Pemahaman dan Perkembangan di Lapangan Dalam Konteks Kiwari
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M Arch
Arsitektur merupakan gabungan antara alam dan manusia. Mungkin sering mendengar istilah makrokosmos dan mikrokosmos. Makro merupakan alam semesta dan mikro sendiri merupakan manusia, batin manusia. Dalam dunia arsitektur alam sendiri terdiri dari ekologi, landscape, sustainability, green design. Kemudian manusia mencakup budaya, antropologi, etimologi, ergonomi, sosiologi, religi. Secara luas arsitektur tidak hanya mencakup dua elemen tersebut, melainkan ada seni dan ilmu. Arsitek sebagai ilmu dan seni merancang bangunan.
Alam Arsitektur - Manusia
Alam, Seni, Manusia, Ilmu - Arsitektur Dalam seminar kali ini Bapak Josef hanya menerangkan arsitektur sebagai introduksi. Lebih banyak membahas mengenai arsitektur daerah, dimana Nusantara Indonesia ini memiliki banyak kekayaan budaya. Pertama yang dibahas dalam arsitektur nusantara adalah tumpang sari yang terdapat pada bangunan joglo ataupun pendopo pada arsitektur jawa. Ternyata adanya tumpang sari tidak hanya ditemukan di Jawa saja, melainkan juga ditemui di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Tumpang sari yang terdapat pada konstruksi arsitektur tradisional jawa Pendopo
Rumah adat Sumba Rumah adat sumba pada konstruksi pembuatannya juga menggunakan konstruksi tumpang sari, namun berbeda dengan tumpang sari jawa yang sudah menggunakan metode coak kunci, pada rumah adat sumba masih menggunakan kayu gelondongan yang disusun seperti tumpang sari lalu ditali. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pembuatan rumah adat jawa lebih modern daripada rumah adat sumba, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rumah adat sumba lebih dulu menggunakan tumpang sari ketimbang rumah adat jawa.
Konstruksi Rumah Adat Sumba Sumber : Galih Wijil Pangarsa, http://4archiculture.net/post/104 Selain itu penggunaan struktur lainnya pada pembuatan rumah adat Sumba sendiri, ditemukannya kolom melengkung yang bukannya sengaja dibuat melengkung. Melainkan menggunakan bahan seadanya, jika adanya kolomm melengkung ya sudah gunakan saja. Dan terbukti kolom ini bisa bertahan. Arsitektur nusantara merupakan suatu sistem kegotong-royongan manusia yang sampai sekarang mulai tenggelam. Budaya gotong royong itu sendiri tidak hanya bergotong royong pada sesama manusia melainkan juga pada alam. Memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam lalu menggunakannya dengan sebaik mungkin. Seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Sumba. Pembuatan rumah ataupun bangunan berlindung bukan semata-mata karena fungsi saja melainkan juga bagaimana manusia itu berkolaborasi dengan alam. Dan setiap kawasan atau suatu lingkup alam memiliki fenomena yang berbeda sehingga pikiran manusia dalam menanggapi apa yang terjadi disekitarnya menjadi berbeda-beda, hal inilah sebab banyak munculnya rumah-rumah adat dengan estetika dan fungsi ruang yang beraneka ragam. Ini merupakan olah pikir manusia yang bercinta dengan alam dan menciptakan sebuah karya bangun yang timeless. Mereka yang dahulu menciptakan bangunan tempat tinggal sesuai dengan iklim dan alam yang ada di sekitar, dapat juga disebut arsitek. Karena kepekaan manusia terhadap alam merupakan separuh dari merancang arsitektur. Dan separuh yang lainnya adalah kepekaannya pada manusia.(Galih W Pangarsa). Arsitektur rumah tidak hanya sebagai bangunan tempat berlindung dan tinggal, tetapi juga memiliki unsur-unsur yang membuat bangunan rumah lebih memiliki makna, atau Mangunwijaya menyebutnya dengan istilah lebih dari asal-berguna. Guna dan citra.
Lobo, Rumah Adat Sulawesi Tengah juga menggunakan tumpang sari Sumber : http://4archiculture.net/index.php?r=blog/post/view&id=114 Tumpang sari juga dihadirkan kembali pada rumah adat Sulawesi Tengah yang bernama Lobo. Bangunan Lobo belum mempergunakan paku (besi), semuanya serba cuak, sistim lidah-lidah, kait mengait dan tali temali rotan. Tiang tidak boleh terbalik, balok atau belandar-belandar yang letaknya melintang harus berlawanan dengan arah jarum jam atau berputar kekanan (ujung pohon dibagian kanan). Inilah tamsil keterikatan erat antarmanusia (Dikembangkan dari Pangarsa, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, Andi, Jogjakarta). Makna penalian tersebut mengandung pengertian bahwa masyarakat Lobo menjunjung tinggi makna kebersamaan, bagaimana temali antar masyarakat pernah diwujudkan dalam musyawarah. Hal ini yang semestinya diingat dan dipelajari oleh warga Indonesia. Kebersamaan yang mulai hilang, manusia mulai sibuk dengan individunya sendiri. Didukung oleh modernitas yang sudah memberikan wilayah personal space lebih luas tanpa menghiraukan orang lain. Kalau kata orang jawa Hidup loe ya hidup loe, hidup gue ya hidup gue Yang saya tahu mengenai Arsitektur Nusantara adalah sistem kegotong royongannya. Asas gotong royong tidak mengenal meminta atau mengemis melainkan saling memberi. Saling mengisi. Dan sekarang ini di kota-kota besar Indonesia asas itu sedikit demi sedikit memudar, dan kurangnya kesadaran generasi muda mengenai budaya dan kegotong royongan itu sendiri. Perlu segera kita bangunkan generasi muda ini, agar buadaya yang sudah lama dibangun dan dikembangkan oleh manusia terdahulu kita bisa kita simpan dan kembangkan hingga kelak. Semoga. Materi seminar ini meyakinkan pendengarnya bahwa kita harus bangga dan yakin terhadap Nusantara, karena sebenarnya nusantara ini memiliki beraneka ragam budaya yang tidak dimiliki negara lain. Seperti contohnya borobudur yang kebanyakan para peneliti bilang bahwa arsitektur borobudur meniru arsitektur candi- candi India. Setelah ditelaah tidak ada candi india yang memiliki desain seperti candi-candi borobudur.
Potongan candi Borobudur Pada candi borobudur ditemukan adanya tranformasi yang luar biasa, yakni pembuatan stupa yang paling bawah hingga stupa yang teratas merupakan perubahan wujud dari stupa yang berongga atau bervoid menuju stupa yang solid. Yang paling atas merupakan stupa yang paling solid. Hal ini tidak ditemukan pada arsitektur candi-candi di India maka mana bisa dikatakan bahwa candi Indonesia meniru candi India. Inilah kenapa manusia hanya melihat dari sejarah dan tidak meneliti arsitekturnya. Kemudian pada bahasan berikutnya dijelaskan mengenai Arsitektur Jawa, yaitu jenis-jenis dapur pada arsitektur Jawa. Pada tahun awal 1800, menurut Kawruh Griya arsitektur dapur jawa terdiri dari 4 jenis yaitu : 1. Dapur Taju, dilihat dari depan berbentuk segitiga 2. Dapur Joglo, dilihat dari depan berbentuk trapesium 3. Dapur Limansak, dilihat dari depan berbentuk trapesium memanjang 4. Dapur Kapung, dilihat dari depan berbentuk persegi Dapur joglo konstruksinya ditopang saka guru dan hanya terdiri dari satu lapisan atap, jika sudah ada tambahan maka tidak bisa lagi disebut joglo. Dapur menurur kawruh griya dan hamzuri berbeda-beda. Menurut kawruh griya terdiri dari 4 yang disebutkan di atas, dan menurut hamzuri dapur itu terdiri dari 5, ditambah panggang pe. Namun menginjak tahun 1890 1900 an arsitektur jawa ini sudah mulai bertransformasi, yang awalnya hanya 5 menjadi 9 jenis. Kemudian zaman modern sekarang arsitektur jawa mulai ditransformasikan kedalam bentuk-bentuk bangunan modern. Mulai ditempel dengan unsur-unsur baru.