Anda di halaman 1dari 97

JAI VI 1

Volume VI Nomor 1, Maret 2014


Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia nomor ini memuat artikel penelitian mengenai perbedaan elektrolit
plasma dan tekanan darah antara preload ringer asetat malat dibandingkan dengan ringer laktat,
perbandingan efektivitas spray mometasone furoat dan deksamethason intravena dalam
mengurangi nyeri tenggorokan setelah intubasi endotrakeal, angka kejadian dan faktor-faktor
yang mempengaruhi infeksi paska pemasangan kateter vena sentral, perbandingan efek
pemberian ketamin 0,15 mg/kgbb iv prainsisi dan pascabedah terhadap kebutuhan
analgesik morfin pascabedah, perbandingan efektivitas premedikasi MgSO4 40 mg/kgbb dengan
klonidin 1 mcg/kgbb intravena sebagai ajuvan untuk teknik hipotensi kendali, perbedaan sedasi
midazolam dan ketamin terhadap base excess pasien dengan ventilator dan penentuan dosis
efektif bupivacaine hiperbarik 0,5% berdasarkan tinggi badan untuk bedah sesar.
Laporan kasus pada nomor ini mengulas manajemen anestesi pada pasien dengan chiari
malformation dan syringomyelia, manajemen anestesi untuk koreksi skoliosis pada pasien chiari
malformasi post dekompresi foramen magnum dan ROSC setelah henti jantung selama
torakotomi emergensi disebabkan luka penetrasi trauma thoraks.


Semoga bermanfaat
Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn
Ucapan Terima Kasih:

Kepada Mitra Bestari
Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. VI No. 1 Tahun 2014:

Prof. dr.Soenarjo, SpAn, KMN, KAKV (Semarang)
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC, KAO (Malang)
Prof. Dr.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KNA (Bali)
Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn. KIC, KMN (Bandung)
Dr. dr. Sudadi SpAn, KNA (Yogyakarta)


PENELITIAN Hal
Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Widya Istanto 1
Perbedaan Elektrolit Plasma dan Tekanan Darah antara Preload Ringer Asetat Malat
Dibandingkan dengan Ringer Laktat

The Difference in Plasma Electrolyte and Blood Pressure Between Preload Ringer Acetate Malate
Compared to Ringer Lactate

Harsakti Rasyid, Husni Tanra, Syafruddin Gaus, Ilhamjaya P 14
Perbandingan Efektivitas Spray Mometasone Furoat dan Deksamethason Intravena dalam
Mengurangi Nyeri Tenggorokan setelah Operasi pada Anestesi Umum Intubasi Endotrakeal

Comparison of Mometasone Furoat Spray and Dexamethason Intravenous to Reduce
Postoperative Sore Throat in Patient Undergoing General Anesthesia Endotracheal Intubation

Eka Seprianti Widiastuti, Bambang Wahjuprajitno 22
Angka Kejadian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Paska Pemasangan
Kateter Vena Sentral di Rumah Sakit Dr. Soetomo

Incidence Rate and Factors Affecting Central Venous Catheter-Related Bloodstream Infection
(CR-BSI) in Dr. Soetomo General Hospital

Asyikun Nasyid Room, Andi Husni Tanra, Muhammad Ramli Ahmad,
Syafri Kamsul Arif, Ilhamjaya
34
Perbandingan Efek Pemberian Ketamin 0,15 Mg/Kgbb Iv Prainsisi dan Ketamin 0,15
Mg/Kgbb IV Pascabedah terhadap Kebutuhan Analgesik Morfin Pascabedah pada
Pasien Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah

Perbandingan Efek Pemberian Ketamin 0,15 Mg/Kgbb Iv Prainsisi dan Ketamin 0,15 Mg/
Kgbb Iv Pascabedah terhadap Kebutuhan Analgesik Morfin Pascabedah pada Pasien Operasi
Ortopedi Ekstremitas Bawah

Kausarina Purwaningrum, Abdul Wahab, Arifin Seweng 42
Perbandingan Efektivitas Premedikasi MgSO4 40 mg/Kgbb dengan Klonidin 1 mcg/Kgbb
Intravena sebagai Ajuvan untuk Teknik Hipotensi Kendali pada Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional

Effectiveness Comparison Premedication MgSO4 40 mg /kgbw with Intravenous Clonidine 1 mcg /
kgbw as An Adjuvant to Deliberate Hypotension Techniques in Fungsional Endoscopic Sinus
Surgery

Eka Adhiany, Heru Dwi Jatmiko, Uripno Budiono 47
Perbedaan Sedasi Midazolam dan Ketamin terhadap Base Excess Pasien dengan Ventilator
The Difference of Midazolam and Ketamin Sedation on Base Excess Using Mechanical Ventilator
Dian Ayu, Sofyan Harahap, Uripno Budiono 56
Penentuan Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0,5% Berdasarkan Tinggi Badan Untuk
Bedah Sesar Dengan Blok Subarakhnoid

Determination of Effective Dose Hyperbaric Bupivacaine 0.5% Based on Body Height in
Cesarean Section With Subarachnoid Block


DAFTAR ISI
LAPORAN KASUS Hal
Tomas Ari Kurniawan, I Ketut Sinardja 65
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Chiari Malformation dan Syringomyelia
Anesthesia Management of Chiari Malformation and Syringomyelia
I. D. G. Tresna Rismantara, I Putu Pramana Suarjaya 71
Manajemen Anestesi Untuk Koreksi Skoliosis pada Pasien Chiari Malformasi Post Dekompresi
Foramen Magnum

Anesthesia Management of Patients with Chiari Malformation for Scoliosis Correction Post
Foramen Magnum Decompression

Mumya Camary, Akhyar H Nasution, Hasanul Arifin 81
Keberhasilan Setelah Henti Jantung selama Torakotomi Emergensi disebabkan Luka Penetrasi
Trauma Torak pada Kondisi dengan Keterbatasan Fasilitas

Survive After Cardiac Arrest During Emergency Thoracotomy Due To Penetrating Thoracic
Trauma In Resource Limited Settings

1
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Perbedaan Elektrolit Plasma dan Tekanan Darah antara Preload Ringer
Asetat Malat Dibandingkan dengan Ringer Laktat
Ifar Irianto Yudhowibowo*, Doso Sutiyono**, Widya Istanto**
ABSTRACT
Background: Providing preload to prevent hypotension in spinal anesthesia may
affect the balance of body's fluid.
Objective: To observe the difference in change of plasma electrolyte concentrations
(Na, K, Cl) and blood pressure after spinal anesthesia between preload 20cc/kgBB
Ringer Acetate Malate (RAM) compared to Ringer's Lactate (RL).
Method: This is an experimental study phase II clinical trial randomized double-blind.
The selection of samples obtained from consecutive random sampling with sample
number 38. Group I (n = 19) received preload 20 cc/kg Ringer Acetate Malate and
group II (n = 19) received preload 20 cc/kg Ringer's Lactate. Before granting preload,
patient blood samples taken for examination electrolyte concentration (Na, K, Cl)
plasma. After preload administration and 30 minutes after the blood samples were
taken for examination electrolyte concentration and blood pressure measured.
Statistical test with paired t-test test.
Result: The difference in Na concentration changes before preload and Na after
preload and Na 30 minutes after preload between the group was significantly different.
While the difference in Natrium concentration changes in preload after preload
compared with Na 30 minutes after preload between the group was not significantly
different. Difference in K concentration changes in K before preload, K after preload
and K 30 minutes after preload between the group were not significantly different.
Difference in Cl concentration changes Cl before 30 minutes after preload between the
group significantly different. While the difference in Cl concentration changes of Cl
before preload and Cl concentrations after 30 minutes post preload between the
group was not significantly different. Systolic pressure significantly different
(p<0.005) between groups preload RAM and RL occurred between the 25th minute
after spinal by the 30th minute after the spinal. As for the variable diastolic preassure
significantly different (p<0.005) between groups preload RAM and RL occurred
between the 15th minute after spinal and 20th minute after spinal
Conclusion: Ringer Acetate Malate rises Na and Cl concentration in spinal
anesthesia patient higher than Ringer Lactate immediately after loading, but no
further electrolyte concentration difference were documented. Blood pressure changes
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Muaro Jambi
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang
Korespondensi / correspondence: ifar.poenya@gmail.com
The Difference in Plasma Electrolyte and Blood Pressure Between Preload
Ringer Acetate Malate Compared to Ringer Lactate
2
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

were not significantly different between groups
Keywords: Preload RAM, preload RL, electrolytes (Na, K, Cl), blood pressure.
ABSTRAK
Latar belakang: Pemberian preload untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal
dapat mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh.
Tujuan: Untuk melihat perbedaan elektrolit plasma dan tekanan darah antara preload
RAM dibandingkan dengan RL.
Metode: Penelitian eksperimental uji klinis tahap II secara acak tersamar ganda.
Pemilihan sampel secara Consecutive Random Sampling didapat jumlah sampel 38
orang. Kelompok I (n=19) mendapat preload 20 cc/kgBB RAM dan kelompok II
(n=19) mendapat preload 20 cc/kgbb RL. Sebelum preload, diambil sampel darah
untuk pemeriksaan konsentrasi elektrolit plasma. Setelah preload dan 30 menit
setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan konsentrasi
elektrolit plasma. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum anestesi spinal dan
segera setelah anestesi spinal tiap 5 menit sampai 30 menit. Uji statistik dengan uji
paired t-test.
Hasil: Selisih Na sebelum preload dan Na setelah preload dengan Na 30 menit setelah
preload antara kelompok yang mendapat preload RAM dan RL berbeda bermakna.
Sedangkan selisih Na setelah preload dengan Na 30 menit setelah preload berbeda
tidak bermakna. Selisih K sebelum preload, K setelah preload dan 30 menit setelah
preload dan K 30 menit setelah preload berbeda tidak bermakna. Selisih Cl sebelum
dan Cl 30 menit setelah preload berbeda bermakna. Selisih Cl sebelum dan Cl setelah
preload dan konsentrasi Cl setelah 30 menit preload berbeda tidak bermakna.
Terdapat perbedaan tekanan sistolik yang bermakna antara kelompok preload RAM
dan RL terjadi antara menit ke-25 sampai menit ke-30 setelah spinal. Sedangkan
untuk variabel tekanan darah diastolik terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok preload RAM dan RL terjadi antara menit ke-15 sampai menit ke-20
setelah spinal.
Kesimpulan: RAM meningkatkan konsentrasi Na dan Cl lebih tinggi dibanding RL
pada pasien dengan spinal anestesi segera setelah dilakukan loading, tetapi
perbedaan konsentrasi elektrolit lebih jauh tidak ditemukan. Tidak ada perubahan
tekanan darah yang bermakna diantara kedua kelompok.
Kata kunci: Preload RAM, preload RL, elektrolit (Na, K, Cl), tekanan darah.
PENDAHULUAN
Anestesi lokal semakin berkembang dan
meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
diantaranya relatif murah, pengaruh
sistemik minimal, menghasilkan analgesi
adekuat dan kemampuan mencegah
respon stress secara lebih sempurna.
1
Hal
ini juga sebagai akibat dari
3
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

berkembangnya obat-obatan anestesi
lokal, peralatan dan pendekatan anatomi
untuk blok saraf, bersamaan dengan
pengetahuan yang semakin berkembang
yang berhubungan dengan dosis,
konsentrasi dan selanjutnya efek dari
obat anestesi lokal yang digunakan.
2

Pembagian anestesi lokal meliputi blok
neuroaksial dan blok perifer. Blok
neuroaksial meliputi spinal, epidural
dan kaudal. Blok neuroaksial
merupakan tindakan yang sering
dikerjakan terutama spinal.
3
Komplikasi
hemodinamik paling penting yang
berhubungan dengan anestesi lokal
adalah hipotensi dan bradikardi. Insiden
hipotensi pada beberapa penelitian
berkisar 8 sampai 33%.
4
Preload cairan
adalah tehnik sederhana untuk
mengurangi hipotensi yang dipicu oleh
blok neuroaksial.
5,6
Pemberian volume
dengan 10-20 cc/kg intravena pada
pasien sehat akan mengkompensasi
sebagian pada venous pooling setelah
dilakukan blok neuroaksial.
7

Pencegahan hipotensi dapat dilakukan
dengan memberikan cairan kristaloid
atau koloid (250 sampai 1000 cc)
sebelum tindakan blok neuroaksial
atau ada juga yang memberikan cairan
kristaloid 20 cc/kgbb sebelum tindakan
blok neuroaksial.
6,8
Pemberian
kristaloid sering dianjurkan untuk
mengembalikan venous return dan
cardiac output selama blok
neuroaksial.
9

Pemberian preload untuk mencegah
hipotensi pada anestesi spinal dapat
mempengaruhi keseimbangan cairan
tubuh.
10
Cairan tubuh terdiri dari air
sebagai pelarut dan substansi terlarut
sebagai zat terlarut.
11
Di dalam zat
terlarut tersebut mengandung elektrolit,
diantaranya: Na, Ca, Mg, Cl, bikarbonat,
fosfat, sulfat, asam oganik dan protein.
Tetapi yang berpengaruh dalam menjaga
keseimbangan cairan tubuh adalah Na,
K dan Cl, karena elektrolit ini berfungsi
antara lain adalah menjaga tekanan
osmotik tubuh.
12,13,14,15

Pemberian cairan dalam jumlah besar
perlu dipilih cairan yang paling sedikit
mempengaruhi osmolaritas plasma.
Oleh karena itu diperlukan cairan
isotonis.
10
Cairan kristaloid isotonik
yang paling banyak digunakan adalah
larutan Ringer (laktat atau asetat), RL
mempunyai komposisi elektrolit mirip
dengan cairan ekstraseluler. Larutan
RAM adalah larutan elektrolit seimbang
yang isotonis, larutan elektrolit penuh
mengandung 140 mmol/l Na. Selain itu,
konsentrasi K, Mg dan Ca dari RAM
mendekati konsentrasi dalam plasma
manusia. Berbeda dari larutan RL,
dimana Laktat terutama dimetabolisme
di hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sementara Asetat Malat di metabolisme
pada hampir semua jaringan tubuh
terutama di otot. Metabolisme Asetat
Malat juga didapatkan lebih cepat 3-4
kali dibandingkan Laktat.
10,15,16,17

Wacana tersebut menyebabkan
berkembangnya suatu pemikiran apakah
menimbulkan perbedaan elektrolit (Na,
K, Cl) plasma dan tekanan darah pasca
spinal anestesi antara preload 20cc/
kgBB RAM dibandingkan dengan
4
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

preload 20cc/kgBB RL.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental acak tersamar ganda,
sampel dipilih dengan Consecutive
Random Sampling dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok I diberikan
preload RAM 20 cc/kgbb dan kelompok
II diberikan RL 20 cc/kgbb sebagai
cairan preload anestesi spinal. Total
sampel 38 penderita yang memenuhi
kriteria inklusi yaitu: jenis kelamin laki
laki dan perempuan, umur 16 59
tahun, status fisik ASA I-II, menjalani
operasi elektif dengan anestesi spinal,
BMI normal, penderita yang bersedia
diikutkan dalam penelitian. Dan kriteria
eksklusi yaitu penderita yang mendapat
pemberian cairan preload > 20 cc/kgb,
dan gangguan fungsi jantung.
Sebelum dilakukan preload, pasien
diambil sampel darahnya sebanyak 3 cc
darah vena untuk pemeriksaan
konsentrasi elektrolit plasma (Na, K,
Cl) sebagai data dasar. Lima belas
menit sebelum anestesi spinal,
diberikan preload untuk masing-masing
kelompok perlakuan, setelah dilakukan
preload pasien diambil sampel darahnya
sebanyak 3 cc darah vena untuk
pemeriksaan konsentrasi elektrolit
plasma (Na, K, Cl), tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah
diastolik (TDD) diukur sebelum
dilakukan anestesi spinal. Kemudian
dilakukan anestesi spinal dengan jarum
spinal 25 G dengan 3 cc Bupivacain
heavy 0,5%, kecepatan injeksi 1 cc/5
detik. Penderita diberikan oksigen 3 liter
per menit. Segera setelah obat anestesi
spinal disuntikkan, di ukur TDS dan
TDD tiap 5 menit sampai 30 menit. Bila
terjadi hipotensi, diterapi dengan injeksi
efedrin intravena 10 mg dan dapat
diulang sampai hipotensi teratasi.
Jumlah efedrin dicatat untuk
diperbandingkan pada masing-masing
kelompok.
Tiga puluh menit setelah pemberian
preload dilakukan pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan elektrolit
plasma (Na, K, Cl). Hasil pemeriksaan
dibandingkan dengan data dasar.
HASIL
Karakteristik subyek penelitian diuji
dengan person chi square dan
didapatkan statistik bebeda tidak
bemakna (p>0,05).
Pada analisis deskriptif konsentrasi Na
terlihat kedua kelompok pasien
mengalami penurunan konsentrasi Na
setelah diberi preload. Namun kelompok
pasien yang mendapat preload RL
mengalami penurunan konsentrasi Na
yang lebih banyak daripada kelompok
pasien yang mendapat preload RAM.
Tabel 1 menunjukkan konsentrasi Na
kelompok RAM sebelum dan setelah 30
menit preload didapatkan nilai p<0,05
sehingga disimpulkan berbeda
bermakna, sedangkan konsentrasi Na
sebelum preload dengan Na setelah
preload dan konsentrasi Na setelah
preload dengan Na 30 menit setelah
preload didapatkan nilai p>0,05
5
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sehingga disimpulkan berbeda tidak
bermakna. Pada kelompok RL
konsentrasi Na sebelum preload dengan
Na setelah preload, Na sebelum dengan
Na 30 menit setelah preload dan Na
setelah preload dengan Na 30 menit
setelah preload didapatkan semua nilai
p< 0,05 sehingga disimpulkan berbeda
bermakna.
Dari tabel 2 menunjukkan selisih
perubahan konsentrasi Na sebelum
dengan Na setelah preload dan Na
sebelum preload dengan Na 30 menit
setelah preload antara kelompok yang
mendapat preload RAM dan kelompok
yang mendapat preload RL nilai p<0,05
sehingga disimpulkan berbeda
bermakna. Sedangkan selisih perubahan
konsentrasi Na setelah preload dengan
Na 30 menit setelah preload antara
kelompok yang mendapat preload RL
dan kelompok yang mendapat preload
RAM nilai p>0,05 sehingga
disimpulkan berbeda tidak bermakna.
Pada analisis deskriptif konsentrasi K
terlihat kedua kelompok pasien
mengalami penurunan konsentrasi K
setelah diberi preload. Namun kelompok
pasien yang mendapat preload RAM
mengalami kenaikan konsentrasi K
kembali 30 menit setelah preload.
Dari tabel 3, pada kelompok RAM
konsentrasi K sebelum dengan K setelah
preload dan K sebelum dengan K 30
menit setelah preload didapatkan nilai
p<0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna sedangkan pada
konsentrasi K setelah preload dengan K
30 menit setelah preload didapatkan
nilai p>0,05 sehingga dapat disimpulkan
Variable
Infus
RAM (p value) RL (p value)
Na sebelum setelah preload 0,170

0,000


Na sebelum Na 30 mnt setelah preload 0,017

0,000


Na setelah 30 mnt setelah preload 0,097

0,003


Tabel 1. Hasil uji beda berpasangan konsentrasi Na
Variable
Infus
p
RAM RL
Selisih Na sebelum setelah preload -0,26 1,050 -1,27 0,753 0,001
&

Selisih Na sebelum 30 mnt setelah preload -0,61 1,336 -1,82 0,919 0,002
&

Selisih Na setelah 30 mnt setelah preload -0,35 0,779 -0,54 0,581 0,368
#

Tabel 2. Hasil uji beda tidak berpasangan selisih konsentrasi Na
Keterangan :

Wilcoxon test
Keterangan :
&
Mann Whitney Test
#
Independent t test
6
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

berbeda tidak bermakna. Pada
kelompok RL konsentrasi K sebelum
dengan K setelah preload, K sebelum
dengan K 30 menit setelah preload dan
K setelah preload dengan K 30 menit
setelah preload didapatkan nilai p>
0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna.
Dari tabel 4 didapatkan selisih
perubahan konsentrasi K sebelum
dengan K setelah preload, K sebelum
dengan K 30 menit setelah preload dan
K setelah dengan K 30 menit setelah
preload antara kelompok yang
mendapat preload RL dan kelompok
yang mendapat preload RAM nilai
p>0,05 sehingga disimpulkan berbeda
tidak bermakna.
Pada analisis deskriptif konsentrasi Cl
terlihat kedua kelompok pasien
mengalami kenaikan konsentrasi Cl
setelah diberi preload. Namun kelompok
pasien yang mendapat preload RAM
mengalami kenaikan konsentrasi Cl
yang lebih tinggi daripada kelompok
pasien yang mendapat preload RL.
Dari tabel 5 didapatkan pada kelompok
RAM pada konsentrasi Cl sebelum
preload dengan Cl setelah preload dan
Cl sebelum dengan Cl 30 setelah menit
preload didapatkan nilai p<0,05
sehingga disimpulkan berbeda
bermakna, sedangkan pada konsentrasi
Cl setelah preload dengan Cl 30 menit
setelah preload didapatkan nilai p>0,05
sehingga disimpulkan berbeda tidak
bermakna. Pada kelompok RL
konsentrasi Cl sebelum dengan Cl
setelah preload, Cl sebelum preload
Variable
Infus
RAM (p value) RL (p value)
K sebelum preload setelah preload 0,003

0,153


K sebelum preload 30 mnt setelah preload 0,045

0,117


K setelah preload 30 mnt setelah preload 0,295

0,794


Tabel 3. Hasil uji beda berpasangan konsentrasi K
Keterangan :

Paired t test

Wilcoxon test
Variable
Infus
p
RAM RL
Selisih K sebelum K setelah preload -0,27 0,341 -0,10 0,279 0,112
#

Selisih K sebelum K 30 mnt stlh preload -0,17 0,340 -0,12 0,340 0,646
#

Selisih K stlh K 30 mnt stlh preload 0,10 0,353 -0,18 0,214 0,237
#

Tabel 4. Hasil uji beda tidak berpasangan selisih konsentrasi K
Keterangan :
#
Independent t test
7
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dengan Cl 30 menit setelah preload dan
Cl setelah dengan Cl 30 menit setelah
preload didapatkan semua nilai p>0,05
sehingga disimpulkan berbeda tidak
bermakna.
Dari tabel 6 didapatkan selisih
perubahan konsentrasi Cl sebelum
dengan Cl 30 menit setelah preload
antara kelompok yang mendapat
preload RL dan kelompok yang
mendapat preload RAM nilai p<0,05
sehingga disimpulkan berbeda
bermakna. Sedangkan selisih perubahan
konsentrasi Cl sebelum dengan Cl
setelah preload dan konsentrasi Cl
setelah dengan Cl 30 menit setelah
preload antara kelompok yang
mendapat preload RL dan kelompok
yang mendapat preload RAM nilai
p>0,05 sehingga disimpulkan berbeda
tidak bermakna.
Pada pengamatan tekanan darah
didapatkan perubahan TDS pada setiap
waktu pengukuran antara kelompok
RAM dan kelompok RL. Pada kedua
Kelompok memperlihatkan penurunan
TDS setelah menit ke-0 spinal. Namun
pada kelompok RAM terjadi kenaikan
TDS setelah menit ke-20 spinal,
sedangkan pada kelompok RL terjadi
kenaikan setelah menit ke-15 spinal.
Perubahan TDD pada kedua kelompok
memperlihatkan penurunan TDD setelah
menit ke-0 spinal. Namun setelah itu,
pada kelompok RAM terjadi naik turun
TDD, dimana terjadi kenaikan setelah
menit ke-5 dan ke-20 spinal kemudian
Variable
Infus
RAM (p value) RL (p value)
Cl sebelum Cl stlh preload 0,000

0,144


Cl sebelum Cl 30 mnt stlh preload 0,000

0,162


Cl stlh Cl 30 mnt stlh preload 0,308

0,452


Tabel 5. Hasil uji beda berpasangan konsentrasi Cl
Keterangan :

Paired t test

Wilcoxon test
Variable
Infus
p
RAM RL
Selisih Cl sebelum Cl stlh preload 0,80 0,734 0,30 0,856 0,061
#

Selisih Cl sebelum Cl 30 mnt stlh preload 0,94 0,926 0,37 0,938 0,040
&

Selisih Cl stlh Cl 30 mnt stlh preload 0,14 0,568 0,07 0,467 0,931
&

Tabel 6. Hasil uji beda tidak berpasangan selisih konsentrasi Cl
Keterangan :
#
Independent t test
&
Mann Whitney Test
8
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

terjadi penurunan TDD setelah menit ke
-10 dan ke-25 spinal. Pada kelompok
RL terjadi kenaikan setelah menit ke-15
spinal.
Data yang didapat menunjukan bahwa
pada kelompok RAM hanya TDS menit
ke-20 setelah spinal didapatkan nilai p<
0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna, sedangkan pada
menit-menit lainnya didapatkan nilai
p>0,05 sehingga disimpulkan berbeda
tidak bermakna. Pada TDD didapatkan
nilai p>0,05 sehingga disimpulkan
berbeda tidak bermakna perubahan
TDD setiap menitnya setelah spinal.
Untuk variabel TDS terdapat perbedaan
yang bermakna (p<0,005) antara
kelompok preload RAM dan kelompok
preload RL terjadi antara menit ke-25
setelah spinal dengan menit ke-30
setelah spinal. Sedangkan untuk
variabel TDD terdapat perbedaan yang
bermakna (p<0,005) antara kelompok
preload RAM dan kelompok preload
RL terjadi antara menit ke-15 setelah
spinal dengan menit ke-20 setelah
spinal.
PEMBAHASAN
Dari penelitian didapatkan data
perubahan konsentrasi Na pada RAM
dan RL pada sebelum preload, setelah
preload dan 30 menit setelah preload
mengalami penurunan, hal ini
disebabkan karena pemberian preload
sehingga terjadi pengenceran zat
terlarut didalam plasma sehingga terjadi
penurunan konsentrasi Na. Pada
kelompok RL penurunan konsentrasi Na
sebelum preload dengan Na setelah
preload, Na sebelum preload dengan Na
30 menit setelah preload dan Na setelah
preload dengan Na 30 menit setelah
preload semuanya didapatkan nilai
p<0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna, sedangkan pada
kelompok RAM penurunan konsentrasi
Na sebelum preload dengan Na setelah
preload dan Na setelah preload dengan
Na 30 menit setelah preload didapatkan
nilai p>0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda tidak bermakna. Hal ini
disebabkan karena konsentrasi Na pada
cairan RAM 140 mmol/L lebih besar
daripada cairan RL 130 mmol/L
sehingga penurunan konsentrasi Na
lebih berbeda bermakna pada kelompok
preload RL. Pada kelompok RAM
penurunan konsentrasi Na sebelum
preload dengan Na 30 menit setelah
preload didapatkan nilai p<0,05
sehingga dapat disimpulkan berbeda
bermakna. Hal ini disebabkan
penurunan konsentrasi Na lebih besar
pada 30 menit setelah preload
dibandingkan pada setelah preload
kemungkinan karena sudah mulai terjadi
keseimbangan Na sehingga penurunan
konsentrasi Na sebelum preload dengan
Na 30 menit setelah preload didapatkan
berbeda bermakna.
Data hasil uji beda tidak berpasangan
selisih Na, didapatkan pada selisih Na
sebelum dengan Na setelah preload dan
selisih Na sebelum dengan Na 30 menit
setelah preload pada kelompok RAM
terhadap RL didapatkan nilai p<0,05
9
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sehingga dapat disimpulkan berbeda
bermakna, sedangkan selisih
konsentrasi Na setelah preload dengan
Na 30 menit setelah preload pada
kelompok infus RAM terhadap RL
didapatkan nilai p>0,05 sehingga dapat
disimpulkan berbeda tidak bermakna.
Hal ini disebabkan penurunan
konsentrasi Na sebelum dengan setelah
preload dan Na sebelum preload dengan
Na 30 menit setelah preload pada
kelompok RL lebih besar daripada
kelompok RAM sehingga selisih Na
sebelum dengan setelah preload dan
selisih Na sebelum preload dengan 30
menit setelah preload didapatkan
berbeda bermakna.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hartanto dkk, dimana
didapatkan kenaikan konsentrasi Na
baik pada kelompok RAM maupun
kelompok RL, dan kenaikan ini
didapatkan bermakna secara statistik.
Pada selisih perubahan konsentrasi Na
didapatkan tidak berbeda bermakna.
10

Dari tabel 3 dan 4 didapatkan data
perubahan konsentrasi K pada
kelompok RAM dan RL pada sebelum
preload, setelah preload dan 30 menit
setelah preload mengalami penurunan
hal ini disebabkan karena pemberian
preload sehingga terjadi pengenceran
zat terlarut didalam plasma sehingga
terjadi penurunan konsentrasi K. Pada
kelompok RL, konsentrasi K sebelum
preload dengan K setelah preload, K
sebelum preload dengan K 30 menit
setelah preload dan K setelah preload
dengan K 30 menit setelah preload
semuanya didapatkan nilai p>0,05
sehingga dapat disimpulkan berbeda
tidak bermakna. Sedangkan pada
kelompok RAM penurunan konsentrasi
K sebelum preload dengan K setelah
preload dan K pra preload dengan K 30
menit setelah preload didapatkan nilai
p<0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi K pada cairan RL (5
mmol/L) lebih besar daripada cairan
RAM (4 mmol/L) sehingga pada
kelompok RL penurunan konsentrasi K
sebelum preload dengan K setelah
preload, K sebelum preload dengan K
30 menit setelah preload dan K setelah
preload dengan K 30 menit setelah
preload lebih sedikit daripada kelompok
RAM. Pada kelompok RAM konsentrasi
K setelah preload dengan 30 menit
setelah preload didapatkan nilai p>0,05
sehingga dapat disimpulkan berbeda
tidak bermakna. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi K 30 menit setelah
preload mengalami kenaikan, mungkin
disebabkan sudah mulai terjadi
keseimbangan konsentrasi K dalam
plasma, sehingga konsentrasi K setelah
preload dengan 30 menit setelah
preload didapatkan berbeda tidak
bermakna.
Dari data hasil uji beda tidak
berpasangan selisih K, didapatkan pada
selisih K sebelum preload dengan K
setelah preload, selisih K sebelum
preload dengan K 30 menit setelah
preload dan selisih K setelah preload
dengan K 30 menit setelah preload pada
kelompok RAM terhadap RL
10
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

didapatkan nilai p>0,05 sehingga dapat
disimpulkan berbeda tidak bermakna.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi
K pada cairan RAM (4 mmol/L) dan
RL (5 mmol/L) jumlahnya tidak
berbeda jauh sehingga selisih
konsentrasi K didapatkan tidak berbeda
bermakna.
Dari data perubahan konsentrasi Cl
RAM dan RL didapatkan pada sebelum
preload, setelah preload dan 30 menit
setelah preload mengalami kenaikan,
hal ini disebabkan konsentrasi Cl pada
cairan RAM dan cairan RL lebih besar
daripada konsentrasi Cl dalam plasma
pada sampel, sehingga baik pada
kelompok RAM dan kelompok RL
samasama terjadi kenaikan konsentrasi
Cl. Pada kelompok RAM, konsentrasi
Cl sebelum preload dengan Cl setelah
preload dan Cl sebelum preload dengan
Cl 30 menit preload didapatkan
kenaikan yang berbeda bermakna
sedangkan pada kelompok RL
konsentrasi Cl sebelum preload dengan
Cl setelah preload, Cl sebelum preload
dengan Cl 30 menit sebelum preload
dan Cl setelah preload dengan Cl 30
menit setelah preload semuanya
didapatkan kenaikan yang berbeda tidak
bermakna. Hal ini disebabkan
konsentrasi Cl pada cairan RAM (127
mmol/L) lebih besar daripada
konsentrasi Cl pada cairan RL (112
mmol/L). Sehingga kenaikan
konsentrasi Cl pada kelompok RAM
lebih berbeda bermakna. Pada
kelompok RAM konsentrasi Cl setelah
preload dengan 30 menit setelah
preload didapatkan berbeda tidak
bermakna, hal ini mungkin disebabkan
sudah mulai terjadi keseimbangan
konsentrasi Cl dalam plasma.
Dari data hasil uji beda tidak
berpasangan selisih Cl, didapatkan pada
selisih Cl sebelum preload dengan Cl 30
menit setelah preload pada kelompok
RAM terhadap RL didapatkan nilai
p<0,05 sehingga dapat disimpulkan
berbeda bermakna. Sedangkan pada
selisih Cl sebelum preload dengan Cl
setelah preload dan selisih Cl setelah
preload dengan Cl 30 menit setelah
preload pada kelompok Infus RAM
terhadap RL didapatkan nilai p>0,05
sehingga dapat disimpulkan berbeda
tidak bermakna. Hal ini disebabkan
konsentrasi Cl pada cairan RAM (127
mmol/L) lebih besar daripada
konsentrasi Cl pada cairan RL (112
mmol/L), hal ini menyebabkan kenaikan
konsentrasi Cl 30 menit setelah preload
pada kelompok RAM lebih besar
daripada kelompok RL, sehingga selisih
Cl sebelum dengan 30 menit setelah
preload lebih besar daripada selisih Cl
sebelum dengan setelah preload dan Cl
setelah preload dengan 30 menit setelah
preload. Sehingga selisih Cl sebelum
preload dengan Cl 30 menit setelah
preload pada kelompok Infus RAM
terhadap RL berbeda bermakna.
Pada penelitian ini juga dinilai
perubahan hemodinamik yang meliputi
TDS dan TDD pada kelompok pertama
yang diberikan preload 20 cc/kgBB
RAM dan kelompok kedua yang
diberikan preload 20 cc/kgBB RL
11
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sebelum anestesi spinal
Secara statistik TDS dan TDD pada
kelompok yang mendapatkan preload
20 cc/kgBB RAM tidak mengalami
perubahan yang bermakna setelah
anestesi spinal. Hal ini disebabkan oleh
karena preload RAM memberikan
volume intravaskuler tambahan untuk
mempertahankan venous return dan
curah jantung, sehingga dapat
mempertahankan tekanan darah setelah
anestesi spinal dilakukan. Mulai menit
ke20 terjadi penurunan TDS yang
bermakna. Penurunan itu disebabkan
karena RAM sudah mulai berdifusi ke
ruang interstitial, sehingga tidak dapat
mempertahankan venous return dan
curah jantung yang menyebabkan
tekanan darah turun, namun setelahnya
perubahan tekanan darah menjadi stabil
kembali karena adanya peran efedrin
untuk membantu menstabilkan tekanan
darah. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Tjokrowinoto yang
membandingkan perubahan tekanan
darah antara pemberian preload RAM
dengan tanpa preload dimana
didapatkan perbedaan yang tidak
bermakna pada TDS dan TDD antara
sebelum dan sesudah anestesi spinal.
18

Secara statistik kelompok yang
mendapatkan preload RL, didapatkan
penurunan yang bermakna (p<0,05)
pada TDS setelah spinal sedangkan
pada TDD didapatkan penurunan yang
tidak bermakna (p>0,05) setelah spinal.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya
resistensi vaskuler sistemik dan curah
jantung karena pengaruh blok simpatis
saat anestesi spinal sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah.
Mulai menit ke15 terjadi penurunan
TDS yang bermakna. Penurunan itu
disebabkan karena RL sudah mulai
berdifusi ke ruang interstitial, sehingga
tidak dapat mempertahankan venous
return dan curah jantung yang
menyebabkan tekanan darah turun. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Sari (2012) yang membandingkan
perubahan tekanan darah antara
pemberian preload RL dengan tanpa
preload dimana didapatkan perbedaan
yang tidak bermakna pada TDS dan
TDD antara sebelum dan sesudah
anestesi spinal.
19

Hasil penelitian ini juga menunjukan
selisih perubahan/penurunan TDS dan
TDD antara kelompok yang
mendapatkan preload RAM dengan
yang mendapatkan preload RL.
Perubahan TDS yang bermakna terjadi
pada menit ke-25 dengan menit ke-30
setelah spinal. Perubahan TDD yang
bermakna terjadi pada menit ke-15
dengan menit ke-20 setelah spinal. Hal
ini menunjukkan tidak adanya
perbedaan tekanan darah yang bermakna
antara kelompok yang mendapat preload
RAM dengan kelompok yang mendapat
preload RL. Bila dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Tjokrowinoto yang membandingkan
perubahan tekanan darah antara
pemberian preload RAM dengan tanpa
preload didapatkan perubahan TDS
12
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

yang bermakna terjadi antara sebelum
preload dengan menit ke-0 setelah
spinal dan antara menit ke-0 sampai
menit ke-3 setelah spinal. Perubahan
TDD yang bermakna terjadi pada menit
antara ke-12 dengan menit ke-15
setelah spinal.
18
Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Sari
(2012) yang membandingkan
perubahan tekanan darah antara
pemberian preload RL dengan tanpa
preload didapatkan perubahan TDS
terdapat perbedaan yang bermakna
antara pre preload dengan menit ke-0
setelah spinal. Sedangkan untuk
perubahan TDD tidak terdapat
perbedaan bermakna.
19

SIMPULAN
Terdapat perbedaan bermakna
konsentrasi Na pada selisih Na sebelum
preload dengan Na setelah preload dan
Na sebelum preload dengan Na 30
menit setelah preload. Tidak terbukti
terdapat perbedaan bermakna
konsentrasi Na pada selisih Na setelah
preload dengan Na 30 menit setelah
preload. Tidak terbukti terdapat
perbedaan bermakna konsentrasi K.
Terbukti terdapat perbedaan bermakna
konsentrasi Cl pada selisih Cl sebelum
preload dengan Cl 30 menit setelah
preload. Tidak terdapat perbedaan
bermakna konsentrasi Cl pada selisih Cl
sebelum preload dengan setelah preload
dan Cl setelah preload dengan Cl 30
menit setelah preload.
Tidak terdapat perbedaan tekanan darah
yang bermakna antara pasien yang
mendapat preload 20 cc/kgBB RAM
dengan yang mendapat preload 20 cc/
kgBB RL pasca anestesi spinal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marwoto, Primatika A D. Anestesi lokal/
regional. Dalam: Soenarjo, Jatmiko H D,
editor. Anestesiologi. Semarang: IDSAI
cabang Jawa Tengah;2010.p.309-18.
2. Aitkenhead A R, Rowbotham D J, Smith
G, editor. Textbook of aneaesthesia: lokal
anaesthetic techniques. 4th ed. Philadel-
phia: Elsevier science limited; 2002. p.
555.
3. Latief S A, Suryadi K A, Daclan M R.
Analgesia regional. Dalam: Latief S A,
Suryadi K A, Daclan M R, editor. Petun-
juk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Ja-
karta: Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FK UI; 2009. p. 105-7.
4. Liguori G A. Hemodynamic complica-
tions Dalam: Neal J M, Rathmell J P, edi-
tor. Complications in regional anesthesia
and pain medicine. Philadelphia: Elsevier
Inc; 2007. p. 43-4,50.
5. Muzlifah K B, Choy Y C. Comparison
between preloading with 10 ml/kg and 20
ml/kg of ringers lactate in preventing
hypotension during spinal anaesthesia for
caesarean section. Med J Malaysia. 2009;
64(2): 114.
6. Duke J. Spinal anesthesia. Dalam: Duke J,
editor. Anesthesia secrets. 4th ed. Phila-
delphia: Mosby Inc; 2011. p. 452.
7. Rosenquist Richard, Vrooman Bruce. The
Pain management. Dalam: Morgan G E,
Mikhail M S, Murray M J, editor. Clinical
anesthesiology: 4th ed. New York: Mc
Graw-Hill companies; 2006. p. 297-8.
8. Sapola J A L. Complications of regional
anesthesia. in: Sapola J A L, editor. Anes-
thesia oral board review. Cambridge:
Cambridge university press; 2010. p. 201.
9. Bernards C M. Epidural and spinal anes-
thesia. in: Barash P G, Cullen B F, Stoelt-
ing R K, editor. Clinical anesthesia. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott williams and
wilkins publishers; 2001. p. 519-20.
10. Hartanto R V. Perbedaan perubahan kon-
sentrasi natrium plasma antara preload 20
cc/kgbb ringer laktat dibandingkan den-
gan preload 20 cc/kgbb ringer asetat
malat. S.Ked [thesis]. Semarang: Univer-
13
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sitas Diponegoro; 2012. p. 2, 72.
11. Horne M M, Swearingen P L. Ikhtisar
keseimbangan cairan dan elektrolt.
Dalam: Asih Y, editor. Keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam basa. Edisi ke
-2. Jakarta: EGC; 2000. p. 1-3.
12. Mulyono I, Sunatrio S. Prinsip-prinsip
dasar cairan tubuh. Dalam: Harijanto E,
editor. Paduan tatalaksana terapi cairan
perioperatif. Jakarta: PP IDSAI; 2010. p.
7,14.
13. Irawan M A. Cairan tubuh, elektrolit dan
mineral. Sports science brief. 2007;1(1):
1-5
14. Zander R. Infusion fluid: why should
they be balanced solutions?. EJHP Prac-
tice. 2006; 12(6): 60.
15. Hartanto W W. Terapi cairan dan elek-
trolit perioperatif. [tinjauan pustaka].
Bandung: universitas Padjadjaran; 2007.
p. 5-6, 16-7, 20-1.
16. Prough D S, Svensen C H. Crystalloid
solutions. in: Hahn R G, Prough D S,
Svensen C, editor. Perioperative fluid
therapy. New York: Informa healthcare
USA Inc; 2007. p. 143.
17. Ringer asetat (asering) mencegah hipoter-
mia pesectiorioperatif. Majalah farmacia.
2006; 5(9): 34.
18. Tjokrowinoto S. Perbedaan tekanan darah
pasca anestesi spinal dengan pemberian
preload dan tanpa pemberian preload
20cc/kgbb ringer asetat malat. S.Ked
[thesis]. Semarang: Universitas Dipone-
goro; 2012. p. 44-8.
19. Sari N K. Perbedaan tekanan darah pasca
anestesi spinal dengan pemberian preload
dan tanpa pemberian preload 20 cc/kgbb
ringer laktat . S.Ked [thesis]. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2012. p. 31-43.
14
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Perbandingan Kadar Laktat Antara Propofol-Fentanil dengan Isofluran-
Fentanil Pada Operasi Kraniotomi Cedera Otak Sedang
Harsakti Rasyid*, Husni Tanra*, Syafruddin Gaus*, Ilhamjaya P**
ABSTRACT
Background: Traumatic brain injury commonly is a multiple system disorder which
causes ischemia. Anaerobic metabolism of glucose produces lactate as the result of
lack of oxygen.
Objective: This study was aimed to compare lactate levels between propofol-fentanyl
and isoflurane-fentanyl on craniotomy of moderate traumatic brain injury.
Method: Conducted an single-blind randomized experimental study of 42 moderate
traumatic brain injury patients underwent craniotomy. Subjects were divided into two
group, first group received 6 mg/kg/h propofol and 1 mcg/kg/h fentanyl (n=21) as
anesthetic maintenance. The second group received 1 vol% isoflurane and 1 mcg/kg/h
fentanyl (n=21). Lactate levels of vein-blood sample were collected pre-surgery, after
intubation, after craniotomy, and after extubation. Data were analyzed using Shapiro
Wilk, normal distribution data were analyzed using independent T test and abnormal
distribution data were transformed using log function (95% confidence intervals, p
<0.05).
Result: Lactate levels under 6 mg/kg/h propofol and 1 mcg/kgBB/h fentanyl anesthetic
maintenance was lower than lactate levels under isoflurane 1 vol% and fentanyl 1
mcg/kg/h anesthetic maintenance at the time after intubation, after craniotomy, and
after extubation (p<0,05).
Conclusion: Lactate levels on craniotomy of moderate traumatic brain injury under
propofol-fentanyl maintenace was lower than lactate levels under isoflurane-fentanyl.
Propofol-fentanyl could be an anesthetic maintenance of traumatic neurosurgery.
Keywords: Lactate, propofol, isoflurane, craniotomy, moderate traumatic brain injury.

* Bagian Anestesiologi, Perawatan intensif dan manajemen nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makassar
**Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makassar
Korespondensi / correspondence: harsakti_hs@yahoo.com
Comparison of Lactate Levels Between Propofol-Fentanyl and I soflurane-
Fentanyl on Craniotomy of Moderate Traumatic Brain I njury
15
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ABSTRAK
Latar Belakang: Cedera otak menimbulkan gangguan beberapa sistem tubuh dan
sering menyebabkan iskemia. Laktat terbentuk dari metabolisme anaerob glukosa otak
akibat kurangnya oksigen.
Tujuan: Membandingkan kadar laktat antara propofol-fentanil dengan isofluran-
fentanil pada operasi kraniotomi cedera kepala sedang.
Metode: Dilakukan penelitian eksperimental secara acak tersamar tunggal terhadap
42 pasien yang menjalani prosedur kraniotomi cedera kepala sedang. Subyek
penelitian dibagi dalam dua kelompok, kelompok pertama mendapat pemeliharaan
anestesi propofol 6 mg/kgBB/jam dan fentanil 1 mcg/kgBB/jam (n=21), sementara
kelompok kedua mendapat pemeliharaan isofluran 1 vol% dan fentanil 1 mcg/kgBB/
jam (n=21). Dilakukan pemeriksaan kadar laktat vena pra bedah, setelah intubasi,
setelah kraniotomi, dan setelah ekstubasi. Data diuji berdasarkan Shapiro Wilk, bila
distribusi data normal diuji dengan independent T test dan bila distribusi tidak normal
dilakukan transformasi data dengan fungsi log. Tingkat kepercayaan 95% dengan
kemaknaan p<0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan kadar laktat pada pemeliharaan anestesi
propofol 6 mg/kgBB/jam dan fentanil 1 mcg/kgBB/jam lebih rendah setelah intubasi,
setelah kraniotomi, dan setelah ekstubasi dan secara statistik bermakna (p<0,05)
dsbanding pemeliharaan isofluran 1 vol% dan fentanil 1 mcg/kgBB/jam.
Kesimpulan: Kadar laktat pada operasi kraniotomi cedera otak sedang dengan
pemeliharaan anestesi propofol-fentanil lebih rendah dibanding kadar laktat dengan
pemeliharaan anestesi isofluran-fentanil. Propofol dan fentanil dapat dijadikan
pemeliharaan anestesi bedah saraf traumatik.
Kata kunci: Laktat, propofol, isofluran, kraniotomi, cedera otak sedang.
PENDAHULUAN
Cedera otak akibat kecelakaan lalu lintas
pada umumnya berupa multiple system
disorders.
1
Cedera otak dapat
menyebabkan pengaruh langsung
(cedera primer) dan tidak langsung
(cedera sekunder). Cedera sekunder
terjadi setelah trauma yang disebabkan
karena efek sistemik (hipoksemia,
hiperkapnia, hipotensi, anemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipertermi,
sepsis, koagulopati, dan hipertensi) dan
intrakranial (hematoma epidural/
subdural, kontusio, peningkatan tekanan
intrakranial [TIK], edema serebral,
vasospasme, infeksi intrakranial,
hiperemia, dan epilepsi post trauma).
2

Trauma juga menimbulkan iskemia
16
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

karena peningkatan TIK, kolaps
kardiovaskuler, hipoksia, dan hal-hal
yang menyebabkan tidak adekuatnya
tekanan perfusi otak (TPO=CPP
[Cerebral Perfution Pressure]).
2

Iskemia mengurangi produksi energi
akibat penghambatan fosforilasi
oksidasi sehingga glikolisis terjadi
secara anaerobik yang mengubah
piruvat menjadi laktat. Proses ini juga
menghasilkan ion hidrogen (H
+
) yang
menyebabkan asidosis intraselluler.
3

Aktivitas pompa ion tergantung ATP
berkurang, natrium (Na
+
) dan kalsium
(Ca
++
) intrasel meningkat, sedangkan
kalium (K
+
) intrasel berkurang. Hal ini
menyebabkan neuron depolarisasi dan
mengeluarkan glutamat.
2

Dinamika gula darah, laktat, dan Glial
Fibrillary Acidic Protein (GFAP)
serum menggambarkan perubahan
dinamis pada metabolisme otak,
berkurangnya laju metabolisme dan
timbulnya krisis energi.
4
Peningkatan
laktat sebagai gambaran cedera
hipoksia-iskemia akan memberikan
gambaran klinik kejang dan fungsi
neurologis abnormal.
5

Terdapat hubungan antara kadar laktat
darah dengan tingkat cedera otak,
dimana semakin berat cedera otak,
kadar laktat darah akan semakin
meningkat. Hasil CT-scan kepala
memperlihatkan semakin berat
kerusakan parenkim otak, semakin
tinggi kadar laktat darah.
6

Anestesi inhalasi memiliki dual effect
pada pembuluh darah serebral. Pada
konsentrasi rendah bersifat
vasokonstriksi dan peningkatan
konsentrasi akan menimbulkan efek
vasodilatasi sehingga meningkatkan
aliran darah otak (ADO = CBF,
Cerebral Blood Flow) dan volume darah
otak (VDO = CBV, Cerebral Blood
Volume) serta meningkatkan TIK.
2

Gabungan obat anestesi tertentu
mempunyai pengaruh pada
hemodinamik serebral, metabolisme
serebral dan TIK untuk memberikan
kondisi operasi yang baik serta
meningkatkan luaran.
2

Pada pasien dengan peningkatan TIK,
propofol merupakan pilihan utama
dibandingkan sevofluran.
7
Efek
neuroproteksi propofol sampai tiga hari
setelah iskemia.
8
Propofol dapat
menekan peningkatan glukosa darah
dibandingkan isofluran, sedangkan
respon kortisol dan insulin tidak berbeda
bermakna pada operasi kraniotomi
tumor supratentorial.
9
Anestesi
intravena seperti propofol menurunkan
ADO, TIK, dan CMRO
2
.
3
Peningkatan
laktat arteri berhubungan dengan
peningkatan ambilan laktat dan laktat
serebral. Bersamaan dengan itu glukosa
serebral menurun.
10

Tujuan penelitian ini membandingkan
kadar laktat antara propofol-fentanil
dengan isofluran-fentanil pada operasi
kraniotomi cedera kepala sedang.
METODE
Penelitian dilakukan di kamar bedah RS
Wahidin Sudirohusodo Makassar
17
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

selama Maret 2013 - April 2013.
Penelitian ini merupakan uji klinis acak
tersamar tunggal. Populasi penelitian
adalah pasien yang menjalani prosedur
kraniotomi cedera kepala sedang di
ruang bedah RS Wahidin Sudirohusodo
selama masa penelitian. Sampel
sebanyak 42 orang yang dipilih secara
acak dan memenuhi kriteria inklusi,
yaitu: pasien cedera otak sedang yang
akan menjalani operasi kraniotomi, usia
18-65 tahun, PS ASA 2E, keluarga
setuju ikut dalam penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan yang
telah dikeluarkan oleh Komisi Etik
Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, dan mendapat persetujuan
dari dokter primer yang merawat.
Pengumpulan data dilakukan oleh
peneliti dibantu peserta PPDS
anestesiologi Unhas di RS Wahidin
Sudirohusodo. Data pengambilan laktat
vena pada masa pra bedah, setelah
intubasi, setelah kraniotomi dan setelah
ekstubasi dicatat pada lembar
pengamatan selama periode
pengamatan.
Data yang diperoleh diolah, hasilnya
ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel
atau grafik. Analisis statistik
menggunakan piranti statistik
elektronik. Data diuji dengan Shapiro
Wilk, bila distribusi data normal diuji
dengan Independent T test dan bila
distribusi data tidak normal dilakukan
transformasi data dengan fungsi log.
Apabila data tetap tidak normal maka
diuji dengan Mann Withney test.
Tingkat kepercayaan 95% dengan
kemaknaan p<0,05.
HASIL
Nilai median umur kelompok P dan
kelompok I adalah 19 tahun dengan
umur minimal dan maksimal berbeda
tiap kelompok. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada kedua
kelompok (p=0,404). Nilai median berat
badan (BB) untuk kelompok P dan
kelompok I adalah 60 kg dengan BB
minimal dan maksimal berbeda tiap
kelompok. Tidak didapatkan perbedaan
yang bermakna pada kedua kelompok
(p=0,329).
Kategori jenis kelamin diuji dengan tes
Fisher, jumlah laki-laki pada tiap
kelompok lebih banyak dibanding
jumlah perempuan. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada kedua
kelompok (p=1,000).
Pada tabel 3 tampak bahwa nilai rerata
kadar laktat pra bedah pada kelompok P
lebih tinggi dibanding kelompok I,
namun perbedaan ini tidak bermakna
secara statistik (p=0,738). Nilai rerata
kadar laktat setelah intubasi pada
kelompok P (2,79 0,72 mmol/L) lebih
rendah dibanding kelompok I (4,51
1,01 mmol/L), perbedaan ini bermakna
secara statistik (p=0,000). Nilai rerata
kadar laktat setelah kraniotomi pada
kelompok P (2,36 0,63 mmol/L) lebih
rendah dibanding kelompok I (4,72
0,94 mmol/L), perbedaan ini bermakna
secara statistik (p=0,000). Nilai rerata
kadar laktat setelah ekstubasi pada
kelompok P (2,08 0,57 mmol/L) lebih
18
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

No Variabel
Kelompok
p
P I
(mean
SD)
median (min
mak)
(mean
SD)
median
(minmak)
1 Umur (thn) 24,95
11,25
19
(18-57)
30,57
15,08
19
(18-61)
0,404*
2 BB (kg)

59,29
7,95
60
(50 75)
61,67
6,95
60
(5075)
0,329*

3 Laktat pra bedah
(mmol/L)
3,73
0,87
3,8
(2,4-6,2)
3,65
0,66
3,6
(2,6-4,5)
0,950*

4 Durasi operasi
(mnt)
210,47
36,22

227,86
31,68

0,106**
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian
*Uji Mann-Whitney, p < 0,05 dinyatakan bermakna
** t test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
Jenis Kelamin
Kelompok
P P I
n % n %
Laki-laki 17 40,5 16 38,1
1,000
Perempuan 4 9,5 5 11,9

Total 21 50 21 50

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin
Uji Fisher, p < 0,05 dinyatakan bermakna
rendah dibanding kelompok I (4,76
1,00 mmol/L), perbedaan ini bermakna
secara statistik (p=0,000).
Pada tabel 4 terlihat kadar laktat normal
pada kelompok P setelah intubasi,
setelah kraniotomi dan setelah
ekstubasi. Sementara pada kelompok I
tidak didapatkan kadar laktat normal.
Tidak didapatkan GCS yang menurun.
Pada kelompok propofol terdapat 14
sampel yang menunjukkan peningkatan
GCS, sementara 7 sampel tetap.
Sedangkan pada kelompok isofluran
terdapat 5 sampel yang menunjukkan
peningkatan GCS, sementara 16 sampel
tetap. Perbedaan tersebut bermakna
secara statistik (p=0,001).
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini memperlihatkan
penurunan kadar laktat pada kelompok
propofol sedangkan pada kelompok
isofluran terjadi peningkatan kadar
19
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

laktat. Kadar laktat pra bedah pada
kelompok propofol lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok isofluran.
Pada saat setelah intubasi kadar laktat
pada kelompok propofol menurun
sedangkan pada kelompok isofluran
meningkat. Perbedaan kadar laktat pada
waktu pra bedah bermakna secara
statistik (p=0,738).
Penurunan kadar laktat juga terjadi
setelah kraniotomi dan setelah ekstubasi
pada kelompok propofol, sementara
pada kelompok isofluran terjadi
peningkatan kadar laktat. Perbedaan ini
bermakna secara statistik baik saat
setelah kraniotomi dan setelah ekstubasi
(p=0,000).
Propofol dapat menurunkan CMRO
2
,
ADO, dan TIK. Propofol menyebabkan
vasokonstriksi serebral yang akan
mengurangi CMRO
2
selanjutnya akan
mengurangi ADO. Propofol juga
menurunkan TAR sehingga akan
menurunkan TIK, tetapi TPO harus
dipantau ketat.
2
Penurunan ADO lebih
besar dibanding CMRO
2,
hal ini
mendukung bahwa propofol memiliki
efek vasokonstriksi langsung pada otak.
Proses iskemia yang terjadi pada cedera
kepala akan diperbaiki oleh kelebihan
tersebut. Pembentukan laktat yang
terjadi karena proses iskemia akan
berkurang sehingga laktat akan menurun
dibanding penggunaan isofluran.
8
Isofluran menekan metabolisme otak
dan mempunyai efek proteksi otak bila
insult iskemia tidak berat. Konsentrasi
isofluran lebih dari 1 MAC dapat
menyebabkan peningkatan TIK.
7

Isofluran menghambat terjadinya
excitotoxicity akibat akumulasi glutamat
pada ruangan ekstraseluler selama
iskemia sebagai antagonisme reseptor
glutamat yang mengurangi masuknya
kalsium ke dalam sel sehingga dapat
mengurangi kematian sel.
11

No Waktu
Kadar Laktat (mmol/L)
P
P I
(mean
SD)
median
(minmak)
(mean
SD)
median
(minmak)
1 Pra bedah 3,72 0,87 3,64 0,66 0,738*
2
Setelah
intubasi
2,79 0,72 4,51 1,01 0,000*
3
Setelah
kraniotomi
2,36 0,63 4,72 0,94 0,000*
4
Setelah
ekstubasi
2,08 0,57 1,9
(1,5-3,8)
4,76 1,00 4,8
(2,7-6,2)
0,000**
Tabel 3. Perbandingan kadar laktat antara kedua kelompok
* t test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
** Uji Mann-Whitney, p < 0,05 dinyatakan bermakna
20
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Selama kraniotomi reseksi tumor otak,
TIK lebih rendah pada propofol-fentanil
dibandingkan dengan isofluran-fentanil
atau sevofluran-fentanil.
3
Pada pasien
dengan peningkatan TIK, propofol
merupakan pilihan utama dibandingkan
sevofluran.
7
Efek neuroproteksi
propofol sampai tiga hari setelah
iskemia.
8
SIMPULAN
Kadar laktat pada operasi kraniotomi
cedera otak sedang yang mendapat
pemeliharaan anestesi propofol 6 mg/
kgBB/jam + fentanil 1 mcg/kgBB/jam
lebih rendah dibandingkan dengan yang
mendapatkan isofluran 1 vol % +
fentanil 1 mcg/kgBB/jam. Propofol dan
fentanil dapat dipakai untuk
NO Waktu
Kadar laktat normal
(< 2,2 mmol/L)
P
P I
n % n %
1 Pra bedah 0 0 0 0
2 Setelah intubasi 6 28,5 0 0 0,010
3 Setelah kraniotomi 11 52,3 0 0 0,000
4 Setelah ekstubasi 16 76,1 0 0 0,000
Tabel 4. Perbandingan kategori kadar laktat normal antara kedua kelompok
Uji Chi-Square, p < 0,05 dinyatakan bermakna
Kelompok
GCS
Total P
Tetap Meningkat
Propofol 7 14 21 0,001
Isofluran 16 5 21
Total 23 19 42
Tabel 5. Perbandingan tingkat GCS antara kedua kelompok
Uji McNemar, p < 0,05 dinyatakan bermakna
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhimarta W, Islam A. Inflamation Process
and Glukoneogenesis Process at Severe
Head Injury. Indones. J Med Sci.
2009;1:36879.
2. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran; 2012. p.20-5
3. Kass IS, Cotrell JE. Brain Metabolism, the
Pathophysiology of Brain Injury, and
Potensial Beneficial Agents and Techniques.
In: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young`s neuroanesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010. p. 1
13.
4. Widodo D, Islam AA, Bahar B. Dinamika
Kadar Glukosa, Laktat dan Glial Fibrillary
Acidic Protein (GFAP) Serum Sebagai
Prediktor Luaran Cedera Otak Tertutup
[Tesis]. Universitas Hasanuddin. Makassar;
2010.
pemeliharaan anestesi bedah saraf
traumatik.
21
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

9. Cok OY, Ozkose Z, Pasaoglu H, Yardim S.
Glucose response during craniotomy:
propofol-remifentanil versus isoflurane-
remifentanil. Minerva Anestesiol. 2011; 77
(12):11418.
10. 10. Meierhans R, Brandi G, Fasshauer M,
Sommerfeeld J, Schupbach R, Bechir M.
Arterial Lactate above 2 mM is Associated
with Increased Brain Lactate and Decreased
Brain Glucose in Patients with Severe
Traumatic Brain Injury. Minerva Anestesiol.
2012;78:8593.
11. Matta BF, Mayberg TS, Lam AM. Direct
cerebrovasodilatory effects of halothane,
isoflurane, and desflurane during propofol-
induced isoelectric electroencephalogram in
humans. Anesthesiology 1995; 83(5):9805;
discussion 27A.
5. Makoroff KL, Cecil KM, Care M, Ball WS.
Elevated lactate as an early marker of brain
injury in inflicted traumatic brain injury.
Pediatr. Radiol. 2005; 35(7):66876.
6. Arifin MZ, Widhiatmo AO. Arterial Lactate
Levels of the Patients with Mild, Moderate,
and Severe Head Injuries at Hasan Sadikin
Hospital in Bandung. JKM. 2011;10(2):126
32.
7. Engelhard K, Werner C. Inhalational or
intravenous anesthetics for craniotomies?
Pro inhalational. Curr. Opin. Anaesthesiol.
2006;19(5):5048.
8. Bayona NA, Gelb AW, Jiang Z, Wilson JX,
Urquhart BL, Cechetto DF. Propofol
neuroprotection in cerebral ischemia and its
effects on low-molecular-weight
antioxidants and skilled motor tasks.
Anesthesiology 2004;100(5):11519.
22
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Angka Kejadian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Paska
Pemasangan Kateter Vena Sentral di Rumah Sakit Dr. Soetomo
Eka Seprianti Widiastuti *, Bambang Wahjuprajitno*
ABSTRACT
Background: Each year more than 5 million central venous catheter mounted.
Unfortunately, more than 500,000 intravascular device-related bloodstream infections
occur in the U.S. each year, of which 7-20% are due to central venous catheter-related
bloodstream infection (CR-BSI). CR-BSI associated with prolongation of length of stay
in hospital, increased costs and mortality. Several factors influence the occurrence of
CR-BSI such as insertion sites, maximal sterile barriers, transparent dressings, care
without aseptic technique, the use of parenteral nutrition and inotropik
catecholamines, the condition of patients, and more. In Dr. Soetomo General Hospital,
there is no data on the incidence of CR-BSI and the factors that influence it.
Objective: To calculate CR-BSI rate and analyze the factors that influence it in Dr.
Soetomo General Hospital.
Method: This is a cohort study performed in in-hospital patients. The observation
started when CVC was inserted to patients, basic data were recorded such as
identities, initial conditions, comorbidities, and insertion techniques. Patients were
followed to evaluate CVC care techniques, systemic antibiotics, the use of parenteral
nutrition and inotropik catecholamines, as well as suspicion of CR-BSI. Blood cultures
were performed when suspicion of infection arise (both clinically and using Score
IPS), and then the diagnosis of CR-BSI was made. All data were recorded until the
CVC was removed and patient was discharged from hospital.
Result: There were 15 cases of CR-BSI in 139 patients, total duration of CVC were
1751 days, and the CR-BSI rate 8.57 cases per 1000 CVC days. The highest rate is in
neurology ward, 35,71 cases per 1000 CVC days. Length of stay in hospital (p=0.032),
duration of CVC usage (p=0.002), use of parenteral nutrition (p=0.000), use of
inotropik catecholamines (p=0.041), APACHE II score (p=0.000), infection prior to
CVC insertion (p=0.039) and elsewhere infection (p=0.033) is a significant factor
influencing the incidence of CR-BSI. However, if these factors are examined together,
duration of CVC usage (p = 0,030), use of parenteral nutrition (p = 0.005), and
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Dr. Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Correspondence/ Korespondensi: dreka-s-w-07@fk.unair.ac.id
I ncidence Rate and Factors Affecting Central Venous Catheter-Related
Bloodstream I nfection (CR-BSI ) in Dr. Soetomo General Hospital
23
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

APACHE II score (p = 0.006 ) were most dominant influencing CR-BSI.
Conclusion: The CR-BSI rate in Dr. Soetomo General Hospital approximately high,
while duration of CVC use, the use of parenteral nutrition, and APACHE II scores as
the most dominant factors affecting the incidence of such infection.
Keywords: Central venous catheter, central venous catheter-related bloodstream
infection, parenteral nutrition, APACHE II Score.
ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap tahun lebih dari 150 juta kateter intravena digunakan, dimana
5 juta dari mereka dipasang pada vena sentral. Sayangnya, lebih dari 500.000 infeksi
yang terkait dengan pemasangan alat secara intravaskular melalui aliran darah
terjadi di AS setiap tahun, 7-20 % disebabkan oleh central venous catheter - related
blodstream infection ( CR - BSI ). CR - BSI terkait dengan perpanjangan lama tinggal
di rumah sakit, meningkatkan biaya dan kematian. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya CR - BSI seperti tempat penyuntikan, prosedur pemasangan
yang steril maksimal, dressing transparan, perawatan tanpa teknik aseptik,
penggunaan nutrisi parenteral dan inotropikik katekolamin, kondisi pasien, dan
banyak lagi. Belum ada data tentang kejadian CR - BSI dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo.
Tujuan: Menghitung angka kejadian CR - BSI dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhinya di Dr Soetomo Surabaya.
Metode: Prosedur penelitian dimulai sejak CVC dipasang pada pasien, data dasar
dicatat seperti identitas, kondisi awal, komorbiditas, dan teknik pemasangan. Pasien
diikuti untuk mengevaluasi teknik perawatan CVC, pemakaian antibiotik sistemik,
penggunaan nutrisi parenteral dan inotropikik katekolamin, serta dugaan CR - BSI.
Kultur darah dilakukan bila dicurigai infeksi timbul (baik secara klinis dan
menggunakan Skor IPS), dan kemudian diagnosis CR - BSI dibuat. Semua data dicatat
sampai CVC telah dilepas dan pasien keluar dari rumah sakit.
Hasil: Ada 15 kasus CR - BSI pada 139 pasien, total durasi pemakaian CVC adalah
1.751 hari, sehingga tingkat CR - BSI 8.57 kasus per 1000 hari penggunaan CVC.
Tingkat tertinggi adalah di bangsal neurologi, 35,71 kasus per 1000 hari penggunaan
CVC. Lama tinggal di rumah sakit (p = 0,032), durasi penggunaan CVC (p = 0,002),
penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,000), penggunaan inotropikik katekolamin (p =
0,041), skor APACHE II (p = 0,000), infeksi sebelum pemakaian CVC (p = 0,039) dan
infeksi di tempat lain (p = 0,033) merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi
kejadian CR - BSI. Namun, jika faktor-faktor ini diperiksa bersama-sama, durasi
penggunaan CVC (p = 0,030), penggunaan nutrisi parenteral (p = 0,005), dan skor
24
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

APACHE II (p = 0,006) memberikan pengaruh yang dominan terhadap CR - BSI.
Kesimpulan: Angka kejadian CR - BSI di Dr Soetomo Rumah Sakit Umum tinggi,
sedangkan durasi CVC digunakan, penggunaan nutrisi parenteral , dan skor APACHE
II sebagai faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian infeksi tersebut.
Kata kunci: Kateter vena sentral, infeksi kateter terkait aliran darah vena sentral,
nutrisi parenteral, APACHE II Score.
PENDAHULUAN
Setiap tahun di Amerika Serikat, lebih
dari 150 juta kateter intravena
digunakan, dimana 5 juta diantaranya
dipasang pada vena sentral.
1,2
Kateter
vena sentral memungkinkan pengukuran
variabel hemodinamik yang tidak bisa
diukur secara akurat dengan metode
noninvasif, serta digunakan untuk
pemberian obat dan nutrisi pendukung
yang tidak dapat diberikan secara aman
melalui kateter vena perifer.
3
Sayangnya,
15% dari penggunaan kateter vena
sentral berhubungan dengan komplikasi
yang tidak diinginkan. Komplikasi
mekanik dilaporkan terjadi pada 5-19%
pasien, infeksi pada 5-26% pasien serta
trombotik sekitar 2-26%.
2

Lebih dari 500.000 intravascular device-
related bloodstream infections terjadi di
Amerika Serikat tiap tahun, 7-20%
diantaranya disebabkan oleh kateter vena
sentral.
4,5,6
Pasien sakit kritis berisiko
terhadap infeksi tersebut mengingat
kondisinya sangat rentan dan sering
membutuhkan prosedur invasif. Central
venous catheter-related bloodstream
infection (CR-BSI) berhubungan dengan
pemanjangan waktu perawatan (length of
stay) di rumah sakit, penambahan biaya
sebesar $ 33.000-65.000 perkasus, serta
peningkatan angka mortalitas 16-40%
(bahkan bisa mencapai 53%).
6,7,8

Penelitian Oncu et al tahun 2003 tentang
faktor risiko dan efek penggunaan
antibiotik glikopeptida terhadap Central
venous catheter-Related Bloodstream
Infections menyebutkan bahwa faktor
risiko terjadinya CR-BSI ini antara lain
pemasangan kateter tanpa maximal
sterile barriers, penempatan di vena
femoralis atau jugularis interna
(dibandingkan vena subclavia),
penggunaan tempat yang sama dengan
hanya mengganti guidewire, adanya
kolonisasi ditempat pemasangan atau
kontaminasi catheter hub, perawatan
tidak aseptik, dan penggunaan lebih dari
7 hari.
9
Pemakaian Parenteral Nutrition
(PN) dan inotropik katekolamin (dalam
hal ini dopamin dan norepinefrin), serta
adanya komorbid pasien juga dilaporkan
sebagai salah satu faktor risiko
terjadinya CR-BSI. Marra et al dan
Collins et al melakukan penelitian
mengenai bloodstream infection pada
pasien dengan total parenteral nutrition,
25
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

didapatkan bahwa 6-33% pasien
mengalami CR-BSI saat mendapat TPN
jangka panjang, baik disebabkan oleh
bakteri maupun jamur.
10,11
Sementara
inotropik katekolamin (digunakan untuk
menunjang fungsi kardiak) dapat
meningkatkan kemampuan
pertumbuhan bakteri, pembentukan
virulence associated factors, dan
mempengaruhi proses perubahan
mikroba menjadi bentuk yang lebih
kompleks, sesuai hasil penelitian yang
dilakukan oleh Freestone et al pada
tahun 2008.
12
Penelitian Warren et al
mengenai CR-BSI di ICU pada tahun
2001 menyebutkan bahwa adanya
komorbid pasien (misalnya congestive
heart failure dan chronic obstructive
pulmonary disease) merupakan faktor
risiko kejadian CR-BSI.
6

Berdasarkan data RSU Dr. Soetomo
tahun 2012 didapatkan setiap bulan
sekitar 10-15 buah CVC dipasang pada
pasien Intensive Care Unit (ICU) dan
20-25 buah CVC dipasang di Ruang
Resusitasi (RES), sementara di Ruang
Observasi Intensif (ROI), Kamar
Operasi Gedung Bedah Pusat Terpadu
(GBPT) dan Kamar Operasi Instalasi
Rawat Darurat (IRD) tidak didapatkan
data mengenai jumlah pemasangan
CVC tersebut. Penelitian atau
pencatatan data mengenai angka
kejadian CR-BSI juga belum dilakukan
di RSU Dr. Soetomo. Fakta-fakta diatas
mendorong peneliti untuk menganalisis
angka kejadian dan faktor-faktor yang
mempengaruhi CR-BSI di RSU Dr.
Soetomo Surabaya.
METODE
Penelitian ini bersifat observasional
dengan desain prospective study, akan
mengamati kejadian Central venous
catheter-Related Bloodstream Infections
(CR-BSI) dan mencatat faktor yang
mempengaruhinya di RSU Dr. Soetomo
Surabaya. Penelitian ini berlangsung
selama 2 bulan, dengan subyek
penelitian adalah seluruh pasien yang
dilakukan pemasangan CVC di RSU
Dr. Soetomo Surabaya oleh calon/dokter
anestesi. Adapun sampel penelitian ini
adalah seluruh populasi yang memenuhi
kriteria inklusi penelitian ini.
Kriteria inklusi yaitu usia > 5 tahun atau
<65 tahun, pasien/ keluarga bersedia
menjadi sampel penelitian. pemasangan
CVC dilakukan di Ruang Resusitasi
(RES), Kamar Operasi Gedung Bedah
Pusat Terpadu (GBPT) / Instalasi Rawat
Darurat (IRD), Ruang Intensive Care
Unit (ICU) atau Ruang Observasi
Intensif (ROI) RSU Dr. Soetomo
Surabaya, setelah dilakukan
pemasangan CVC, pasien harus dirawat
di ICU / ROI RSU Dr. Soetomo dan bila
dalam perjalanan berikutnya, pasien
sudah tidak ada indikasi dirawat di
ICU / ROI, maka boleh dipindahkan
keruangan lain
Pasien dieksklusikan bila pasien dirawat
di Ruang ICU / ROI kurang dari 24 jam,
dan drop out bila pasien meninggal
dalam perawatan sebelum ditemukan
adanya kejadian CR-BSI atau pasien
tidak lagi dirawat di RSU Dr. Soetomo
(pindah ke RS lain, pulang paksa)
26
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sebelum ditemukan adanya kejadian CR
-BSI.
Prosedur penelitian dimulai dimana
pasien yang akan dilakukan
pemasangan CVC dicatat data dasar
seperti identitas, kondisi awal,
komorbid, serta teknik pemasangannya.
Pasien kemudian diikuti untuk melihat
teknik perawatan CVC, pemberian
antibiotika sistemik, penggunaan nutrisi
parenteral dan inotropikik katekolamin,
serta kecurigaan terjadinya CR-BSI.
Kultur darah dilakukan bila didapatkan
kecurigaan infeksi (baik secara klinis
maupun menggunakan Skor IPS), untuk
kemudian dilakukan penegakan
diagnosis CR-BSI. Semua data tersebut
dicatat hingga CVC dilepas dan pasien
keluar rumah sakit.
HASIL
Pada penelitian ini didapatkan 15 kasus
CR-BSI pada total 139 pasien (10,8%),
dengan lama penggunaan CVC
keseluruhan selama 1751 hari. Dan
ditemukan bahwa angka kejadian CR-
BSI di RSU Dr. Soetomo sebesar 8,57
kasus per 1000 hari CVC, dengan
prosentase 10,8%.
Tempat kejadian infeksi CR-BSI lebih
banyak terjadi diruangan dibandingkan
di ROI / ICU. Pemasangan CVC di
RSU Dr. Soetomo terbanyak dilakukan
di vena subklavia. Namun berdasarkan
hasil penelitian ini, CR-BSI lebih
banyak terjadi pada CVC yang dipasang
pada vena jugularis interna, disusul
vena femoralis, bila dibandingkan
dengan kateterisasi vena subklavia.
Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui bahwa CR-BSI terbanyak
terjadi pada CVC dipasang di IRD (OK,
RES, ROI) dibandingkan kateterisasi di
GBPT (OK, ICU). CR-BSI banyak
terjadi pada CVC berdiameter 12 mm
(digunakan untuk hemodialisis)
dibandingkan ukuran lebih kecil, dan
terbanyak pada CVC double line
daripada triple/quadriple line. Kejadian
CR-BSI lebih besar pada CVC yang
dipasang tanpa percobaan berulang
dibandingkan dengan percobaan
berulang. CR-BSI lebih banyak terjadi
pada CVC tanpa penggunaan
transparent dressing dibandingkan
dengan yang memakainya.
Angka kejadian CR-BSI tertinggi di
ruang saraf sebanyak 35,71 kasus per
1000 hari CVC, sementara terendah di
ROI dengan 3,98 kasus per 1000 hari
CVC. Tampak pula bahwa angka
kejadian CR-BSI rata-rata diruangan
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ROI atau ICU. Dari 15 kasus CR-BSI
pada penelitian ini, masing-masing 2
kasus terjadi di ROI dan ICU, serta
sisanya terjadi diruangan. Tampak pula
bahwa angka kejadian CR-BSI rata-rata
diruangan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ROI atau ICU.
Tampak pula bahwa tanda infeksi (IPS
Score 14) diruangan terjadi mulai hari
keempat setelah pasien pindah dari
ROI / ICU, dimana kemudian dilakukan
kultur darah dan ditegakkan diagnosa
CR-BSI.
27
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014



CR-BSI
B p OR (CI 95%)
Ya Tidak
Usia (th) - 0,471 -
65 1 (5,9%) 16 (94,1%) - - -
19-64 12 (13,2%) 79 (86,8%) 0,888 0,409 2,43 (0,30 0,04)
5-18 2 (6,5%) 29 (93,5%) 0,098 0,938 1,10 (0,0913,14)



Jenis Kelamin 0,593 0,280 1,81 (0,62 5,31)
Laki-laki 7 (8,4%) 76 (91,6%)
Perempuan 8 (14,3%) 48 (85,7%)
Tabel 1. Demografi sampel penelitian
Tempat
kejadian
CR-BSI
Jenis kuman penyebab
Jumlah
pasien
dengan
CVC
Lama
peng-
gunaan
CVC
(jumlah
hari CVC)
CR-BSI
Rate (kasus
per 1000
hari CVC)
Rerata
Lama
CVC per
kasus
(hari)
ROI
2 kasus :
Staphylococcus saprophyticus
Staphylococcus aureus
87 502 3,98 5,8
ICU
2 kasus :
Staphylococcus schleiferi
Raoultella ornithinolytica
52 335 5,97 6,4
UPI Kand-
ungan
1 kasus : Pseudomonas spp 6 57 17,54 9,5
UPI A 1 kasus : Acinetobacter baumannii
12 121 8,26 10,1
RPI
2 kasus :
Staphylococcus saprophyticus
Burkholderia cepacia
22 149 13,42 6,7
Burn Unit 1 kasus : Kocuria rosea
5 70 14,29 14
R. Bedah F 1 kasus : Staphylococcus equorum
3 31 32,26 10,3
R. Bedah G 1 kasus : Enterobacter cloacae
7 75 13,33 10,7
R. Jantung 1 kasus : Acinetobacter baumannii
13 76 13,16 5,8
R. Paru 1 kasus : Staphylococcus hemolyti-
cus
5 33 30,30 6,6
R. Saraf 1 kasus : Staphylococcus hemolyti-
cus
3 28 35,71 9,3
R. Pediatri 1 kasus : Acinetobacter baumannii
16 108 9,26 6,7
Tabel 2. Kasus CR-BSI
28
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

CVC maintenance bundle ROI ICU Ruangan
Melakukan cek kebutuhan penggunaan CVC Dilakukan Dilakukan
Tidak dilaku-
kan
Memastikan dressing CVC intak dan diganti
Dilakukan,
setiap hari
Dilakukan,
setiap hari
Dilakukan,
tidak setiap
hari,
3-7 hari sekali
Memastikan dekontaminasi CVC hub dengan
alkohol sebelum setiap hub diakses
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tidak dilaku-
kan
Melakukan hygiene tangan dilakukan sebelum
dan setelah prosedur penggunaan / perawatan
CVC
Hanya setelah
prosedur
Hanya setelah
prosedur
Hanya setelah
prosedur
Memastikan chlorhexidine glukonat 2% diguna-
kan untuk membersihkan tempat insersi saat
penggantian dressing

Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tidak dilaku-
kan
Tabel 3. Perbedaan perawatan CVC berdasarkan tempat
No. Variabel B Harga p OR (CI 95%)
1. Lama MRS 0,813 0,485 2,256 (0,231-22,068)
2. Lama penggunaan CVC 1,540 0,030* 4,663 (1,160-18,741)
3. Penggunaan PN 2,325 0,005* 10,230 (2,000-52,333)
4. Penggunaan inotropik katekolamin 1,765 0,115 5,842 (0,651-52,434)
5. APACHE II Score 1,841 0,006* 6,301 (1,674-23,713)
6. Infeksi sebelum pemasangan CVC 0,641 0,732 1,898 (0,048-74,491)
7. Infeksi ditempat lain -0,243 0,770 0,784 (0,154-3,995)
* p<0,05 : perbedaan bermakna
Tabel 4. Hasil analisis regresi logistik ganda terhadap CR-BSI
Pada penelitian ini juga tampak bahwa
CR-BSI paling banyak terjadi pada
teknik pengukuran opened system
dibandingkan dengan closed system /
tidak diukur dan bahwa CR-BSI lebih
banyak terjadi pada pasien yang dirawat
di rumah sakit >14 hari (5,3 kali lebih
besar).
Pada penelitian ini tampak bahwa CR-
BSI terbanyak terjadi pada pasien
dirawat di ICU/ROI > 14 hari daripada
yang hanya dirawat 7 hari dan lebih
banyak terjadi pada penggunaan CVC
>14 hari (23,9%) dengan risiko 6,9 kali
lebih besar.
Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui bahwa TPN meningkatkan
risiko terjadinya CR-BSI (18,7 kali),
29
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dengan penggunaan inotropik
katekolamin dan lebih banyak terjadi
pada pasien dengan nilai skor APACHE
>25 (angka mortalitas >40%).
Berdasarkan penjelasan diatas, yang
bermakna secara statistika ialah
variabel lama MRS, lama penggunaan
CVC, penggunaan parenteral nutrition
(PN), penggunaan inotropik
katekolamin, APACHE II Score, infeksi
sebelumnya serta infeksi ditempat lain.
Apabila semua variabel diatas
dilakukan analisa secara bersama-sama,
maka variabel yang terbukti paling
dominan secara statistika adalah lama
penggunaan CVC, penggunaan
parenteral nutrition, dan APACHE II
Score.
PEMBAHASAN
Angka kejadian CR-BSI di RSU Dr.
Soetomo sebesar 8,57 kasus per 1000
hari CVC, dengan prosentase 10,8%.
Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa lebih dari 500.000
intravascular device-related
bloodstream infections terjadi di
Amerika Serikat tiap tahun, 7-20%
diantaranya disebabkan oleh kateter
vena sentral.
4,5,6

Tempat kejadian infeksi CR-BSI lebih
banyak terjadi diruangan dibandingkan
di ROI / ICU. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian oleh The German
Nosocomial Infection Surveillance
System menemukan bahwa angka
kejadian CR-BSI di setting non-ICU
lebih tinggi 4 kali lipat daripada di
ICU.
13

Pemasangan CVC di RSU Dr. Soetomo
terbanyak dilakukan di vena subklavia.
Namun berdasarkan hasil penelitian ini,
CR-BSI lebih banyak terjadi pada CVC
yang dipasang pada vena jugularis
interna, disusul vena femoralis, bila
dibandingkan dengan kateterisasi vena
subklavia. Hal ini sesuai literatur
menyatakan bahwa kateterisasi pada
vena jugularis interna berhubungan
dengan risiko infeksi yang lebih tinggi
dibandingkan vena femoralis maupun
subklavia.
14
Literatur lain menyatakan
bahwa insersi CVC pada vena femoralis
meningkatkan risiko kejadian CR-BSI,
mengingat kolonisasi kuman banyak
didapatkan didaerah paha.
15

CR-BSI terbanyak terjadi pada CVC
dipasang di IRD (OK, RES, ROI)
dibandingkan kateterisasi di GBPT (OK,
ICU). Hal ini mungkin disebabkan
proses sterilisasi lebih baik dan jumlah
kasus lebih sedikit sehingga rasio
penggunaan alat lebih rendah. Sebuah
literatur menyebutkan bahwa
penyimpangan cara perawatan lebih
banyak terjadi di ruangan non-ICU
daripada di ICU. Begitu pula dengan
pemakaian dressing non-intak lebih
banyak terjadi diruangan non-ICU.
13

Berdasarkan data penelitian ini
diketahui bahwa CR-BSI banyak terjadi
pada CVC berdiameter 12 mm
(digunakan untuk hemodialisis)
dibandingkan ukuran lebih kecil, dan
terbanyak pada CVC double line
daripada triple/quadriple line. Hal ini
30
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa penggunaan
kateter untuk hemodialisis merupakan
faktor kontributor terbanyak terjadinya
bakteremia pada pasien dialisis.
Relative risk terjadinya bakteremia
pada pasien kateter dialisis 7 kali
lipat.
14

Dari penelitian ini tampak bahwa
kejadian CR-BSI lebih besar pada CVC
yang dipasang tanpa percobaan
berulang dibandingkan dengan
percobaan berulang, mungkin
disebabkan tingginya proporsi
pemasangan CVC one shoot (2 kali
lipat). Hal ini sesuai dengan literatur
yang menyebutkan bahwa perpindahan
pemasangan kateter pada situs insersi
baru meningkatkan risiko komplikasi
infeksi maupun mekanik.
3

CR-BSI lebih banyak terjadi pada CVC
tanpa penggunaan transparent dressing
dibandingkan dengan yang
memakainya. Hal ini disebutkan dalam
beberapa literatur bahwa transparent
semipermeable dressing dapat
mengamankan CVC dengan baik,
memungkinkan inspeksi visual
berkelanjutan pada situs kateter, serta
terjadi proses pengeringan alami secara
maksimal. Oleh sebab itu, penggunaan
transparent dressing menurunkan risiko
terjadinya CR-BSI.
14,16

Angka kejadian CR-BSI tertinggi di
ruang saraf sebanyak 35,71 kasus per
1000 hari CVC, sementara terendah di
ROI dengan 3,98 kasus per 1000 hari
CVC. Tampak pula bahwa angka
kejadian CR-BSI rata-rata diruangan
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ROI atau ICU. Salah satu penyebabnya
adalah perbedaan cara perawatan CVC.
Hal ini sesuai dengan literatur
menyatakan bahwa penggunaan yang
tidak perlu serta penyimpangan
perawatan CVC banyak terjadi diluar
ICU.
13

Tanda infeksi (IPS Score 14)
diruangan terjadi mulai hari keempat
setelah pasien pindah dari ROI/ ICU,
dimana kemudian dilakukan kultur
darah dan ditegakkan diagnosa CR-BSI.
Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan tentang transfer rule, yaitu
bila CR-BSI terjadi pada 48 jam
transfer/ pindah dari satu ruang rawat
inap ke ruang rawat inap lain, baik satu
fasilitas maupun fasilitas yang berbeda,
maka infeksi terjadi di ruang rawat inap
sebelumnya.
17

CR-BSI paling banyak terjadi pada
teknik pengukuran opened system
dibandingkan dengan closed system/
tidak diukur. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa
frekuensi pembukaan line konektor
CVC meningkatkan risiko terjadinya
infeksi. Line CVC yang dibuka dengan
waktu lebih pendek juga dapat
meminimalkan risiko infeksi
intraluminal.
16

CR-BSI lebih banyak terjadi pada pasien
yang dirawat di rumah sakit >14 hari
(5,3 kali lebih besar). Hal ini juga
disebutkan pada literatur bahwa
lamanya perawatan di rumah sakit dapat
31
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

meningkatkan risiko infeksi
nosokomial, dimungkinkan karena
pasien tersebut dengan penyakit
penyerta yang lebih berat maupun
kondisi immunocompromised.
6
Di lain
sisi, CR-BSI juga mengakibatkan
pemanjangan waktu perawatan (length
of stay) di rumah sakit.
6,7,8
CR-BSI
terbanyak terjadi pada pasien dirawat di
ICU/ROI > 14 hari daripada yang hanya
dirawat 7 hari. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa lama
perawatan di ICU merupakan
berpengaruh terhadap terjadinya CR-
BSI.
6,13
CR-BSI lebih banyak terjadi
pada penggunaan CVC >14 hari
(23,9%) dengan risiko 6-9 kali lebih
besar. Pada suatu penelitian juga
disebutkan bahwa durasi penggunaan
CVC merupakan faktor penting
terjadinya CR-BSI. Pengguna CVC
jangka panjang misalnya pasien dengan
keganasan memerlukan kemoterapi,
untuk dialisis, penderita yang
memerlukan infus nutrisi dalam waktu
lama, berisiko mengalami infeksi
dengan insiden cukup tinggi, bila
dibandingkan dengan implanted ports.
13

Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui bahwa TPN meningkatkan
risiko terjadinya CR-BSI (18,7 kali).
Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa kejadian CR-BSI
pada pasien dengan TPN cukup tinggi 6
-33%, dimana didapatkan sejumlah
bakteri resisten terhadap multidrug
(golongan Staphylococcus dan
Enterococcus) dan jamur (Candida
sp).
10,11,18
CR-BSI lebih banyak terjadi
pada pasien dengan penggunaan
inotropik katekolamin. Hal ini sesuai
dengan literatur menyebutkan bahwa
inotropik katekolamin merubah
hambatan pertumbuhan bakteri menjadi
catecholamine-mediated increased
provision of host-sequestered iron,
berujung pada peningkatan kemampuan
pertumbuhan bakteri, pembentukan
virulence associated factors, dan
mempengaruhi proses perubahan
mikroba menjadi bentuk yang lebih
kompleks.
12,19
CR-BSI lebih banyak
terjadi pada pasien dengan nilai skor
APACHE >25 (angka mortalitas >40%).
Hal ini sesuai penelitian yang
menyebutkan bahwa kondisi pasien saat
masuk ICU, dinilai melalui APACHE II
Score, berhubungan dengan kejadian CR
-BSI.
6

SIMPULAN
Angka kejadian central venous catheter-
related bloodstream infection (CR-BSI)
di RSUD Dr. Soetomo 8,57 kasus per
1000 hari CVC, kejadian terbanyak di
ruang perawatan. Faktor yang
mempunyai pengaruh bermakna adalah
variabel lama rawat di rumah sakit, lama
penggunaan CVC, pemberian nutrisi
parenteral, penggunaan inotropik
katekolamin, APACHE II Score, adanya
infeksi sebelum pemasangan CVC dan
infeksi ditempat lain. Faktor yang
memiliki pengaruh paling dominan
adalah lama penggunaan CVC,
pemberian nutrisi parenteral dan
APACHE II Score.
32
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

DAFTAR PUSTAKA

1. Jarvis WR, Murphy C, Hall KK, Fogle
PJ, Karchmer TB, Harrington G,
Salgado C, Giannetta ET, Cameron C,
Sherertz RJ. Health care-associated
bloodstream infections associated with
negative- or positive-pressure or dis-
placement mechanical valve needleless
connectors. Clin Infect Dis. 2009;49
(12):1821-7.
2. McGee DC, Gould MK. Preventing
Complications of Central Venous Cathe-
terization. N Engl J Med. 2003; 348
(12):1123-33.
3. Graham AS, Ozment C, Tegtmeyer K,
Lai S, Braner DA. Videos in clinical
medicine. Central venous catheteriza-
tion. N Engl J Med. 2007;356(21):e21.
4. Crnich CJ, Maki DG. Infections caused
by intravascular devices: epidemiology,
pathogenesis, diagnosis, prevention, and
treatment. In: Association for Profes-
sionals in Infection Control and Epide-
miology. APIC Text of Infection Con-
trol and Epidemiology. 2nd ed. Vol 1.
Washington DC: Association for Profes-
sionals in Infection Control and Epide-
miology; 2005. p.124.26.
5. McConnel SA, Gubbins PO, Anaissie
EJ. Do Antimicrobial-impregnated Cen-
tral Venous Catheter Prevent Catheter-
related Bloodstream Infection?. Clin
Infect Dis. 2003;37(1):65-72.
6. Warren DK, Zack JE, Elward AM, Cox
MJ, Fraser VJ.. Nosocomial Primary
Bloodstream Infections in Intensive
Care Unit Patients in A Nonteaching
Community Medical Centre: A 21-
month Prospective Study. Clin Infect
Dis. 2001; 33(8):1329-35.
7. Orsi GB, Di Stefano L, Noah N. Hospi-
tal-acquired, laboratory-confirmed
bloodstream infection: increased hospi-
tal stay and direct costs. Infect Control
Hosp Epidemiol. 2002;23(4):190-7.
8. Yahav D, Rozen-Zvi B, Gafter-Gvili A,
Leibovici L, Gafter U, Paul M. Antim-
icrobial Lock Solutions for the Preven-
tion of Infections Associated with In-
travascular Catheters in Patients Under-
going Hemodialysis: Systematic Review
and Meta Analysis of Randomized, Con-
trolled Trials. Clin Infect Dis. 2008;47
(1):83-93..
9. Onc S, Ozst H, Yildirim A, Ay P,
Cakar N, Eraksoy H, Calangu S. Central
venous catheter related infections: Risk
factors and the effect of glycopeptide
antibiotics. Ann Clin Microbiol Antim-
icrob. 2003;2:3.
10. Marra AR, Opilla M, Edmond MB,
Kirby DF. Epidemiology of Blood-
stream Infections in Patients Receiving
Long Term Total Parenteral Nutrition J
Clin Gastroenterol. 2007;41(1):19-28..
11. Collins CJ, Fraher MH, Bourke J,
Phelan D, Lynch M. Epidemiology of
Catheter Related Bloodstream Infections
in Patients Receiving Total Parenteral
Nutrition. Clin Infect Dis. 2009;49
(11):1769-70.
12. Freestone P, Haigh R, Lyte M. Catheco-
lamine Inotrope Resuscitation of Antibi-
otic-Damage Staphylococci and Its
Blockade by Spesific Receptor Antago-
nists. J Infect Dis. 2008;197(7):1044-52.
13. Kallen AJ, Patel PR, OGrady NP. Pre-
venting Catheter-Related Bloodstream
Infections outside the Intensive Care
Unit: Expanding Prevention to New
Settings. Clin Infect Dis. 2010;51(3):335
-41.
14. O'Grady NP, Alexander M, Burns LA,
Dellinger EP, Garland J, Heard SO, Lip-
sett PA, et al. Guidelines for The Pre-
vention of Intravascular Catheter-
Related Infections. Am J Infect Control.
2011;39(4 Suppl 1):S1-34.
15. Merrer J, De Jonghe B, Golliot F,
Lefrant JY, Raffy B, Barre E, et al.
Complication of Femoral and Sub-
clavian Venous Catheterization in Criti-
cally Ill Patients. JAMA. 2001;286
(6):700-7.
16. Betjes MGH. Prevention of catheter-
33
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

related bloodstream infection in patients
on hemodyalisis. Nat Rev Nephrol.
2011;7(5):257-65.
17. Centers for Disease Control and Preven-
tion / National Healthcare Safety Net-
work (CDC/NHSN) Guidelines Device-
associated Module CLBSI. 2012;4:1-10.
18. Ferroni A, Moumile K. Evaluation of the
gram strain-acridine orange leucocyte
cytospin test for diagnosis of catheter-
related bloodstream infection in children
on long-term parenteral nutrition. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 2006;25:199-
201.
19. Anderson MT, Armstrong SK. The Bor-
datella Bfe System: Growth and Tran-
scriptional Response to Siderophores,
Catechols, and Neuroendocrine Cate-
cholamine. J Bacteriol. 2006;188
(16):5731-40.
34
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Perbandingan Efek Pemberian Ketamin 0,15 Mg/Kgbb IV Prainsisi dan
Ketamin 0,15 Mg/Kgbb IV Pascabedah terhadap Kebutuhan Analgesik
Morfin Pascabedah pada Pasien Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah
Asyikun Nasyid Room*, Andi Husni Tanra*, Muhammad Ramli Ahmad*,
Syafri Kamsul Arif*, Ilhamjaya**
ABSTRACT
Background: Ketamine has been a component of perioperative analgesia for years.
However its most effective administration method is still unclear.
Objective: This study aimed to know the effect of ketamine administration during
preincisional, intraoperative, and 24 hours postoperative period compare with
ketamine during 24 hours postoperative period to postoperative morphine
requirements.
Method: This is an experimental research using double blind random technique. Total
sample 50, which divided into 2 groups which underwent lower limb orthopedic
surgery with spinal anesthesia. First group get preincisional IV ketamine 0.15 mg/kg
+ 0.1 mg/kgBW during surgery and 24 hrs postoperatively; and second group get
postoperative IV ketamine 0.15 mg/kg + 0.1 mg/kgBW 24 hrs postoperatively.
Both groups get morphine as postoperative analgesia via patient-controlled analgesia
device with 2 mg loading dose, 1 mg bolus dose, and 7 minutes lockout interval. Time
to first postoperative morphine administration was measured from the end of surgery
to the time of morphine loading dose administration on patients demand;
postoperative morphine consumption was counted within 24 hours.
Result: Neither time to first analgesic administration nor morphine consumption
within 24 hours were significantly different between two groups.
Conclusion: Ketamine has no preventive analgesia effect in patients undergo spinal
anesthesia.
Keywords: Ketamine, analgesia, preventive, morphine.
ABSTRAK
Latar Belakang: Ketamin telah digunakan sebagai analgesia perioperatif sejak lama.
Namun cara pemberian yang efektif masih belum jelas.
*Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar
**Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
Koresponsensi/ correspondence: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 E-mail:
chikunk_md@yahoo.com
Comparison of Effect Between Preincisional and Postoperative
Administration of I ntravenous Ketamine 0.15 Mg/Kg on Postoperative
Morphine Analgesic Requirement in Patients Underwent Lower Limb
Orthopedic Surgery
35
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENDAHULUAN
Berbagai modalitas telah dimanfaatkan
dalam penatalaksanaan nyeri
pascabedah, salah satunya adalah
ketamin. Pertama kali disintesis pada
tahun 1963, ketamin telah lama dikenal
sebagai anestetik intravena. Efek
antagonis ketamin pada reseptor N-
metil-D-aspartat (NMDA) menjadikan
ketamin sebagai agen yang menarik
minat para peneliti. Namun, meskipun
telah banyak bukti mutakhir seputar
peran penting reseptor NMDA,
penelitian klinis seputar penggunaan
ketamin dalam pengobatan nyeri
pascabedah masih belum lengkap.
Dosis ketamin yang direkomendasikan
adalah 1 mg/kg (dosis inisial) dan 0,5
mg/kg/jam (dosis kontinyu).
Himmelseher dan Durieux
mengusulkan penjadwalan dosis
ketamin sebagai analgesia tambahan
untuk anestesia umum dan PCA; dengan
dosis 0,5 mg/kg sebelum insisi, 500 g/
kg/jam selama pembedahan, dan 120
g/kg/jam selama 24 jam pascabedah.
1,2

Penelitian ini mencoba membandingkan
efektifitas pemberian ketamin 0,15 mg/
kg prainsisi (dilanjutkan dengan infus
ketamin 0,1 mg/kg/jam selama operasi)
dengan pemberian ketamin 0,15 mg/kg
pascabedah terhadap kebutuhan morfin
pascabedah. Kedua jenis perlakuan ini
dikombinasikan dengan infus ketamin
0,1 mg/kg/jam selama 24 jam
pascabedah. Penelitian ini dipandang
perlu mengingat ketamin sebagai agen
anestesi klasik yang ada di hampir
Tujuan: Membandingkan efek pemberian ketamin prainsisi, selama operasi dan 24
jam pascabedah dengan pemberian ketamin selama 24 jam pascabedah terhadap
kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji tersamar acak ganda. Total sampel 50 dibagi
dalam 2 kelompok pasien dengan operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi
spinal. Kelompok pertama, mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV prainsisi + 0,1
mg/kg/jam selama operasi dan 24 jam pascabedah. Kelompok kedua mendapatkan
ketamin 0,15 mg/kgBB IV pascabedah + 0,1 mg/kg/jam selama 24 jam pascabedah.
Kedua kelompok mendapatkan analgesia pascabedah morfin via patient-controlled
analgesia dengan loading dose 2 mg, bolus dose 1 mg dan lockout interval 7 menit.
Jangka waktu pemberian morfin pertama pascabedah dihitung dari akhir operasi
hingga saat pemberian morfin loading dose atas permintaan pasien; konsumsi morfin
pascabedah dihitung dalam 24 jam.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok baik dalam
waktu pemberian analgesik pertama (p=0,055) maupun konsumsi morfin dalam 24
jam (p=0,351).
Kesimpulan: Ketamin tidak memiliki efek analgesia preventif pada pasien yang
menjalani anestesi spinal.
Kata kunci: Ketamin, analgesia, preventif, morfin.
36
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

semua rumah sakit, termasuk di rumah
sakit dengan sumber daya terbatas,
ternyata memiliki potensi untuk
dimanfaatkan sebagai modalitas
penatalaksanaan nyeri pascabedah.
Penelitian ini membandingkan
efektifitas ketamin dosis 0,15 mg/kg IV
antara pemberian prainsisi dan
pascabedah dalam mengurangi
kebutuhan analgesik morfin; dari
perbandingan ini diharapkan dapat
diketahui penentuan waktu yang tepat
untuk memberikan ketamin sebagai
adjuvan analgesia pascabedah.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinis acak
tersamar ganda (randomized double
blind clinical trial) melibatkan 50
pasien di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar dilakukan sejak
April Juni 2013.
Kriteria inklusi, yaitu pasien yang akan
menjalani pembedahan elektif
ekstremitas bawah dengan anestesi
spinal, ASA 1 atau 2, usia 20-64 tahun,
indeks massa tubuh 18-25 kg/m2, tinggi
badan di atas 150 cm dan mampu
memahami penjelasan tentang
penggunaan patient-controlled
analgesia (PCA). Kriteria eksklusi
adalah lama operasi lebih dari 2 jam,
menderita asma dan penyakit penyulit
lain. Sampel dibagi secara acak dalam
dua kelompok: kelompok Pre, yaitu
kelompok yang mendapatkan ketamin
0,15 mg/kgBB IV bolus sebelum insisi
(prainsisi) + 0,1 mg/kg/jam selama
operasi dan 24 jam pascabedah; dan
kelompok Post, yaitu kelompok yang
mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV
bolus setelah operasi selesai
(pascabedah) + 0,1 mg/kg/jam selama
24 jam pascabedah.
Pengukuran jangka waktu pemberian
morfin pertama pascabedah dihitung
mulai dari akhir operasi (ditandai
dengan selesainya jahitan kulit terakhir)
hingga saat pemberian morfin loading
dose 2 mg atas permintaan pasien;
konsumsi morfin pascabedah dihitung
dengan menggunakan alat PCA
(Perfusor Space, B.Braun AG
Melsungen). Data pasien mengenai
jangka waktu pemberian analgesik
pertama, konsumsi analgesik morfin
dalam 24 jam pascabedah, serta tekanan
arteri rerata, laju jantung, laju napas,
efek samping, dan skor nyeri, dicatat
dan dianalisis dengan program SPSS 17.
Kejadian efek samping dan skor nyeri
dianalisis dengan Mann-Whitney U test.
Hasil penelitian bermakna bila p<0,05
maka dengan interval kepercayaan 95%.
HASIL
Dari 50 pasien penelitian, sebanyak 4
pasien dikeluarkan (drop-out) dari
penelitian ini karena lama operasi lebih
dari 2 jam, sehingga total ada 46 pasien
yang menjalani prosedur penelitian ini,
23 pasien pada kelompok Pre dan 23
pasien pada kelompok Post. Tidak
didapatkan perbedaan bermakna pada
data karakteristik sampel pada kedua
kelompok penelitian.
37
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Kebutuhan Analgesik Morfin
Pascabedah
Hasil analisis statistik dapat dilihat pada
Tabel 1 - 3. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa jangka waktu
pemberian morfin pertama (yang
identik dengan waktu rescue analgesik)
lebih panjang pada kelompok Post
dibandingkan dengan kelompok Pre,
tetapi tidak berbeda bermakna.
Sedangkan konsumsi analgesik morfin
dalam 24 jam pascabedah pada
kelompok Post lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok Pre,
tetapi tidak berbeda bermakna.
Hasil pengamatan variasi tekanan arteri
rerata (TAR) menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna pada setiap waktu
pengamatan. Pada pengamatan variasi
laju jantung ditemukan perbedaan yang
bermakna secara statistik di antara
kedua kelompok pada waktu T2 (1
menit setelah pemberian bolus plasebo
NaCl 0,9% pada kelompok Pre dan
ketamin 0,15 mg/kg pada kelompok
Post setelah operasi selesai; p=0,037)
dan T1P (1 jam setelah operasi selesai;
p=0,025) di mana pada kedua waktu
tersebut kelompok Post lebih tinggi
daripada kelompok Pre. Hasil
pengamatan variasi TAR menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan TAR yang
bermakna secara statistik di antara
kedua kelompok pada setiap waktu
pengamatan.
Pada penelitian ini diamati pula
timbulnya efek samping yang dapat
ditimbulkan pada penggunaan ketamin
dan atau morfin serta skor nyeri pada
akhir pengamatan (24 jam pascabedah).
Delirium teramati hanya pada satu
sampel yang masuk dalam kelompok
Post, dan teramati pada satu kali
pengamatan (12 jam pascabedah). Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan kejadian PONV (post
operative nausea and vomitus) di setiap
waktu pengamatan dan skor nyeri pada
24 jam pascabedah yang bermakna
secara statistik di antara kedua
kelompok.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan menilai serta
membandingkan efek pemberian
ketamin 0,15 mg/kgBB intravena
prainsisi + 0,1 mg/kgBB/jam selama
operasi dan 24 jam pascabedah dengan
ketamin 0,15 mg/kgBB intravena
pascabedah + 0,1 mg/kgBB/jam selama
24 jam pascabedah dalam mengurangi
kebutuhan analgesik morfin pascabedah
pada pasien operasi ortopedi ekstremitas
bawah. Secara konseptual penelitian ini
dimaksudkan untuk menilai adanya efek
analgesia preemtif (atau preventif)
ketamin.
Istilah analgesia preemtif (preemptive
analgesia) pertama kali dipublikasikan
oleh Wall tahun 1988, didefinisikan
sebagai intervensi sebelum operasi
untuk tujuan mencegah atau mengurangi
rasa sakit pascaoperasi dengan
mencegah sensitisasi sentral. Jenis
penatalaksanaan ini secara farmakologis
menginduksi keadaan analgesia yang
efektif sebelum trauma pembedahan. Ini
38
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dapat mencakup infiltrasi pada luka
dengan anestetik lokal, blokade neural
sentral, atau pemberian dosis efektif
opioid, NSAID, atau ketamin. Bukti-
bukti eksperimental memberi kesan
bahwa analgesia preemtif dapat secara
efektif melemahkan sensitisasi perifer
dan sentral terhadap nyeri.
3,4

Pada penelitian ini analgesia preemtif
(atau preventif) dengan menggunakan
ketamin diberikan pada kelompok Pre.
Sementara kelompok Post mendapatkan
analgesia dengan ketamin setelah
operasi selesai. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna secara
statistik baik dalam waktu pemberian
analgesik pertama morfin pascabedah
(yang identik dengan waktu rescue
analgesik) maupun dalam konsumsi
analgesik morfin pascabedah antara
kelompok Pre dengan kelompok Post.
Hasil ini mendukung hasil dari
penelitian-penelitian sebelumnya,
termasuk tinjauan sistematik oleh
Laskowski dkk. mengenai manfaat
penambahan ketamin intravena
perioperatif untuk analgesia
pascabedah. Tinjauan ini mencakup 70
studi yang melibatkan 4701 pasien,
dengan 47 studi dievaluasi dalam
metaanalisis inti dan 23 studi digunakan
untuk menguatkan hasilnya. Reduksi
konsumsi opioid total dan peningkatan
waktu penggunaan analgesik pertama
diamati di semua studi.
5

Tinjauan sistematik ini menyimpulkan
bahwa ketamin IV adalah tambahan
yang efektif untuk analgesia
pascabedah, tetapi efek analgesia
ketamin tidak tergantung pada jenis
opioid yang digunakan intraoperatif,
waktu pemberian ketamin, dan dosis
ketamin. Akan tetapi, hasil penelitian ini
berlawanan dengan tinjauan sistematik
oleh Katz dkk. yang menyimpulkan
bahwa ketamin memiliki efek analgesia
preventif pada periode pascabedah dini.
6

Efektifitas analgesia preemtif baik
dengan menggunakan obat-obat
analgesik utama (seperti golongan
opioid, NSAID) maupun obat-obat yang
bersifat adjuvan (termasuk antagonis
reseptor NMDA seperti ketamin) hingga
saat ini masih merupakan kontroversi.
Berbagai penelitian maupun tinjauan
sistematik (metaanalisis) seputar
efektifitas analgesia preemtif
memberikan hasil yang berlawanan. Di
antaranya adalah metaanalisis oleh Ong
dkk yang mencakup 66 RCT (3261
pasien) yang secara spesifik
membandingkan intervensi analgesik
preoperatif dengan intervensi analgesik
pascaoperatif yang sama melalui rute
yang sama. Metaanalisis ini
menyimpulkan bahwa pemberiaan
preemtif antagonis NMDA (dan opioid)
sistemik tidak terbukti memberikan efek
menguntungkan yang bermakna.
Meskipun demikian hasil metaanalisis
ini tetap meragukan. Ada dua faktor
yang mungkin dapat menjelaskan hasil
negatif pada studi-studi tersebut.
Pertama, efek menguntungkan dari
ketamin mungkin tertutupi ketika obat
ini digunakan dengan dosis kecil (<0,15
mg/kg) dan dengan latar belakang
39
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

analgesia multimodal atau epidural.
Kedua, jadwal dosisnya mungkin tidak
adekuat. Studi-studi tersebut
membandingkan efek pemberian
ketamin sebelum pembedahan dengan
pemberian ketamin setelah pembedahan
untuk menguji sifat analgesia
preemtifnya. Akan tetapi, sinyal
nosiseptif dan inflamasi dihasilkan
sepanjang pembedahan dan setelah
prosedur. Karenanya injeksi tunggal
obat kerja-pendek seperti ketamin baik
sebelum atau setelah insisi tidak akan
menghasilkan analgesia yang
berlangsung lama hingga periode
pascaoperatif. Untuk mencegah nyeri
patologis, ketamin perlu diberikan
setidaknya sepanjang operasi dan
sebaiknya untuk jangka waktu tertentu
dalam fase pascaoperatif, sebagai upaya
untuk mengurangi sensitisasi jalur nyeri
sentral dan perifer.
2,7

Sulit untuk membuktikan adanya efek
analgesia preventif ketamin pada
keadaan di mana efek potensial ketamin
tertutupi oleh analgesia multimodal atau
epidural (pada penelitian ini, analgesia
spinal). Kanal ion reseptor NMDA
harus terbuka atau aktif sebelum
ketamin dapat berikatan dengan atau
berdisosiasi dari tempat berikatannya di
dalam kanal secara teoritis, hal ini bisa
menjelaskan mengapa pada analgesia
(anestesi) spinal efek analgesia
preventif ketamin sulit untuk
dibuktikan.
1

Penelitian ini juga mengamati adanya
peningkatan laju jantung yang
bermakna secara statistik pada waktu
T2 (1 menit setelah pemberian bolus
plasebo NaCl 0,9% pada kelompok Pre
dan ketamin 0,15 mg/kg pada kelompok
Post setelah operasi selesai) dan T1P (1
jam setelah operasi selesai) dimana
kelompok Post lebih tinggi daripada
kelompok Pre. Hal ini dapat dijelaskan
dengan melihat bahwa pada kelompok
Post pemberian bolus ketamin (yang
secara teoritis dapat menyebabkan
stimulasi sistem saraf simpatis)
dilakukan pada T2 (setelah operasi
selesai), keadaan di mana efek anestesi
spinal telah mengalami regresi, sehingga
efek stimulasi sistem saraf simpatis
berupa peningkatan laju jantung akan
lebih nyata dibandingkan saat onset
anestesi spinal (yang diketahui
menyebabkan blokade sistem saraf
simpatis) baru saja tercapai (T1).
Namun peningkatan ini tidak bermakna
secara klinis, karena nilai rerata laju
jantung pada kelompok Post masih
dalam batas normal (79,4 14,11 pada
T2 dan 77,0 12,61 pada T1P).
Penelitian ini juga tidak menemukan
perbedaan bermakna dalam kejadian
PONV dan skor nyeri di antara kedua
kelompok. Di samping itu delirium
ditemukan hanya pada satu pasien pada
satu waktu pengamatan, dan tidak
ditemukan timbulnya efek samping
penggunaan opioid morfin berupa
depresi napas (laju napas < 10 x/menit).
Pada tinjauan sistematik oleh Bell dkk.
disimpulkan bahwa di samping reduksi
konsumsi opioid, pemberian ketamin
subanestetik perioperatif dapat
menurunkan kejadian PONV, dengan
40
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Variabel
Kelompok Pre (n=23) Kelompok Post (n=23) p
Umur (tahun) 37,1 14,01 36,9 15,37 0,960
Tinggi badan (cm) 160,7 5,27 159,4 7,31 0,506
IMT (kg/m
2
) 22,45 2,290 22,02 2,756 0,569
Lama operasi (menit) 97,2 22,06 89,2 20,38
0,208
Ketinggian blok (Th) 6,0 1,04 5,6 1,30
0,323
Tabel 1. Karakteristik sampel
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata (mean) simpang baku (standart deviation); probabilitas (nilai p) diuji dengan
independent sample t-test, p<0,05 dinyatakan bermakna.
Variabel
Kelompok Total p
Pre Post
ASA PS
PS 1
6 7 13
0,743
PS 2
17 16 33
Total
23 23 46
Jenis Kelamin
Laki-laki
18 19 37
0,710
Perempuan
5 4 9
Total
23 23 46
Tabel 2. Karakteristik status fisik dan jenis kelamin
Probabilitas (nilai p) diuji dengan Pearson chi-square test; p<0,05 dinyatakan bermakna
Variabel Kelompok Pre (n=23) Kelompok Post
(n=23)
p
Jangka waktu pemberian morfin
pertama (menit)
181,0 96,84 281,6 225,32 0,055
Konsumsi morfin pascabedah
(mg/24 jam)
23,4 12,80 19,8 13,49 0,351
Konsumsi morfin pascabedah (mg/
kgBB/24 jam)
0,400 0,2046 0,356 0,2475 0,515
Tabel 3. Kebutuhan analgesik morfin pascabedah
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata (mean) simpang baku (standart deviation); probabilitas (nilai p) diuji dengan
independent sample t-test, p<0,05 dinyatakan bermakna.
41
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

efek samping yang ringan atau bahkan
tidak ada. Studi oleh Yamauchi dkk.
yang meneliti efek adjuvan ketamin
terhadap patient-controlled analgesia
(PCA) pada pasien-pasien yang
menjalani operasi tulang belakang
(servikal dan lumbal) menemukan
bahwa infus pascabedah ketamin 83 g/
kg/jam selama 24 jam menurunkan skor
nyeri dan kebutuhan analgesik secara
bermakna. Meskipun pada penelitian ini
kejadian PONV dan skor nyeri pada
kedua kelompok tidak dibandingkan
dengan kelompok kontrol (plasebo),
tetapi skor PONV rerata pada kedua
kelompok <0,1 pada setiap waktu
pengamatan dan NRS pada 24 jam
pascabedah <2. Penurunan kejadian
PONV pada penggunaan ketamin dapat
dihubungkan dengan berkurangnya
penggunaan analgesik opioid, sehingga
mengurangi efek samping opioid.
8,9

SIMPULAN
Jangka waktu pemberian morfin
pertama pascabedah dan konsumsi
morfin pascabedah pada kelompok
ketamin 0,15 mg/kgBB intravena
prainsisi + 0,1 mg/kgBB/jam selama
operasi dan 24 jam pascabedah tidak
berbeda bermakna dibandingkan
dengan kelompok ketamin 0,15 mg/
kgBB intravena pascabedah + 0,1 mg/
kgBB/jam selama 24 jam pascabedah.
Ketamin tidak memiliki efek analgesia
preventif pada pasien yang menjalani
anestesi spinal
DAFTAR PUSTAKA

1. Hocking G, Visser EJ, Schug SA.
Ketamine:does life begin at 40?
Pain:clinical updates (IASP) 2007;3:16.
2. Himmelseher S, Durieux ME. Ketamine
for perioperative pain management.
Anesthesiology 2005; 102:21120.
3. Aida, S. The challenge of preemptive
analgesia. Pain:clinical updates (IASP)
2005;13:1-4.
4. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, Gan
TJ. Postoperative pain experience:
results from a national survey suggest
postoperative pain continues to be
undermanaged. Anesth Analg 2003;
97:534-540.
5. Laskowski K, Stirling A, McKay WP,
Lim HJ. A systematic review of
intravenous ketamine for postoperative
analgesia. Canadian Journal of Anesthesi
2011;58:91123
6. Katz J, Clarke K. Preventive analgesia
and beyond: current status, evidence and
future directions. In: Clinical Pain
Management: Acute Pain edn. Macintyre
PE, Walher SM and Rowbotham D, J.
(eds). London, Hodder Arnold
2008;13:23-37
7. Ong CK, Lirk P, Seymour RA, Jenkins,
BJ. The efficacy of preemptive analgesia
for acute postoperative pain
management: a meta-analysis.
Anesthesia Analgesia 2005;100: 75773
8. Bell RF, Dahl JB, Moore RA, Kalso EA.
Perioperative ketamine for acute
postoperative pain. Cochrane database of
systematic reviews 2006;1, doi:
10.1002/14651858.CD004603.pub2.
9. Yamauchi M, Asano M, Watanabe M,
Iwasaki S, Furuse S, Namiki A.
Continuous low-dose ketamine improves
the analgesic effects of fentanyl patient-
controlled analgesia after cervical spine
surgery. Anesth Analg 2008;107: 1041
44.
42
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Perbandingan Efektivitas Premedikasi MgSO4 40 mg/Kgbb dengan
Klonidin 1 mcg/Kgbb Intravena sebagai Ajuvan untuk Teknik Hipotensi
Kendali pada Bedah Sinus Endoskopik Fungsional
Kausarina Purwaningrum*, Abdul Wahab*, Arifin Seweng*
ABSTRACT
Background: Controlled hypotensive anaesthesia technique in functional endoscopic
sinus surgery may reduce bleeding during surgery. It makes the field of view clearer
and complication can be avoided.
Objective: Compare effectiveness premedication MgSO4 40 mg/kgBW with clonidine 1
mcg/kgBW intravenously as an adjuvant to controlled hypotensive anaesthesia
technique in functional endoscopic sinus surgery with general anaesthesia.
Method: This is an experimental research using single blind random sampling
technique. Total sample 48 people underwent functional endoscopic sinus surgery.
Samples were divided into two groups, first group given premedication MgSO4 40 mg/
kgBW (n=24) and second group given clonidine 1 mcg/kgBW (n=24). During
controlled hypotensive anaesthesia period, otolaryngologist gave a numeric
assessment to the field of operation using Fromme and Boezzart scale every 15
minutes. Data non parametric tested by Mann-Whitney test.
Result: The view of operating field in functional endoscopic sinus surgery on both
groups showed no significant difference (p>0,05).
Conclusion: Premedication MgSO4 40 mg/kgBW intravenously equally effective
compared to clonidine 1 mcg/kgBW as an adjuvant for controlled hypotensive
anaesthesia technique and gave the operating field clearer view in functional
endoscopic sinus surgery.
Keywords: Effectiveness, MgSO4, Clonidine, adjuvant, controlled hypotensive
anaesthesia technique, functional endoscopic sinus surgery.
ABSTRAK
Latar belakang: Teknik hipotensi kendali akan mengurangi perdarahan sehingga
lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi dapat dihindari.
*Bagian anestesi, perawatan intensif dan manajemen nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makassar
Correspondence/ korespondensi:Email: kausarinap@yahoo.com
Effectiveness Comparison Premedication MgSO4 40 mg /kgbw with
I ntravenous Clonidine 1 mcg /kgbw as An Adjuvant to Deliberate
Hypotension Techniques in Fungsional Endoscopic Sinus Surgery
43
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Tujuan: Membandingkan efektivitas premedikasi MgSO4 40 mg/kgBB dengan
Klonidin 1 mcg/kgBB intravena sebagai ajuvan teknik hipotensi kendali pada bedah
sinus endoskopik fungsional pada anestesi umum.
Metode: Penelitian eksperimental secara acak tersamar tunggal. Total sampel 48
orang yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional. Sampel dibagi dalam dua
kelompok perlakuan, kelompok pertama diberikan premedikasi MgSO4 40 mg/kgBB
(n=24) dan kelompok kedua diberikan Klonidin 1 mcg/kgBB (n=24). Selama periode
hipotensi kendali, setiap 15 menit ahli THT memberikan penilaian numerik dari
kondisi lapangan operasi menggunakan skala Fromme dan Boezzart. Data non
parametrik diuji dengan uji Mann-Whitney.
Hasil: Tampilan lapangan pandang operasi pada bedah sinus endoskopik fungsional
pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05)
Kesimpulan: Premedikasi MgSO4 40 mg/kgBB intravena sama efektif dengan
Klonidin 1 mcg/kgBB sebagai ajuvan dalam teknik hipotensi kendali dan memberikan
tampilan lapangan operasi yang bersih pada bedah sinus endoskopik fungsional.
Kata Kunci: Efektivitas, MgSO4, klonidin, ajuvan, hipotensi kendali, bedah sinus
endoskopik fungsional.
Pada akhir abad ini MgSO4 telah
diperkenalkan sebagai obat anestesi yang
efektif. MgSO4 telah direkomendasikan
untuk mengurangi kebutuhan anestesi
umum, mempengaruhi kardiovaskular
saat laringoskopi, intubasi, dan
pengaruhnya terhadap pelumpuh otot.
3

Penelitian ini bertujuan membandingkan
pemberian premedikasi MgSO4 dengan
klonidin secara intravena sebelum
induksi anestesi terhadap stabilitas
hemodinamik selama periode
perioperatif dan perbandingan tampilan
lapangan operasi serta penurunan
kebutuhan obat anestesi yang lain.
METODE
Suatu penelitian uji klinis tersamar
tunggal (single blind) dilakukan di RS
PENDAHULUAN
Lapangan operasi yang bersih sangat
penting untuk meminimalkan komplikasi
pada bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF). Salah satu teknik yang sering
digunakan yaitu hipotensi kendali. Selain
memberikan visualisasi yang lebih baik,
hipotensi kendali dapat meminimalkan
lama operasi dan kehilangan darah.
1

Hipotensi kendali dalam anestesi
didefinisikan sebagai penurunan tekanan
darah yang disengaja pada masa
intraoperatif sekitar 25%-30% dari
tekanan darah preoperatif atau tekanan
arteri rerata 50-70 mmHg.
Berbagai agen seperti beta-bloker, alfa
dan beta-bloker, alfa agonis, vasodilator,
magnesium sulfat telah digunakan untuk
menghasilkan hipotensi kendali.
2
44
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
selama + 3 (tiga) bulan (Maret 2013-
Mei 2013).
Sampel sebanyak 48 orang yang dipilih
acak status ASA I-II. Kriteria inklusi
yaitu: pasien yang menjalani prosedur
bedah sinus endoskopik fungsional
dengan anestesi umum endotrakeal, usia
18-60 tahun. Kriteria eksklusi: pasien
dengan penyakit penyulit, riwayat asma,
hamil, hipertensi, konsumsi obat
antikoagulan, opioid, alkohol, obat
hipertensi jenis Calcium Chanel
Blocker, riwayat penggunaan steroid
jangka lama, riwayat hipersensitif
terhadap MgSO4 dan Klonidin serta
penderita dengan prediksi kesulitan
intubasi.
Sehari sebelum operasi dilakukan, darah
vena diambil sebanyak 3 ml untuk
pengukuran kadar magnesium plasma
awal. Dilakukan pemantauan rutin
seperti EKG, tekanan darah non-invasif,
pulse oksimetri, Bispectral Index (BIS),
dan Train of Four (TOF). Kelompok I
mendapatkan MgSO4 40 mg/kgBB
menggunakan syringe pump spuit 20 cc
selama 10 menit. Sedangkan kelompok
II mendapat Klonidin 1 mcg/kgBB
dengan cara pemberian yang sama
seperti MgSO4. Pengukuran
hemodinamik dilakukan setiap 10 menit.
Selama periode hipotensi kendali, setiap
15 menit ahli THT memberikan
penilaian numerik dari kondisi lapangan
operasi menggunakan skala Fromme
dan Boezzart. Kebutuhan Isofluran dan
Fentanyl dicatat. Darah vena pasien
diambil sebanyak 3 ml untuk
pengukuran kadar magnesium plasma,
30 menit setelah operasi selesai. Data
non parametrik diuji dengan uji Mann-
Whitney. Tingkat kepercayaan 95% dan
dianggap bermakna bila p < 0,05.
HASIL
Karakteristik sampel penelitian tidak
berbeda bermakna dari kelompok
MgSO4 (I) dan Klonidin (II).
Didapatkan sedikit kenaikan rerata
MgSO4 post 1,92 dibandingkan dengan
pre 1,84 pada kelompok MgSO4, tetapi
secara statistik tidak bermakna.
Sedangkan untuk kelompok Klonidin,
tidak dilakukan penghitungan kadar
MgSO4. Tidak ada perbedaan bermakna
rerata TAR dan laju jantung diantara
kedua kelompok, pada semua waktu
pengukuran (p>0,05). Penelitian ini juga
tidak mendapat perbedaan bermakna
pada rerata kebutuhan Fentanyl dan
Isofluran diantara kedua kelompok
(p>0,05). Tampilan lapangan operasi
(TLO) tidak terdapat perbedaan yang
bermakna diantara kedua kelompok pada
semua waktu pengukuran (semua dengan
p>0,05).
PEMBAHASAN
Penelitian ini mendapatkan nilai rerata
tekanan arteri rerata (TAR) pada kedua
kelompok tidak berbeda bermakna pada
semua waktu pengukuran (semua dengan
p>0,05). Penilaian respon hemodinamik
pada penelitian ini yaitu tekanan arteri
rerata dan laju jantung pada kedua
kelompok menunjukkan tidak adanya
gejolak hemodinamik yang cukup
45
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

signifikan. Hal ini dijelaskan oleh
penelitian lain bahwa MgSO4 dapat
menyebabkan hipotensi karena efek
vasodilatasinya dan secara tidak
langsung akibat blokade simpatis dan
terhambatnya pelepasan katekolamin.
Pada penelitian yang lain pemberian
MgSO4 sebanyak 4 gr menghasilkan
penurunan tekanan darah yang cepat
pada pasien hipertensi sedangkan pada
pasien yang normotensi tidak
memberikan pengaruh apapun.
4

Nilai rerata basal laju jantung tidak
berbeda bermakna secara statistik
(p>0,05). Ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan G.M. Sanders dkk
(1998) pada operasi mulut dan
maxillofacial dengan MgSO4 40 g/jam
dilanjutkan dosis pemeliharaan 5 g/jam
sampai 30 menit sebelum operasi
berakhir. Tidak didapatkan takikardi,
aritmia, atau rebound hipertensi serta
kehilangan darah yang rendah.
5

Tidak adanya perbedaan yang bermakna
rerata kebutuhan fentanyl dan isofluran
diantara kedua kelompok sampel
berlawanan dengan penelitian
Elsharnouby dkk dimana terdapat
pengurangan kebutuhan fentanyl,
vecuronium dan sevofluran pada
kelompok yang menggunakan MgSO4
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah
reseptor antagonis NMDA dari
magnesium yang terdapat di susunan
saraf pusat dan berkurangnya pelepasan
katekolamin dari stimulasi simpatis
yang mengakibatkan menurunnya
sensitisasi nociceptor perifer dan stres
respon dari pembedahan. Hal ini
disebabkan pada penelitian ini sulit
diketahui kebutuhan fentanyl dan
isofluran karena tidak terdapat kelompok
kontrol.
6

Pada pengukuran tampilan lapangan
operasi tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna pada semua waktu pengukuran
(semua dengan p>0,05). Hal ini sesuai
dengan yang dilakukan oleh
N.M.Elsharnouby (2006) penggunaan
ajuvan MgSO4 memberikan tampilan
lapangan operasi yang bersih serta
mengurangi perdarahan.
6

Pada penelitian ini, tidak ditemukan
adanya efek samping selama pengamatan
menunjukkan bahwa pemberian MgSO4
sebagai ajuvan relatif aman. Bila
diberikan pada fungsi ginjal yang normal
tidak akan memberikan dampak yang
cukup serius karena Mg2+ dalam tubuh
dapat diekskresi hingga 100%.
Kelompok MgSO4 selama pengamatan
tidak terjadi hipotensi, aritmia,takikardi
dan tidak didapatkan rebound hipertensi.
SIMPULAN
Premedikasi MgSO4 40 mg/kgBB
intravena sama efektif dengan Klonidin 1
mcg/kgBB sebagai ajuvan untuk teknik
hipotensi kendali pada bedah sinus
endoskopik fungsional. Premedikasi
MgSO4 40 mg/kgBB intravena
memberikan tampilan lapangan operasi
yang bersih.
46
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

DAFTAR PUSTAKA
1. Jabalameli M, Hashemi M., Soltani H.,
Hashemi J. Oral clonidine premedication
decrease intraoperative bleeding in patients
undergoing endoscopic sinus surgery. Jour-
nal of Research in Medical Sciences 2005;
1: 25-30.
2. Ankichetty SP et al. Comparison of total
intravenous anaesthesia using propofol and
inhalational anaesthesia using isoflurane
for controlled hypotension in functional
endoscopic sinus surgery. J Anaesthesiol
Clin Pharmacol. 2011;27(3):328-32.
3. James MFM. Magnesium : an emerging
drug in anaesthesia. Br. J. Anaesth. 2009;
103 (4): 465-7.
4. Habib AS, Gan TJ. Role of analgesic in
postoperative pain management. Anesthe-
siol Clin North America. 2005; 23(1):85-
107
5. Sanders GM, Sim KM. Is it feasible to use
magnesium sulphate as a hypotensive agent
in oral and maxillofacial surgery?. Ann
Acad Med Singapore. 1998; 27(6):780-5.
6. Elsharnouby NM, Elsharnouby MM. Mag-
nesium sulphate as a technique of hypoten-
sive anaesthesia. Br. J. Anaesth. 2006; 96
(6):727-31.
47
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Perbedaan Sedasi Midazolam dan Ketamin terhadap Base Excess Pasien
dengan Ventilator
Eka Adhiany*, Heru Dwi Jatmiko**, Uripno Budiono**
ABSTRACT
Background: Agitation and nervousness are usuallly occured at above 70% patients
of Intensive Care Unit (ICU), so that sedatives and analgetics are needed. Sedatives
that can be used are midazolam and ketamine that different in terms of the effect on
blood vessels.
Objective: To find the difference in value of base excess (BE) in arterial blood gas
analysis in patients ICU using midazolam compared with the use of ketamine as
sedation.
Method: This study is an experimental clinical trial that randomized double-blind trial
in patients using the ventilator in the intensive care unit. Patients (n: 28) were divided
into 2 groups, K1 that received ketamine as sedation and K2 that received midazolam
as sedation. The patients are given sedation for 24 hours with varying doses with a
target depth of sedation of patients on Ramsay Score 4. Examined the value of blood
gas analysis at 0, 6th, and 24th hours.
Result: The comparison of midazolam sedation with ketamine showed significant
differences on the value of base excess using ketamine sedation at 0 hour and 6th hour
alone with p = 0.04 (P <0.05), while for the 0 hour and 24th hour to obtain a non-
significant differences where p = 0.55, and for the 6th hour and 24th hour also found
no significant differences with p = 0.786.
Conclusion: There is no significant difference in the results of arterial blood base
excess in patients using the ventilator within 24 hours compared with midazolam given
ketamine.
Keywords: Midazolam, ketamine, sedation, blood gas analysis, base excess.
ABSTRAK
Latar belakang: Agitasi dan kecemasan sering terjadi pada pasien-pasien Intensive
Care Unit (ICU). Kejadian kecemasan berkisar di atas 70% dari pasien-pasien ICU).
Ini membutuhkan pemberian obat sedasi dan analgesia. Obat sedasi yang dapat
digunakan antara lain midazolam dan ketamin. Kedua obat ini memiliki perbedaan
dalam efek ke pembuluh darah.
*RSUD Nagan Raya, Aceh
** Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang
Korespondensi / correspondence: eadhiany@yahoo.com
The Difference of Midazolam and Ketamin Sedation on Base Excess Using
Mechanical Ventilator
48
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Tujuan: Untuk menemukan perbedaan nilai base excess (BE) melalui analisa gas
darah arteri pasien ICU yang menggunakan midazolam dibandingkan dengan ketamin
sebagai sedasi.
Metode: Suatu uji klinik eksperimental yang dilakukan secara acak tersamar ganda
pada pasien yang menggunakan ventilator di unit rawat intensif. Pasien (n : 28) dibagi
menjadi 2 kelompok, K1 yang mendapat sedasi ketamin dan K2 mendapat midazolam.
Pasien diberikan sedasi selama 24 jam dengan dosis bervariasi dengan target
kedalaman sedasi pasien pada Ramsay Score 4, kemudian diperiksa nilai analisis gas
darah pada jam ke-0, 6, dan 24.
Hasil: Hasil perbandingan sedasi midazolam dengan ketamin ini menunjukkan
perbedaan bermakna pada nilai base excess yang menggunakan sedasi ketamin jam ke
-0 dan jam ke-6 saja dengan nilai p=0,04 (p<0.05), sedangkan untuk jam ke-0 dan
jam ke-24 didapatkan perbedaan yang tidak bermakna dimana p=0,55, dan untuk jam
ke-6 dan jam ke-24 juga didapatkan perbedaan yang tidak bermakna dimana p=0,786.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan base
excess darah arteri pada pasien menggunakan ventilator dalam 24 jam yang diberikan
midazolam dibandingkan dengan ketamin.
Kata Kunci : Midazolam, ketamin, sedasi, analisis gas darah, base excess.
dan sistem limbik yang mencegah
persepsi visual, auditori, atau stimulus
nyeri. Ia memiliki mula kerja yang cepat
dan menghasilkan sedasi dan analgesi
yang kuat. Tekanan darah dan respirasi
spontan dapat dipertahankan dengan
menggunakan ketamin. Sedasi dengan
ketamin sangat berguna untuk pasien
dengan penyakit saluran nafas karena
menghambat terjadinya
bronkokontriksi.
2,3,4

Komponen metabolik dari keseimbangan
asam basa ditunjukkan oleh base excess.
Nilainya ditentukan dari pH darah dan
PaCO2. Base excess meningkat pada
kondisi alkalosis metabolik dan menurun
(atau menjadi lebih negatif) pada kondisi
asidosis metabolik. Kondisi hipotensi
yang lama dapat menyebabkan
PENDAHULUAN
Pasien kritis yang dirawat di Intensive
Care Unit (ICU) membutuhkan derajat
sedasi dan analgesia yang berbeda-beda.
Perbedaan juga terjadi dalam hal jangka
waktu penggunaan obat, jenis obat-
obatan yang digunakan dan teknik
pemberian obatnya. Kebanyakan pasien
kritis ini berada dalam keadaan
disorientasi karena penyakitnya dan
cenderung tidak tenang di lingkungan
perawatannya. Sedasi dengan tingkatan
tertentu menyebabkan pasien dalam
kondisi yang tenang dan kooperatif
sehingga memudahkan untuk merawat
dan mengobatinya.
1

Ketamin hidroklorida merupakan
turunan phencyclidine yang dapat
menyebabkan disosiasi antara korteks
49
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

penurunan transpor oksigen ke jaringan
(hipoperfusi). Hipoperfusi jaringan akan
mengarah kepada hipoksia jaringan,
metabolisme anaerob dan gangguan
integritas seluler sehingga mengarah ke
kondisi asidosis metabolik dimana nilai
base excess rendah (di bawah -2 mEq/
L).
5

Penelitian ini ditujukan untuk
menemukan adanya perbedaan nilai
base excess melalui analisa gas darah
arteri pada pasien di ICU yang
menerima midazolam sebagai obat
sedasi dibandingkan dengan penggunaan
ketamin didasari dari perbedaan efek
obat terhadap hemodinamik pasien
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik
eksperimental secara acak tersamar
ganda, dengan tujuan mencari perbedaan
pengaruh pemberian midazolam dan
ketamin dengan dosis sedasi yang
dititrasi pada pasien yang menggunakan
ventilator terhadap efek mikrosirkulasi
dengan tinjauan pada nilai base excess
analisis gas darah.
Sampel diambil dari pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik dan
dirawat di instalasi ICU RSUP Dr.
Kariadi Semarang yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi,
menggunakan consecutive sampling
didapatkan jumlah sampel sebanyak 28
orang yang dibagi menjadi dua
kelompok, masing-masing terdiri dari 14
orang yaitu: Kelompok 1 (K1)
dilakukan pemberian sedasi ketamin
pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik sedangkan Kelompok 2 (K2)
dilakukan pemberian midazolam.
Kriteria inklusi yaitu pasien dirawat di
ICU RSUP Dr. Kariadi, menggunakan
ventilator mekanik, tidak menggunakan
obat vasoaktif dan mendapat persetujuan
dan informed consent dari keluarga
pasien.
Kriteria eksklusi yaitu: pneumonia,
pasien dalam kondisi syok, Hb < 7 gr/dl
dan atau Ht < 21.000 serta pasien
hipertensi dengan sistol > 150 mmHg
dan diastol > 90 mmHg.
Seleksi penderita dilakukan pada saat
pasien masuk ICU RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Penelitian dilakukan terhadap
penderita yang sebelumnya telah
mendapatkan penjelasan dan disetujui
oleh keluarga untuk mengikuti semua
prosedur penelitian.
Sebelum diberikan sedasi pada pasien
yang menggunakan ventilator dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah dengan
mengambil darah arteri dengan spuit 1
cc. Pemeriksaan sampel dilakukan di
laboratorium RSUP dr Kariadi
Semarang. Hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut digunakan sebagai
data dasar, demikian juga pemeriksaan
tanda vital dan balance cairan (cairan
masuk dan keluar).
Pasien dengan ventilator setelah masuk
kriteria inklusi diberikan sedasi dengan
ketamin sebagai kelompok K1 dan
midazolam sebagai kelompok K2 dengan
dosis sedasi dengan target penilaian
50
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sedasi tingkat 4 pada penilaian Ramsay,
pemilihan sampel dilakukan secara
random. Kemudian penderita
dimonitoring hemodinamik tiap 60
menit dan pemeriksaan analisis gas
darah jam ke-6 dan ke-24.
Pada pasien yang mengalami syok, Hb <
7 gr/dl, Ht < 21 %, ekstubasi atau
meninggal kurang dari 24 jam
dikeluarkan dari sampel penelitian.
Data yang dikumpulkan mencakup
karakteristik umum sampel (umur, berat
badan, jenis kelamin), analisis gas
darah, balance cairan, tekanan darah dan
MAP sebelum dan sesudah perlakuan.
Data deskriptif disimpulkan dalam mean
SD, median (minimum-maksimum)
atau presentase. Selanjutnya, dilakukan
analisis deskriptif dengan menghitung
proporsi gambaran karakteristik
responden menurut kelompok
perlakuan. Uji normalitas dilakukan
menggunakan uji Saphiro-Wilk karena
sampel penelitian ini kurang dari 50
sampel. Penelitian ini termasuk dalam
kategori penelitian komparatif numerik
dengan data 2 kelompok berpasangan.
Hipotesis diuji menggunakan Wilcoxon
test apabila data berdistribusi tidak
normal. Semua perhitungan
menggunakan piranti lunak SPSS versi
16.0.
HASIL
Dari penelitian diperoleh sampel uji
total sebanyak 28 sampel dengan jumlah
sampel pada kelompok K1 (sedasi
dengan midazolam) sebanyak 14 sampel
dan K2 (sedasi dengan ketamin)
sebanyak 14 sampel.
Pada tabel 1 memperlihatkan
karakteristik sampel pada kedua
kelompok yang secara statistik berbeda
tidak bermakna (p > 0,05), maka kedua
kelompok tersebut dapat dibandingkan.
Hasil Penelitian dengan Sedasi
Midazolam
Sampel yang mendapat sedasi
midazolam sebanyak 14 sampel diuji
normalitas data dengan menggunakan uji
Saphiro-Wilk dengan hasil normal (p >
0,05) dan analisis data dilanjutkan
dengan uji T-berpasangan.
Uji T-berpasangan yang dilakukan pada
nilai base excess jam ke-0, ke-6, dan ke-
24 untuk sampel yang menggunakan
sedasi midazolam menghasilkan
perbedaan yang tidak bermakna (p >
0,05)
Hasil Penelitian pada Sampel dengan
Sedasi Ketamin
Uji normalitas data yang dilakukan pada
sampel yang menggunakan sedasi
ketamin yang berjumlah 14 sampel
dengan uji Saphiro-Wilk menghasilkan
sebaran data yang normal dimana nilai p
> 0,05, sehingga analisis data dilanjutkan
dengan menggunakan uji T-berpasangan.
Uji T-berpasangan yang dilakukan pada
nilai base excess yang menggunakan
sedasi ketamin jam ke-0 dan jam ke-6
didapatkan perbedaan yang bermakna
dengan p=0,04 (p<0.05), sedangkan
untuk jam ke-0 dan jam ke-24
51
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Variabel
Sedasi
p
Midazolam Ketamin
Usia


21 30 1 (7,1%) 0 (0,0%) 0,346
#

31 40 3 (21,4%) 1 (7,1%)
41 50 3 (21,4%) 1 (7,1%)
51 60 1 (7,1%) 1 (7,1%)
> 60 6 (42,9%) 11 (78,6%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5 (35,7%) 9 (64,3%) 0,131
#

Perempuan 9 (64,3%) 5 (35,7%)
Berat badan 64,14 10,053 66,43 6,630 0,409


Spesialisasi
Bedah 9 (64,3%) 11 (78,6%) 0,511
#

Obsgin 4 (28,6%) 3 (21,4%)
Penyakit dalam 1 (7,1%) 0 (0,0%)
Tabel 1. Karakteristik data
Keterangan :
#
Pearson Chi-Square Test
$
Fishers Exact Test

Base excess jam ke-0 0,886 14 0,070
Base excess jam ke-6 0,983 14 0,98

Saphiro-Wilk
Statistik df Sig
Base excess jam ke-24 0,933 14 0,341
Tabel 2. Uji normalitas base excess untuk sampel dengan sedasi midazolam
didapatkan perbedaan yang tidak
bermakna dimana p=0,55, dan untuk
jam ke-6 dan jam ke-24 juga didapatkan
perbedaan yang tidak bermakna dimana
p=0,786. Perbedaaan nilai base excess
antara sedasi menggunakan midazolam
dengan sedasi menggunakan ketamin.
Penilaian perbedaan nilai base excess
antara kelompok midazolam (K1)
dengan kelompok ketamin (K2)
dilakukan dengan uji beda antara dua
kelompok tersebut melalui penghitungan
selisih atau delta nilai base excess pada
jam ke-0 dan jam ke-24. Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan Saphiro
52
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

-Wilk, dan menghasilkan sebaran data
yang normal dimana nilai p > 0,05. Uji
statistik selanjutnya menggunakan uji T
tidak berpasangan.
Hasil pengujian menggunakan uji T
tidak berpasangan menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara
selisih nilai base excess pada jam ke-0
dan jam ke-6 antara kelompok K1 dan
K2 dengan kemaknaan nilai p=0,247
(p>0,05), begitu juga dengan selisih
nilai base excess pada jam ke-0 dan jam
ke-24 antara kelompok K1 dan K2
dengan kemaknaan nilai p=0,434
(p>0,05).
PEMBAHASAN
Bagian yang terpenting dalam
menangani pasien kritis adalah
memastikan jaringan-jaringan tubuh
mendapatkan oksigen yang cukup dan
memastikan pula jika jaringan tersebut
mampu memakai oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini yang
disebut sebagai tujuan dari
mikrosirkulasi. Parameter-parameter
yang diperoleh dari profil fisiologis
digunakan untuk menilai dan
mengoptimalkan transpor oksigen ke
jaringan. Salah satu parameter yang
dapat digunakan adalah pemeriksaan
analisa gas darah (AGD).
Kondisi hipotensi yang lama dapat
menyebabkan penurunan transpor
oksigen ke jaringan (hipoperfusi).
Hipoperfusi jaringan akan mengarah
kepada hipoksia jaringan, metabolisme
anaerob dan gangguan integritas seluler.
Tanda-tanda klinis hipoperfusi jaringan
dan disfungsi seluler adalah tekanan
darah arteri dan cardiac output rendah,
pengeluaran urin sedikit, penurunan
turgor kulit, perubahan status mental,
asidosis metabolik, defisit basa,
bikarbonat serum rendah, peningkatan
laktat serum, pH intra gastrik rendah,
mixes venous PO2 rendah.
Base excess merupakan komponen
metabolik, dimana ia menunjukkan
jumlah asam kuat yang harus
ditambahkan pada setiap liter darah yang
teroksigenasi sempurna agar tetap pada
pH 7,4, temperatur 370C,dan pCO2 40
mmHg (5,3 kPa). Nilai base excess dapat
ditentukan dari konsentrasi serum
bikarbonat dan pH.
Pada penelitian ini, penggunaan mode
ventilator [mode CPAP 18 pasien
(64,3%), PSIMV 8 pasien (28,6%) dan
VSIMV 2 pasien (7,1%)] berdasarkan
kebutuhan pasien yang dilihat dari
hemodinamik pasien, hasil analisa gas
darah, dan ada tidaknya work of
breathing (WOB) yang secara
keseluruhan bertujuan untuk memberi
kenyamanan pada pasien dengan
parameter: Laju nafas 12-16 kali/menit,
denyut jantung 60-100 kali/menit atau
tidak lebih dari 30% denyut jantung
awal, volume tidal 6-8 ml/kg, SpO2 98-
100%.
Faktor-faktor lain seperti dehidrasi,
muntah, diare, DM, gagal ginjal,
penggunaan obat-obatan vasoaktif, tidak
mendapat terapi/cairan yang besifat
alkali, tidak keracunan methanol, glikol
53
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Base excess jam ke-0 0,954 14 0,630
Base excess jam ke-6 0,962 14 0,763

Saphiro Wilk
Statistik df Sig
Base excess jam ke-24 0,943 14 0,457
Tabel 3. Uji normalitas base excess untuk sampel dengan sedasi ketamin
Shapiro-Wilk

Statistik

Df

Sig.
Delta BE 1 Midazolam
0,959 14 0,703
Delta BE 1 Ketamin
0,960 14 0,725
Delta BE 2 Midazolam
0,899 14 0,110
Delta BE 2 Ketamin
0,906 14 0,138
Tabel 4. Uji normalitas delta base excess jam ke-0 dan ke-24 pada sampel K1 dan K2
etilen, atau aspirin telah kita singkirkan,
sehingga mode ventilator dianggap
homogen dan tidak ada bias pada
masalah respirasi dan metabolik karena
perfusi diasumsikan dalam kondisi yang
optimal. Peneliti tidak melihat kondisi
nutrisi dan albumin pada sampel
penelitian ini, selain itu sampel pada
penelitian ini tidak memiliki penyakit
dasar maupun komorbid yang sama,
sehingga masih terdapat faktor
pengganggu yang tidak bisa
dikendalikan sepenuhnya.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang
bermakna hanya pada nilai base excess
Gambar 1. Grafik nilai base excess antara midazolam dan ketamin
54
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

yang menggunakan sedasi ketamin jam
ke-0 dan jam ke-6 saja. Nilai BE pada
jam ke-0 dengan ke-24, dan jam ke-6
dengan ke-24 tidak terdapat perbedaan
yang bermakna. Jadi secara keseluruhan,
hal ini tidak sesuai dengan hipotesa
peneliti bahwa ketamin dapat
menaikkan nilai BE (kondisi asidosis
metabolik) yang mungkin disebabkan
oleh adanya faktor pengganggu yang
belum teratasi. Penelitian yang
menyatakan secara langsung bahwa
ketamin dapat memperbaiki asidosis
metabolik dengan meningkatkan BE
sampai saat ini belum ada. Pemberian
sedasi ketamin diharapkan dapat
memperbaiki sirkulasi darah pasien
sampel dengan terjadinya vasokontriksi
sehingga bisa memperbaiki kondisi
asidosis metaboliknya yang ditunjukkan
dengan meningkatnya pH dan BE.
Hasil penelitian sampel yang
menggunakan sedasi midazolam tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna
untuk nilai BE. Hal ini berbeda dengan
penelitian Oliver dkk (2011)
6
yang
disebutkan bahwa secara statistis
terdapat peningkatan nilai base excess
yang signifikan (p < 0,05) pada semua
kelompok sampel yang mendapat
midazolam-butophanol dan midazolam-
buprenorphine dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang mendapatkan
salin.
Pemeriksaan selisih/ delta antara sedasi
oleh midazolam dan ketamin dilakukan
untuk nilai BE. Pada penelitian ini,
selisih/ delta sedasi oleh midazolam dan
sedasi oleh ketamin didapatkan
perbedaan tidak bermakna, baik antara
jam 0 dan jam ke 6 serta antara jam 0
dan jam ke 24. Hal ini berbeda dengan
penelitian Elamin dkk (2007)
7
bahwa
mean arterial pressure lebih tinggi secara
signifikan pada kelompok ketamin
dibandingkan dengan kelompok
fentanyl. Pasien yang mendapatkan
ketamin tidak memerlukan tambahan
vasopressor dan lebih jarang terdiagnosis
syok dibanding kelompok fentanyl.
Kondisi syok dapat meyebabkan
hipoperfusi jaringan yang akan
menyebabkan kepada hipoksia jaringan,
metabolisme anaerob dan gangguan
integritas seluler sehingga mengarah ke
asidosis metabolik dimana nilai BE-nya
rendah (di bawah -2 mEq/L).
Anion gap bermanfaat untuk
menentukan jika defisit basa (nilai BE >
-2) disebabkan oleh penambahan asam
atau kehilangan bikarbonat.
Pada penelitian ini, peneliti tidak
melakukan pemeriksaan elektrolit saat
perlakuan khususnya natrium dan klorida
dimana anion gap = Na Cl (bila < 38
asidosis, > 38 alkalosis) yang
bermanfaat untuk menentukan status
asidosis atau alkalosis yang lebih tepat
sehingga bisa diatasi segera sesuai
dengan penyebabnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna pada
penggunaan obat sedasi ketamin maupun
midazolam pada pasien yang
menggunakan ventilator terhadap nilai
BE.
55
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

SIMPULAN
Pemberian midazolam dan ketamin
tidak menaikkan nilai base excess secara
bermakna pada pasien yang
menggunakan ventilator dalam 24 jam.
Tidak ada perbedaan yang bermakna
pada hasil pemeriksaan base excess
darah arteri pada pasien menggunakan
ventilator dalam 24 jam yang diberikan
midazolam dibandingkan dengan
ketamin.
Emergency Medicine 1999; 7(3).
3. Barreiro TJ, Papadakos PJ. Current
Practices in Intensive Care Unit Sedation.
Dalam: Hines R.L, editor. Critical Care:
The Requisites in Anesthesiology.
Philadelphia: Elsevier Mosby. 2005; p
123-31.
4. Hijazi Y, Bodonian C, Bolon M, et all.
Pharmacokinetics and haemodynamics of
ketamine in intensive care patients with
brain or spinal cord injury. Br. J. Anesth.
2003; 90(2).
5. Tobias JD, Martin LD, Wetzel RG.
Ketamine by continuous infusion for
sedation in the pediatric intensive care
unit. Crit.Care.Med. 1990; 18:819 20.
6. Oliver WC Jr, Nuttall GA, Murari T,
Bauer LK, Johnsrud KH, Hall Long KJ,
Orszulak TA, Schaff HV, Hanson AC,
Schroeder DR, Ereth MH, Abel MD.A
prospective, randomized, double-blind
trial of 3 regimens for sedation and
analgesia after cardiac surgery.J
Cardiothorac Vasc Anesth. 2011;25
(1):110-9.
7. Elamin EM, Drew D.Is ketamine the
right agent for mechanically ventilated
patients?. Chest 2007; 132: 574S.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gwinnut C. Lecture Notes: Clinical
Anaesthesia. Edisi ke-2. Oxford:
Blackwell Publishing; 2004. p 130-1.
2. Chudnofsky CR, Weber JE, Stoyanoff
P.J, et all. A Combination of Midazolam
and Ketamine for Procedural Sedation
and Analgesia in Adult Emergency
Departement Patients. Academic
56
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENELI TI AN
Penentuan Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0,5% Berdasarkan Tinggi
Badan Untuk Bedah Sesar Dengan Blok Subarakhnoid
Dian Ayu*, Sofyan Harahap*, Uripno Budiono*
ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia for cesarean section is preferred because of rapid
onset, the technique is simple, relatively easy to perform, perfect muscle relaxation
compared with epidural anesthesia, and greater maternal safety profile compared with
general anesthesia. However, at high doses, it can cause high sensory and motor block
and hypotension. The frequency and degree of hypotension is affected by subarachnoid
dose of local anesthetic.
Objective: Assess the effectiveness of hyperbaric bupivacaine 0.5% dose based on
body height for subarachnoid block at cesarean section.
Method: 40 pregnant women who met the inclusion criteria were randomly divided
into two groups, 20 persons in group I received 0.5% hyperbaric bupivacaine 0,06
mg / cm body height, and 20 in group II received 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5
mg. Several variables, ie vital signs, incidence of hypotension, ephedrine given, time
blocks sensory and motor block are recorded from before to 45 minutes after spinal
anesthesia action against.
Result: In group I, the onset of sensory block at the T10 dermatome was achieved in
1.61 - 0.617 min after injection of the drug, did not differ significantly when compared
to Group II is 1.47 - 0.655 min (P> 0.05). All sensory block achieved in this study is
dematom T4. The onset of sensory block at dermatome T4 reached at 2.55 - 0.56 min
post-injection of drugs in group I, was not significantly different when compared to
group II are 2.45 - 0.594 min (P> 0.05). Mean difference in systolic pressure, diastolic
pressure, mean arterial pressure, heart rate and the amount of ephedrine used in both
groups showed that the difference was not statistically significant (p> 0.05) and
similarly, the incidence of hypotension.
Conclusion: 0.5% hyperbaric bupivacaine 0.06 mg/ cm for subarachnoid block at
cesarean section has similar efficacy and hemodynamic profile with 0.5% hyperbaric
Bupivacaine 12.5 mg.
Key words: Bupivacaine, height, effective dose, subarachnoid block, cesarean section.

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang
Korespondensi / correspondence: da_anest@yahoo.com
Determination of Effective Dose Hyperbaric Bupivacaine 0.5% Based on Body
Height in Cesarean Section With Subarachnoid Block
57
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ABSTRAK
Latar Belakang: Anestesi spinal lebih disukai untuk bedah sesar dikarenakan onset
cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan menimbulkan relaksasi otot yang
sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural, dan profil keselamatan ibu lebih
besar dibandingkan dengan anestesi umum. Meskipun demikian, anestesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi, yang memberi dampak morbiditas pada ibu dan janin.
Frekuensi dan derajat hipotensi dipengaruhi oleh dosis subarakhnoid anestesi lokal,
sehingga diperlukan penentuan dosis minimal yang efektif untuk anestesi spinal.
Tujuan: Mengetahui efektivitas dan profil hemodinamik dosis bupivakain hiperbarik
0,5% 0,06 mg/cm untuk blok subarakhnoid pada bedah sesar.
Metode: Sebanyak 40 orang ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara
acak menjadi dua kelompok, yaitu 20 orang pada kelompok I mendapat bupivakain
0,5% hiperbarik 0.06 mg/cmTB, dan 20 orang pada kelompok II mendapat bupivakain
0,5% hiperbarik 12,5 mg. Dilakukan pencatatan dari sebelum hingga 45 menit setelah
tindakan anestesi spinal terhadap beberapa variabel, yaitu tanda vital, kejadian
hipotensi, jumlah efedrin yang diberikan, waktu blok sensorik, dan blok motorik.
Hasil: Pada kelompok I, onset blok sensorik pada dermatom T10 tercapai pada
1,610,617 menit paska injeksi obat, berbeda tidak bermakna bila dibandingkan
kelompok II yaitu 1,47 0,655 menit (p>0.05). Semua blok sensorik pada penelitian
ini berhasil mencapai dematom T4. Onset blok sensorik pada dermatom T4 tercapai
pada 2,550,56 menit paska injeksi obat pada kelompok I, berbeda tidak bermakna
bila dibandingkan kelompok II yaitu 2,450,594 menit (p>0.05). Perbedaan rerata
tekanan sistolik, tekanan diastolik, tekanan arteri rerata, laju jantung dan jumlah
efedrin yang digunakan pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna secara statistik (p>0,05), demikin pula dengan angka kejadian hipotensi.
Kesimpulan: Bupivakain 0,5% hiperbarik 0,06 mg/cm Tinggi Badan untuk blok
subarakhnoid pada bedah sesar memiliki efektivitas dan profil hemodinamik serupa
dengan Bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg.
Kata Kunci: Bupivakain, tinggi badan, dosis efektif, blok subarachnoid, bedah sesar.
mempengaruhi kebutuhan obat anestesi
lokal di ruang subarakhnoid. Tinggi
badan, saat ini telah menjadi salah satu
variabel terpenting dalam menentukan
dosis obat anestesi lokal untuk blok
subarakhnoid.
2

Dosis bupivakain untuk anestesi spinal
yang disarankan pada beberapa literatur
PENDAHULUAN
Anestesi spinal untuk bedah sesar
idealnya tidak menimbulkan efek
samping pada ibu atau janin dan untuk
menjaga keseimbangan antara dosis dan
keefektifan blok subarakhnoid
merupakan suatu tantangan.
1

Umur, tinggi badan dan indeks massa
tubuh merupakan variabel yang
58
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

antara 12 sampai 15 mg. Namun,
penggunaan rentang dosis ini
berhubungan dengan kejadian hipotensi
arteri pada sekitar lebih dari 80%, yang
berakibat pada morbiditas maternal dan
neonatal. Sejumlah penelitian telah
berusaha menentukan dosis optimal
bupivakain, tetapi hasil temuan yang ada
yang berbeda-beda dengan dosis
berkisar dari 5 sampai 20 mg.
Penggunaan dosis yang lebih rendah
bertujuan untuk mengurangi efek
samping (hipotensi, mual, muntah),
mengurangi waktu perawatan di post
anesthesia care unit (PACU), dan
meningkatkan kepuasan ibu. Namun,
dosis rendah berkaitan dengan
kecukupan kualitas anestesi, kebutuhan
analgesia tambahan, dan mungkin
memerlukan konversi anestesi umum,
sehingga menjadi faktor risiko
morbiditas dan mortalitas ibu terkait
anestesi.
1
Penelitian Danelli et al.
memperlihatkan bahwa ED95
bupivakain hiperbarik 0.5% tanpa
ajuvan untuk ibu hamil yaitu 0.06 mg/
cm tinggi badan. Zhiyu et al. melakukan
penelitian minimum effect local
anesthetic dose (MLAD) bupivakain
hiperbarik vs. ropivakain hiperbarik
terhadap ibu hamil dengan tinggi badan
150-170 cm menunjukkan bahwa dosis
minimum efektif bupivakain 7.53 mg.
3,4

Menurut penelitian Santos et al. dengan
dosis bupivakain hiperbarik 0.5%
berdasarkan tinggi badan menunjukkan
ketinggian blok terpenuhi dalam waktu
10-15 menit.
5

Berdasarkan beberapa penelitian diatas,
maka akan dilakukan penelitian
penentuan dosis efektif anestesi spinal
berdasarkan tinggi badan pada ibu hamil
yang menjalani bedah sesar.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan rancangan
randomized, double-blind. Sampel
penelitian adalah semua ibu hamil
menjalani bedah sesar di RSUP Dr.
Kariadi Semarang yang memenuhi
kriteria inklusi. Sampel yang ada
dikelompokkan menjadi dua kelompok
perlakuan. Sampel dikelompokkan
dengan cara consecutive sampling yaitu
setiap pasien yang memenuhi kriteria
dimasukkan dalam sampel penelitian
secara random sampai jumlah yang
diperlukan terpenuhi. Sampel akan
dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
Kelompok I mendapat bupivakain
hiperbarik 0.5% dengan dosis 0.06 mg/
cm tinggi badan dan kelompok II
mendapat bupivakain hiperbarik 0.5%
12.5 mg.
Penelitian dikerjakan pada ibu hamil
yang menjalani bedah sesar menyetujui
dilakukan tindakan anestesi spinal
dengan status fisik ASA I-II, Usia 20-35
tahun, tinggi badan > 150 cm dan tidak
ada kontraindikasi dilakukan blok
subarakhnoid tidak menderita hipertensi,
preeklampsia, eklampsia.
Sebelum tindakan dilakukan pencatatan
identitas meliputi nama, nomor rekam
medik, umur, berat badan (BB), tinggi
badan (TB) dan pemeriksaan tekanan
59
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

darah, tekanan arteri rata-rata (Mean
Arterial Pressure/MAP) dan denyut
jantung (heart rate/HR). Saturasi
oksigen dan EKG dipakai sebagai
monitoring selama operasi. Pemberian
co-loading cairan Ringer Laktat
sebanyak 10-20 ml/kgBB.
Anestesi spinal dilakukan dengan jarum
spinal 25-gauge pada vertebra L3-4,
setelah keluar cairan serebrospinal
sebagai tanda pasti ujung jarum di ruang
subarakhnoid dilakukan barbotase satu
kali, lalu bupivakain hiperbarik 0.5%
diinjeksikan sesuai kelompok penelitian
dengan kecepatan lebih dari 30 detik.
Kemudian penderita sesegera mungkin
dibaringkan dalam posisi terlentang
horisontal dengan kepala diganjal
bantal, perut sebelah kanan diganjal
flabot infus 500 mL, dan diberikan O2
kanul 3 liter/menit.
Bolus efedrin 10 mg intravena diberikan
apabila terjadi hipotensi (tekanan darah
turun lebih dari 20% baseline) pada
semua kelompok. Bradikardi (HR < 60
kali/menit) diterapi dengan injeksi sulfas
atropin 0,5 mg intravena. Pengukuran
tekanan darah dilakukan tiap 2 menit
selama 15 menit setelah injeksi, dan tiap
5 menit sampai operasi selesai.
Tinggi blok sensoris ditentukan dengan
cara pinprick sejajar garis midklavikula
bilateral menggunakan tusuk gigi.
Ketinggian blok sensorik diukur setiap
interval 2 menit selama 10 menit
pertama dan selanjutnya interval 5 menit.
Tingkat blok motorik diukur dengan
menggunakan skala modifikasi Bromage
(0 = tidak ada paralisis; 1= tidak dapat
ektensi tungkai, tetapi dapat fleksi lutut
dan pergelangan kaki; 2 = tidak dapat
ekstensi lutut, tetapi dapat fleksi
pergelangan kaki, dan 3 = paralisis
ekstremitas inferior). Bila dalam 20
menit tidak terjadi blok motorik dan
sensorik, maka anestesi spinal dianggap
Variabel
Kelompok
P
Kelompok I Kelompok II
Umur 28,6 5,394 26,8 4,830 0,273


TB 152,9 4,855 153,6 3,804 0,640


BB 65,4 11,754 66,5 13,774 0,515


ASA
I 11 (55,0%) 12 (60,0%) 0,749


II 9 (45,0%) 8 (40,0%)
Tabel 1. Karakteristik Data
Keterangan:

Independent t test

Mann Whitney

Chi Square test


60
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

gagal dilanjutkan anestesi umum dan
penderita dikeluarkan dari penelitian.
Data-data yang dicatat untuk
perhitungan statistik berupa tekanan
darah sistolik, MAP, laju jantung,
pinprick, skala Bromage, onset dan
durasi blok motorik, dan kebutuhan
efedrin. Selain itu, dicatat pula lama
operasi dan durasi anestesi. Data yang
diperoleh dicatat dalam suatu lembar
penelitian khusus yang telah disediakan,
satu lembar untuk setiap penderita.
Pengolahan data dilakukan secara
bertahap, meliputi: editing, coding,
tabulating dan entry. Data diolah dengan
komputer menggunakan program SPSS
dan dinyatakan dalam nilai rerata
simpang baku (mean SD). Dilakukan
uji normalitas distribusi. Jika distribusi
data normal, maka uji statistik
menggunakan uji t-test dengan derajat
kemaknaan p < 0,05. Jika distribusi data
tidak normal, maka menggunakan uji
statistik Mann-Whitney. Waktu
ketinggian dermatom sensorik dan blok
motorik dibandingkan dengan uji
Wilcoxon. Parameter hemodinamik diuji
dengan one-way ANOVA. Perbedaan
bermakna jika nilai P<0.05.
HASIL
Penelitian dilakukan pada 40 ibu hamil
yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-
masing 20 orang. Karakteristik pasien
yang menjalani penelitian dapat dilihat
pada tabel 1. Kelompok I dan kelompok
II pada awal penelitian tidak ada
perbedaan yang bermakna, baik dalam
umur, tinggi badan (TB), berat badan
(BB) ataupun status ASA. Tidak ada
kegagalan blok sensorik dan motorik
karena kesalahan teknik maupun
pengaruh obat pada penelitian ini. Pada
penelitian ini juga tidak ditemukan efek
samping berupa syok refrakter, spinal
tinggi, depresi nafas dan bradikardi.
Pada kelompok I, onset blok sensorik
pada dermatom T10 tercapai pada
1,610,617 menit paska injeksi obat,
berbeda tidak bermakna bila
dibandingkan kelompok II yaitu 1,47
0,655 menit (p>0.05). Semua blok
sensorik pada penelitian ini berhasil
mencapai dematom T4. Onset blok
sensorik pada dermatom T4 tercapai
pada 2,550,56 menit paska injeksi obat
pada kelompok I, berbeda tidak
bermakna bila dibandingkan kelompok II
yaitu 2,450,594 menit (p>0.05).
Blok motorik terjadi sempurna pada
semua pasien, baik dalam kelompok I
maupun kelompok II.
Efek hemodinamik dinilai berdasarkan
perbedaan rerata tekanan sistolik,
tekanan diastolik, tekanan arteri rerata,
laju jantung dan jumlah efedrin yang
digunakan. Dari uji statistik, kedua
kelompok menunjukkan perbedaan yang
tidak bermakna (p>0,05).
Kelompok I memiliki rerata total
pemberian efedrin 10 mg sebesar
1,201,105 kali, yang secara statistik
terdapat perbedaan tidak bermakna
(p>0,05) dengan rerata total pemberian
efedrin 10 mg pada kelompok II, yaitu
61
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sebesar 1,401,20 kali. Hipotensi terjadi
pada 2 orang sampel pada kelompok 1
dan 4 orang sampel pada kelompok 2,
meski demikian, secara statistik, antara
kedua kelompok berbeda tidak
bermakna.
PEMBAHASAN
Wanita hamil memerlukan dosis
anestesi lokal 20-30% lebih rendah
untuk mencapai tingkat anestesi yang
sama sebagai pasien yang tidak hamil.
Penurunan kebutuhan anestesi lokal
dimulai di awal trimester pertama.
Penjelasan untuk ini antara lain:
meningkatnya kadar progesteron,
perubahan kehamilan yang berkaitan
dengan hambatan difusi, dan sistem
analgesia endogen. Seiring
bertambahnya kehamilan, terjadi
penurunan sekunder volume ruang
epidural dan subarakhnoid dari
melebarnya vena epidural juga
mempengaruhi anestesi lokal.
6,7,8

Sejumlah penelitian telah berusaha
menentukan dosis optimal bupivakain,
tetapi hasil temuan yang ada yang
berbeda-beda dengan dosis berkisar dari
5 sampai 20 mg.
Dosis anestesia lokal bupivakain untuk
anestesi spinal pada ibu hamil
berdasarkan tinggi badan. Penggunaan
dosis yang lebih rendah bertujuan untuk
mengurangi efek samping (hipotensi,
mual, muntah), mengurangi waktu
perawatan di post anesthesia care unit
(PACU), dan meningkatkan kepuasan
Variabel
Kelompok
P
Kelompok I Kelompok II
Sensorik T10 1,61 0,617 1,47 0,655 0,208


Sensorik T6 2,05 0,611 1,92 0,584 0,507


Sensorik T4 2,55 0,560 2,45 0,594 0,810


Tabel 2. Perbedaan Waktu Blok Sensorik T10, T6 dan T4
Keterangan:

Mann Whitney

Independent t test
Variabel
Kelompok
P
Kelompok I Kelompok II
1 0,75 0,389 0,76 0,371 0,807


2 1,29 0,448 1,35 0,424 0,860


3 2,25 1,038 2,27 0,932 0,881


Tabel 3. Perbedaan onset blokade motorik
Keterangan:

Mann Whitney
62
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ibu. Namun, dosis rendah berkaitan
dengan kecukupan kualitas anestesi,
kebutuhan analgesia tambahan, dan
mungkin memerlukan konversi anestesi
umum, sehingga menjadi faktor risiko
morbiditas dan mortalitas ibu terkait
anestesi.
1
Zhiyu et al. melakukan
penelitian minimum effect local
anesthetic dose (MLAD) bupivakain
hiperbarik vs. ropivakain hiperbarik
terhadap ibu hamil dengan tinggi badan
150-170 cm menunjukkan bahwa dosis
minimum efektif bupivakain 7.53 mg.
3,4

Penelitian Danelli G, et al. dengan
bupivakain hiperbarik 0,5% dosis inisial
0.075 mg/cm tinggi badan menunjukkan
ED95 anestesi spinal pada ibu hamil
yaitu 0.06 mg/cm tinggi badan.
3
Pada
penelitian ini, kami membandingkan
dosis tersebut dengan dosis yang
digunakan oleh Bogra et al yaitu 12,5
mg.
Pada dosis 2,5 mg ataupun 0,06 mg/cm,
didapatkan blok sensorik hingga setinggi
dermatom T4. Tidak ditemukan adanya
kegagalan blok sensorik, ataupun blok
sensorik yang tidak mencapai tinggi
dermatom yang adekuat pada semua
pasien dalam penelitian ini. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam dosis yang
lebih kecil, bupivacain 0,5% hiperbarik
dapat dipergunakan untuk anestesi spinal
pada ibu hamil dengan analgesi yang
adekuat.
Blok motorik juga didapatkan sempurna
Variabel
Kelompok
P
Kelompok I Kelompok II
TDS pre 120,5 10,605 123,1 9,913 0,437


TDS 2 108,1 12,052 111,3 13,969 0,450


TDS 4 106,4 12,906 107,3 13,608 0,831


TDS 6 104,1 12,763 103,9 13,044 0,961


TDS 8 110,0 9,633 111,7 12,044 0,615


TDS 10 109,1 12,143 112,2 12,442 0,430


TDS 15 108,5 14,809 111,8 12,619 0,453


TDS 20 110,6 13,500 112,0 11,756 0,728


TDS 25 111,3 13,627 114,5 11,945 0,442


TDS 30 112,0 11,388 116,7 12,158 0,220


TDS 35 116,9 12,236 118,4 11,371 0,711


TDS 40 119,0 12,596 119,4 12,710 0,935


TDS 45 118,9 11,524 119,7 11,028 0,865


Tabel 4. Perbedaan TDS pre, 2, 4, 6, 8, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 dan 45
Keterangan :

Independent t test
63
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

pada penelitian ini. Menurut instrument
modified bromage score, semua pasien
mengalami relaksasi hingga skor
bromage 3, baik pada kelompok I
maupun kelompok II. Temuan ini
menunjukkan bahwa relaksasi yang
ditimbulkan oleh bupivakain 0,5%
hiperbarik 0,06 mg/cm sama adekuatnya
dengan dosis 12,5mg.
Menurut penelitian Santos et al. dengan
dosis bupivakain hiperbarik 0.5%
berdasarkan tinggi badan menunjukkan
ketinggian blok terpenuhi dalam waktu
10-15 menit.
5
Pada penelitian ini, blok
sensorik pada dermatom T4 tercapai
pada 2,550,56 menit paska injeksi obat
pada kelompok I, berbeda tidak
bermakna bila dibandingkan kelompok
II yaitu 2,450,594 menit (p>0.05).
Sementara untuk blok motorik, onset
blok motorik sesuai dengan modified
bromage score 3 adalah 2,251,038
menit paska injeksi obat pada kelompok
I, berbeda tidak bermakna bila
dibandingkan kelompok II yaitu 2,27
0,932 menit (p>0.05). Hal ini menarik
karena ternyata dengan dosis rendah,
onset blokade sensorik dapat tercapai
dalam waktu singkat. Temuan ini
menunjukkan bahwa dengan teknik
injeksi sesuai protocol penelitian ini,
masih mungkin untuk mendapatkan blok
sensorik dan motorik yang adekuat
dengan onset singkat meskipun dengan
dosis obat anestesi loka yang lebih
rendah.
Frekuensi dan derajat hipotensi
dipengaruhi oleh dosis subarakhnoid
anestesi lokal.
1,6
Menurut Chung et al.
dengan 12 mg bupivakain hiperbarik
0,5% terjadi insiden hipotensi 80%.
Penelitian Riley et al. menunjukkan
bahwa dosis 12 mg bupivakain
hiperbarik 0,75% menimbulkan insiden
hipotensi sebesar 85%. Bryson et al.
dengan penelitian serupa dengan Chung,
mendapatkan insiden hipotensi yang
lebih dari 70%. Pada penelitian ini,
karena volume obat anestesi lokal yang
digunakan sangat kecil, yaitu berkisar
antara 1,8-1,9 ml pada kelompok I dan
2,5 cc pada kelompok II, maka insiden
hipotensi tidak ditemukan pada kedua
kelompok. Temuan ini lebih kecil
daripada yang dilaporkan oleh Bogra et
al. dimana dosis 12,5 mg bupivakain
hiperbarik 0,5% menyebabkan insiden
hipotensi sebesar 50%.
9-12

Pada penelitian ini perubahan tekanan
darah dan laju jantung tidak berbeda
bermakna antara kelompok I dan II. Hal
Variabel
Kelompok
p
Kelompok I Kelompok II
Efedrin 1,20 1,105 1,40 1,203 0,726


Tabel 5. Perbedaan kebutuhan Efedrin 10 mg antara kelompok Kelompok I dan II
Keterangan :

Mann Whitney
64
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ini menunjukkan bahwa pengaruh yang
ditimbulkan oleh bupivacain 0,5%
hiperbarik dengan dosis 0,06 mg/cm
tidak berbeda dengan yang ditimbulkan
dengan dosis 12,5mg. Temuan stabilitas
hemodinamik pada dosis 12,5 mg ini
berbeda dengan yang didapatkan oleh
Bintartho dkk (2010) dimana angka
kejadian hipotensi sebesar 42,6%. Hal
ini mungkin dipengaruhi oleh
perbedaaan teknik injeksi yang
digunakan pada protokol penelitian ini.
Pada penelitian ini didapatkan
penggunaan rerata epedrin total pada
kelompok I sebesar 12,011,05mg, yang
secara statistik berbeda tidak bermakna
(p>0,05) dengan rerata total pemberian
efedrin pada kelompok II, yaitu sebesar
14,012,0.
SIMPULAN
Bupivakain 0,5% hiperbarik 0,06 mg/cm
tinggi badan untuk blok subarakhnoid
pada bedah sesar memiliki efektivitas
dan profil hemodinamik serupa dengan
Bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg.
3. Danelli G, Zangrillo A, Nucera D, Giorgi E,
Fanelli G, Senatore R, Casati A. The
minimum effective dose of 0.5% hyperbaric
spinal bupivacaine for cesarean section.
Minerva Anesthesiol. 2001; 67(8): 573-77.
4. Zhiyu G, Dong-Xin W, Xin-min W.
Minimum effect local anesthetic dose of
intrathecal hyperbaric ropivacaine and
bupivacaine for cesarean section. Chin Med
J. 2011; 124(4): 509-13.
5. Santos A, Pedersen H, Finster M, Edstrom
H. Hyperbaric bupivacaine for spinal
anesthesia in cesarean section. Anest Analg.
1984; 63: 1009-13.
6. Yentis S, May A, Malhotra S. Analgesia,
anaesthesia and pregnancy: a practical
guide. 2nd edition. New York: Cambridge;
2007. p. 31-3; 67-9; 82-5.
7. Frlich Michael A. Maternal and fetal
physiology and anesthesia. In: Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ. Editors. Lange
Clinical Anesthesiology. 4th edition. USA:
McGraw-Hill; 2006. p. 875-81; 901-2.
8. Morgan P. Spinal anesthesia in obstetric.
Can J Anesth. 1995; 42(12): 1145-63.
9. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee
SI, Chin YJ. Hyperbaric spinal ropivacaine
for cesarean delivery: a comparison to
hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg.
2001; 93: 157-61.
10. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ,
Flanagan B. Prevention of hypotension after
spinal anesthesia for cesarean section: 6%
hetastarch versus lactated ringers solution.
Anesth Analg 1995; 81: 838-42.
11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg
OP. Small dose spinal bupivacaine for
caesarean delivery does not reduce
hypotension but accelerates motor recovery.
Can J Anesth. 2007; 54: 531-7.
12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. Synergistic
effect of intrathecal fentanyl and
bupivacaine in spinal anesthesia for cesarean
section. BMC Anesthesiol. 2005; 5: 5.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rucklidge MWM, Paech MJ. Limiting the
dose of local anaesthetic for caesarean
section under spinal anaesthesia has the
limbo bar been set too low?. Anaesthesia
2012; 67: 347-50.
2. Norris MC. Height, weight and the spread
of subarachnoid hyperbaric bupivacaine in
term parturient. Anesth Analg. 1988; 67:
555-58.
65
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

LAPORAN KASUS
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Chiari Malformation dan
Syringomyelia
Tomas Ari Kurniawan*, I Ketut Sinardja*
ABSTRACT
Background: Chiari malformation is an anatomical abnormality of cerebellum where
the cerebellar tonsils descend toward the foramen magnum and cause a series of
clinical symptoms. In general, this disorder has 4 types of classification based on the
degree of severity of anatomical abnormalities of the cerebellum. In some cases, the
disorder is also accompanied by syringomyelia. Actions that can be done to reduce the
clinical symptoms such as by decompressing the skull bone occipital part, so as to
reduce the symptoms of an emphasis on the down part of the cerebellum.
Case: Our patients had Chiari malformation type 2 in the presence of syringomyelia.
Clinical symptoms appear in the form of head and neck pain back, accompanied by
weakness in the left hand. Through surgery, performed the foramen magnum
decompression and duroplasty. Anesthesia is done under general anesthesia
intravenously, given induction with propofol and fentanyl, propofol intravenous
maintenance dose of 100 mcg/kg/min. Postoperative pain patients managed with
epidural analgesia which is mounted on the cervical spine area as high as 3, with a
regimen of 0.1% bupivacaine and morphine 0.5 mg in a volume of 5 ml.
Summary: Chiari malformation is the anatomical abnormalities of the cerebellum that
has dangerous potential. Compression occurs at the foramen magnum can cause
bulbar palsy and apnea. Decompression actions undertaken to prevent the occurrence
of paralysis. Patients with Chiari malformation and syringomyelia is often
accompanied by hydrocephalus. Planned anesthetic management should not cause an
increase in intra-cranial pressure.
Keywords: Chiari malformation,syringomyelia.
ABSTRAK
Latar belakang: Chiari malformation merupakan kelainan anatomi dari otak kecil
dimana tonsil cerebellum turun ke arah Foramen magnum dan menimbulkan
serangkaian gejala klinis. Secara umum kelainan ini memiliki 4 tipe klasifikasi
berdasarkan derajat beratnya kelainan anatomi dari cerebellum. Pada beberapa kasus
*Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Korespondensi / correspondence: tom_kun98@yahoo.com
Anesthesia Management of Chiari Malformation and Syringomyelia
66
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dijumpai kelainan juga disertai dengan syringomyelia. Tindakan yang bisa dikerjakan
untuk mengurangi gejala klinis antara lain dengan melakukan dekompresi pada tulang
cranium bagian occipital, sehingga dapat mengurangi gejala penekanan pada bagian
cerebellum yang turun.
Kasus: Pasien kami mengalami Chiari malformation tipe 2 dengan adanya
syringomyelia. Gejala klinis yang muncul berupa nyeri kepala dan leher bagian
belakang, disertai dengan kelemahan pada tangan kiri. Melalui tindakan operatif,
dikerjakan dekompresi foramen magnum dan duroplasty. Anestesi dikerjakan dengan
anestesi umum intravena, diberikan induksi dengan propofol dan fentanyl,
pemeliharaan dengan propofol intravena dosis 100 mcg/kg/menit. Nyeri paska operasi
pasien dikelola dengan epidural analgesia yang dipasang pada daerah setinggi
vertebra cervical 3, dengan regimen bupivakain 0,1% dan morfin 0,5 mg dalam
volume 5 ml.
Ringkasan: Chiari malformation adalah kelainan anatomi cerebellum yang memiliki
potensi berbahaya. Kompresi yang terjadi pada foramen magnum dapat menyebabkan
terjadinya bulbar palsy dan menyebabkan apnea. Tindakan dekompresi dikerjakan
untuk mencegah terjadinya kelumpuhan tersebut. Pasien dengan Chiari malformation
seringkali disertai dengan syringomyelia dan hidrosefalus. Manajemen anestesi yang
direncanakan sebaiknya tidak menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial.
Kata kunci: Chiari malformation, syringomyelia.
disebabkan oleh peningkatan Tekanan
Intra Kranial (TIK) yang disebabkan
oleh hidrosefalus. Beberapa kasus yang
serupa dilaporkan beberapa dekade
kemudian, terutama pada literatur dari
Inggris. Kasus Chiari malformation pada
orang dewasa yang tidak disertai dengan
hidrosefalus dipublikasikan oleh Aring
pada tahun 1938. Beberapa kasus yang
lain yang dilaporkan kemudian, sebagian
besar berhubungan dengan
syringomyelia. Antara 1960 dan 1970
baru mulai banyak dipublikasikan
tentang Chiari malformation, sehingga
PENDAHULUAN
Sebagian besar ahli menyetujui bahwa
Chiari Malformation adalah
pertumbuhan tonsil cerebellum ektopik.
Pada tahun 1891, saat mempelajari efek
hidrosefalus pada cerebellum, Chiari
mendeskripsikan beberapa perubahan
yang kemudian dikenal sebagai Chiari
Malformation. Tipe 1 dari kelainan ini
merupakan pemanjangan tonsil
cerebellum yang berbentuk kerucut
mengarah ke kanalis spinalis.
1

Pasien pertama Chiari menderita
hidrosefalus juga, dan temuan ini
menggambarkan hernia tonsiler yang
67
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

pengertian mengenai Chiari
malformation lebih dimengerti.
2,3

Dengan adanya MRI, dengan
kemampuannya untuk melihat potongan
secara sagital, telah mengembangkan
diagnosis Chiari malformation. Insidensi
Chiari malformation yang terlihat pada
pemeriksaan MRI adalah antara 0,56%
dan 0,77%, dan 15 30% pasien
tersebut asimtomatis. Ektopik tonsil
cerebellum diidentifikasikan pada
0,62% pasien yang menjalani diseksi
otak. Diestimasikan bahwa lebih dari
3500 dekompresi dikerjakan setiap
tahun di Amerika Serikat untuk Chiari
malformation. Penyakit ini lebih banyak
ditemui pada wanita, dengan rasio 3 : 1
terhadap laki-laki. Umur onset penyakit
ini 25 tahun, dan saat diagnosis
ditegakkan berkisar 5 tahun setelah
onset.
3

KASUS
Pasien perempuan 39 tahun, ASA 2,
didiagnosa dengan Chiari malformation
tipe 2 + Syringomyeli direncanakan
untuk foramen magnum dekompresi dan
duroplasty. Pada evaluasi praanestesia
pasien mengeluh nyeri pada leher dan
kepala belakang sejak 10 tahun yang
lalu, disertai dengan lemas pada tangan
kirinya sehingga pasien tidak mampu
menggenggam dengan kuat. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan drop hand
pada tangan kiri dengan sensibilitas
yang menurun pada lengan kiri. Dari
pemeriksaan MRI ditemukan
syringomelia spinal cord setinggi
cervical-7 sampai thorakal-3 dengan
tanda-tanda, low lying tonsila cerebellum
18 mm dari foramen magnum. Durante
operasi pasien diberikan premedikasi
dengan midazolam 2 mg dan
ondancetron 4 mg. Kemudian pasien
diinduksi menggunakan propofol 150 mg
dan diberikan supplemen analgesia
fentanyl 150 mg. Fasilitas intubasi
dengan vecuronium 6 mg. Kemudian
pasien diintubasi dengan pipa
endotrakeal no.7. setelah intubasi, pasien
diposisikan dengan posisi prone.
Pemeliharaan anestesia dengan
Compressed air, O2, propofol continous
100 mcg/kg/menit, vecuronium dan
fentanyl intermiten. Selama operasi
berlangsung hemodinamik stabil. Post
operasi sebelum operator menutup luka
operasi terlebih dahulu dipasang epidural
cateter dengan ujung kateter diletakkan
di Cervical 3. Diberikan regimen awal
bupivacaine 0,1% + morphine 0,5 mg
volume 5 ml. setelah operasi selesai
pasien dapat bernapas spontan dan
kemudian dikembalikan ke posisi supine
dan diberikan kombinasi sulfas atropine
0,5 mg dan neostigmine 1 mg. Setelah
pasien bernapas spontan adekuat
dilakukan ekstubasi dalam kondisi
pasien masih tidur dalam. Post operasi
pasien dirawat di ICU dengan analgetik
epidural analgesia bupivacaine 0,1% +
Morphine 0,5 mg volume 5 ml setiap 8
jam yang kemudian di perpanjang
intervalnya secara perlahan dan
paracetamol 500 mg per oral setiap 6
jam. Hari ke 2 post operasi pasien
dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Pasien pulang pada hari ke 7. Selama 7
hari paska operasi pasien sama sekali
68
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Tipe Malformasi Deskripsi
Tipe I Pemanjangan tonsil dan bagian medial dari lobus inferior cerebellum membentuk
proyeksi berbentuk kerucut, yang menyertai medulla oblongata di kanalis spinalis
Tipe II Kesalahan letak dari bagian inferior vermis, pons, dan medulla oblongata serta pe-
manjangan ventrikel IV (banyak kasus disertai spina bifida)
Tipe III Seluruh cerebellum herniasi ke kanalis spinalis cervicalis
Tipe IV Hipoplasia cerebellum
Tabel 1. Klasifikasi dari Chiari Malformation
tidak mengeluh sakit dengan VAS 0.
Tanpa keluhan mual dan muntah.
Epidural kateter dicabut sebelum pasien
pulang.
PEMBAHASAN
Chiari malformation adalah suatu
kelainan anatomi dari cerebellum
dimana bagian tonsil memanjang dan
posisi turun ke arah Foramen Occipitalis
Magnum, sehingga sering kali terjadi
kompresi terhadap bagian cerebellum
tersebut. Berikut adalah klasifikasi dari
Chiari malformation pada tabel 1.
4
Pada pasien yang kami rawat memiliki
kriteria yang sesuai dengan klasisfikasi
Chiari malformation tipe II, dimana
diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan MRI yang didapatkan low
lying tonsilla cerebellum disertai dengan
syringomyelia setinggi Servikal 7
hingga Thorakal 3. Manifestasi klinis
yang mungkin dijumpai antara lain pada
tabel 2.
3,4

Klinis yang didapatkan antara lain nyeri
pada leher bagian belakang disertai
dengan kelemahan pada ekstremitas atas
kiri dan drop hand. Paresis yang
dijumpai pada kasus ini kemungkinan
juga disebabkan adanya syringomyelia
yang diderita juga oleh pasien.
Selama tindakan dekompresi, pasien
dikerjakan dengan anestesi umum
dengan posisi prone. Beberapa hal yang
harus dijaga selama tindakan anestesi
dan pembedahan adalah gejolak
hemodinamik yang mungkin dapat
terjadi, mengingat lokasi operasi berada
di dekat medulla oblongata. Selama
tindakan operasi, pasien relatif stabil dan
tidak mengalami gejolak hemodinamik.
Paska operasi dilakukan pemasangan
kateter epidural di cervical, untuk
manajemen nyeri paska operasi. Selama
perawatan baik di ruang intensif, dan di
ruang rawat, pasien bebas rasa nyeri
dengan regimen analgetik yang kami
berikan. Kelebihan yang didapatkan
dengan menggunakan analgesia regional
untuk manajemen nyeri paska operasi,
antara lain adalah untuk mengurangi
penggunaan obat-obat analgesia
sistemik, terutama opioid, dengan tujuan
69
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Tabel 2. Manifestasi Klinis yang Mungkin Dijumpai
Sistem Gejala Subyektif Tanda Obyektif
Okuler Fotofobia, diplopia, tekanan pada
retroorbital. Abnormalitas lapang
pandang
Papil edema, pulsasi vena hilang, ke-
lumpuhan otot ekstra okuler
Otologik Pusing, tinnitus, penurunan
pendengaran, tekanan pada telinga,
vertigo, hiperakusis
Nistagmus, SNHL, test keseim-bangan
yang abnormal
Batang otak bagian
bawah, saraf kranialis
Disfagia, disartria, apnea saat tidur,
nyeri tenggorokan, palpitasi, sin-
kop, hipertensi
Gangguan pada gag reflex, paralisis
pita suara, kelumpuhan saraf hipoglo-
sus, kelumpuhan saraf spinal
Cerebellum Gait yang tidak seimbang, koordi-
nasi burukm tremor
Dismetria, ataksia
Sistem sensorik Nyeri pada oksipital dan retro or-
bital, nyeri cervical, parestesia,
sensibilitas posisi yang buruk,
nyeri terbakar
Analgesia, gangguan proprioceptif
Sistem motorik Kelemahan Kelemahan, spastisitas, hiperrefleksia
Lain-lain Kelemahan kronis, gangguan
memori, nausea, muntah, inkon-
tinensia, impoten, gangguan tropik

untuk menekan terjadinya efek samping
yang tidak diinginkan berupa mual dan
muntah, depresi pernafasan, dan
gangguan motilitas usus. Anestesi lokal
diberikan dengan konsentrasi yang tipis,
diharapkan tidak memiliki efek blokade
pada system saraf motorik, dimana blok
motorik pada daerah cervical memiliki
resiko terjadinya kelumpuhan otot-otot
pernafasan. Konsentrasi bupivakain
0,1% memberikan analgesia tanpa
disertai dengan blok motorik pada
pasien yang kami rawat.
RINGKASAN
Chiari malformation adalah kelainan
anatomi cerebellum yang memiliki
potensi berbahaya. Kompresi yang
terjadi pada foramen magnum dapat
menyebabkan terjadinya bulbar palsy
dan menyebabkan apnea. Tindakan
dekompresi dikerjakan untuk mencegah
terjadinya kelumpuhan tersebut. Pasien
dengan Chiari malformation seringkali
disertai dengan syringomyelia dan
hidrosefalus. Manajemen anestesi yang
direncanakan sebaiknya tidak
menimbulkan peningkatan tekanan intra
kranial.
70
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

DAFTAR PUSTAKA

1. Salman MS. The cerebellum in Chiari
type II malformation. Neuroembryol
Aging. 2008;5:1422
2. Wetjen NM. Chiari Malformation and
Syringomyelia: Investigating the Natural
History and Predicting Outcomes.
Neurosciences Update 2011. 8(4) : 1-7
3. Bejjani G.K. Definition of the adult
Chiari malformation: a brief historical
overview. Neurosurg Focus. 2000;11:1
8.
4. Fernndez AA1, Guerrero AI, Martnez
MI, Vzquez ME, Fernndez JB, Chesa i
Octavio E, Labrado Jde L, Silva ME, de
Araoz MF, Garca-Ramos R, Ribes MG,
Gmez C, Valdivia JI, Valbuena RN,
Ramn JR.Malformations of the
craniocervical junction (Chiari type I and
syringomyelia: classification, diagnosis
and treatment).BMC Musculoskelet
Disord. 2009 Dec 17;10 Suppl 1:S1.
71
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

LAPORAN KASUS
Manajemen Anestesi Untuk Koreksi Skoliosis pada Pasien Chiari
Malformasi Post Dekompresi Foramen Magnum
I. D. G. Tresna Rismantara*, I Putu Pramana Suarjaya*
ABSTRACT
Background: There are complications in the management of anesthesia for correction
of thoracic scoliosis in patients with Chiari malformation post foramen magnum
decompression periopoeratif because there are complex issues that accompany it.
Case: Anesthesia is used for correction of scoliosis in patients with Chiari
Malformation post foramen magnum decompression with limited mobilization of the
neck. In the X-ray examination found sublaminer semirigid instrumentation of the
neck. MSCT visible on thoracic scoliosis with a curvature center on Thorakal 9 with
Cobb 's Angle 60. Examination of cardiovascular, respiratory and neurological
within normal limits.
Curvature degrees of scoliosis in these patients is still under 70 so it does not
compress heart and lungs, but there are complications to perform intubation. This can
be overcome by using a fiberoptic instrument in a state of non sleep apnea using 50
mcg fentanyl and propofol 50 mg followed by balance anesthesia using continuous
infusion propofol, N2O, O2, vecuronium and fentanyl intermittnent and the
hipotension control techniques .
Post- anesthesia patients received epidural analgesia with 2 catheters with the end of
one catheter is in thoracal 3 and other in thoracal 12. Each wears 0.5 mg morphine
and bupivacaine 0.1 %. Patients were evaluated 2 days in ICU with no neurological
defects and free of pain, then patient moved to the treatment room.
Summary: Management of anesthesia in thoracic scoliosis correction surgery
becomes a very important thing because of the complexity of perioperative problems
that accompany it. Cardiovascular and respiratory function is most likely impaired
that need special attention. Assessment of the degree of severity of skoliosisnya can
provide a predictive value to the problems that may occur perioperatively. Patients
with impaired mobility of the neck can be complications when performing
laryngoscopy-intubation. Post surgery if both cardiovascular and respiratory function
are good, considerate extubation may be an option. Postoperative analgesics should
be adequate to deal with the pain because the pain can be cause cardiovascular and
respiratory instability complicating post-surgery.
Keywords: Thoracic scoliosis, chiary malformation, cobbs angle.
*Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Korespondensi/ correspondence: owthey@yahoo.com
Anesthesia Management of Patients with Chiari Malformation for
Scoliosis Correction Post Foramen Magnum Decompression
72
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ABSTRAK
Latar belakang: Terdapat penyulit pada manajemen anestesi untuk koreksi skoliosis
thorakalis pada pasien chiari malformasi post dekompresi foramen magnum karena
terdapat permasalahan periopoeratif kompleks yang menyertainya.
Kasus: Digunakan tindakan anestesi untuk koreksi skoliosis pada pasien dengan
Chiari Malformasi post dekompresi foramen magnum dengan keterbatasan mobilisasi
leher. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan semirigid sublaminer instrumentasi pada
leher. pada MSCT terlihat skoliosis thorakalis dengan pusat kelengkungan pada
Thorakal 9 dengan Cobbs Angle 60. Pemeriksaan kardiovaskular, respirasi dan
neurologis dalam batas normal.
Derajat kelengkunan skoliosis pada pasien ini masih dibawah 70 sehingga tidak
menekan jantung dan paru, tetapi terdapat penyulit untuk melakukan intubasi, hal ini
bisa diatasi dengan memakai alat fiberoptik dalam kondisi sleep non apneu
menggunakan fentanyl 50mcg dan propofol 50 mg dilanjutkan dengan balance
anestesia menggunakan propofol kontinyu, N2O, O2, vecuronium dan fentanyl
intermittnent serta tekhnik hipotensi kendali.
Pasca anestesi pasien mendapat analgesi dengan 2 kateter epidural dengan ujung
kateter setinggi Thorakal 3 dan ujing kateter lainnya setinggi Thorakal 12. Masing-
masing memakai 0,5mg morfin dan bupivacaine 0,1%. Pasien dievaluasi 2 hari di
ICU, tidak ada defek neurologis dan bebas nyeri kemudian di pindah ke ruang
perawatan.
Ringkasan: Manajemen anestesi pada operasi Koreksi skoliosis thorakalis menjadi
suatu hal yang sangat penting karena begitu kompleksnya permasalahan perioperatif
yang menyertainya. Fungsi kardiovaskular dan respirasi adalah yang paling
mungkin terganggu sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Penilaian terhadap
derajat keparahan dari skoliosisnya dapat memberikan suatu nilai prediksi
terhadap permasalahan yang mungkin terjadi perioperatif. Pasien dengan
gangguan pada mobilitas dari leher dapat menjadi penyulit saat melakukan
laringoskopi-intubasi. Post operasi jika fungsi kardiovaskular dan respirasi baik,
pertimbangan ekstubasi dapat menjadi pilihan. Analgetik post operasi harus adekuat
untuk menangani nyeri karena nyeri dapat dapat menimbulkan instabilitas
kardiovaskular dan respirasi yang menjadi penyulit paska operasi.
Kata Kunci: Skoliosis thorakalis, chiary malformation, cobbs angle.
dapat merubah postur tubuh
penderitanya menjadi miring kearah
lengkungan tulang belakangnya.
Skoliosis menimbulkan adaptasi dari
tubuh untuk menyesuaikan perubahan
PENDAHULUAN
Skoliosis adalah suatu kelainan pada
bentuk tulang belakang dengan
kurvatura yang condong ke lateral
disertai rotasi dari korpus vertebra sesuai
dengan lokasi terjadinya.
1,2
Kondisi ini
73
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

anatomis yang terjadi. Adaptasi ini
terutama terjadi dalam sistem
kardiovaskular, respirasi dan neurologi.
Secara epidemiologi skoliosis dapat
terjadi pada semua kelompok umur,
namun paling sering pada usia
pertumbuhan. Populasi pasien dengan
skoliosis diperkirakan 0,3-15,3%.
Dengan rasio perempuan berbanding
laki-laki 3 : 1. Dari kasus-kasus
skoliosis 75-90% kasus tidak diketahui
penyebabnya.
3

Manajemen anestesi pada operasi
Koreksi skoliosis thorakalis menjadi
sangat penting karena begitu
kompleksnya permasalahan perioperatif
yang menyertainya. Fungsi
kardiovaskular dan respirasi paling
mungkin terganggu sehingga perlu
mendapat perhatian khusus. Penilaian
terhadap derajat keparahan dari
skoliosisnya dapat memberikan suatu
nilai prediksi terhadap permasalahan
yang mungkin terjadi perioperatif.
Pasien dengan gangguan pada
mobilitas dari leher dapat menjadi
penyulit saat melakukan laringoskopi-
intubasi. Disamping monitoring
standar, perlu juga dilakukan
monitoring terhadap fungsi sistem
sarafnya dengan alat monitoring
neurologis seperti SSEPs atau MEPs
jika memungkinkan. Post operasi jika
fungsi kardiovaskular dan respirasi baik,
ekstubasi dapat menjadi pilihan.
Analgetik post operasi harus adekuat
untuk menangani nyeri karena nyeri
dapat dapat menimbulkan instabilitas
kardiovaskular dan respirasi yang
menjadi penyulit paska operasi.
KASUS
Pasien Laki-laki, berusia 17 tahun, ASA
2 dengan thoracalis skoliosis dan chiari
malformasi pasca foramen magnum
dekompresi 6 bulan lalu direncanakan
untuk koreksi skoliosis thorakalis. Dari
pemeriksaan fisik didapat status
kardiovaskuler, respirasi dan neurologis
dalam keadaan normal tetapi dengan
keterbatasan mobilisasi leher. Dari
rongent servikal terdapat semirigid
sublaminer instrumentasi pada leher.
Pada MSCT thorax tampak skoliosis
thorakalis dengan pusat kelengkungan
di Thorakal-9 dengan Cobbs angle
didapatkan sebesar 60.
Pasien diberikan premedikasi standar
dengan ranitidin IV 50 mg, midazolam
IV 2 mg dan tetes hidung iliadin. Induksi
dimulai dengan fentanil IV 50 mcgs
dan propofol IV 50 mg sampai pasien
dalam kondisi tidur tetapi tidak apneu
(Sleep non apneu). Kemudian Intubasi
nasal difasilitasi dengan Fiberoptik
bronkoskopi, setelah intubasi pasien
diberikan vecuronium IV 4 mg
sebagai relaksan. Kemudian dilakukan
pemasangan CVC di vena subclavia
kanan, pemasangan arteri line di dorsum
pedis kiri dan pemasangan kateter urine.
Setelah diberikan loading cairan dan
haemodinamik stabil, kemudian pasien
diatur ke posisi prone. Pemeliharaan
anestesi dengan N2O, O2, propofol
kontinyu 100 mcg/Kg/menit, fentanil
intermiten sebagai analgetik dan
74
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Gambar 1. Cobbs Angle
3

Tabel 1. Korelasi klinis dari derajat keparahan skoliosis
3

vecuronium intermiten sebagai relaksan.
Tehnik hipotensi terkendali digunakan
pada operasi ini dengan menggunakan
clonidine 1 mcg/Kg BB. Prosedur bedah
ini dilakukan sekitar 5 jam. Dilakukan
pemasangan 10 buah pedicle screw.
Pendarahan untuk prosedur ini hanya
500 ml. Hemodinamik stabil selama
operasi. Post operasi pasien sadar baik
dan kooperatif. Pasien dapat bernapas
spontan adequat dengan kondisi
kardiovaskular yang stabil. Hasil
analisis gas darah normal. Pasien
kemudian di ekstubasi dan dirawat di
ICU dengan analgesia epidural yang
diberikan melalui 2 kateter epidural.
Ujung kateter epidural pertama
diletakkan di Thoracal-3 dan kateter
epidural kedua dipasang di thoracal-12.
Regimen yang digunakan bupivacaine
0,1% dan morphine 0,5 mg dengan
volume 7 cc pada masing-masing kateter
epidural.
Pasien dievaluasi selama 2 hari di ICU.
Hemodinamik pasien stabil selama di
ICU, tidak ada defisit neurologis dan
juga bebas nyeri. Kemudian pasien
dikirim untuk ke ruang rawat.
PEMBAHASAN
Jika dilihat dari faktor penyebabnya, 75-
90% kasus skoliosis penyebabnya tidak
diketahui. Kasus tersering muncul pada
Cobbs Angle (derajat) Manifestasi Klinis
< 10 Tidak Bergejala
> 25 Peningkatan tekanan arteri pulmonal
> 40 Perlu intervensi bedah
> 70 Penurunan volume paru yang bermakna
> 100 Sesak
> 120 Hipoventilasi alveolar, gagal napas kronis
75
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

usia dewasa muda terkait dengan proses
pertumbuhan yang sedang berlangsung
pesat.
Penyebab Skoliosis adalah Idiopatik
(genetik) 75%, Kongenital (beserta
defek neurologis lain yang
menyertainya seperti
myelomeningocele, spina bifida dll.),
Neuromuskular (terdapat penyakit
tulang dan otot yang menyertainya
seperti polio, cerebral palsy, muscular
dystropia, amyotonia, dll.),
Neurofibromatosis (Von
Recklinghausens Disease), Kelainan
Mesenkim (marfan sindrom, dwarfism,
rheumatoid arthritis, osteogenesis
imperfect, dll.) dan Trauma (fraktur
lama, kontraktur akibat luka bakar,
dll.).
3

Skoliosis dapat dinilai tingkat
keparahannya dengan menggunakan
metode cobbs, yang direkomendasikan
oleh committee of the scoliosis research
society. Pengukuran cobbs angle
dilakukan dengan membuat garis
khayal di sisi atas dari corpus
vertebra pada kelengkungan yang
paling atas dan yang paling bawah dan
menghubungkan garis tersebut secara
tegak lurus sehingga membentuk suatu
sudut yang kita sebut dengan cobbs
angle.
Evaluasi Pra-Anestesi
Kondisi kardiovaskular dan respirasi
pasien pada kasus ini masih optimal
karena derajat kelengkungan dari
skoliosisnya masih dibawah 70
o
sehingga tidak menekan organ jantung
dan paru yang dapat menimbulkan
gangguan kardiovaskular dan respirasi.
4

Terdapat kesulitan dalam melakukan
intubasi karena pasien dengan riwayat
menderita chiari malformasi yang telah
dilakukan dekompresi pada foramen
magnumnya dan dilakukan pemasangan
Semirigide Sublaminar Instrumentation
(SSI) yang menyebabkan leher pasien
menjadi tidak mobile. Kondisi ini tidak
memungkinkan bagi kita untuk
melakukan intubasi dengan cara biasa.
Intubasi dengan fiber optic menjadi
pilihan yang baik pada kasus ini.
Pada evaluasi praanestesi ada beberapa
hal yang harus kita nilai dari pasien
dengan skoliosis thorakalis, yaitu jalan
nafas, respirasi, kardiovaskular dan
fungsi neurologis pasien pra operasi.
Penting untuk menilai kondisi jalan nafas
pasien karena kita akan melakukan
laringoskopi intubasi untuk
memfasilitasi jalannya operasi. Skoliosis
seringkali merupakan bagian dari
suatu sindrom kongenital terutama
kelainan muskuloskeletal seperti sindrom
marfan dan distropia muskukulorum
progresiva.
5

Pada sindrom tersebut sering terdapat
kelainan pada bentuk jalan nafasnya
seperti lidah yang besar, bentuk palatum
yang berbeda sehingga akan menjadi
penyulit pada saat kita melakukan
laringoskopi intubasi.
5
Dengan
mengetahui kondisi jalan nafas pasien
kita dapat menyiapkan peralatan-
peralatan untuk persiapan intubasi
76
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

sulit. Pada pasien dengan chiari
malformasi terdapat suatu kondisi
dimana terjadi herniasi dari tonsila
cerebelar ke foramen magnum yang
menyebabkan pasien beresiko untuk
terjadi gangguan kardiovaskuler dan
respirasi akibat penekanan pada
cerebelum.
Intervensi bedah biasanya dilakukan
dengan melakukan dekompresi pada
foramen magnum yang terkadang
disertai pemasangan SSI pada kasus
yang disertai ketidakstabilan posisi
dari vertebra cervicalis. Pemasangan
SSI ini akan menyebabkan kondisi
leher yang kaku sehingga akan
menyulitkan saat melakukan
laringoskopi intubasi pada pembedahan
berikutnya.
Pada sistem respirasi kita harus menilai
fungsi paru dari pasien praoperatif. Pada
pasien dengan skoliosis thorakalis,
kelengkungan tulang belakangnya
akan menimbulkan penekanan pada paru
sehingga memberi ruang yang lebih
sempit bagi paru untuk mengembang
pada saat inspirasi. Hal ini akan
menimbulkan penurunan dari kapasitas
vital dan kapasitas fungsional residual
dari paru penderita.
6-9
Kondisi ini akan
memberikan respiratory reserve yang
lebih sedikit bagi kita pada saat
melakukan laringoskopi dan intubasi.
Disamping itu penurunan fungsi paru ini
akan memberikan nilai prediksi
kepada kita sebagai pertimbangan
saat mengekstubasi pasien post operasi.
Pasien dengan skoliosis pada daerah
thorakal mempunyai ruang mediastinum
yang lebih sempit dari orang normal
sehingga pergerakan jantungnya lebih
terbatas sehingga kemampuan pompanya
juga menurun. Disamping itu ruang yang
sempit ini juga dapat mempermudah
terjadinya efusi pericardium dan
mungkin dapat menimbulkan
perikarditis. Pada pasien skoliosis
Kongenital juga seringkali ditemukan
kelainan jantung seperti tetralogi of
fallot, Paten duktus arteriosus, maupun
kelainan defek pada septum ventrikel
atau atrial.
3,4,7
kondisi kelainan jantung
bawaan tersebut dapat menjadi
pertimbangan tambahan pada tehnik
anestesinya.
Harus dinilai juga fungsi dari sistem
saraf pasien sebagai modal sebelum kita
melakukan operasi. Diharapkan post
operasi fungsi neurologis dari pasien
tidak menurun.
Intra operasi
Monitoring standar dipasang pada
pasien ini ditambah dengan
pemasangan CVC dan arteri line untuk
memantau fungsi kardiovaskular dari
pasien. Alat monitoring neurologis
seperti SSEPs atau MEPs tidak
dipasang pada kasus ini karena
ketidaktersediaan alat tersebut pada
pusat pendidikan kami. Tehnik hipotensi
terkendali dikerjakan untuk mengurangi
perdarahan durante operasi. Perdarahan
pada operasi ini sekitar 500 ml.
77
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Monitoring adalah prinsip dasar dari
tehnik anestesi yang akan kita berikan
pada pasien dengan skoliosis thorakalis.
Pada premedikasi dapat diberikan obat-
obatan yang memberikan efek sedasi
dan antiemetik untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien sebelum
pembiusan berlangsung. Pada induksi
obat-obatan yang kita berikan harus
menyesuaikan dengan tehnik intubasi
yang akan kita kerjakan. Pada pasien
dengan kemungkinan kesulitan intubasi
maka algoritme kesulitan intubasi harus
sudah kita persiapkan. Awake nasal
intubasi dengan fasilitasi fiberoptic
dapat menjadi pilihan yang paling baik
bagi pasien dengan kekakuan leher.
Suksinil kolin sebaiknya dihindari pada
pasien ini terkait sindrom gangguan
muskuloskeletal dengan risiko
terjadinya malignant hipertermia.
3

Setelah diintubasi pasien akan
diposisikan prone. Ada beberapa hal
yang harus kita perhatikan sebelum kita
memposisikan pasien dalam posisi
prone. Patensi jalan nafas harus kita
pastikan. Sebab akan sangat sulit untuk
mengakses jalan napas pada pasien
dengan posisi prone. Pemasangan tape
pada sambungan pipa napas dapat
menjadi pilihan. Pemasangan packing
pada mulut dapat mengatasi
hipersalivasi dan mengurangi risiko tube
bergeser.
9

Pada posisi prone dada pasien akan
tertekan sehingga pengembangan
parunya akan terhambat yang akan
menimbulkan penurunan dari kapasitas
vital dan kapasitas fungsional residual
dari pasien. Kondisi skoliosisnya dapat
memperparah fungsi respirasi pasien.
Pemasangan padding di bahu dan
pinggang dapat memberikan ruang
yang lebih baik bagi pengembangan
paru pasien.
9

Pada saat kita memposisikan pasien dari
posisi supine ke posisi prone dapat
terjadi guncangan kardiovaskular yang
hebat akibat dari penurunan cardiac
output yang menimbulkan hipotensi
hingga henti jantung. Kita dapat
mengatasinya dengan memastikan
kecukupan volume sirkulasi dari
penderita sebelum kita posisikan ke
posisi prone. Pemasangan kanul vena
sentral dapat menjadi pilihan meskipun
bukan merupakan indikasi mutlak.
Alternatif lain dapat dilakukan
pemasangan 2 akses intravena ukuran
besar.
Terdapat risiko penekanan pada saraf-
saraf disekitar wajah, lengan, kaki dan
organ genitalia akibat posisi pasien.
Penggunaan padding di wajah, bahu dan
kaki dapat mengatasi masalah tersebut.
Risiko emboli udara pada operasi
tulang belakang dapat terjadi karena
lokasi pembedahan yang terletak diatas
dari posisi jantung. Tanda awal emboli
udara adalah takikardia yang tidak bisa
dijelaskan yang diikuti dengan
bradikardia dan hipotensi serta
penurunan end tidal CO2 yang
ekstrem dengan selisih nilai diatas 5
dibandingkan dengan PaCO
2
.
2,8

78
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Kebutaan paska operasi kejadiannya
biasanya terkait dengan durasi operasi
yang lama, hipotensi yang
berkepanjangan, anemia dan kehilangan
darah yang masif (melebihi 1000 ml).
2

Terdapat risiko penekanan bola mata
yang dapat menimbulkan kebutaan post
operasi. Hal ini dapat kita hindari
dengan memasang bantal berbentuk
donat sebagai penyangga kepala.
Pemeliharaan anestesia dapat
dilakukan menggunakan kombinasi
inhalasi dengan N2O:O2 dan
sevoflurane, analgetik dan pelumpuh
otot intravena. Namun pada pasien
dengan risiko terjadinya malignant
hipertermia sebaiknya pemeliharaan
dilakukan dengan total intravena
menggunakan regimen propofol
continous atau penthotal.
Monitoring intraoperatif adalah bagian
terpenting dari tehnik anestesi. Pada fase
ini kita harus memantau dengan
seksama kondisi seluruh sistem organ
pasien. Pada sistem saraf, pemantauan
fungsi saraf dengan menggunakan alat
Somato Sensory Evoked Potentials
(SSEPs) atau Motor Evoked Potentials
(MEPs) adalah hal yang sangat penting
untuk dilakukan meskipun tidak
merupakan hal yang mutlak.
6,7

Pada sistem respirasi kita dapat
memakai alat pemantau end tidal CO2
untuk menjaga pasien tetap
normokarbia. Pada sistem
kardiovaskular pemantauan tanda vital
standar mutlak harus dipasang seperti
monitor tensi, nadi dan saturasi. Terlebih
lagi kita akan menggunakan tehnik
hipotensi terkendali untuk mengurangi
perdarahan pada lapangan operasi. Pada
sistem urogenital pemasangan kateter
urine wajib dikerjakan untuk memantau
kecukupan cairan dan fungsi dari ginjal
pasien. Monitoring invasif lainnya
seperti CVC dan arteri line dapat
dipasang jika tersedia.
Risiko perdarahan sangat mungkin
terjadi pada pasien koreksi skoliosis.
Untuk itu beberapa tehnik dapat
dilakukan untuk mengurangi risiko
perdarahan.
Autologus Transfusi pra operatif
Tehnik ini dapat dikerjakan 3-4 minggu
sebelum operasi berlangsung. Pasien
diambil darahnya untuk disimpan
sehingga dapat dipakai jika nanti
diperlukan. Tehnik ini dapat dipakai
pada kasus Jehovahs Witnesess.
3

Hemodilusi Normovolemik Akut
Tehnik ini dilakukan dengan
memberikan kristaloid dan koloid pra-
operatif untuk mendelusi darah pasien
sehingga bila terjadi perdarahan tidak
dengan cepat mengurangi jumlah
komponen darah.
3

Cegah penekanan abdomen saat pasien
dalam posisi prone Bila abdomen tidak
dalam posisi bebas saat posisi prone
maka dapat terjadi bendungan dari aliran
darah balik ke jantung dari ekstremitas
inferior yang akan berefek kepada
penurunan tekanan darah dan vasodiatasi
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

dari vena-vena diruang epidural yang
menyebabkan perdarahan pada lapangan
operasi.
3

Tehnik Hipotensi Terkendali
Tehnik hipotensi terkendali dapat
dikerjakan dengan melakukan sedikit
hiperventilasi yang dikombinasikan
dengan medikamentosa seperti obat
golongan alpha-2 Agonis dan agen-
agen hipotensif lainnya. Namun yang
paling penting diperhatikan bahwa saat
kita melakukan tehnik ini kita harus
menjaga agar MAP dari tekanan darah
pasien tidak jatuh hingga dibawah batas
autoregulasi dari otak dan medulla
spinalis. Hipotensi yang melewati batas
autoregulasi akan dapat mencederai otak
dan medulla spinalis.
Intraoperative Cell Salvage
Tehnik ini menggunakan mesin khusus
untuk mencuci darah yang keluar dari
luka operasi sehingga dapat digunakan
kembali. Namun tehnik ini sangat
jarang digunakan.
Post Operasi
kriteria ekstubasi untuk pasien ini
terpenuhi, seperti perdarahan relatif
sedikit, haemodinamik yang stabil
selama operasi. Post operasi pasien
sadar baik dan kooperatif. Pasien dapat
bernapas spontan adequat. Hasil analisis
gas darah normal, kemudian diputuskan
untuk melakukan ekstubasi. Setelah
ekstubasi pasien dibawa ke ruang
intensif untuk monitoring ketat paska
operasi. Analgetik pada kasus ini
menggunakan epidural analgesia yang
dipasang di 2 tempat yaitu di thorakal-3
dan thorakal-12 yang dipasang langsung
oleh operator bedah. Epidural dipilih
karena dapat menjamin pasien bebas
nyeri pasca operasi. Nyeri dapat
mengganggu proses penyembuhan luka
pasien dan dapat menimbulkan
instabilitas kardiovaskular dan respirasi.
Epidural dipasang di 2 tempat karena
luka operasi yang panjang dari
dermatom thorakal-1 hingga lumbal-2.
Dengan pemasangan 2 kateter epidural
memungkinkan kita untuk mengurangi
volume obat epidural yang diberikan.
Regimen yang digunakan bupivacaine
0,1% dan morphine 0,5 mg volume 7 ml
pada masing masing kateter epidural.
Setelah 2 hari pemantauan di ICU
pasien dipindahkan kembali ke ruang
perawatan biasa. Selama dirawat pasien
bebas nyeri.
Pasien post operasi koreksi skoliosis
dihadapkan pada beberapa kondisi
yang mengharuskannya untuk dirawat
diruang intensif. Perdarahan, transfusi
darah, manipulasi yang hebat, durasi
operasi yang panjang, hipotermia,
penurunan fungsi paru dan goncangan
kardiovaskular dapat menjadi ancaman
setiap saat bagi pasien paska operasi
sehingga pemantauan yang ketat paska
operasi menjadi suatu hal yang mutlak
untuk dikerjakan. Penanganan nyeri post
operasi pada pasien koreksi skoliosis
merupakan suatu hal yang penting bagi
seorang ahli anestesi. Penggunaan
epidural menjadi pilihan yang baik
yang dikombinasi dengan Non Steroid
80
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

ed, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia-USA 2009.
3. Anand H.K, Ambareesha M, Spesial article,
Scoliosis and anesthetic Considerations in
Indian journal of anesthesia 2007; 51 (6) :
p486-95.
4. Melissa A.G, Article, Anesthetic implications
for surgical correction of scoliosisin : AANA
journals, Agust 2007; Vol 75 : no.4.p 277-85
5. Michael K Urban. Anesthesia for orthopedic
surgery. In: Ronald D. Miller Editor. Miller's
Anesthesia 7 ed, Churchill Livingstone
Elsevier USA 2009.
6. Bsenberg MT, Bsenberg AT, Case-Report :
Anaesthesia for Marfans Sindrom,
Department Anaesthesia, University Cape
Town, SAJAA July-August 2007;13(4). P 15-
9
7. Vinit W, Guidelines for the anesthetic
Management of Spine Fusions and SSEP
Monitoring, department of anesthesia and
Pain Management-Stanford University
Medical Centre 2009.
8. Hoda M.Q, Zafar S.U, a Case-Series
Anaesthesia for surgical correction of
Scoliosis with Spinal Cord Monitoring, JPMA
54:565;2004.
9. Newfield P, Cottrell J.E, Spinal Cord Injury
and Procedures-Scoliosis Chapter 13 in :
Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed,
Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia-USA 2007: p-253-8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard A, Stanley I. Anesthetic
Considerations for Spinal Reconstruction and
Fusion Chapter 10.3 in : Richard A, Stanley
I, Ed. Anesthesiologist's Manual of Surgical
Procedures, 4th ed, Lippincott Williams &
Wilkins,USA 2009: p.971-80.
2. Anesthesia for Orthopaedic Surgery. In:
Barash P.G, Cullen B.F, Stoelting R.K
Editor. Handbook of Clinical Anesthesia, 6th
Anti inflamatory Drugs (NSAIDs).
Opioid intravena juga dapat menjadi
pilihan untuk menangani nyeri pasien
paska operasi. Baik sebagai agen
tunggal maupun dikombinasi dengan
paracetamol maupun NSAIDs.
RINGKASAN
Manajemen anestesi pada operasi
Koreksi skoliosis thorakalis menjadi
suatu hal yang sangat penting karena
begitu kompleksnya permasalahan
perioperatif yang menyertainya. Fungsi
kardiovaskular dan respirasi adalah
yang paling mungkin terganggu
sehingga perlu mendapat perhatian
khusus. Penilaian terhadap derajat
keparahan dari skoliosisnya dapat
memberikan suatu nilai prediksi
terhadap permasalahan yang mungkin
terjadi perioperatif. Pasien dengan
gangguan pada mobilitas dari leher
dapat menjadi penyulit saat melakukan
laringoskopi-intubasi. Post operasi jika
fungsi kardiovaskular dan respirasi baik,
pertimbangan ekstubasi dapat menjadi
pilihan. Analgetik post operasi harus
adekuat untuk menangani nyeri karena
nyeri dapat dapat menimbulkan
instabilitas kardiovaskular dan respirasi
yang menjadi penyulit paska operasi.
81
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

LAPORAN KASUS
Keberhasilan Setelah Henti Jantung selama Torakotomi Emergensi
disebabkan Luka Penetrasi Trauma Torak pada Kondisi Dengan
Keterbatasan Fasilitas
Mumya Camary*, Akhyar H Nasution*, Hasanul Arifin*
ABSTRACT
Background: An emergency thoracotomy (sometimes referred to as a resuscitative
thoracotomy) is a thoracotomy typically done in order to resuscitate a person who has
been severely injured after sustaining a severe trauma involving the thoracic cavity.
Cardiac arrest can occur durante procedure of emergency thoracotomy which need
internal massage and defibrillation, A quick management with The combination of
clinical foreknowledge, ability to spot changing clinical signs, and even-tempered
surgical courage to perform simple but lifesaving procedures can bring about a
profound difference in outcome for the chest injured patient even in resource limited
settings.
Case: Male, 31 years old, predicted body weight 70 kg admitted to Haji Adam Malik
Hospital with main complained stab wound on the left chest. Supine chest x-ray shown
massive left-sided hemothorax. Chest wound was opened on the left antero lateral by
surgeon and seen left lung collapse with estimated blood lost 2500 ml are taken from
the left hemithorax, surgeon make a decision to do sternotomy and then found Left
internal mammary artery was torn and was ligated, found the right ventricle lacerated
but no bleeding from the wound. Cardiac arrest occurs and the surgeon starts internal
cardiac massage, continuing fluid resuscitation, 15 minutes after rescucitating cardiac
arrest ECG shown VF , Internal defibrillation at 20 joules, ECG shown sinus
tachycardia 145/min, after control bleeding, the operation procedure are done after
chest drain insertion bilateral. The patient was shifted to surgical ICU for observation.
Patient was stable and there were no complications in postoperative periode. Patient
was discharged on 8th postoperative day.
Summary: The decision to perform emergency thoracotomy involves careful
evaluation of the scientific, ethical, social and economic issues. A quick management
with The combination of clinical foreknowledge, ability to spot changing clinical
*Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan
Korespondensi/ correspondence: dicamary_007@yahoo.com
Survive After Cardiac Arrest During Emergency Thoracotomy Due To
Penetrating Thoracic Trauma I n Resource Limited Settings
82
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

signs, and even-tempered surgical courage to perform simple but lifesaving
procedures can bring about a profound difference in outcome for the chest injured
patient even in resource limited settings. Time saving is live saving.
Keywords: Emergrncy thoracotomi, cardiac arrest.
ABSTRAK
Latar Belakang: Sebuah torakotomi darurat (kadang-kadang disebut sebagai
torakotomi resusitasi) adalah torakotomi yang dilakukan untuk meresusitasi seseorang
yang telah terluka parah setelah mengalami trauma berat pada rongga dada. Henti
jantung dapat terjadi selama prosedur torakotomi yang memerlukan pijat jantung
internal dan defibrilasi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi ramalan klinis,
kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk
melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan nyawa dapat membawa
perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat dengan sumber daya
terbatas.
Kasus: Laki-laki, 31 tahun, berat badan perkiraan 70 kg dirawat di Rumah Sakit Haji
Adam Malik dengan keluhan luka tusuk di dada kiri. Pemrisaan ronsen dada
menunjukkan hemothorax luas di sisi kiri. Dokter bedah membuka dada yang terkena
luka tusuk dan terlihat kolaps paru dengan darah diperkirakan 2.500 ml dari
hemitoraks kiri, ahli bedah memutuskan untuk melakukan sternotomy dan kemudian
menemukan robekan pada arteri mamaria interna kiri dan diligasi, ditemukan robek
ventrikel kanan tetapi tidak ada pendarahan dari luka. Serangan jantung terjadi dan
ahli bedah mulai pijat jantung internal dan resusitasi cairan, 15 menit setelahnya
EKG menunjukkan VF, defibrilasi internal pada 20 joule, EKG menunjukkan sinus
takikardia 145/min, setelah mengontrol perdarahan, prosedur operasi selesai dan
dilakukan pemasangan selang dada. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi.
Pasien stabil dan tidak ada komplikasi pada pasca operasi . Pasien dipulangkan pada
harike 8 pasca operasi.
Ringkasan: Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan evaluasi yang
cermat di bidang ilmiah, isu-isu etika, sosial dan ekonomi. Manajemen yang cepat
dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda
klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun
menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada
bahkan di tempat dengan sumber daya terbatasTabungan Waktu adalah tabungan
hidup.
Kata kunci: Torakotomi darurat, henti jantung.
83
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

PENDAHULUAN
Trauma torak sebagai penyebab satu
dari setiap empat kematian akibat
trauma di Amerika Utara.
1,2
Distribusi
cedera tidak berhubungan dengan
anatomi pada segmen paru yang cedera
namun secara langsung terkait dengan
cedera pada dinding dada. Trauma
toraks relatif umum terjadi pada 17%
pasien dengan multiple trauma (Injury
Severity Score> 15). Perdarahan ke
alveoli dan kerusakan parenkim
maksimal terjadi dalam 24 jam pertama
setelah cedera, hipoksemia dan
hiperkapnia puncaknya terjadi 72 jam
setelah cedera.
Meskipun trauma toraks relatif umum
terjadi, kejadian cedera dada terisolasi
yang memerlukan tindakan torakotomi
jumlahnya kecil. Sekitar 18 % dari
pasien membutuhkan pemasangan WSD
dan sekitar 2,5% yang memerlukan
tindakan torakotomi. Mortalitas secara
keseluruhan adalah sekitar 9% dengan
Glasgow Coma Scale skor yang rendah,
usia yang tua, adanya luka tembus dada
dan patah tulang panjang, fraktur lebih
dari lima tulang rusuk, dan trauma pada
hati dan cedera limpa menjadi prediktor
independen terjadinya kematian.
3

Manajemen segera trauma toraks harus
mengikuti standar Advanced Trauma
Life Support (ATLS) yang bertujuan
untuk mengidentifikasi urutan cedera
yang paling mengancam kehidupan
diantara ancaman terhadap kehidupan.
KASUS
Laki-laki, 31 tahun, diperkirakan berat
badan 70 kg datang ke Rumah Sakit Haji
Adam Malik dengan keluhan utama luka
tusuk di dada kiri. Pada pemeriksaan
didapatkan pasien dalam keadaan sadar
penuh. Kecepatan napas 30/min, tidak
ada keluhan dari hemopti sis,
hematemesis. Akral dingin dan pucat.
Denyut nadi 130/min, teratur, dan
tekanan darah 90/50 mm Hg dengan
respon sementara terhadap resusitasi
cairan. Tidak ada riwayat penyakit
penting lainnya. Laboratorium dengan
Hb 7,8 dan hasil lainnya adalah dalam
batas normal, EKG sinus takikardi, x-ray
dada menunjukkan hemothorax sisi kiri
yang masif.
Pasien dibawa ke ruang operasi. CVC
dipasang pada subclavia kiri dan dua
jalur I.V. line dengan bore besar pada
kedua tangan, monitor SpO2 dan
monitor EKG diterapkan. Didapatkan
SpO2 100% dengan udara bebas. Preload
dengan kristaloid 1000 ml, 100% O2
diberikan melalui facemask. Tekanan
darah 80/60 mm Hg. Pasien diberikan
Injeksi Sulfat Atropin 0,5 mg Kemudian
pasien diinduksi dengan injeksi
Ketamine 100 mg dan Rocuronium 50
mg. Jalan nafas di jaga dengan dilakukan
pemasangan endotrakeal tube dan. SBP
adalah 90 mm Hg.
Luka dada dibuka di antero lateral kiri
oleh dokter bedah dan paru kiri terlihat
kolaps dengan perkiraan darah yang
hilang 2.500 ml yang diambil dari
84
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

hemithorax kiri, ahli bedah membuat
keputusan untuk melakukan sternotomy
dan kemudian menemukan arteri
mamaria interna kiri robek dan
diputuskan untuk diligasi, ditemukan
juga ventrikel kanan terdapat robek
tetapi tidak terjadi pendarahan dari luka,
SBP mulai jatuh ke 50mm Hg pada
arteri brakialis, Inj. Norepinefrin
dimulai pada tingkat 0,5 mikro gm/
menit dan dobutamin dimulai pada
tingkat 5-6 mikro gm/menit. Pasien
diberikan ventilasi dengan 100% O2.
Ahli bedah membuka perikardium
melalui sayatan torakotomi kiri dan
menemukan darah 150 ml. Segera
setelah itu, henti jantung terjadi dan ahli
bedah mulai melakukan pijat jantung
internal, resusitasi cairan koloid dengan
1000 ml, administrasi intracardiac dari
epinefrin diberikan dengan dorongan
yang cepat dan langsung disuntikkan ke
dalam ruang dari ventrikel kiri setiap 3
menit, administrasi darah PRC 700 ml,
natrium bikarbonat 75 meq/L dan
Kalsium glukonase 20 ml, 15 menit
setelah resusitas,pada EKG tampak VF,
diputuskan untuk memberikan defibrilasi
internal 20 joule, gambaran EKG
menunjukkan sinus takikardia 145/min,
setelah mengontrol perdarahan, prosedur
operasi selesai setelah dilakukan
pemasangan thorax drain bilateral dan
pada akhir operasi denyut nadi 120/
minute reguler dan BP 100/70mm Hg
tanpa dukungan inotropik.
Pasien dibawa ke ICU pasca bedah untuk
Gambar 1.Tamponade Jantung
85
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

observasi. Pasien stabil dan tidak ada
komplikasi pada periode pasca operasi.
Pasien dipulangkan 8 hari pasca operasi.
PEMBAHASAN
Ada 12 cedera toraks mematikan atau
berpotensi mematikan yaitu obstruksi
jalan napas, trauma pada aorta, tension
pneumotoraks, ruptur tracheobronchial,
open pneumotoraks, kontusio miokard,
haemothorak masif, ruptur diafragma,
flail chest, ruptur esofagus, tamponade
jantung, dan kontusio paru.
Obstruksi jalan napas
Kerusakan pada laring atau trakea akibat
dari trauma tumpul atau penetrasi dapat
begitu parah hingga menyebabkan
pasien meninggal di tempat kejadian.
Dimana jalan napas terganggu maka
tindakan untuk definitife airway
diperlukan sebelum dilakukan tindakan
anestesi umum. Intubasi dengan serat
optik lebih sering dipraktekkan
dibandingkan dengan laringoskopi
langsung dengan anestesi lokal (awake
intubation).
4

Tension Pneumothorax
Diagnosis tension pneumothorax lebih
kepada klinis daripada radiologis.
Secara klinis, tension pneumothorax
ditandai dengan bunyi nafas yang
menghilang, perkusi yang hiper-
resonans, tidak ada gerakan dada pada
sisi yang diduga cedera, deviasi trakea
ke sisi terluka, vena leher yang terisi
penuh (tidak dapat dilihat jika pasien
hipovolemik), dispnea berat, takikardi
dan hipotensi
Dekompresi thorax segera diperlukan
dengan cara menggunakan kanula yang
memiliki bore besar. Tindakan ini
me n d e k o mp r e s i d a d a d a n
memungkinkan mediastinum untuk
kembali ke posisi normal. Pemasangan
Thorax drainage diperlukan dimana
tension pneumotorax terjadi selama
anestesi, dimana ventilasi mekanis akan
menjadi sulit dikarenakan meningkatnya
tekanan intra-toraks. Dalam mode
pressure control pada ventilasi akan ada
penurunan progresif dalam volume tidal
dan gambaran jejak obstruksi pada end
tidal CO2. Mode Volume kontrol akan
ada peningkatan pesat dalam tekanan
puncak jalan nafas dan ventilator
mungkin gagal untuk melakukan siklus
ventilasi. Dekompresi dengan jarum
kurang efektif dalam mengurangi
tekanan yang timbul selama ventilasi
tekanan positif karena tidal volume
setiap pemberian napas jauh lebih besar
daripada volume yang mampu
didekompresi melalui lubang jarum
dekompresi. Pada pasien elektif dengan
simple pneumotorax, maka pemasangan
thorax drainage harus dilakukan sebelum
tindakan anestesi.
5

Pneumotoraks Terbuka
Setiap luka penetrans pada dinding dada
yang besarnya lebih dari 2/3 trakea
memungkinkan udara untuk lebih mudah
lewat melalui luka daripada saluran
napas normal. Hal ini menyebabkan
86
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

meningkatnya shunt intrapulmonal,
penurunan aliran balik vena dan
progresif hipoksemia dan hiperkapnia.
Intubasi dan ventilasi tekanan positif
dapat menyelesaikan masalah ini secara
cepat. Pertolongan pertama yang dapat
diberikan berupa pemberian oksigen,
penutupan luka dan insersi chest drain.
Torakotomi umumnya tidak diperlukan
kecuali terdapat luka yang sangat besar
6
.
Haemotoraks Masif
Setiap haemotoraks yang terjadi pada
orang dewasa mungkin mengalami
kehilangan darah sebanyak 1,5 liter
yang berasal dari pembuluh darah
interkostal, arteri paru atau vena, avulsi
pembuluh mediastinal atau cedera
jantung penetrasi. Haemotoraks massif
dapat menyerupai pneumotoraks ventil
tetapi pada perkusi didapati beda bukan
hipersonor. Torakotomi dan anestesi
pada satu paru dibutuhkan yang
kemudian dapat dipasang pipa lumen
ganda pada kondisi yang telah
terkontrol. Pemasangan abocath ukuran
besar sangat diperlukan sebelum
di l akukan i nsersi chest dr ai n;
Torakotomi dilakukan bila drainase
lebih dari 250 ml per jam atau status
fisiologis dari pasien terus memburuk
meskipun dilakukan penggantian cairan.
Luka tembus medial dari garis putting
pada bagian anterior atau medial dari
scapula pada bagian posterior sangat
berbahaya karena insiden cedera ke
jantung, pembuluh darah besar, atau
hilus lebih besar.
7

Tamponade Jantung
Hal ini paling sering terjadi pada luka
tembus. Volume ruang pericardial sekitar
jantung sangat kecil dan kantong
pericardial berserat dan relative tidak
dapat t eregang. Keti ka darah
terakumulasi di sekitar jantung, aliran
balik vena menurun akibat kompresi
atrial dan curah jantung menurun.
Diagnosis sangat sulit ditegakkan dan
dua dari trias Becks peningkatan TVJ
dan muffled heart sound, sulit
didapatkan dan tanda ketiga, hipotensi
tidak spesifik. Pulsus paradoksus dapat
ditemukan pada kondisi lain tetapi tanda
Kussmauls, peningkatan TVJ pada saat
inspirasi selama bernapas spontan dapat
digunakan untuk mendi agnosa.
Ekokardiografi memberikan diagnosa
definitif. Aspirasi 15-20 ml darah dari
perikardium dapat menyebabkan
peningkatan langsung curah jantung.
Operasi perikardotomi biasanya
menggunakan anest esi dengan
endotrakeal lumen tunggal. Pemantauan
tekanan vena sentral wajib dilakukan
untuk mendiagnosa kekambuhan
tamponade pasca operasi.
8

Anestesi untuk Torakotomi Resusitatif
Cedera tembus pada jantung dapat
menyebabkan henti jantung secara tiba-
tiba. Pada kasus tertentu, torakotomi di
IGD akan memungkinkan kontrol
perdarahan dari jantung dan resusitasi
cairan dan jantung yang efektif dapat
terjadi. Intubasi trakea dilakukan dengan
pipa lumen tunggal dan ventilasi dengan
87
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

oksigen 100%. Pasien yang henti
j ant ung ka r ena t r auma t i dak
memerlukan induksi anestesi sebelum
intubasi dan torakotomi. Pasien yang
sadar tetapi hipotensi memerlukan
penanganan yang berbeda. Induksi
anestesi dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah yang drastis jadi harus
berhati-hati dalam pemilihan agen
induksi. Ketamin dan atau opoid
(fent ani l at au al fent ani l ) l ebi h
d i a n j u r k a n . An e s t e s i d a p a t
dipertahankan secara intravena melalui
infus atau bolus. Obat pelumpuh otot
harus dipertahankan sepanjang tindakan
operasi berlangsung. Penanganan
pneumotoraks ventil harus dilakukan
secepat mungkin dengan torakotomi
bilateral. Pneumotoraks ventil bilateral
mungkin terjadi dan tanda klasiknya
mungkin tidak tampak. Jadi, pada setiap
kasus henti jantung secara traumatic
harus dianggap karena pneumotoraks
ventil. Kelebihan torakotomi bilateral
adalah untuk mengidentifikasi dimana
adanya haemorragik masif dan pada sisi
dada yang mana terdapat luka yang
menj adi l uka mayor. Ini akan
menentukan tempat insisi yang pertama
pada t or akot omi . Penanganan
hemorragik toraks masif adalah kontrol
perdarahan, bukan terapi cairan intra
vena. Terapi cairan sebelum control
perdarahan dapat memperparah hasil
pada trauma toraks penetrative, jika
tidak ada respon terhadap terapi cairan
sebanyak 500 ml, pemberian cairan
harus dihentikan sampai perdarahan
benar-benar terkontrol. Setelah
perdarahan terkontrol pasien akan
memerlukan koreksi hipovolemia secara
cepat untuk mengembalikan preload dan
perfusi pada organ non vital. Pasien akan
merasa dingin dan terjadi gangguan
koagulasi yang lebih parah. Darah dan
komponen terapi harus dihangatkan dan
segara diberikan setelah perdarahan
terkontrol. Defibrilasi internal mungkin
diperlukan dan dukungan inotropik juga
di perl ukan set el ah perdarahan
terkontrol.
9

Pada kasus ini dilakukan torakotomi
segera bersamaaan dengan dilakukannya
kontrol perdarahan dari jantung dan
resusitasi cairan yang efektif. Intubasi
trakea dilakukan dengan pipa lumen
tunggal dan ventilasi dengan oksigen
100%. Pasien diinduksi dengan ketamin.
Anestesi dipertahankan secara intravena
melalui infus atau bolus. Obat pelumpuh
otot rocuronium dipertahankan
sepanjang tindakan operasi berlangsung.
Penanganan hemorragik toraks masif
adalah kontrol perdarahan, bukan terapi
cairan intra vena. Terapi cairan sebelum
control perdarahan dapat memperparah
hasil pada trauma toraks penetrative, jika
tidak ada respon terhadap terapi cairan
sebanyak 500 ml, pemberian cairan
harus dihentikan sampai perdarahan
benar-benar terkontrol. Darah dan
komponen terapi harus dihangatkan dan
segara diberikan setelah perdarahan
terkontrol. Pijat jantung dalam
bersamaan dengan administrasi
intrakardial epinefrin yang langsung
88
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

disuntikkan ke dalam ruang dari
ventrikel kiri dapat dicapai dengan
mengangkat keluar jantung untuk
memungkinkan visualisasi lebih mudah
dari ventrikel kiri. Defibrilasi internal
dimulai dengan 20 joule dan dapat
ditingkatkan menjadi 40-50 joule.
RINGKASAN
Keputusan untuk melakukan torakotomi
darurat melibatkan penilaian yang
cermat terhadap pengetahuan, etika,
sosial dan ekonomi. Sebuah manajemen
yang cepat dengan Kombi nasi
kemampuan unt uk mempredi ksi
keadaan yang bisa terjadi, kemampuan
untuk melihat perubahan tanda-tanda
klinis, dan keberanian bedah untuk
melakukan prosedur sederhana tapi
menyelamatkan nyawa dapat membawa
perbedaan besar dalam hasil keluaran
untuk pasien bahkan dalam rangkaian
sumber daya yang terbatas. Time saving
is live saving.
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons Committee
on Trauma. Thoracic Trauma. In: Ad-
vanced Trauma Life Support for Doctors.
6th ed. USA: American College of Sur-
geons; 1997.p.147-63
2. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review
of the clinical entity. J Trauma. 1997 ;42
(5):973-9.
3. Kulshreshi P, Munshi I, Wait R. J. Profile
of chest trauma in a level 1 trauma centre. J
Trauma. 2004 ;57(3):576-81.
4. Woodall N. Fibre-optic intubation includ-
ing local anaesthesia for awake intubation.
Anaesthesia and Intensive Care Medicine
2005; 6 (8) : 273-6
5. Lim E, Goldstraw P. Insertion of a chest
tube to drain pneumothorax. Anaesth Inten-
sive Care Med. 2008;9(12):520-2
6. Brasel KJ, Stafford RE, Weigelt JA, Ten-
quist JE, Borgstrom DC. Treatment of oc-
cult pneumothoraces from blunt trauma. J
Trauma. 1999 Jun;46(6):987-90; discussion
990-1
7. Parry GW, Morgan WE, Salama FD. Man-
agement of haemothorax. Ann R Coll Surg
Engl 1996;78:325-326
8. Spodick DH. Acute cardiac tamponade N
Engl J Med. 2003;349(7):684-90
9. Rhee PM, Acosta J, Bridgeman A. Survival
after emergency department thoracotomy:
review of published data from the past 25
years. J Am Coll Surg 2000;190:288-298
1
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Pedoman Penulisan Jurnal Anestesiologi Indonesia

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) menerima artikel ilmiah mengenai anestesiologi dan terapi
intensif. Artikel dapat berupa artikel penelitian, laporan kasus, tinjauan pustaka dan resensi buku.
Artikel dapat diterima untuk dipublikasi dengan syarat hanya diperuntukkan bagi Jurnal Anestesi-
ologi Indonesia. Penulis utama membuat pernyataan bahwa artikel belum dimuat atau dikirim un-
tuk diterbitkan pada jurnal lain dan telah disetujui oleh co-authors. Setelah diterima penerbit ber-
hak atas copyright semua materi yang diterbitkan. Meskipun artikel dalam jurnal ini boleh di-copy
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bukan untuk kepentingan komersial.
Pandangan-pandangan dan pernyataan-pernyataan dalam artikel adalah tanggungjawab penulis.
Semua artikel yang dikirimkan akan di review oleh kelompok profesi dan atau editor. Penulis da-
pat diminta untuk mengubah artikelnya berkaitan dengan tipografi, isi dan gaya.
Semua artikel penelitian disertai persetujuan dan Komite Etika. Untuk menghindari keterlambatan
publikasi, pengarang disarankan untuk secara konsisten mengikuti instruksi-instruksi di bawah ini.
Judul
Judul ringkas, padat, dan menarik. Terdiri dari sebanyak banyaknya 20 kata dalam bahasa Indone-
sia dan 15 kata dalam bahasa inggris.
Nama Pengarang
Lengkap dengan gelar dan institusi tempat bekerja, namun dalam jurnal yang diterbitkan, gelar-
gelar tersebut akan dihilangkan. Pengarang koresponden harus mencantumkan alamat korespon-
densi atau e-mail.
Abstrak dan kata kunci
Abstrak disusun dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebanyak 200 - 250 kata untuk artikel
penelitian dan 50 - 100 kata untuk laporan kasus. Abstrak seyogyanya mengandung informasi cu-
kup bagi pembaca untuk mengetahui bagian-bagian penting dan artikel tanpa harus membaca se-
luruh artikel. Di bawah abstrak cantumkan 3-5 Kata kunci/ keywords.
Abstrak penelitian berisi: Latar belakang/ Background; Tujuan/ Objectives; Metode/ Meth-
ods; Hasil/ Results; Kesimpulan/ Conclusions.
Abstrak laporan kasus berisi: Pendahuluan/ Background; Kasus/ Case; Ringkasan/ Summary
Abstrak tinjauan pustaka berisi: Pendahuluan/ Background; Tujuan/ Objectives; Metode/
Methods; Hasil/ results; Ringkasan/ Summary
Format Naskah
Tulisan diketik pada kertas ukuran A4, batas atas-bawah dan samping kiri masing-masing 3 cm,
batas kanan 2,5 cm, jarak antar baris 1,2 cm, font Times New Roman ukuran 12. Judul tulisan
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dibuat singkat bersifat informatif dan mampu mener-
angkan isi tulisan; nama para penulis lengkap , alamat penulis koresponden, gelar beserta alamat
kantor/instansi tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul.
Naskah untuk artikel penelitian terdiri atas: Pendahuluan; Metode; Hasil; Pembahasan; Simpulan.
Naskah untuk laporan kasus terdiri atas: Pendahuluan; Kasus; Pembahasan; Ringkasan .
Naskah kajian pustaka terdiri atas: Pendahuluan; Materi Kajian (Pembaban tanpa nomor, judul
bab menyesuaikan); Ringkasan.
Tabel, bagan, grafik, gambar dan foto dilampirkan secara terpisah dari naskah, dan harus dibuat
dengan jelas dan rapi disertai judul yang jelas dan informative serta diberi nomor menurut urutan
dalam naskah.
2
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

Judul tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel dibuat tanpa garis vertikal. Garis horizontal tabel
minimal pada awal tabel; baris pembuka, dan penutup tabel, dan dapat ditambahkan pada bagian
yang bermakna penting pada tabel.
Contoh tabel:

Judul grafik dan gambar ditempatkan di bawah gambar. Grafik dibuat dalam format 2 dimensi,
warna hitam putih atau dengan arsiran, tanpa garis pengacu, diberikan nilai pengacu, dan legenda.
Contoh Grafik:

Sitasi dan daftar pustaka
Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Vancouver yaitu dengan angka sesuai dengan uru-
tan tampil, angka ditulis di atas (supercript) tanpa tanda kurung setelah tanda baca.
Rujukan diutamakan pustaka primer artikel ilmiah dengan tahun yang terbaru. Bila angka beruru-
tan bisa disingkat. Misalnya
2,3,4,5,6
ditulis menjadi
2-6
. Dalam satu pernyataan, jumlah rujukan
maksimal 5.
Daftar pustaka dibuat dengan system Vancouver, contoh:

Pengiriman
Berkas hendaknya dikirim dengan menggunakan format pdf .doc .docx atau .odt serta berkas dan
lampiran lain (ethical clearance, informed consent) yang diperlukan, melalui pranala Open Jour-
nal System (OJS) pada www.janesti.com, atau email ke info@janesti.com, atau berkas disertai file
dalam compact disc dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Anestesiologi Indonesia, Program Studi/
SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Dr. Kariadi, JI.Dr. Sutomo No. 16 Semarang.





V
o
l
u
m
e

V
I

N
o
m
o
r

1
,

M
a
r
e
t

2
0
1
4

Anda mungkin juga menyukai