka
menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah
tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif
yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam
taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan
baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan
perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat
pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek
pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan
pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).
Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah
implementasinya karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan,
termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan
semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-
bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling
tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan
dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana
pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah
masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan
pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan
perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.
Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di
tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan
kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin
baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan
pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi
yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana
masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi
yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua
unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW
(Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.

Penggerak Pembangunan
Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif
yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung
tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan
perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana
keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program
pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut.
Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga
masyarakat yang bersifat pengabdian yang dikelola oleh pengurus RT
dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian,
ketulusan dan keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat
semata-mata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali
pada level-level seperti inilah pembelajaran demokratisasi warga
diimplementasikan bagi kepentingan warga masyarakat sekitarnya.
Warga masyarakat yang mengajukan usulan program kegiatan, warga
masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan
pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara
warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat
diantara mereka.
Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW
ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika
melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an
maupun ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event
tertentu. Bahkan tidak jarang mereka harus berhadapan langsung dengan
berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, seperti masalah keributan
/ perkelahian antar warga, keamanan warga, dan sebagainya yang
kadangkala jiwa menjadi taruhannya. Mudah-mudahan jiwa dan
semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan baik.

Harapan dan Tantangan
Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum
musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang
tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini
paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi
pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang
ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an sekaligus bisa menjadi kendala
atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari
masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai manis
di mulut tetapi sepi dalam realitas. Apabila hal ini terjadi, maka pola
pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai
sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran
pelaksanaannya.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan
diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka
setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang
akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan
yang bersifat phisik maupun nonphisik. Usulan program yang diajukan
oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk
dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan
menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan.
Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK
Walikota Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis
penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah
Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota
Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan
Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan II.
Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam
kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan
yang perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa
yang telah dihasilkan dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum
musyawarah tingkat Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum
musyawarah Kota (Muskotbang).
Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan
Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang
berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa
terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan
pengawasan program pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang
dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program
kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik,
termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana
yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan
bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang
bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan
terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang
paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah
saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang
diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki
kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain
pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran
bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) 2002 porsi dana yang disediakan untuk pembangunan
sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah
tahu seberapa besar pemerintah kota (pemkot) mampu menghasilkan
penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada
kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat
penting bagi warga masyarakat.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka
pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala
Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan
melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi
skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan
program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya?
Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di
sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon
dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot).
Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang
memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya
tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal
ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program
kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan
program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien,
karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun
berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan
adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan
dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya
usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul
sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya
yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh,
cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di
lingkungannya.
Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan
di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali
dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan
menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi
(jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau
periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki
motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan
tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya).
Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif
terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki
komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini
merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi
pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap
pemerintahannya sendiri (pemkot).
Sebagai warga masyarakat awam hanya bisa berharap, mudah-
mudahan pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif ini
benar-benar bisa menumbuhkan kesadaran dan kebersamaan diantara
warga masyarakat dalam membangun daerahnya sesuai dengan visi dan
misi kota Solo tercinta ini. Bagaimana realisiasinya, tunggu tanggal
mainnya!

Anda mungkin juga menyukai