Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penelitian

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010


Pola Distribusi Alotip Gen
Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR)
pada Penderita Karsinoma Nasofaring (KNF)
di Indonesia
Yurnadi,*
,
** Dwi Anita Suryandari,* Purnomo Soeharso,*
Nukman Moeloek,* R. Susworo***
*Departemen Biologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta
**Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
***Departemen Radioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit genetik multifaktor yang endemik
dan mempunyai perbedaan signifikan dalam distribusi geografis. Selain faktor infeksi virus
Epstein-Barr (EBV), insidensi KNF diperkirakan muncul akibat peran faktor genetik seperti
polimorfisme gen PIGR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi alotip gen PIGR
dan hubungannya dengan kerentanan individu terhadap KNF pada populasi Indonesia.
Penelitian dilakukan dengan analisis PCR-RFLP gen PIGR menggunakan enzim Hga I. Dengan
teknik ini, determinasi alel gen PIGR dilakukan pada pasien KNF dan kontrol sehat dari
beberapa populasi suku dan etnis Indonesia yang ada di Jakarta. Hasil penelitian ini
mendapatkan bahwa distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR antara penderita KNF
dengan individu kontrol sehat, maupun antara kelompok pribumi dan etnis Cina di Indonesia,
baik alel T maupun alel C, tidak berbeda secara signifikan. Dari penelitian ini bahwa
kemungkinan alotip gen PIGR tidak berhubungan dengan karsinogenesis pada populasi Indo-
nesia. Namun diperlukan penelitian lanjut dengan sampel yang lebih besar yang mewakili
berbagai subpopulasi Indonesia untuk mengkonfirmasi hasil ini.
Kata kunci: Alotip, gen PIGR, polimorfisme gen, KNF, EBV
489
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010 490
Distribution Pattern of Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR)
Gene Allotype in Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) Patients in Indonesia
Yurnadi,*
,
** Dwi Anita Suryandari,* Purnomo Soeharso,*
Nukman Moeloek,* R. Susworo***
**Department of Medical Biology, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta,
**Doctoral Program of Biomedical Science, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta
***Department of Radiothrapy, Faculty of Medicine University of Indonesia and
Ciptomangunkusomo Hospital, Jakarta.
Abstract: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a multifactor disease with a characteristic of
endemicity and a prominent geographical distribution. In addition to the presence of Epstein-Barr
virus (EBV) infection, NPC incidence emerges due to the role of genetic factors such as PIGR gene
polymorphism. The aim of this study was to study allotype distribution of PIGR gene and its
relation with individual susceptibility to NPC in Indonesian population. The study was conducted
using PCR-RFLP analysis of PIGR gene using a restriction enzyme Hga I. Determination of allele
PIGR gene was conducted on NPC patients and healthy controls from some tribe populations and
Indonesian ethnic that exist in Jakarta. The result showed that the difference of genotypic distribu-
tion and allele frequency of PIGR gene in NPC patients as compared to healthy control individuals
and between indigenous group and Chinese ethnic in Indonesia, both T allele or C allele, were not
statistically significant. The study showed the posibility allotype of PIGR gene does not associate
to NPC carcinogenesis in Indonesian population. However, further studies which involve large
sample representing the many Indonesian subpopulations are required to confirm this finding.
Keyword: Allotype, PIGR gene, polymorphism, NPC, EBV
Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit
genetik multifaktor dengan karakteristik endemik.
1
KNF
adalah subset yang unik dari karsinoma sel skuamosa di
kepala dan leher. KNF relatif jarang di dunia, namun insidensi
KNF mempunyai perbedaan yang signifikan sehubungan
dengan distribusi geografis,
2
yaitu umumnya kurang dari 1/
100 000, kecuali pada populasi yang hidup di Cina Selatan
dan populasi di daerah Cina lainnya, Asia Tenggara, India
Barat Daya, Yunani, Aljazair dan Tunisia, dan Eskimo di
Alaska dan Green Land.
3-5
Tingginya insiden KNF di Negara-negara Asia tertentu,
menimbulkan dugaan bahwa faktor genetik ikut berperan
dalam patogenesis penyakit.
6
Sebagai contoh, risiko KNF
pada populasi migran Cina atau Afrika Utara lebih tinggi
dibandingkan populasi lainnya.
2,3
Angka tertinggi insiden
KNF dilaporkan di Cina Selatan (Guangdong) yaitu 30-50/
100 000; sedangkan di Thailand dengan rasio 3/100 000 pada
orang Thailand dan 10/100 000 pada keturunan campuran
Cina-Thailand.
7
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya
KNF, sehingga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk
Guangdong, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia.
4
Catatan dari berbagai rumah sakit
di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan
keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit.
8
Di
Indonesia insidensi KNF hampir merata di setiap daerah; di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus,
Denpasar 15 kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi.
Demikian pula di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota
lainnya menunjukkan distribusi KNF yang merata di Indone-
sia.
4
Selain faktor ras, peningkatan insidensi KNF juga
dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan seperti
makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan
diasapi. Makanan-makanan tersebut dapat meningkatkan
kandungan nitrosamin,
3,8,9
dapat mengaktivasi Epstein-Barr
virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF.
11
Selain
itu, konsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan
risiko terkena KNF.
10
EBV mempunyai potensi onkogenik dan dapat me-
ngubah sel terinfeksi menjadi sel ganas melalui dua meka-
nisme. Pertama, genom EBV dipertahankan dalam sel pejamu
dengan berintegrasi pada genom sel pejamu. Kedua, EBV
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010 491
mengekspresikan protein yang mempunyai homologi dengan
protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi
menjadi tidak terkendali akibat pengaktifan sinyal intraseluler
yang berperan dalam pengendalian pertumbuhan sel.
13
Mekanisme EBV masuk ke dalam epitel nasofaring,
masih belum jelas, namun diperkirakan sedikitnya terdapat 2
gen reseptor yang bertanggung jawab. Salah satunya adalah
gen polymeric immunoglobulin receptor (PIGR).
14
Hirunsatit
et al.
15
melaporkan bahwa mutasi missense pada gen PIGR
(1739CT) menyebabkan kerentanan terhadap KNF pada
populasi etnis Cina dan Thailand. Dilaporkan pula bukti
bahwa PIGR berfungsi sebagai reseptor epitel nasofaring
bagi EBV melalui transitosis kompleks IgA-EBV. Mutasi gen
PIGR 1739CT dapat mengubah asam amino alanin menjadi
valin yang berdekatan dengan situs pembelahan enzim
endoproteolitik. Varian tersebut dapat mengganggu efisiensi
PIGR dalam melepaskan kompleks IgA-EBV ke lumen
sehingga meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi
EBV dan meningkatkan risiko KNF. Mutasi gen PIGR
diketahui berperan dalam patogenesis KNF di Thailand dan
memiliki distribusi geografis yang berbeda secara signifikan.
Oleh karena itu, diduga perbedaan distribusi genotip dan
frekuensi alel gen PIGR juga terjadi pada populasi di Indo-
nesia. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui distribusi
genotip dan frekuensi alel gen PIGR antara kelompok KNF
dengan kelompok kontrol, antara kelompok pribumi dengan
kelompok Etnis Cina di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
polimorfisme gen PIGR dan hubungannya dengan insidensi
KNF pada populasi Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk menentukan faktor genetik pada
patologi KNF sehingga dapat membantu menentukan prog-
nosis penyakit bagi penderita KNF.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, deskriptif
eksploratif, yang berlangsung sejak bulan Agustus 2006
sampai dengan April 2008. Subjek penelitian adalah penderita
KNF yang sedang menjalani terapi di Departemen penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (THT-KL)
FKUI/RSCM dan Departmen Radioterapi FKUI/RSCM
Jakarta. Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
biopsi jaringan di Departemen THT-KL FKUI/RSCM Jakarta.
Selanjutnya stadium KNF ditetapkan berdasarkan klasifikasi
Union Internationale Contre le Cancer (UICC) dan
klasifikasi tumor ditetapkan berdasarkan kriteria WHO oleh
Dokter Spesialis Patologi Anatomik di Departemen Patologi
Anatomik FKUI/RSCM. Sebagai kontrol, subjek berasal dari
individu donor sehat yang tidak terbukti mengidap KNF sejak
awal sampai akhir penelitian. Seluruh subjek penelitian
terlebih dahulu telah memberikan informed consent sebelum
diikutsertakan dalam penelitian ini.
Sampel pada penelitian ini adalah darah perifer penderita
KNF dan kontrol. Penentuan jumlah sampel, digunakan
rumus sampel minimum sehingga total sampel diperlukan
adalah 94, dibulatkan menjadi 100 untuk setiap kelompok.
16
Cara Kerja (Isolasi DNA Genom)
17
Sebanyak 1,5 mL sel darah tepi dimasukkan ke dalam
tabung yang berisi 4,5 mL Red Blood Cells solution 1X (199
mM EDTA; 100 mM KHCO
3
; 1,45 NH
4
Cl), dibolak-balik 4-5
kali dan diinkubasi pada suhu kamar 10 menit. Campuran
disentrifugasi pada 1500 rotation per minute (rpm) selama 10
menit pada suhu 27
o
C sampai didapatkan endapan.
Supernatan dibuang dan endapan dilisis dengan RBC 1X
dan kembali disentrifugasi seperti cara di atas sampai endapan
berwarna putih. Setelah supernatan dibuang, ditambahkan
1,3 mL Cell Lysis Solution (10 mM Tris HCl; 0,25 mM EDTA;
20% SDS). Suspensi dihomogenkan dengan memipet berkali-
kali secara perlahan. Selanjutnya supensi diinkubasi pada
suhu 37
o
C selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 1,3 mL
protein presipitasi (5M amonium asetat), divorteks 30 detik
sampai terbentuk butiran-butiran halus.
Suspensi disentrifugasi 3000 rpm pada suhu 4
o
C 15 menit
sampai terbentuk endapan kecoklatan. Supernatan dipindah-
kan ke tabung baru berisi 2,3 mL isopropanol dingin. Tabung
kemudian dibolak-balik beberapa kali sampai terlihat presipitat
berupa benang-benang halus DNA yang melayang dalam
isopropanol dan selanjutnya DNA diinkubasi semalaman
pada -20
o
C. Kemudian tabung berisi DNA disentrifugasi 3000
rpm pada suhu 4
o
C 5 menit. Supernatan dibuang dan endapan
DNA dicuci dengan 1,5 ml alkohol 70% dingin, disentrifugasi
kempali 3000 rpm pada suhu 4
o
C selama 5 menit. Endapan
DNA dikeringkan dengan dianginkan selama 2 jam pada suhu
kamar. Selanjutnya ditambahkan 300 ml TE (10 mM Tris HCl;
0,25 mM EDTA) ke dalam tabung yang berisi DNA dan
diinkubasi pada 37
o
C 2 jam. Kemudian DNA dipindahkan ke
tabung 1,5 ml dan disimpan pada suhu -20
o
C.
Amplifikasi DNA gen PIGR
Untuk mengetahui mutasi atau polimorfisme gen PIGR,
DNA genom yang telah diisolasi diamplifikasi menggunakan
primer yang digunakan peneliti sebelumnya
15
yaitu, forward
5GGGTCCCGCGATGTCAGCCTAG3 dan downward
5TTCTCCGAGTGGGGAGCCTT3. Setiap 50 ml reaktan
amplifikasi mengandung 10 ml DNA cetakan (template), 10
pmol pasangan primer, 200 mM deoksiribonukleotida
triphospat (dNTP), 1,25 unit Taq DNA polimerase, larutan
dapar yang mengandung 10 mM Tris-HCl pH 9; 50 mM KCl,
0,1% Triton X-100, 1,5 mM MgCl
2
dan
dd
H
2
O.
Amplifikasi DNA terdiri atas denaturasi, annealing, dan
ekstensi DNA pada mesin PCR. Kondisi PCR yang digunakan
adalah pre-PCR pada 95
o
C selama 4 menit, periode PCR selama
35 siklus meliputi denaturasi pada 95
o
C selama 60 detik, an-
nealing pada 60
o
C selama 60 detik, dan ekstensi pada 72
o
C
selama 60 detik. Setelah periode PCR, maka diakhiri dengan
post-PCR pada 72
o
C selama 7 menit. Untuk kontrol negatif
ditambahkan 10 mL
dd
H
2
O ke dalam larutan PCR.
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010 492
Hasil PCR dideterminasi dengan elektroforesis gel
agarosa 1% yang telah diberi 1 mg/mL ethidium bromida
menggunakan alat elektroforesis yang telah diisi TAE 1X.
Ke dalam tiap sumuran gel agarosa dimasukkan campuran
10 mL DNA amplikon dan 3 mL loading buffer (0,25% bro-
mophenol blue, xylene cyanol, 4% b/v sukrosa), elektro-
foresis dilakukan pada 90 volt selama 60 menit. Sebagai
penanda digunakan DNA ladder 100 bp. Pita DNA hasil
elektroforesis dideteksi menggunakan iluminator ultravio-
let (UV) dan direkam dengan film polaroid.
Analisis Mutasi Gen PIGR dengan Teknik PCR-RFLP.
Setelah diketahui hasil amplifikasi DNA PIGR positif
dengan adanya pita DNA berukuran 220 bp dari elektro-
foresis, maka dilakukan analisis Restriction fragment length
polymorphism (RFLP) menggunakan enzim restriksi Hga I.
Deteksi mutasi gen PIGR mengacu pada penelitian sebe-
lumnya
15
dengan menambahkan 15 mL DNA PIGR ke dalam
tabung PCR, ditambahkan 3 mL
dd
H
2
O, 4 L larutan dapar N2,
dan 1 l Hga I (10 unit/mL). Campuran pada tabung PCR
diinkubasi pada 37
o
C selama 16 jam.
Setelah diinkubasi, maka DNA yang dipotong tersebut
dideterminasi dengan elektroforesis gel agarosa 2% yang
telah diberi 1 mg/mL ethidium bromida dan alat elektroforesis
yang berisi TAE 1X. Ke tiap sumuran gel agarosa dimasukkan
20 mL DNA PIGR yang telah terpotong dan 3 mL loading
buffer serta penanda, dipisahkan dengan elektroforesis
seperti cara sebelumnya. Hasil elektroforesis dinyatakan
positif jika ditemukan 1, 2, atau 3 pita DNA PIGR yang
berukuran 220 pb, 180 pb, dan 40 pb. Selanjutnya pita DNA
tersebut dideteksi dengan iluminator UV dan direkam
dengan film polaroid untuk analisis RFLP.
Analisis Statistik
Penelitian ini menggunakan analisis statistik non-
parametrik, karena data yang dihasilkan bersifat nominal.
Untuk melihat distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR
dalam populasi digunakan analisis Chi-square test.
18
Hasil
KNF dan Faktor-faktor Pendukung Patologi KNF
Hasil penghitungan jumlah penderita KNF jika dilihat
dari stadium kanker [stadium awal (I dan II) dan stadium
lanjut (III dan IV)] terlihat bahwa kebanyakan penderita KNF
yang datang berobat ke RSCM mengidap KNF pada sta-
dium lanjut dengan porsi 76,47%. Urutan ke-2 ditempati sta-
dium awal dengan porsi 13,73%, dan diikuti oleh residif
2,94%, sedangkan yang belum diketahui stadium kankernya
sebesar 6,86% .
Selama penelitian berlangsung didapatkan 102 pasien
KNF dengan distribusi umur yang berbeda dan sebagai
kontrol terdiri atas 117 individu sehat yang tidak terkena
KNF. Dari 102 pasien KNF, komposisinya terdiri atas 67 pria
(65,69%) dan 35 wanita (34,31%) sehingga ditemukan rasio
antara pria dan wanita sebesar 1,9:1. Selanjutnya dari 102
pasien KNF tersebut ditemukan etnis Jawa yang paling
dominan dengan porsi sebesar 34,31%, diikuti Sunda sebesar
29,41%, dan Batak sebesar 9,80%.
Dari segi faktor usia dari 102 pasien KNF ditemukan
usia pada 41-50 tahun dengan porsi 29,41%, diikuti usia 51-
60 tahun sebesar 24,51%, dan usia 31-40 tahun sebesar 23,53%
dengan sebaran usia pada pasien KNF antara usia 15- 69 tahun.
Analisis Polimorfisme Gen PIGR dengan PCR-RFLP
Polimorfisme gen PIGR ditunjukkan oleh variasi pada
rentang DNA PIGR meliputi situs polimorfik Hga I yang
terletak pada posisi 1739CT. Amplifikasi daerah tersebut
dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer PIGR dan
berhasil serta bernilai positif dengan produk PCR berukuran
220. Hal tersebut menunjukkan bahwa primer yang digunakan
telah benar dan sesuai dengan yang diharapkan.
Analisis PCR-RFLP gen PIGR dengan enzim Hga I pada
elektroforesis gel agarosa 2% didapatkan gambaran sebagai
berikut: 1. Individu dengan pita DNA 220 pb mempresen-
tasikan genotip TT, 2. Individu dengan pita DNA 220 pb, 180
pb, dan 40 pb mempresentasikan genotip CT, 3. Individu
dengan pita DNA 180 pb dan 40 pb mempresentasikan genotip
CC.
Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel PIGR pada KNF
dan Kontrol
Pada tabel 1 dapat dilihat distribusi genotip dan frekuensi
alel gen PIGR pada kelompok KNF dengan kontrol. Distribusi
genotip PIGR pada kelompok KNF dan kontrol memperlihatkan
pola penyebaran yang hampir sama. Pada kelompok KNF,
genotip CT (heterozigot) mempunyai proporsi 68,0%, genotip
TT dengan proporsi 29,0%, dan genotip CC dengan proporsi
1,0%. Pada kelompok Kontrol, genotip CT mempunyai
proporsi 58,11%, genotip TT dengan proporsi 35,89%, dan
genotip CC dengan proporsi 5,98%. Untuk frekuensi alel,
pada kelompok KNF, alel T memiliki frekuensi 63,73%,
sedangkan alel C mempunyai frekuensi 36,27%. Pada
kelompok kontrol, alel T memiliki frekuensi 64,96%, sedangkan
alel C memiliki frekuensi 35,04%. Secara keseluruhan dalam
populasi menunjukkan alel T memiliki frekuensi 64,38%,
sedangkan alel C mempunyai frekuensi 35,62%. Dari uji chi-
square didapatkan p>0,05. Hal tersebut menunjukkan
Tabel 1. Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel PIGR antara
Kelompok KNF dan Kontrol
Kelompok Juml ah C C CT TT Frekuensi Alel
C (%) T (%)
KNF 102 2 70 30 36,27 63,73
Kontrol 117 7 68 42 35,04 64,96
Total 219 9 138 72 35,62 64,38
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010 493
frekuensi alel gen PIGR antara kelompok KNF dengan kontrol
tidak berbeda nyata, ini berarti gen PIGR tidak berdisposisi
dan berkontribusi pada patogenesis KNF.
Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel Gen PIGR pada
Kelompok Etnis di Indonesia
Pada Tabel 2 dapat dilihat distribusi genotip dan
frekuensi alel gen PIGR untuk kelompok pribumi dan
etnis Cina di Indonesia. Distribusi genotip PIGR pada
kelompok pribumi dan etnis Cina menunjukkan pola
penyebaran yang hampir sama. Pada kelompok pribumi,
genotip CT mempunyai proporsi 63,06%, genotip TT dengan
proporsi 32,95%, dan genotip CC dengan proporsi 3,97%.
Pada etnis Cina, genotip CT mempunyai proporsi 62,79%,
genotip TT dengan proporsi 32,55%, dan genotip CC dengan
proporsi 4,65%. Untuk frekuensi alel, pada kelompok pribumi
alel T memiliki frekuensi 64,89%, sedangkan alel C mempunyai
frekuensi 35,11%. Pada etnis Cina, alel T memiliki frekuensi
63,95%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 36,05%.
Secara keseluruhan dalam populasi Indonesia menunjukkan
bahwa alel T memiliki frekuensi 64,38%, sedangkan alel C
mempunyai frekuensi 35,627%. Dari uji chi-square didapatkan
p>0,05. Hal tersebut mengindikasikan bahwa frekuensi alel
gen PIGR antara kelompok pribumi tidak berbeda nyata
dengan kelompok etnis Cina yang ada pada populasi Indo-
nesia.
Tabel 2. Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel Gen PIGR
pada Kelompok Pribumi dan Etnis Cina di Indone
s i a
Kelompok Juml ah C C CT TT Frekuensi Alel
C (%) T (%)
Pribumi 176 7 111 58 35,51 64,49
Cina 43 2 27 14 36,05 63,95
Juml ah 219 9 138 72 35,62 64,38
Diskusi
Pada penelitian ini didapatkan bahwa stadium kanker
pada pasien KNF yang datang berobat ke RSCM kebanyakan
adalah dalam stadium lanjut dengan porsi sebesar 76,47 %,
diikuti stadium awal, dan residif. Tingginya jumlah pasien
KNF dalam stadium lanjut yang berobat ke RSCM dapat
disebabkan kurangnya pengetahuan pasien terhadap
penyebab dan gejala-gejala KNF. Selain itu, menentukan jenis
kanker juga tidak mudah akibat lokasi kanker yang sulit
dijangkau dan dilihat. Menurut Roezin dan Adham,
4
diagno-
sis dini KNF memang cukup sulit ditegakkan karena posisi
nasofaring yang tersembunyi di belakang tabir langit-langit
dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan
dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak serta lat-
eral maupun posterior leher. Karena lokasi yang tidak mudah
diperiksa bagi mereka yang bukan ahli, seringkali tumor
ditemukan dalam kondisi yang sudah berkembang dan
bermetastasis ke leher sebagai gejala utama. Dalam keadaan
seperti itu, prognosis akan menjadi lebih buruk.
Pengetahuan pasien KNF yang kurang disertai faktor
sosial dan ekonomi dapat memperparah penyakit yang
diderita; contohnya kebiasaan makan ikan asin, makanan
diawetkan, dan merokok. Menurut Roezin,
19
terdapat pe-
ngaruh kebiasaan merokok dan polusi lingkungan selain
faktor usia dan keadaan sosial ekonomi dalam terjadinya
pertumbuhan penyakit KNF. Selain itu, pada orang pribumi
Indonesia faktor keturunan, konsumsi ikan asin, dan sosial
ekonomi dicurigai pula sebagai faktor penyebab penting
timbulnya KNF.
20
Dari aspek jenis kelamin, selama penelitian didapatkan
jumlah pasien pria lebih banyak dibanding wanita, dengan
rasio antara adalah 1,9:1. Dari penelitian Armiyanto
21
di
RSCM didapatkan rasio pasien KNF antara pria dan wanita
adalah 2,2:1, sedangkan penelitian yang dilakukan di luar
negeri didapatkan rasio antara pria dan wanita berkisar antara
2-3:1.
3,5
Perbedaan perbandingan rasio antara pria dan wanita
pada penelitian ini dibandingkan penelitian sebelumnya
diduga akibat tidak terambilnya sampel dengan baik dari to-
tal pasien yang berobat ke RSCM. Tidak terambilnya sampel
dengan baik karena setiap pasien yang akan dijadikan sebagai
subjek dalam penelitian ini ditanyakan dulu kesediaan atau
ketidaksediannya dan tanpa paksaan serta berhak menolak
untuk berpartisipasi dalam penelitian sebelum mengisi in-
formed consent
Selanjutnya dari aspek etnis, suku yang terbanyak
ditemukan dari 102 orang pasien KNF tersebut adalah Jawa
(34,31%), diikuti Sunda (29,41%), dan Batak (9,80%).
Selanjutnya etnis Cina dan suku-suku lainnya seperti Betawi,
Minahasa, Ambon, Palembang, Lampung, Bugis, Bengkulu,
Minang, Aceh, dan lain berada pada porsi yang kecil atau
dibawah 10%. Untuk etnis Cina, mengapa tidak termasuk ke
dalam urutan 3 besar. Hal itu dapat disebabkan etnis Cina
yang datang berobat ke Departemen THT-KL RSCM dan
Radioterapi RSCM tidak begitu banyak, karena terbukti dari
102 pasien KNF yang datang berobat hanya 2 orang pasien
KNF yang beretnis Cina. Oleh karena itu, dapat diduga
mungkin akibat etnis-etnis Cina ini mempunyai tingkat
sosioekonomi yang tinggi sehingga mereka lebih cenderung
memilih berobat ke RS Kanker Dharmais, atau bahkan ke luar
negeri sekalipun. Untuk suku Jawa yang menduduki ranking
teratas, hal ini belum dapat diketahui penyebabnya mengapa
suku Jawa mendominasi pasien KNF di RSCM, mungkin
karena letak geografis dan banyaknya orang Jawa yang
berobat di RSCM sehingga insiden KNF banyak terdapat
pada etnis ini. Di samping itu juga dipercaya bahwa selama
ini salah satu faktor penunjang timbulnya KNF adalah
seringnya mengkonsumsi ikan asin. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian Masrin
22
yang menemukan bahwa insiden
KNF pada suku Jawa menempati urutan teratas (64,3%) dan
diikuti oleh suku dari Sumatera (23,35%).
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
494
Dari segi faktor umur, jumlah pasien terbanyak adalah
pada umur 41-50 tahun (29,41%), diikuti umur 51-60 tahun
(24,51%), dan umur 31-40 tahun (23,53%) dengan sebaran
umur berkisar antara umur 15 sampai dengan 69 tahun
(Gambar 3). Angka tersebut sama dengan penelitian Asroel
23
bahwa umur penderita KNF sangat bervariasi, namun pasien
KNF terbanyak ditemukan pada usia produktif (usia 40-50
tahun). Selanjutnya hasil ini juga disokong penelitian
sebelumnya di RSCM, yaitu pasien KNF terbanyak dite-
mukan pada usia 41-50 tahun.
21
Distribusi genotip PIGR pada populasi menunjukkan
bahwa pada kelompok KNF dan kontrol memperlihatkan pola
penyebaran yang hampir sama. Terkait frekuensi alel gen
PIGR pada kelompok KNF, alel T memiliki frekuensi lebih
tinggi dibanding alel C, sedangkan pada kelompok kontrol,
alel T memiliki frekuensi lebih tinggi dibanding alel T. Dari
uji chi-square didapatkan bahwa frekuensi alel gen PIGR
antara kelompok KNF tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol, hal ini berarti gen PIGR tidak berkaitan dengan
munculnya KNF (p >0,05) pada subjek yang diteliti. Kendati
demikian, distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR
untuk populasi Indonesia terlihat berbeda dengan populasi
Thailand (dengan subjek penelitian penderita KNF dan
kontrol sehat), yaitu frekuensi alel C lebih tinggi diban-
dingkan dengan frekuensi alel T. Pada kelompok KNF di
populasi Thailand, genotip CC mempunyai proporsi 75,42%,
genotip CT dengan proporsi 21,14%, dan genotip TT dengan
proporsi 3,42%. Pada kelompok kontrol, genotip CC
mempunyai proporsi 53,62%, genotip CT dengan proporsi
41,00%, dan genotip TT dengan proporsi 5,36%.

Untuk
frekuensi alel, pada kelompok KNF, alel C memiliki frekuensi
86,0%, sedangkan alel T mempunyai frekuensi 14,0%. Pada
kelompok kontrol, alel C memiliki frekuensi 74,13%, sedangkan
alel T mempunyai frekuensi 25,87%. Secara keseluruhan dalam
populasi Thailand menunjukkan bahwa alel C memiliki
frekuensi lebih tinggi dibanding alel T.
15
Perbedaan distribusi
genotip dan frekuensi alel gen PIGR antara populasi Indone-
sia dengan Thailand tersebut mungkin merefleksikan variasi
gen PIGR yang tidak selaras antara populasi Indonesia dan
populasi Thailand berkaitan dengan letak dan situasi
geografis kedua populasi tersebut, atau mencerminkan
founder effect dari populasi Cina di Indonesia yang kemudian
memunculkan varian genetik (filogenetik) baru. Pengetahuan
umum tidak perlu ditulis lagi.
Distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada
kelompok pribumi dan kelompok etnis Cina di Indonesia
menunjukkan pola penyebaran yang hampir sama. Untuk
frekuensi alel, pada kelompok pribumi alel T memiliki frekuensi
lebih tinggi dibanding alel C. Pada kelompok Cina, alel T
memiliki frekuensi lebih tinggi dibanding alel C. Secara
keseluruhan dalam populasi Indonesia menunjukkan alel T
memiliki frekuensi yang tinggi dibanding alel C. Kendati
demikian, distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada
populasi Indonesia terlihat berbeda dengan populasi Thai-
land. Menurut Hirunsatit et al.
15
, pada populasi Thailand,
distribusi genotip PIGR pada populasi. Thailand asli dan Cina
Thailand menunjukkan pola penyebaran yang berbeda
dengan populasi Indonesia. Pada kelompok Thailand asli,
genotip CC dengan proporsi 64,01%, genotip CT 30,84%,
dan genotip TT 5,15%. Pada kelompok Cina Thailand genotip
CC dengan proporsi 61,74%, genotip CT 31,54%, dan genotip
TT 6,71%. Untuk frekuensi alel, pada kelompok Thailand asli
frekuensi alel C 79,43%, sedangkan frekuensi alel T 20,57%.
Pada kelompok Cina Thailand, frekuensi alel C 77,51%,
sedangkan frekuensi alel T 22,49%. Secara keseluruhan dalam
populasi Thailand menunjukkan bahwa alel C memiliki
frekuensi lebih tinggi dibanding alel T.
Etnis Cina di Indonesia telah bertukar gen timbal balik
secara bebas dengan orang Indonesia asli selama bebe-rapa
generasi, sehingga memiliki karakter genetik berbeda sama
sekali dengan orang Cina di Thailand. Hal tersebut diduga
akan berimplikasi pada kerentanannya terhadap KNF, yaitu
orang Cina Thailand lebih rentan terkena KNF dan lebih
suseptibel terhadap infeksi EBV dari pada orang Thailand
asli.
15
Fan et al.
24
meneliti hubungan potensial antara poli-
morfisme gen PIGR dengan suseptibilitas individu terhadap
KNF pada 528 penderita KNF dan 408 kontrol sehat. Hasil
penelitian tersebut tidak melihat adanya hubungan frekuensi
alel untuk setiap single nucleotide polymorphism (SNP).
Namun, setelah dikategorikan ke dalam bentuk perbedaan
usia antara di bawah 45 tahun dibandingkan dengan di atas
45 tahun ternyata individu yang mengemban alel minor T
dengan SNP C880T berisiko tinggi terhadap KNF. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa SNP C8880T berhubungan dengan
kerentanan individu terhadap KNF dan gen PIGR diduga
berperan dalam onkogenesis dan perkembangan KNF.
Kesimpulan dan saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang
analisis polimorfisme gen PIGR pada penderita KNF dan
individu normal dapat ditarik kesimpulan sebagai bahwa
penderita KNF yang berobat ke RSCM kebanyakan berada
pada stadium lanjut, didominasi oleh pria, mayoritas pada
usia antara 41-50 tahun, distribusi alotip gen PIGR tidak
berbeda antara individu kontrol dengan penderita KNF serta
antara etnis pribumi dengan Cina pada populasi Indonesia
sehingga mungkin tidak berhubungan dengan kerentanan
individu terhadap timbulnya KNF.
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan perlunya
dilakukan pemeriksaan alotip PIGR pada patogenesis KNF,
terutama pada situs polimorfik Hga I sebagai pemeriksaan
pendahuluan bagi penderita KNF.
Ucapan Terimakasih
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Pola Distribusi Alotip Gen pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 11, November 2010 495
(Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
sebagai penyandang dana penelitian melalui Hibah Penelitian
Tim Pascasarjana (HPTP) yang bekerjasama dengan
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Indonesia (DRPM-UI) melalui nomor kontrak 170D/DRPM-
UI/N1.4/2006 dan 279A/DRPM-UI/N1.4/2007 yang telah mem-
fasilitasi sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada dr. Irwan Ramli
Sp.Rad.(K), OnkRad. dari Departemen Radioterapi FKUI/
RSCM dan dr. Umar Said Dharmabakti Sp.THT-KL (K), dr.
Armiyanto Sp.THT-KL(K), dr. Marlinda Adham Sp.THT-
KL(K) dari Departemen penyakit THT-KL FKUI/RSCM yang
telah membantu dalam pengadaan sampel penelitian.
Daftar Pustaka
1. Mutirangura A. Molecular mechanisms of nasopharyngeal carci-
noma development. Res Adv Res Updates Med. 2000;1:18-27.
2. Mutirangura A, Tanunyutthawongese C, Pornthanakasem W,
Kerekhanjanarong V, Sriuranpong V, Yenrudi S, et al. Genomic
alteration in nasopharyngeal carcinoma: loss of heterozygosity
and Epstein-Barr virus infection. Br J Ca.1997;76:770-6.
3. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. CA: A cancer journal for
clinicians. Global cancer statistics(Cited 2005 Sept 24) Online
ISSN: 1542-4863. Available from: http//:www.caonline.amcan-
cersoc.org./cgi/contet/full/55/2/74.
4. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti RD, Editor. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan: Telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher.
Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Univer-
sitas Indonesia; 2007.hal.146-50
5. Weber GF. Molecular mechanism of cancer. Netherland: Springer;
2007.hal.509-10.
6. Feng P, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein-
Barr virus lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: po-
tential use in diagnosis. J Gen Virol. 2000; 81: 2417-23.
7. McDermott Al, Dutt SN, Watkinson JC. The aetiology of na-
sopharyngeal carcinoma. Clin Otolaryngol. 2001; 26:82-92.
8. Susworo R. Kanker Nasofaring: Epidemiologi dan pengobatan
mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004;144: 16-9.
9. Gallicchio L, Matanoski G, Tao XG, Chen L, Lam TK, Boyd K, et
al. Adulthood consumption of preserved and nonpreserved veg-
etables and the risk of nasopharyngeal carcinoma: a systematic
review. Int J Cancer. 2006; 119: 1125-35.
10. Chen L, Gallicchio L, Boyd-Lindsley K, Tao XG, Robinson KA,
Lam TK, et al. Alcohol consumption and the risk of nasopha-
ryngeal carcinoma: a systematic review. Nutr Cancer. 2009;61:1-
15.
11. Jeannel D, Hubert A, de Vathaire F, Eliouz R, Camoun M, Ben
Salem M, et al. Diet, living conditions and nasopharyngeal carci-
noma in Tunisia: A case-control study. Int J Cancer. 1990; 46:421-
5.
12. Cheung F, Pang SW, Hioe F, Cheung KN, Lee A. Nasopharyngeal
carcinoma in situ: Two cases of an emerging diagnostic entity.
Cancer. 1998;83:1069-73.
13. Thompson MP dan Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer.
Clin Cancer Res. 2004;10:803-21.
14. Zhang JR, Mostov KE, Lamm ME, Nanno M, Shimida S, Ohwaki
M, et al. The polymeric immunoglobulin receptor translocates
pneumococci across human nasopharyngeal epithelial cells. Cell.
2000;102:827-37.
15. Hirunsatit R, Kongruttanachok N, Shotelersuk K, Supiyaphun P,
Voravud N, Sakuntabhai A, et al. Polymeric immunoglobulin re-
ceptor polymorphisms and risk of nasopharyngeal cancer. BMC
Genetics. 2003;4:1-9.
16. Sastroasmoro S. dan Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis. Edisi ke-2. Jakarta:CV Sagung Seto; 2002.
17. Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular cloning: A labora-
tory manual. 2
nd
edition. New York: Cold Spring Harbor Labora-
tory Press; 1989.
18. Medis R. Statistical handbook for non-statistician. London:
McGraw-Hill
MS/MH/FS

Anda mungkin juga menyukai